Bismillaahirrohmaanirrohiim
Walhamdulillaah,
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Wa ba'du
...
Apa Saja Perkara Yang Jika Dilakukan Orang Thawaf Tidak Memutus Thawafnya?
Pertanyaan:
Apa perkara yang tidak memutus thawaf dan tidak harus memulai baru lagi?
Jawaban:
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah, wa ba'du:
Pertama:
Di antara syarat sahnya thawaf adalah bersambung di antara putaran. Artinya melakukan tujuh putaran thawaf secara terus menerut tanpa ada jeda yang lama di antaranya. Silahkan lihat Al-Mugni (5/248).
Kalau dia thawaf dua putaran, kemudian memutus thawaf satu jam -contohnya- karena mencari temannya atau duduk berbincang-bincang dengan temannya, maka thawafnya batal dan harus mengulang dari awal.
Kalau jedanya pendek seperti satu menit dan semisalnya, maka hal itu tidak memutuskan thawaf. Ahli ilmu memberikan keringanan bagi orang thawaf kalau hadir jenazah atau shalat ditunaikan, hendaknya dia shalat kemudian menyempurnakan thawafnya dan tidak memulai dari pertama.
Terdapat dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah (8/213), “Para ulama fikih sepakat kalau dia memulai thawaf kemudian shalat wajib ditunaikan (iqamah), maka dia berhenti thawaf dan melaksanakan shalat dengan berjamaah. Kemudian dilanjutkan thawafnya. Karena ia termasuk amalan yang dianjurkan maka thawafnya tidak terputus, seperti amalan ringan.”
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Muwalat (bersambung) di antara putaran thawaf adalah syarat yang harus dilakukan. Akan tetapi sebagian ulama memberi keringanan seperti shalat jenazah atau lelah kemudian istirahat sebentar kemudian melanjutkan dan yang semisal itu.” (Majmuah Fatawa Wa Rasail Al-Utsaimin, 22/296).
Beliau juga menambahi, “Disyaratkan dalam thawaf dan sai, bersambung (muwalat). Yaitu putaran yang terus menerus bersambung. Kalau di antara keduanya ada jeda yang lama, maka batal putaran pertamanya, dia harus memulai dari pertama untuk thawaf baru. Kalau jedanya ringan seperti duduk selama dua menit atau tidak menit, kemudian berdiri dan menyempurnakannya, maka hal itu tidak mengapa. Kalau satu atau dua jam, maka itu termasuk jeda yang lama yang mengharuskan dia untuk mengulangi thawaf.” (Al-Liqo As-Syahri, 16/22, dengan penomoran yang lengkap)
Beliau juga ditanya, “Kalau seseorang telah thawaf empat putaran, kemudian berhenti thawaf karena shalat atau penuh sesak, kemudian menyempurnakannya setelah 25 menit dari waktu jeda, apa hukum thawaf ini?
Beliau menjawab, “Thawaf ini telah terputus karena lamanya jeda di antara bagian (putaran). Kalau terputus karena shalat, maka masanya pendek. Shalat tidak menghabiskan waktu kecuali 10 menit atau seperempat jam atau semisal itu. Kalau 25 menit, maka ini pemisah lama, dapat membatalkan putaran satu dengan lainnya. Maka dengan demikian, dia harus mengulangi thawafnya agar benar. Karena thawaf adalah ibadah satu, yang tidak mungkin bagiannya terpisah-pisah dengan pemisah satu dengan lainnya selama 25 menit atau lebih.” (Majmu’ Fatawa Wa Rasail Al-Utsaimin, 22/296).
Syekh Ibnu Jibrin rahimahullah ditanya, “Kami telah melakukan thawaf ifadhah. Ketika kami memulai putaran pertama, dapat kami sempurnakan. Ternyata penuh sekali, sehingga kami naik ke tingkat dua, kami sempurnakan thawaf kami di sana. Kemudian kami tidak mampu menyempurnakan thawaf karena sangat sesak. Kami naik ke tingkat atas dan kami sempurnakan putaran sisa thawaf di atap. Apakah thawaf kami dengan kondisi seperti ini sah atau kami harus mengulanginya?
Beliau menjawab, “Sah, anda ada uzur. Selayaknya yang lebih utama anda sabar jika mengalami penuh sesak di lantai dasar. Akan tetapi karena anda merasa kepayahan dan naik ke tingkat dua dan anda thawaf satu atau dua putaran. Akan tetapi tidak memungkinkan untuk menyempurnakannya sehingga anda naik ke atas atap. Semuanya itu adalah uzur.”
https://ibn-jebreen.com/books/8-224-8815-7689-3317.htm
Kedua:
Di antara syarat sahnya thawaf menurut mayoritas ulama adalah suci dari hadats. Kalau wudhu orang thawaf batal, maka thawafnya batal –menurut pendapat ini– maka dia harus berwudhu dan mengulangi thawaf. Dalam masalah ini ada perbedaan, telah disebutkan dalam fatwa no. 34695.
Ketiga:
Tidak memutuskan thawaf dengan makan, minum, tidur, dan berbicara.
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dimakruhkan bagi orang thawaf, makan dan minum dalam thawaf. Sisi kemakruhannya lebih ringan untuk minum. Thawaf tidak batal dengan salah satu atau keduanya. Asy-Syafi’i mengatakan, “Tidak mengapa minum air dalam thawaf dan saya tidak memakruhkan –maksudnya tidak berdosa– akan tetapi saya lebih suka meninggalkannya karena meninggalkannya lebih bagus dalam adab.” (Al-Majmu’, 8/46).
Beliau juga mengatakan, “Kalau tertidur dalam thawaf atau sebagiannya dalam kondisi tidak membatalkan wudhu, maka pendapat yang terkuat adalah thawafnya sah dalam kondisi seperti ini.” (Al-Majmu’, 8/16).
Khotib As-Syirbini rahimahullah mengatakan, “Kalau tertidur dalam thawaf dalam kondisi tidak membatalkan wudhu, maka thawafnya tidak terputus.” (Mugni Al-Muhtaj, 2/244).
Catatan tidak dalam kondisi tidak membatalkan wudu, terbangun atas perbedaaan ulama yang disebutkan tadi, yaitu apakah termasuk syarat sahnya thawaf suci dari hadats?
Syaikh Sholeh Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Berbicara waktu thawaf itu dibolehkan. Akan tetapi yang lebih utama bagi orang muslim yang thawaf di Baitullah ta’ala hendaknya sibuk dengan ibadah, zikir dan doa, tidak sibuk dengan berbicara. Karena sibuk dengan berbicara menyalahi yang lebih utama. Akan tetapi tidak berpengaruh akan sahnya thawaf. Perkataan mubah tidak berpengaruh akan sahnya thawaf, meskipun hal itu menyalahi yang lebih utama.” (Majmu Fatawa Syaikh Sholeh bin Fauzan, 2/485).
Wallahu a’lam.
Kapan Mulai Melaksanakan Idhthiba’ (Membuka Bahu Kanan dan Menutup Bahu Kiri dengan Kain Ihram) dan Raml (Lari-lari Kecil)?
Pertanyaan:
Saya telah melaksanakan thawaf ifadhah pada hari raya (idul adha) setelah beranjak dari Muzdalifah langsung, yaitu: sebelum melempar jumrah Aqabah atau tahallul. Apakah pada thawaf tersebut dengan cara idhthiba’ (membuka bahu kanan dan menutup bahu kiri dengan kain ihram) karena saya masih dalam kondisi berihram ? Semoga Allah senantiasa memberikan taufik-Nya kepada anda semuanya.
Jawaban:
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah, wa ba'du:
Tidak disyari’atkan dengan cara idhthiba’ dan raml kecuali pada thawafnya umrah dan thawaf qudum bagi yang melaksanakan haji ifrad dan qiran.
Adapun pada selain dari itu maka tidak disyari’atkan.
Thawaf ifadhah tidak ada idhthiba’ dan raml, baik anda melaksanakannya dalam kondisi berihram atau tidak.
Abu Daud (2001) telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– beliau tidak melakukan raml pada ketujuh putaran dalam thawaf ifadhah”. (Telah di-tashih oleh Albani dalam Shahih Abu Daud)
Idhthiba’ adalah dengan membuka bahu sebelah kanan.
Ar Raml adalah mendekatkan jarak langkah disertai mempercepat jalannya (lari-lari kecil).
Idhthiba’ dan raml ini saling berkait. Jika disyari’atkan raml maka disyari’atkan juga idhthiba’, jika tidak raml maka tidak idhthiba’.
An Nawawi –rahimahullah– berkata di dalam Al Majmu’ (8/43):
“Idhthiba’ ini tidak terpisahkan dengan ar-raml. Pada saat disunnahkannya ar-raml maka demikian juga dengan idhthiba’, dan jika ar-raml tidak disunnahkan maka idhthiba’ juga demikian. Kalau ada perbedaan pendapat maka perbedaan tersebut juga terjadi pada ar-raml dan idhthiba’. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat.”
Beliau juga berkata:
“Ar-raml dan idhthiba’ itu berbeda dalam satu hal saja, yaitu: bahwa idhthiba’ itu disunnahkan pada tujuh kali putaran thawaf, adapun ar-raml hanya disunnahkan pada tiga putaran pertama saja, dan pada empat putaran selanjutnya dilakukan dengan berjalan biasa.” (Al Majmu’: 8/20)
Ibnu Qudamah telah menyebutkan di dalam Al Mughni (5/221) bahwa disunnahkannya idhthiba’ dan ar-raml pada thawafnya umroh dan thawaf qudum, lalu beliau berkata:
“Tidak disunnahkan ar-raml dan idhthiba’ pada saat thawaf kecuali pada apa yang telah kami sebutkan; karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan para sahabatnya mereka hanya melaksanakan ar-raml dan idhthiba’ pada kondisi tersebut”.
Telah disebutkan pada Fatawa Lajnah Daimah (11/225):
“Disunnahkan untuk melakukan idhthiba’ pada semua putaran pada saat thawaf qudum secara khusus, sebagaimana juga disyari’atkannya ar-raml pada tiga putaran pertama pada saat thawaf qudum bagi jama’ah haji dan umroh”.
Syaikh Ibnu Baaz –rahimahullah– berkata:
“Dan dilakukan dengan ar-raml pada tiga putaran pertama dari thawaf pertama, yang merupakan thawaf pertama kali mendatangi Makkah, baik karena umroh atau haji tamattu’, atau hanya berihram haji saja (haji ifrad), atau menggabungkan antara haji dan umroh (haji qiran), dan berjalan biasa pada empat putaran berikutnya. Memulai setiap kali putaran dengan langkah pendek-pendek. Dan disunnahkan untuk melakukan idhthiba’ pada semua thawaf tidak pada yang lainnya.” (Fatawa Ibnu Baaz: 16/60)
Wallaahu Ta'ala A'lam.