Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

04 April 2025

FILE 460 : Urutan Ahli Waris dalam Islam

Bismillaahirrohmaanirrohiim             

Walhamdulillaah,      

Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            

Wa ba'du

...

Daftar Ahli Waris Lengkap dalam Islam

Dijawab oleh:
Ust. Mu’tashim, Lc. MA. hafidhahullaah
 
  

Pertanyaan:

Bismillah. Semoga Allah selalu mudahkan urusan ustadz dan keluarga.

Izin bertanya ustadz. Bapak saya rahimahullah pernah menikahi seorang wanita, namun bapak saya rahimahullah bercerai dengan wanita tersebut. Wanita tersebut menikah lagi dan mempunyai anak, dan qadarullah anaknya meninggal beberapa tahun lalu.

Pertanyaan saya, dikarenakan dari pihak wanita tersebut sudah tidak ada suami, anak sudah meninggal, lalu yang paling berhak mendapat hak waris (wanita) tersebut siapa? Dan berapa jumlah pembagian waris sesuai syariat? Barakallah fiikum.

(Ditanyakan oleh Santri Kuliah Islam Online Ma'had BIAS)


Jawaban:

Bismillah

Aamiin, semoga juga Allah berikan kebahagiaan kepada kita semua.

Islam Telah Mengatur secara Rinci Perkara Waris

Di dalam masalah waris, Islam telah menjelaskan secara rinci siapa dan berapa bagian yang akan didapatkan. Ketika seseorang meninggal dan meninggalkan warisan, maka harus dilihat kembali orang-orang yang berhak mendapatkan warisan.

Tidak semua yang berhubungan nasab atau kerabat atau pernikahan mendapatkan bagian warisan. Tak hanya dari kalangan lelaki akan mendapatkan warisan, bisa dari kalangan perempuan sekalipun ada juga.

Daftar ahli waris dari kalangan lelaki berjumlah 15 orang, sedangkan dari kalangan perempuan berjumlah 11 orang.

Daftar Ahli Waris dari Golongan Laki-Laki

Orang-orang yang berhak mendapatkan harta waris dari kalangan laki-laki adalah:

1. Anak lelaki

2. Cucu lelaki dari anak lelaki, dan seterusnya dari keturunannya yang lelaki

3. Bapak

4. Kakek (dari pihak bapak) dan ke atasnya dari jalur lelaki

5. Suami

6. Saudara lelaki sekandung

7. Saudara lelaki sebapak

8. Saudara lelaki seibu

9. Anak lelaki dari saudara lelaki sekandung (keponakan), dan seterusnya dari keturunannya yang lelaki

10. Anak lelaki dari saudara lelaki sebapak (keponakan), dan seterusnya dari keturunannya yang lelaki

11. Paman (saudara bapak sekandung)

12. Paman (saudara bapak sebapak)

13. Anak lelaki dari paman/saudara bapak sekandung (sepupu), dan seterusnya dari keturunannya yang lelaki

14. Anak lelaki dari paman/saudara bapak sebapak (sepupu), dan seterusnya dari keturunannya yang lelaki

15. Seorang lelaki yang membebaskan budak (mu’tiq), dan ashabah-nya dari jenis ‘ashabah bin-nafsi.

Jika diandaikan semuanya terkumpul dalam satu masalah waris, maka yang berhak mendapatkan harta waris dari mereka adalah anak lelaki, bapak, dan suami

(Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 65-67 dan Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh hal. 62-63)

Ilustrasi, sumber: robith.hepidev.com


Daftar Ahli Waris dari Golongan Perempuan

Sedangkan orang-orang yang berhak mendapatkan harta waris dari kalangan perempuan adalah:

1. Ibu

2. Anak perempuan

3. Cucu perempuan dari anak lelaki, dan seterusnya dari keturunan perempuan yang melalui jalur lelaki

4. Nenek dari pihak ibu, dan ke atasnya dari jenis perempuan

5. Nenek dari pihak bapak

6. Ibunya kakek dari pihak bapak (buyut perempuan)

7. Saudara perempuan sekandung

8. Saudara perempuan sebapak

9. Saudara perempuan seibu

10. Istri, walaupun lebih dari satu

11. Seorang perempuan yang membebaskan budak (mu’tiqah).

Jika dimisalkan semuanya terkumpul dalam satu masalah waris, maka yang berhak mendapatkan harta waris dari mereka adalah ibu, anak perempuan, cucu perempuan dari anak lelaki, istri, dan saudara perempuan sekandung.

Adapun jika diandaikan semua ahli waris tersebut baik dari kalangan lelaki maupun perempuan terkumpul dalam satu masalah waris, maka yang berhak mendapatkan harta waris adalah bapak, anak lelaki, suami atau istri, ibu, dan anak perempuan.

(Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 68 dan Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh, hal. 62-63)


Bagaimana Bila Tiada Ahli Waris yang Masih Hidup?

Jika ternyata tidak ada sama sekali dari orang-orang di atas, maka harta warisan diberikan kepada baitul maal/pengadilan yang akan mengarahkan atau mengelola harta tersebut.

Karenanya kembali melihat siapa-siapa yang masih ada, dari situ akan didapatkan berapa bagian yang akan didapat.

Terkait dengan wasiat di luar dari bagian yang diberikan kepada ahli waris, maka hanya sebesar 1/3 bagian harta warisan yang bisa dibagikan, tidak boleh lebih dari 1/3. Di antaranya bagian yang diberikan kepada masjid, anak yatim, atau diberikan kepada selain ahli waris yang mendapatkan warisan.

Karena itulah ketika Sa’ad bin Abi Waqqash meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mewasiatkan dua pertiga hartanya, beliau berkata, “Tidak boleh”, Lalu Sa’ad berkata, “Setengahnya”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Tidak boleh”, Lalu Sa’ad berkata lagi, “Kalau begitu sepertiganya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ – إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ

Sepertiga. Sepertiganya itu cukup banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya (cukup) itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga meminta-minta kepada orang lain”. (HR. Al-Bukhari, kitab Al-Janaiz no. 1295, dan Muslim, kitab Al-Washiyyah no. 1628)

Terkait dengan bolehnya memanfaatkan sebagian harta dari praktik wasiat benar dari seseorang yang meninggal maka pada dasarnya adalah boleh selama tidak diambilkan dari harta yang haram/di luar bagiannya.

Wallaahu a'lam.

******

Sumberbimbinganislam.com 
 
Baca Juga:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

03 Maret 2025

FILE 459 : Adab kepada Pemimpin atau Penguasa Kaum Muslimin

Bismillaahirrohmaanirrohiim             

Walhamdulillaah,      

Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            

Wa ba'du

...

Etika Terhadap Pemimpin

Disusun oleh:
Ust. Abu Bakar hafidhahullaah
 

Suatu masyarakat haruslah ada pemimpinnya, baik itu seorang yang pantas maupun tidak pantas untuk memimpin. Hal itu karena adanya pemimpin akan sangat berpengaruh kepada keamanan rakyat dan stabilitas negara. Jika bangsa aman, maka rakyat akan dapat beribadah dengan tenang. Oleh karenanya, para salaf mengatakan, “Tujuh puluh tahun berada dibawah pemimpin yang zalim lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin.”


Namun sering kali jika yang memimpin tidak sesuai dengan kehendak, kemudian terasa berat untuk mentaatinya, sekalipun dalam hal yang ma’ruf. Maka sikap ini tidaklah sesuai dengan etika Islam. Karena itu hendaknya setiap muslim mengetahui adab terhadap pemimpin agar menjadi rakyat yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala


Di antara adab tersebut adalah:


1. Mendoakan pemimpin


Imam Al-Barbahari berkata, “Jika engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan bagi penguasa maka ia adalah pengikut hawa nafsu. Dan bila engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan bagi penguasa, maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut sunnah.” (Syarhus Sunnah, hal. 328)


Imam Ahmad mengatakan, “Saya selalu mendoakan penguasa siang dan malam agar diberikan kelurusan dan taufik, karena saya menganggap itu suatu kewajiban.” (As-Sunnah Al-Khallal, hal 82-83)


2. Menghormati dan memuliakannya


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penguasa adalah naungan Allah di bumi. Barang siapa yang memuliakannya maka Allah akan memuliakan orang itu, dan barang siapa yang menghinakannya, maka Allah akan menghinakan orang tersebut.” (HR. Ahmad 5/42, At-Tirmidzi: 2225, As-Shahihah 5/376)


Sahl bin Abdullah At-Tusturi berkata, “Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka memuliakan penguasa dan ulama, karena jika dua orang ini dimuliakan maka akan baik dunia dan akhirat mereka, dan jika keduanya diremehkan maka akan rusak dunia dan akhirat mereka.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Al-Qurthubi 5/260)


Thawus mengatakan, “Termasuk sunnah, memuliakan empat orang: orang alim, orang yang sudah tua, penguasa, dan kedua orang tua.” (Syarhus sunnah, Al-Baghawi 13/41)


3. Mendengar dan taat


Perintah untuk menaati pemimpin sangat banyak, sekalipun pemimpin tersebut sewenang-wenang. Di antaranya hadis Abdullah bin Umar radiyallaahu anhumaa, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “”Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat, tatkala senang maupun benci. Jika disuruh kepada maksiat, maka tidak boleh mendengar dan taat.” (Muttafaq ‘Alaih)


Umar bin Khattab radliyallaahu 'anhu mengatakan, “Tidak ada Islam kecuali dengan jamaah, tidak ada jamaah kecuali dengan pemimpin, dan tidak ada pemimpin kecuali harus ditaati.” (Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 1/62)


4. Menasehati dan meluruskan pemimpin dengan rahasia


Etika ini hendaknya diperhatikan bagi yang ingin menasihati pemimpin, sebagaimana Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang ingin menasihati pemimpin maka janganlah ia memulai dengan terang-terangan. Namun hendaknya ia ambil tangannya, kemudian bicara empat mata. Jika diterima maka itulah (yang diharapkan), jika tidak maka ia telah melaksanakan kewajibannya.” (HR. Ahmad 3/303. Ath-Thabrani 17/367, dishahihkan oleh Al-Albani)


Imam Malik mengatakan, “Merupakan kewajiban bagi seorang muslim yang telah diberikan ilmu oleh Allah dan pemahaman untuk menemui penguasa, menyuruh mereka dengan kebaikan, mencegahnya dari kemungkaran, dan menasihatinya. Sebab, seorang alim menemui penguasa hanya untuk menasihatinya. Dan jika itu telah dilakukan maka termasuk keutamaan di atas keutamaan.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah fi Bayani Haqqi ar-Ra’i war Ra’iyyah, hal. 66)


Tapi janganlah ia menceritakan kepada khalayak bahwa ia telah menasihati pemimpin, karena itu termasuk ciri-ciri riya’ dan lemahnya iman. (Ar-Riyadhun Nadhirah, 49-50)


5. Membantunya


Rakyat wajib membantu pemimpinnya dalam kebaikan, sekalipun haknya dikurangi. Karena menolongnya akan membuat agama dan kaum muslimin menjadi kuat, lebih-lebih kalau ada sebagian rakyat yang ingin meneror dan memberontak kepadanya. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, Barang siapa yang mendatangi kalian, ingin mematahkan kekuatan kalian atau memecah belah kalian, sedangkan kalian mempunyai pemimpin, maka bunuhlah.” (HR. Muslim: 1852)


Ilustrasi, sumber: muslim.or.id



6. Banyak beristighfar tatkala diberikan pemimpin tidak baik


Ketahuilah, bahwa urusan kekuasaan, kedudukan, dan kerajaan adalah milik Allah (QS. Ali Imran: 26). Allah juga menyebutkan, bahwa keadaan rakyat itulah yang menentukan siapa pemimpin mereka. 


Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (QS. An-Nur: 55)


Rahasia dari semua itu, bahwa baik atau tidaknya pemimpin, tergantung sejauh mana rakyatnya berpegang kepada syariat Islam


Muhammad Haqqi menjelaskan dalam tafsirnya,  “Jika kalian adalah ahli ketaatan, maka kalian akan dipimpin oleh orang yang penuh rahmat. Jika kalian adalah ahli maksiat, kalian akan dipimpin oleh orang yang suka menindas.”


Kondisi rakyat yang rusak agama dan akhlaknya sangat berpengaruh kepada keadaan penguasanya. 


Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk memberitahukan orang-orang tentang Lailatul Qadar, kemudian ada dua muslim bertengkar. Nabi bersabda, “’Saya keluar untuk memberitahukan tentang Lailatul Qadar, kemudian si fulan dan fulan bertengkar. Dan ilmu tentang itu sudah diangkat, dan bisa jadi itu baik bagi kalian.” (HR. Al-Bukhori: 1919)


Dari seseorang yang pernah ikut shalat Shubuh bersama Rasulullah, lalu beliau ragu-ragu pada suatu ayat. Setelah salam beliau bersabda, “Sesungguhnya telah dirancukan kepadaku Al-Quran, karena dari beberapa orang di antara kalian yang ikut shalat bersama kita tidak menyempurnakan wudhunya.” (HR. Ahmad: 15914, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib: 222)


Perhatikanlah, bagaimana Nabi dilupakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala suatu ilmu yang sangat agung, yaitu tentang Lailatul Qadar, gara-gara ada sahabat yang bertengkar. Beliau pun kacau bacaannya sebab makmumnya ada yang tidak menyempurnakan wudhu!


Bagaimana lagi jika rakyat akidahnya rusak, ibadahnya jauh dari sunnah, kemudian rakyat ingin pemimpin yang shalih?! 


Bukankah Bani Israil diubah menjadi kera ketika dipimpin oleh manusia terbaik (Nabi Musa) dan belum dikutuk tatkala dipimpin oleh Fir’aun?! Di satu sisi, itulah hukuman bagi mereka. Sedangkan bagi rakyat yang shalih itu termasuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya, "Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. Al-Anfal: 25)


Jika mereka bersabar maka itu akan menghapus dosa yang telah lalu. Al-Baji (Al-Muntaqa Syarh Al-Muwaththa: 615) mengatakan, “Terkadang sekelompok orang melakukan perbuatan dosa yang hukumannya akan merembes di dunia kepada orang lain yang tidak melakukan dosa tersebut. Adapun di akhirat, seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain.”


Wallahul musta’an.

Sumber: Ustadz Abu Bakar dalam Majalah Al-Mawaddah, Vol. 79, Muharram 1436 H.


******

Sumberkonsultasisyariah.com 
 
File terkait:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

02 Februari 2025

FILE 458 : Kesyirikan karena Cinta

Bismillaahirrohmaanirrohiim             

Walhamdulillaah,      

Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            

Wa ba'du

...

Cinta, Sumber Terjadinya Syirik

Disusun oleh:
Ust. Ari Wahyudi, S.Si. hafidhahullaah
 

‘Cinta bikin orang gila’, begitu kata sebagian orang. Barangkali ada benarnya. Buktinya, banyak kita saksikan para pemuda atau pemudi yang rela melanggar aturan-aturan agama demi mencari keridaan pacarnya. Alasan mereka, ‘cinta itu membutuhkan pengorbanan’. 

Kalau berkorban harta atau bahkan nyawa untuk membela agama Allah, tentu tidak kita ingkari. Namun, bagaimana jika yang dikorbankan adalah syari'at Islam dan yang dicari bukan keridaan Ar-Rahman? Semoga tulisan yang ringkas ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita bersama, agar cinta yang mengalir di peredaran darah kita tidak berubah menjadi bencana.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن یَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادࣰا یُحِبُّونَهُمۡ كَحُبِّ ٱللَّهِۖ وَٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَشَدُّ حُبࣰّا لِّلَّهِۗ وَلَوۡ یَرَى ٱلَّذِینَ ظَلَمُوۤا۟ إِذۡ یَرَوۡنَ ٱلۡعَذَابَ أَنَّ ٱلۡقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِیعࣰا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِیدُ ٱلۡعَذَابِ

Di antara manusia ada yang mencintai sekutu-sekutu selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beiman lebih dalam cintanya kepada Allah. Seandainya orang-orang yang zalim itu menyaksikan tatkala mereka melihat azab (pada hari kiamat) bahwa sesungguhnya seluruh kekuatan adalah milik Allah dan bahwa Allah sangat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al-Baqarah: 165)

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “Allah menceritakan bahwa mereka (orang musyrik) mencintai pujaan-pujaan mereka (sesembahan tandingan itu) sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Maka, hal itu menunjukkan bahwa mereka juga mencintai Allah dengan kecintaan yang sangat besar. Akan tetapi, hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam. Lalu, bagaimana jadinya orang yang mencintai pujaan (selain Allah) dengan rasa cinta yang lebih besar daripada kecintaan kepada Allah? Lalu, apa jadinya orang yang hanya mencintai pujaan tandingan itu dan sama sekali tidak mencintai Allah?” (sebagaimana dinukil dalam Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 7)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Allah Ta’ala menyebutkan tentang kondisi orang-orang musyrik ketika hidup di dunia dan ketika berada di akhirat. Mereka itu telah mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah, yaitu (sesembahan-sesembahan) tandingan. Mereka menyembahnya di samping menyembah Allah. Dan mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Dia itu adalah Allah yang tidak ada sesembahan yang hak, kecuali Dia. Tidak ada yang sanggup menentang-Nya. Tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan tiada sekutu bersama-Nya.

Di dalam Ash-Shahihain (Sahih Bukhari dan Muslim) dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu, dia berkata, ‘Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, dosa apakah yang terbesar?’ Beliau menjawab, ‘Yaitu engkau mengangkat selain Allah sebagai sekutu bagi-Nya, padahal Dialah yang menciptakanmu.’ 

Sedangkan firman Allah, ‘Adapun orang-orang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.’ Hal itu dikarenakan kecintaan mereka (orang yang beriman) ikhlas untuk Allah dan karena kesempurnaan mereka dalam mengenali-Nya, penghormatan, dan tauhid mereka kepada-Nya. Mereka tidak mempersekutukan apapun dengan-Nya. Akan tetapi, mereka hanya menyembah-Nya semata, bertawakal kepada-Nya, dan mengembalikan segala urusan kepada-Nya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1: 262).

Ilustrasi, sumber: facebook Surabaya Mengaji

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala mengabarkan bahwasanya barangsiapa yang mencintai sesuatu selain Allah sebagaimana mencintai Allah Ta’ala, maka dia termasuk kategori orang yang telah menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Syirik ini terjadi dalam hal kecintaan, bukan dalam hal penciptaan dan rububiyah. Karena sesungguhnya mayoritas penduduk bumi ini telah mengangkat selain Allah sebagai sekutu dalam perkara cinta dan pengagungan.” (dinukil dari Fathul Majid, hal. 320)

Syekh Hamad bin ‘Atiq rahimahullah menjelaskan, “Orang-orang musyrik itu menyetarakan sesembahan mereka dengan Allah dalam hal kecintaan dan pengagungan. Inilah pemaknaan ayat tersebut sebagaimana dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah…” (Ibthaalu Tandiid, hal. 180)

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Penyetaraan semacam itulah yang disebutkan di dalam firman Allah Ta’ala tatkala menceritakan penyesalan mereka di akhirat ketika berada di neraka. Mereka berkata kepada sesembahan-sesembahan dan sekutu-sekutu mereka dalam keadaan mereka sama-sama mendapatkan azab,

تَٱللَّهِ إِن كُنَّا لَفِی ضَلَـٰلࣲ مُّبِینٍ إِذۡ نُسَوِّیكُم بِرَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ

Demi Allah, dahulu kami di dunia berada dalam kesesatan yang nyata, karena kami mempersamakan kamu dengan Rabb semesta alam.” (QS. Asy-Syu’ara’: 97-98)

Telah dimaklumi bersama, bahwasanya mereka bukan menyejajarkan sesembahan mereka dengan Rabbul ‘alamin dalam hal penciptaan dan rububiyah. Namun, mereka hanya menyejajarkan pujaan-pujaan itu dengan Allah dalam hal cinta dan pengagungan.” (dinukil dari Fathul Majid, hal. 320-321)

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Kecintaan orang-orang yang beriman lebih dalam dikarenakan kecintaan tersebut adalah kecintaan yang murni yang tidak terdapat noda syirik di dalamnya. Sehingga kecintaan orang-orang yang beriman menjadi lebih dalam daripada kecintaan mereka (orang-orang kafir) kepada Allah.” (Al-Qaul Al-Mufid, 2: 4-5)

Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa makna ‘orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah’ yaitu apabila dibandingkan dengan kecintaan para pengangkat tandingan itu terhadap sekutu-sekutu mereka. Karena orang-orang yang beriman itu memurnikan cinta untuk Allah, sedangkan mereka mempersekutukan-Nya. Selain itu, mereka juga mencintai sesuatu yang memang layak untuk dicintai, dan kecintaan kepada-Nya merupakan sumber kebaikan, kebahagiaan, dan kemenangan hamba. Adapun orang-orang musyrik itu telah mencintai sesuatu yang pada hakikatnya tidak berhak sama sekali untuk dicintai. Dan mencintai tandingan-tandingan itu justru menjadi sumber kebinasaan dan kehancuran hamba serta tercerai-cerainya urusannya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 80)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sumber terjadinya kesyirikan terhadap Allah adalah syirik dalam perkara cinta. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن یَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادࣰا یُحِبُّونَهُمۡ كَحُبِّ ٱللَّهِۖ وَٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَشَدُّ حُبࣰّا لِّلَّهِۗ 

Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.’ (QS. Al-Baqarah : 165)”

Beliau rahimahullah menegaskan, “Maksud dari pembicaraan ini adalah bahwasanya hakikat penghambaan tidak akan bisa diraih apabila diiringi dengan kesyirikan kepada Allah dalam urusan cinta. Lain halnya dengan mahabbah lillah. Karena sesungguhnya kecintaan tersebut merupakan salah satu konsekuensi dan tuntutan dari penghambaan kepada Allah. Karena sesungguhnya kecintaan kepada Rasul (bahkan harus mendahulukan kecintaan kepadanya daripada kepada diri sendiri, orang tua, dan anak-anak) merupakan perkara yang menentukan kesempurnaan iman. Sebab mencintai beliau termasuk bagian dari mencintai Allah. Demikian pula halnya pada kecintaan fillah dan lillah…” (Ad-Daa’ wad-Dawaa’, hal. 212-213).

******

Sumbermuslim.or.id 
 
File terkait:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

01 Januari 2025

FILE 457 : Pelajaran terkait Menata Niat

Bismillaahirrohmaanirrohiim             
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du
...

Faedah Penting Menata Niat

Disusun oleh:
Adika Minaoki hafidhahullaah
 
 

Salah satu syarat mutlak diterimanya amal seorang hamba adalah benarnya niat, yaitu ikhlas hanya untuk Allah. Tanpa ikhlas, amal seseorang akan tertolak. 

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء

Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketatan hanya kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.“  (QS. Al Bayyinah: 5)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

 إنَّ اللهَ لا يقبلُ من العملِ إلَّا ما كان خالصًا وابتُغي به وجهُه

Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, kecuali yang ikhlas mengharap wajah-Nya.“ (HR. An-Nasa’i, shahih)

Niat yang benar, yaitu ikhlas kepada Allah, juga akan membuahkan banyak faedah lain yang luar biasa. Dengan menata niat yang ada di hati, seseorang bisa berpeluang mendapat banyak kebaikan dan pahala dari setiap aktifitasnya. Dengan niat yang benar, seseorang bisa mendapat pahala meskipun belum mampu mengamalkan suatu amal. Dengan niat yang benar pula, aktifitas yang mubah dan adat kebiasaan bisa menjadi bernilai ibadah. Inilah pentingnya menata niat agar seorang hamba berkesempatan mendapatkan banyak kebaikan. Oleh karena itu, hendaknya kita pintar dan jeli serta perhatian terhadap perkara hati yang satu ini.

Mendapat Pahala, Meskipun Belum Mampu Mengamalkan

Dengan niat yang ikhlas, seorang hamba bisa mendapatkan pahala suatu amal meskipun dia belum mampu mengamalkannya. Bahkan seseorang bisa mendapat predikat syuhada dan mujahid meskipun dia meninggal di atas kasurnya. 

Allah Ta’ala menjelaskan tentang sifat orang yang tidak mampu untuk berjihad bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam firman-Nya,

وَلاَ عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّواْ وَّأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَناً أَلاَّ يَجِدُواْ مَا يُنفِقُونَ

Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, ‘Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu.’ Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.“ (QS. At Taubah: 92)

Demikian pula, disebutkan dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَقْوَامَاً خلْفَنَا بالمدِينةِ مَا سَلَكْنَا شِعْباً وَلاَ وَادِياً إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا، حَبَسَهُمْ الْعُذْرُ

Sesungguhnya ada beberapa kaum yang kita tinggalkan di kota Madinah. Mereka tiada menempuh suatu lereng ataupun lembah seperti kita, namun mereka itu bersama-sama dengan kita. Mereka terhalang (untuk berangkat berperang), karena suatu uzur.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain disebutkan,

إِلاَّ شَركُوكُمْ في الأَجْر

kecuali mereka mendapat pahala sebagaimana kalian.“ (HR. Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ

Siapa yang meminta kepada Allah mati syahid dengan jujur dalam hatinya, maka Allah akan sampaikan dia pada kedudukan orang-orang yang mati syahid meskipun dia meninggal di atas ranjangnya.” (HR. Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menerangkan bahwa seorang yang fakir bisa memperoleh pahala layaknya orang kaya yang sedekah meskipun dia tidak mampu untuk melakukannya. Hal itu akan didapatkan jika niatnya benar. Dari Abu Kabsyah Al-Anmaary radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ هَذِهِ الْأُمَّةِ كَمَثَلِ أَرْبَعَةِ نَفَرٍ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَعْمَلُ بِعِلْمِهِ فِي مَالِهِ يُنْفِقُهُ فِي حَقِّهِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ هَذَا عَمِلْتُ فِيهِ مِثْلَ الَّذِي يَعْمَلُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ

Permisalan umat ini bagaikan empat orang. Seseorang yang diberikan oleh Allah berupa harta dan ilmu, kemudian dia membelanjakan hartanya sesuai dengan ilmunya, dia menginfakkannya kepada yang berhak. Ada pula seseorang yang diberi oleh Allah berupa ilmu namun tidak diberikan harta. Dia berkata, ‘Seandainya saya memiliki seperti yang dimiliki orang ini (orang yang pertama), niscaya saya akan berbuat seperti yang ia perbuat.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Maka dalam urusan pahala, mereka berdua sama’ “ (HR. Ibnu Majah, shahih)

Namun, ada perkara penting yang harus diketahui. Bahwasanya seseorang terkadang dia tidak mampu mengamalkan sesuatu, namun dia berangan-angan akan mengamalkannya dan dia menyangka bahwa dirinya akan mendapat pahala dengan angan-angannya tesebut. Dia beranggapan bahwa itu merupakan niat yang benar. Maka ketahuilah, yang demikian ini hakikatnya merupakan angan-angan dirinya sendiri yang dusta dan merupakan bisikan setan 

Kita dapati ada orang duduk di rumahnya, tidur di atas pembaringannya, dia tidak pergi ke masjid dan hanya mengatakan, “Aku senang untuk pergi ke masjid.“  Namun, dia menyangka dengan ucapannya tersebut akan mendapatkan pahala salat jemaah di masjid. Yang seperti ini bukanlah yang dimaksud dalam pembahasan ini dan tidak termasuk seperti orang yang disebutkan dalam hadis di atas. Benarnya niat harus disertai dengan kejujuran dan ketulusan dalam hati, bukan hanya sekadar angan-angan saja.

Ilustrasi, sumber: radiomuslim.com

 

Perkara Mubah dan Adat Kebiasaan Bisa Menjadi Bernilai Ibadah

Dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqosh radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ

Sesungguhnya tidaklah Engkau menafkahkan sesuatu dengan niat ikhlas untuk mencari wajah Allah, melainkan Engkau akan diberi pahala karenanya, sampai-sampai apa yang Engkau berikan ke mulut isterimu (juga akan diberi pahala oleh Allah).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini merupakan perkara agung yang merupakan pintu terbukanya banyak kebaikan. Apabila seorang muslim mampu melakukannya, dia akan mendapat kebaikan yang besar dan pahala yang banyak. Seandainya kita maksudkan dalam aktifitas kebiasaan yang kita lakukan dan perkara mubah yang kita lakukan semuanya kita kerjakan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka niscaya akan mendapat kebaikan yang besar dan pahala yang melimpah.

Zabiid Al-Yaamy rahimahullah berkata, “Sesungguhnya aku suka menghadirkan niat dalam setiap kondisi apa pun, temasuk ketika makan dan minum.

Kita ambil contoh perbuatan yang sering kita lakukan. Mudah-mudahan kita bisa mendapat faedah pahala darinya dalam aktifitas kehidupan sehari-hari.

Banyak orang suka memakai parfum. Seandainya dia maksudkan memakai parfum sebelum pergi ke masjid untuk memuliakan rumah Allah serta agar tidak mengganggu orang yang ada di masjid dengan bau yang tidak sedap, maka dia akan mendapat pahala kebaikan.

Setiap kita pasti butuh makan dan minum. Barangsiapa yang mempunyai niat ketika sedang makan dan minum untuk menguatkan fisik dalam melakukan beribadah, maka dia akan mendapat pahala.

Mayoritas manusia butuh menikah. Apabila dia niatkan ketika menikah untuk menjaga harga dirinya dan istrinya, serta ingin mendapatkan keturunan yang senantiasa beribadah kepada Allah Ta’ala, maka niscaya akan ditetapkan pahala untuknya.

Para mahasiswa hendaknya juga senantiasa memperbagus niat ketika belajar, agar ilmunya bisa memberikan manfaat bagi Islam dan kaum muslimin.

Dokter hendaknya meniatkan ketika bekerja untuk membantu mengobati kaum muslimin yang sakit.

Begitu pula dengan para pekerja dan yang lainnya. Setiap orang hendaknya meniatkan untuk memberi manfaat bagi Islam dan kaum muslimin sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Dan ini berlaku untuk seluruh aktifitas. Setiap orang pasti melakukan aktifitas kerja, memberi nafkah untuk keluarganya, tidur, dan berbagai aktifitas lainnya. Maka, jangan remehkan untuk berusaha mencari pahala dari setiap perkara mubah tersebut dan menghadirkan niat ikhlas di dalamnya. Itu semua akan menjadi sebab keberuntungan dan keselamatan di hari akhirat nanti.

Hal ini bisa kita terapkan dalam setiap aktifitas apapun yang kita lakukan. Inilah di antara faedah pentingnya menata niat yang akan menghasilkan buah manis berupa kebaikan dan pahala di sisi Allah Ta’ala.  

Semoga bermafaat.

Referensi: 

A’maalul Quluub karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid hafidzahullah

******

Sumber: muslim.or.id 
 
File terkait:  
Subhanakallohumma wa bihamdihi,     
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika      
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin