Bismillaahirrohmaanirrohiim
Walhamdulillaah,
Walhamdulillaah,
wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Muhammad Shollalloohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Wa ba'du
….
Wa ba'du
….
Nama Muhammad, Kebenaran yang Mereka Sembunyikan
Disusun oleh:
Nurfitri Hadi
Kisah berikut ini kurang lebih dapat disimpulkan melalui ayat Al-Qur'an berikut:
ٱلَّذِينَ ءَاتَيْنَٰهُمُ ٱلْكِتَٰبَ
يَعْرِفُونَهُۥ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَآءَهُمْ ۖ وَإِنَّ فَرِيقًۭا مِّنْهُمْ
لَيَكْتُمُونَ ٱلْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
"Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui."
QS. Al Baqarah [2]: 146
Kisah ini bercerita tentang Abdullah al-Majorci. Seorang mantan ulama
besar Nasrani yang menjadi seorang muslim. Abdullah hidup saat Perang
Salib masih berkecamuk. Lahir di Majorca (baca: Mayorka), Spanyol,
kemudian pindah ke Tunisia di bawah kekuasaan Daulah Hafshiyah. Ia
adalah seorang Nasrani yang taat dan tekun mempelajari agamanya. Dalam
waktu singkat, ia berhasil menghafal setengah Injil.
Namun akhirnya, ia memeluk Islam, setelah mengetahui bahwa Muhammad,
seorang nabi dari Arab, adalah nama yang disembunyikan kebenrannya oleh
pasturnya. Setelah memeluk Islam, ia mengganti namanya menjadi Abdullah
dan menulis kisah perjalanan hidupnya dalam buku Tuhfatu al-Arib fi Rad ‘ala ahli ash-Shalib.
Nama dan Laqobnya
Namanya adalah Abdullah bin Abdullah at-Tarjuman. Ini adalah nama
yang ia pilih setelah memeluk Islam. Sebelumnya, namanya adalah Anselm
Turmeda. Ia melaqobi (menjuluki) dirinya dengan tarjuman karena aktivitasnya sebagai
penerjemah sultan dalam surat-menyurat dengan bangsa Frank.
Ia dinisbatkan kepada Majorca karena kota ini adalah kota kelahirannya.
Memeluk Islam Karena Nama Muhammad Adalah Kebenaran
Dalam buku yang ia tulis yang berjudul Tuhfatu al-Arib fi Rad ‘ala ahli ash-Shalib, Abdullah al-Majorci menceritakan kisah keislamannya:
---------
Aku adalah seorang yang berasal dari Majorca -semoga Allah
mengembalikannya kepada Islam-. Majorca adalah kota besar di pesisir
laut Spanyol. Sebuah kota yang diapit dua gunung. Kota yang terdapat
dataran rendah yang kecil. Itulah kota para pedangang. Banyak
kapal-kapal besar bermuara, berniaga di pinggir lautnya. Hutannya adalah
hutan zaitun dan tin. Dan pagarnya adalah 120 benteng lebih
mengelilingi kota ini. Kota ini dimakmuri oleh banyak mata air. Semuanya
berhilir ke lautan.
Ayahku adalah orang yang tinggal di perkotaan Majorca. Ia tidak
memiliki anak kecuali aku. Ketika usiaku menginjak 6 tahun, ayah
menyerahkan pendidikanku kepada seorang pastur. Aku membaca Injil di
hadapan pastur itu. Hingga aku berhasil menghafal setengahnya hanya
dalam waktu 2 tahun. Setelah itu, aku mempelajari bahasa Injil dan ilmu
logika bahasa (mantiq), padahal saat itu usiaku masih 6 tahun.
Dari Majorca, aku pindah ke Kota Lleida, wilayah Catalonia (Catalunya). Pada masa
itu, kota ini adalah kota ilmu bagi orang-orang Nasrani. Setiap 1000
atau 1500 orang pelajar Nasrani yang tinggal di sana, dipimpin oleh
seorang Romo. Di sana aku mempelajari ilmu pasti selama enam tahun,
kemudian mempelajari Injil dengan bahasa aslinya selama empat tahun.
Setelah menimba ilmu di Lleida, Abdullah pindah ke Balunia (Arab:
بلونية) di wilayah al-Anbardiyah (Arab: الأنبردية). Kota ini juga
merupakan kota pelajar Nasrani di zamannya. Setiap tahun 1000 orang
lebih penuntut ilmu Nasrani datang dari segala penjuru untuk belajar di
kota ini. Di sini Abdullah tinggal di gereja, dibawah pengasuhan Uskup
Agung Nicole Martel. Nicole Martel memiliki kedudukan ilmu, agama, dan
kezuhudan yang sangat tinggi di masyarakat. Ia sangat istimewa
dibanding uskup-uskup lainnya.
Abdullah al-Majorci bercerita tentang hubungannya dengan Nicole
Martel:
Di bawah pengasuhan Nicole Martel, aku mempelajari pokok-pokok
agama Nasrani dan hukum-hukumnya. Aku senantiasa dekat dengannya.
Mengabdikan diri melayaninya. Dan mewakilinya dalam banyak kesempatan.
Hingga aku pun menjadi murid kesayangannya. Puncak itu semua, ia
serahkan padaku kunci-kunci rumahnya, perbendaharaan hartanya, tempat
makan dan minumnya. Semuanya berada di tanganku. Kecuali satu kunci
saja. Kunci sebuah ruangan kecil di dalam rumahnya yang biasa ia gunakan
untuk menyendiri. Dugaanku, ruang itu adalah ruang harta-harta yang ia
dapatkan dari hadiah dan pemberian. Aku tidak tahu persisnya.
Aku terus berguru dan mengabdi pada Nicole Martel selama 10 tahun.
Hingga tiba suatu waktu, ia menderita sakit. Ia tidak bisa menghadiri
pertemuan dengan uskup-uskup lainnya sebagaimana yang biasa ia lakukan.
Para uskup mengadakan diskusi dan kajian keagamaan, sambil menunggu
kehadirannya. Mereka sampai pada firman Allah ﷻ di Injil, tentang
perkataan Nabi Isa, “Sesungguhnya akan datang setelahnya seorang nabi,
namanya al-Baraqlith (Arab: البارَقليط)”.
Mereka terus berdiskusi, siapakah Nabi ini. Nabi yang dimaksud Injil
akan datang setelah Isa. Setiap orang berbicara dan mengeluarkan
pendapat sesuai dengan kadar ilmu dan pemahamannya. Perdebatan akan nama
ini kian seru, namun diskusi berakhir tanpa titik temu.
Setelah itu aku datang menemui Nicole Martel. Ia bertanya padaku,
“Apa yang kalian diskusikan pada hari ini, saat aku tidak hadir?”
Kukabarkan padanya bahwa para uskup berselisih pendapat tentang nama
al-Baraqlith. Fulan menjawab demikian. Dan Fulan menyebutkan nama yang
lain. “Lalu apa pendapatmu?” tanyanya padaku. “Aku menjawab dengan
jawaban Qadhi Fulan dalam tafsirnya terhadap Injil”, jawabku.
Kemudian ia berkata, “Engkau keliru. Fulan juga keliru. Dan Fulan
lebih mendekati kebenaran. Namun yang benar, bukanlah nama-nama yang
kalian sebutkan (dalam dikusi). Karena tidak ada yang mengetahui tafsir
tentang nama yang mulia ini kecuali seorang ulama yang mendalam ilmunya.
Kalian belum sampai level itu. Ilmu kalian masih sedikit.”
Aku segera mencium kakinya, dan berkata, “Wahai tuanku, Anda tahu aku
berjalan dari negeri yang jauh demi belajar kepadamu. Aku juga telah
mengabdi kepadamu selama 10 tahun. Aku telah mendapatkan banyak
pengetahuan darimu yang aku tidak mampu menghitung banyaknya.
Mudah-mudahan dengan kebaikanmu, kiranya engkau mau memberi tahu tentang
tafsir nama itu.”
Tiba-tiba ia menangis. Lalu berkata kepadaku, “Wahai anakku, demi
Allah engkau telah banyak memuliakanku dengan pengabdian dan
pelayananmu. Tapi, aku khawatir jika nama ini kuberitahukan padamu
engkau akan dibunuh (atau dimusuhi) oleh orang-orang Nasrani dari segala
penjuru.”
“Tuan, demi Allah Yang Maha Agung, dan atas hak Injil serta apa yang
dikandungnya, aku tidak mengatakan sesuatu kecuali atas perintahmu.”,
jawabku meyakinkannya.
Ia berkata, “Wahai anakku, dulu aku pernah bertanya padamu saat
pertama kali kau datang padaku dari negerimu, ‘Apakah tempat tinggalmu
dekat dengan orang-orang Islam? Apakah mereka memerangi kalian dan
kalian memerangi mereka? Semua itu untuk mengujimu seberapa jauh engkau
benci dengan Islam. Ketahuilah wahai anakku, bahwa al-Baraqlith adalah
nama nabi mereka (umat Islam), Muhammad. Kepadanyalah diturunkan
al-Kitab (Alquran) yang keempat, yang disebutkan melalui lisan Danial ‘alaihissalam.
Ia mengabarkan pada kita bahwa itu akan diturunkan padanya. Agamanya adalah
agama kebenaran. Dan millah-nya adalah millah yang putih sebagaimana yang
disebutkan di dalam Injil”.
Aku berkata padanya, “Tuan, bagaimana solusi dari masalah ini?”
Abdullah bingung, sementara ia mempelajari Nasrani, hidup di lingkungan
Nasrani, dan berguru kepada ulama besar Nasrani, tapi kebenaran ada pada
Islam.
“Masuklah ke dalam agama Islam, wahai anakku”, jawabnya.
“Apakah keselamatan itu dengan memeluk Islam?” tanyaku.
“Betul. Selamat di dunia dan akhirat.”, jawabnya.
“Tuan, sesungguhnya orang yang cerdas memilih yang terbaik dari yang
dia ketahui. Jika Anda mengetahui kemuliaan agama Islam, apa yang
menghalangimu darinya?” tanyaku lagi.
Ia menjawab, “Anakku, sesungguhnya Allah belum menunjukkanku tentang
apa yang kusampaikan kepadamu berupa keagungan Islam dan kemuliaan nabi
umat Islam kecuali saat aku telah tua dan fisikku sudah melemah. Memang
tidak ada udzur bagiku, bahkan itulah hujjah Allah untukku. Seandainya
aku mengetahuinya ketika seumurmu, akan kutinggalkan segalanya. Aku akan
memeluk agama yang benar ini. Dan cinta dunia adalah pokok dari segala
keburukan.”
Maksud Nicole Martel, di kondisi tuanya jauh lebih sulit untuk
memeluk Islam. Ia telah memiliki kedudukan. Seorang yang memiliki
kedudukan lebih sulit untuk mengatakan kebenaran. Resiko yang ia
tanggung lebih besar. Namun ia sadar itu bukanlah alasan. Kedudukan,
penghormatan, harta, dan semua bagian dunia telah terlanjur mengecap di
hatinya. Ia sadar cinta dunia adalah pokok keburukan.
Pelajaran bagi kita, belajarlah agama Islam sebelum kita menjadi
siapa-siapa. Ketika kita sudah berkedudukan. Memiliki gelar akademik
yang tinggi. Memiliki masa yang banyak. Maka gengsi untuk menerima
kebenaran lebih besar. Apalagi kebenaran datang lewat orang yang lebih
rendah kedudukannya dari kita. Datang dari mereka yang level
pendidikannya jauh di bawah. Atau dari mereka yang miskin. Atau dari
mereka yang jabatannya jauh di bawah. Belajarlah agama selagi Anda bukan
siapa-siapa.
Abdullah al-Majorci melanjutkan.
Kukatakan padanya, “Tuan, apakah
engkau memerintahkanku untuk pergi menuju negeri kaum muslimin dan
memeluk agama mereka?”
“Jika engkau cerdas dan berharap selamat, segera lakukan itu. Engkau akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat,” jawabnya. “Akan tetapi anakku, apa yang kita bicarakan sekarang ini tidak
disaksikan seorang pun selain kita. Sembunyikan ini sekuat kemampuanmu.
Apabila engkau sebarkan, aku akan mendustakan semua ucapanmu. Aku tidak
butuh pertolonganmu. Dan tidak manfaat bagimu menukil ucapanku tentang
hal ini (di tengah-tengah umat Nasrani).”
Ia memberi peringatan.
Maksudnya orang-orang tidak akan mempercayaimu kalau engkau mendengar
hal itu dariku. Dan aku juga akan mendustakan ucapanmu di hadapan
mereka. Jadi, engkau sendiri yang akan rugi dan menderita.
“Tuanku, aku berlindung kepada Allah dari yang demikian,” kuucapkan janjiku sesuai yang dia inginkan.
Kemudian aku pamit kepadanya dan mulai menempuh cara untuk keluar
dari daerah ini. Ia mendoakan kebaikan untukku dan membekaliku dengan 50
Dinar emas. Aku menempuh perjalanan laut, kembali ke kampung halamanku,
Majorca.
Di Majorca, aku tinggal bersama orang tuaku selama 6 bulan. Setelah
itu aku pergi menuju Pulau Sisilia dan tinggal di sana selama 5 bulan
sambil menunggu tumpangan yang hendak pergi menuju negeri kaum muslimin.
Kendaraan yang kutunggu-tunggu pun tiba, dari Sisilia aku bersafar
menuju Tunisia. Ketika aku sampai di Tunisia, ada rahib-rahib Nasrani
yang mendengar kedatanganku. Mereka pun mendatangiku dan membawaku ke
tempat mereka. Aku pun tinggal bersama mereka selama 4 bulan. Setelah
itu aku bertanya kepada mereka, “Apakah di negeri ini, penguasanya
menjamin lisannya seorang Nasrani?”
Saat itu, sultan yang berkuasa di Tunisia adalah Abu al-Abbas Ahmad
rahimahullah. Mereka memberitahuku bahwa penguasa negeri ini adalah
penguasa yang baik. Salah seorang terdekatnya adalah Yusuf ath-Thayyib.
Ia dikenal dengan kebaikannya. Aku pun sangat senang mendengar kabar
tersebut.
Aku juga bertanya kepada mereka tempat laki-laki yang baik itu.
Mereka menunjukkanku kediamannya. Aku pun menemuinya. Kujelaskan padanya
tentang keadaanku dan sebab kedatanganku adalah untuk memeluk Islam.
Laki-laki tersebut sangat gembira mendengar apa yang kukatakan. Ia ingin
menyempurnakan kebaikan tersebut melalui dirinya sendiri. Lalu aku
dipersilahkan menunggangi kudanya. Dan membawaku ke rumah Sultan Abu
al-Abbas.
Sesampainya di rumah sultan, Yusuf al-Khoir mengabarkan sultan
tentang diriku. Aku meminta izin sultan untuk tinggal di wilayahnya, dan
ia pun mengizinkannya. Hal pertama yang ditanyakan sultan kepadaku
adalah tentang umurku. Kujawab, “Umurku 35 tahun.”
Kemudian ia bertanya, ilmu pengetahuan apa saja yang sudah
kupelajari. Aku pun menjawabnya. Ia berkata, “Anda datang dengan niat
baik. Masuk Islamlah dengan barokah dari Allah.”
Aku katakan kepada Yusuf, yang saat itu menjadi penerjemahku,
“Katakan kepada Sultan, ‘Seseorang yang keluar dari suatu agama, maka
para pemeluk agama tersebut akan menggunjingnya dan mencelanya. Aku
berharap dengan kebaikan Anda agar kiranya mengumpulkan para pedagang
Nasrani dan rahib-rahib mereka dan Anda mendengar apa yang mereka
ucapkan di hadapanku. Saat itu aku umumkan keislamanku insya Allah.”
Ia menjawab melalui penerjemahnya, “Anda meminta seperti apa yang
diminta Abdullah bin Salam kepada Nabi ﷺ saat ia hendak memeluk Islam.
Rasulullah pun mengumpulkan para rahib Yahudi dan pedagang-pedagang
mereka.”
Lalu sultan memasukkanku di sebuah ruangan dekat dengan majelisnya.
Ketika orang-orang Nasrani datang, ia berkata kepada mereka, “Apa
pendapat kalian tentang pastur (yakni Abdullah al-Majorci), yang baru
saja datang tadi?”
Mereka menjawab, “Wahai tuan kami, dia adalah ulama besar agama kami.
Sesepuh kami mengatakan bahwa mereka tidak melihat ada orang yang lebih
tinggi derajat keilmuannya melebihi dia dalam agama kami.”
Sultan kembali bertanya, “Apa yang akan kalian katakan jika dia memeluk Islam?”
“Kami berlindung kepada Allah dari yang demikian. Dia tidak akan melakukan hal itu”, jawab mereka.
Ketika sultan telah mendengar ucapan orang-orang Nasrani, ia pun
memanggilku. Aku pun hadir di hadapannya. Aku pun mengucapkan dua
kalimat syahadat dengan tulus di hadapan orang-orang Nasrani itu.
Syahadatku seolah-olah menampar wajah-wajah mereka.
Serta-merta mereka menuduhku, “Dia mengucapkan hal itu karena ingin menikah. Karena pastur-pastur kami tidak menikah.”
Mereka pun keluar dari ruangan dengan kecewa dan bersedih hati.
Setelah itu sultan memberiku empat dinar setiap harinya dan menikahkanku
dengan putri al-Haj Muhammad ash-Sahffar. Saat aku hendak menikah,
sultan menghadiahkanku 100 dinar emas dan memberikan sesetel pakaian
baru. Dan aku pun menikah. Dari pernikahan tersebut aku memiliki
beberapa anak. Di antaranya kuberi nama Muhammad. Aku berharap
keberkahan menamainya dengan nama Nabi kita, Muhammad ﷺ.
Penutup
Syaikh Abdul Wahhab an-Najjar, salah seorang ulama Al-Azhar, berkisah
tentang kata al-Bariqlith dalam kitabnya Qishash al-Anbiya. Dalam
bukunya itu, ia menceritakan pernah berjumpa dengan salah seorang ahli
bahasa Yunani kuno, Pastur Carlo Nino. Karena Injil ditulis dengan
bahasa Yunani.
Syaikh bertanya kepada Pastur Carlo Nino, “Apa arti kata
al-Bariqlithus dalam Bahasa Yunani kuno?”
Ia menjawab, “al-Mu’azzi
(pemberi kabar gembira)”.
Syaikh menanggapi, “Terangkan maknanya secara
harfiyah dalam bahasa Yunani kuno!”
Pastur Carlo Nino menjawab,
“al-Bariqlithus adalah yang banyak pujian.”
Kemudian Syaikh menanggapi, “Apakah Anda percaya dengan Muhammad
(yang artinya yang terpuji)?"
“Anda terlalu banyak bertanya”, jawabnya.
Kemudian ia pun meninggalkan Syaikh Abdul Wahhab an-Najjar.
Daftar Pustaka:
– at-Tarjuman, Abdullah. 1988. Tuhfatu al-Arib fi Rad ‘ala ahli ash-Shalib. Beirut: Dar al-Basya-ir al-Islamiyah.
*****
Sumber: kisahmuslim.com
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !