Bismillaahirrohmaanirrohiim
Walhamdulillaah,
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Wa ba'du
...
Perlukah Membuat Papan Sutrah Buatan?
Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama tentang masalah ini. Mayoritas ulama kontemporer melarangnya. Berikut kami bawakan fatawa para ulama dalam masalah ini.
Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad
Pertanyaan:
Di zaman kita ini banyak dibuat papan yang terbuat dari kayu, agar orang yang shalat atau orang yang membuat jama’ah kedua menjadikannya sutrah di masjid. Apakah ini termasuk bid’ah dan perkara baru dalam agama?
Beliau menjawab:
Ketika tidak ada sesuatu untuk dijadikan sutrah, dahulu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat tidak membuat benda semisal ini. Yang mereka lakukan adalah bergegas mencari tiang-tiang untuk dijadikan sutrah. Maka hendaknya seseorang yang shalat, ia menghadap kepada tiang-tiang atau kepada dinding. Adapun membuat benda seperti ini, yaitu kayu yang dibuat khusus untuk sutrah, justru akan menimbulkan kekacauan karena saling meletakkan sutrah di hadapan yang lain.
(Video youtube: https://www.youtube.com/watch?v=W6_d_WcDn4Y, diakses 26 Dzulqa’dah 1442).
Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’
Pertanyaan:
Apa hukum meletakkan sutrah di depan orang yang shalat?
Jawaban:
Menghadap sutrah ketika shalat hukumnya sunnah ketika tidak safar maupun ketika safar, baik pada shalat wajib maupun shalat sunnah, baik di masjid maupun di tempat lainnya. Berdasarkan keumuman hadis:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا
“Jika seseorang mengerjakan shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya” (HR. Abu Daud no. 698, Ibnu Majah no. 954, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no. 2875, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).
Dan juga berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim, dari hadisnya Abu Juhaifah radhiyallahu ’anhu, ia berkata:
رُكِزَتْ له عَنَزَةٌ، فَتَقَدَّمَ فَصَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ، يَمُرُّ بيْنَ يَدَيْهِ الحِمَارُ والْكَلْبُ، لا يُمْنَعُ
“Aku menancapkan ‘anazah (sejenis tombak) untuk Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Kemudian beliau maju untuk mengimami shalat zhuhur dua rakaat. Dan ketika itu keledai serta anjing lewat di depan beliau, dan beliau tidak mencegahnya” (HR. Al Bukhari no.3566, Muslim no. 503).
Demikian juga hadis riwayat Muslim dari Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu, ia berkata: bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
إذا وضَعَ أحَدُكُمْ بيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ، ولا يُبالِ مَن مَرَّ وراءَ ذلكَ
“Jika salah seorang di antara kalian meletakkan benda yang tingginya seperti mu’khiratur rahl di depannya, maka silakan shalat dan tidak perlu memedulikan apa yang lewat di luar dari benda tersebut” (HR. Muslim no.499).
Dan dianjurkan untuk mendekat kepada sutrah sebagaimana diperintahkan dalam hadis. Dan dahulu para sahabat bergegas mencari tiang-tiang masjid agar bisa shalat sunnah menghadap kepadanya. Dan hal itu terjadi pada waktu hadhar (tidak sedang safar) di dalam masjid. Dan tidak dikenal dari mereka, bahwa mereka meletakkan papan kayu di hadapan mereka papan untuk menjadi sutrah ketika shalat di dalam masjid. Yang mereka lakukan adalah shalat menghadap ke tembok masjid atau ke tiang-tiangnya.
Maka semestinya tidak takalluf (memberat-beratkan diri) dalam hal ini. Syariat Islam itu longgar dan tidak ada seorang pun yang berlebihan dalam beragama ini kecuali ia terkalahkan sendiri.
Dan perintah shalat menghadap sutrah adalah perintah yang bersifat anjuran bukan kewajiban. Berdasarkan hadis yang shahih:
رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم يُصَلِّي بمِنًى إلى غيرِ جِدارٍ
“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah shalat di Mina tanpa menghadap ke tembok” (HR. Al Bukhari no. 76, 493, 861).
Tidak disebutkan dalam hadis ini bahwa beliau menghadap sutrah.
Dan juga dalam hadis riwayat Imam Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa’i, dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma, ia berkata:
أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ صلَّى في فضاءٍ ليسَ بينَ يدَيهِ شيءٌ
“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah shalat di lapangan terbuka sedangkan di hadapan beliau tidak terdapat apa-apa” (HR. Ahmad 3/297, Al Baihaqi dalam Al Kubra 2/273. Hadis hasan).
Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, ditandatangani oleh:
Ketua : Syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah
Wakil Ketua : Syaikh Abdurrazzaq Al-‘Afifi rahimahullah
Anggota : Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud rahimahumallah
(Fatawa Al Lajnah, edisi 1 juz 7 halaman 77).
Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Pertanyaan:
Sebagian kaum Muslimin di masjid-masjid mereka membuat sutrah dengan papan kayu bagi jama’ah gelombang kedua yang datang belakangan. Bagaimana hukumnya?
Jawaban:
هذا تشجيع عن التأخر عن الصلاة ما تحط لهم شيء يشجعهم نعم ، هذا تكلف أيضا , نعم
“Ini justru akan memotivasi orang untuk datang terlambat shalat ke masjid. Janganlah membuat sesuatu yang dapat memotivasi orang untuk datang terlambat. Dan ini juga merupakan takalluf (memberat-beratkan diri). Demikian”.
(Rekaman tanya-jawab kajian kitab Al Muntaqa min Akhbar Sayyidil Mursalin, tanggal 27 Rabi’uts Tsani 1434)
Ilustrasi, sumber: umma.id |
Syaikh Ubaid Al-Jabiri
Pertanyaan:
Apa hukum membuat kotak kayu dalam untuk sutrah shalat di dalam masjid? Kami mendengar fatwa sebagian ulama bahwa itu adalah takalluf, dan ada sebagian penuntut ilmu yang mengatakan hal tersebut bid’ah.
Jawaban:
بل هِيَ بدعة، ما كان الصحابة يصنعون هذا في عهد رسول الله – صلَّى الله عليه وسلَّم وما عُرِفت في العقود السلفية المُفَضَّلة، القرون المُفَضَّلة أبدًا، هذه أُحدثت، فالسُّترة الذي تَرَجَّح لدينا أنَّها سُنَّة وليست واجبة، والمُصَلِّي لهُ مَوْضِع سجوده، فَهِي بدعةٌ وتكلُّف
“Yang benar, hal tersebut adalah bid’ah. Para sahabat tidak pernah membuat hal demikian di masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Dan tidak dikenal di masa generasi terbaik umat Islam, sama sekali. Ini perbuatan yang diada-adakan. Menghadap sutrah ketika shalat, pendapat yang kami kuatkan adalah sunnah, tidak wajib. Dan orang yang shalat, ia tidak boleh dilewati di area sujudnya (ketika tidak pakai sutrah). Maka perbuatan seperti ini adalah bid’ah dan takalluf”.
(Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=ixRQucVHX0c, diakses 28 Dzulqa’dah 1442).
Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul
Pertanyaan:
Papan kayu untuk digunakan untuk sutrah bagi orang yang shalat sendirian, yang kita dapati di sebagian masjid, apakah itu termasuk maslahah mursalah?
Jawaban:
Papan kayu tersebut yang diletakkan di sebagian masjid untuk menjadi sutrah shalat, faktor pendorong untuk membuat benda seperti ini sudah ada di zaman Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Namun ternyata Nabi dan para sahabat tidak pernah melakukannya dan tidak pernah memerintahkannya. Yang dilakukan oleh para sahabat adalah bergegas menuju tiang-tiang masjid, tidak terdapat riwayat bahwa mereka membuat suatu benda dari kayu untuk sutrah.
Maka membuat benda seperti ini termasuk khilafus sunnah. Dan ini tidak termasuk maslahah mursalah. Bahkan seharusnya kita mengikuti apa yang dicontohkan para salaf dan meninggalkan apa yang ditinggalkan para salaf. Semoga Allah memberikan taufik kepada seluruh kita untuk melakukan ketaatan.
Pertanyaan:
Bagaimana dengan menjadikan kursi yang ada di masjid sebagai sutrah?
Jawaban:
Menjadikan kursi yang ada di masjid sebagai sutrah, hukumnya tidak mengapa.
Pertanyaan:
Bagaimana pendapat anda wahai Syaikh kami yang mulia, tentang ‘anazah (semacam tombak). Apakah bisa berdalil dengan hadis-hadis tentang ‘anazah untuk membolehkan sutrah papan kayu? Semoga Allah memberi anda keberkahan.
Jawaban:
‘Anazah itu digunakan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika safar, beliau gunakan dalam shalatnya di luar masjid.
(Dikutip dari forum Al Amin As Salafiyyah: https://www.al-amen.com/vb/showthread.php?t=15912&p=31536, diakses 28 Dzulqa’dah 1442).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !