Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

29 Mei 2014

FILE 314 : Makna dari "Berbuat Kerusakan di Bumi"

Bismillahirrohmanirrohim  
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du  
….

.Berbuat Kerusakan di Muka Bumi

Disusun oleh :   
Ust. Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.

Kebanyakan manusia yang hidup di zaman sekarang ini, hanya menjadikan perkara-perkara lahir yang kasat mata sebagai barometer dalam menilai berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar mereka. Ini merupakan efek dari dominasi hawa nafsu dan cinta dunia dalam diri mereka.

Mereka tidak tergerak untuk memahami hakekat semua kejadian tersebut, karena mereka tidak memiliki keyakinan yang kokoh terhadap perkara-perkara gaib (yang tidak nampak) dan mereka melupakan kehidupan abadi di akhirat nanti.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

Mereka hanya mengetahui yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai [ar-Rûm/30:7]

Sebagai contoh yang nyata, dalam memahami arti kerusakan di muka bumi yang sedang mencuat belakangan ini. Saat ini, banyak orang, tidak terkecuali kaum Muslimin, yang mengartikan kerusakan di muka bumi hanya sebatas pada hal-hal yang nampak, seperti bencana alam, kebakaran, pengerusakan hutan, penyakit menular yang mewabah, banjir bandang, pemanasan global dan lain sebagainya. 


Mereka melupakan kerusakan-kerusakan yang tidak kasat mata yang lebih parah efek buruknya. Padahal ini adalah kerusakan yang paling besar dan fatal akibatnya. Kerusakan inilah yang menjadi penyebab kerusakan-kerusakan yang di permukaan bumi.

 

ARTI KERUSAKAN DI BUMI YANG SEBENARNYA
 

Allâh Jalla Jalaluhu berfirman : 

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan (maksiat)
[1] manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)
[ar-Rûm/30:41]

Dalam ayat yang mulia ini, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa penyebab utama semua kerusakan[2] yang terjadi di muka bumi dengan berbagai bentuknya adalah perbuatan buruk dan maksiat yang dilakukan manusia. Ini menunjukkan bahwa perbuatan maksiat adalah inti kerusakan yang sebenarnya dan merupakan sumber utama kerusakan-kerusakan yang tampak di muka bumi.

Imam Abul 'Aliyah ar-Riyâhi [3] mengatakan, "Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allâh di muka bumi berarti dia telah berbuat kerusakan di muka bumi, karena bumi dan langit itu baik dengan sebab ketaatan (kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala -pent)" [4]

Imam asy-Syaukâni rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan, “(Dalam ayat ini) Allâh menjelaskan bahwa perbuatan syirik dan maksiat adalah sebab timbulnya (berbagai) kerusakan di alam semesta”[5]

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jallaberfirman :

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

Dan musibah apa saja yang menimpa kamu maka itu disebabkan oleh perbuatan (dosa) mu sendiri [asy-Syûra/42:30]

Syaikh Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa semua musibah yang menimpa manusia, (baik) pada diri, harta maupun anak-anak mereka, serta pada apa yang mereka sukai, tidak lain sebabnya adalah perbuatan-perbuatan buruk (maksiat) yang pernah mereka lakukan…”[6]
.
Tidak terkecuali dalam hal ini, musibah dan “kerusakan” yang terjadi dalam rumah tangga, seperti hubungan yang tidak harmonis antara suami dan istri, sering terjadi pertengkaran, penyebab utama semua ini adalah perbuatan maksiat yang dilakukan oleh sang suami atau istri.

Inilah makna yang terungkap dalam ucapan salah seorang ulama Salaf yang mengatakan, "Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allâh, maka aku melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…"[7] .

Oleh sebab itu pula, Allâh Azza wa Jalla menamakan orang-orang munafik sebagai orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi, karena buruknya perbuatan maksiat yang mereka lakukan dalam menentang Allâh Azza wa Jalla dan Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allâh berfirman :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَٰكِنْ لَا يَشْعُرُونَ

Dan bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi !" Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan" Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar (Qs al-Baqarah/2:11-12).

Syaikh Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah berkata, “Melakukan maksiat di muka bumi merupakan bentuk perusakan lantaran perbuatan tersebut menyebabkan rusaknya apa yang ada di muka bumi, seperti biji-bijian, buah-buahan, pepohonan dan tumbuh-tumbuhan, sehingga terjangkiti penyakit yang disebabkan perbuatan maksiat. (Penyebab lain perbuatan maksiat disebut dengan perusakan-red) adalah karena perbaikan (yang merupakan lawan dari pengerusakan-red) di muka bumi dilakukan dengan memakmurkan bumi dengan ketaatan dan keimanan kepada Allâh Azza wa Jalla . Inilah tujuan Allâh Azza wa Jalla menciptakan manusia dan menempatkan mereka di bumi, serta melimpahkan rezeki kepada mereka agar bisa menopang mereka dalam melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Jika mereka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketaatan kepada Allâh (maksiat) berarti mereka telah berusaha merusak dan menghancurkan tujuan utama penciptaan bumi”[8] .

Oleh karena itu, kematian para pelaku maksiat merupakan sebab utama penurunan angka kerusakan di muka bumi. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلَادُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ

(Kematian) seorang hamba yang fajir (banyak berbuat maksiat) akan menjadikan manusia, negeri, pepohonan dan binatang terlepas (terhindar dari kerusakan akibat perbuatan maksiatnya) [9]

 

SYIRIK DAN BID’AH, SEBAB TERBESAR KERUSAKAN DI MUKA BUMI
 

Karena perbuatan syirik (menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dalam beribadah) adalah dosa yang paling besar di sisi Allâh Azza wa Jalla , maka kerusakan yang ditimbulkan akibat perbuatan ini pun sangat besar, bahkan perbuatan inilah yang menjadi sebab utama kerusakan terbesar di muka bumi.

Imam Qatâdah [10] rahimahullah dan as-Suddi rahimahullah berkata: “Kerusakan (yang sesungguhnya) adalah perbuatan syirik. Inilah kerusakan yang paling besar”[11]

Demikian juga perbuatan bid’ah [12] . Semua seruan dakwah yang bertentangan dengan petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada hakekatnya merupakan sebab terjadinya kerusakan di muka bumi. Karena petunjuk dan kebenaran yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya aturan untuk memakmurkan dan mensejahterakan alam semesta. Sehingga semua seruan agama yang bertentangan dengan petunjuk beliau adalah sebab utama kerusakan di muka bumi.


Atas dasar itu, Imam Abu Bakar Ibnu 'Ayyâsy al Kûfi[13] ketika ditanya tentang makna firman Allâh Jalla Jalaluhu:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…[al-A'râf/7:56]

Beliau mengatakan, "Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla mengutus Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam kepada umat manusia, (ketika) mereka dalam keadaan rusak. Lalu Allâh Azza wa Jalla memperbaiki (keadaan) mereka dengan (petunjuk yang dibawa) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga orang yang mengajak (manusia) kepada selain petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia termasuk orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi"[14]

 

CARA MENGATASI DAN MEMPERBAIKI KERUSAKAN DI MUKA BUMI
 

Sebab utama kerusakan di muka bumi adalah perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk memperbaiki kerusakan tersebut yaitu dengan bertaubat dengan benar (nasûh)[15] dan kembali ke jalan Allâh. Karena taubat nasûh akan menghilangkan semua dampak negatif perbuatan dosa yang pernah dilakuakan oleh seseorang.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
.
Orang yang telah bertobat (dengan sungguh-sungguh) dari perbuatan dosa seperti orang yang tidak punya dosa (sama sekali) [16]

Inilah makna yang diisyaratkan dalam firman Allâh Azza wa Jalla di atas,

لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

…supaya Allâh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) [ar Rûm/30:41].

Artinya, agar mereka bertaubat dari perbuatan-perbuatan (maksiat) yang menimbulkan kerusakan besar (dalam kehidupan mereka), sehingga kemudian keadaan mereka akan baik dan sejahtera [17]

Dalam hal ini, Sahabat yang mulia, Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu pernah mengucapkan dalam doanya, “Ya Allâh, sesungguhnya tidak akan terjadi suatu malapetaka kecuali dengan (sebab) perbuatan dosa, dan tidak akan hilang malapetaka tersebut kecuali dengan taubat (yang sungguh-sungguh)…[18] .

Jadi, kembali kepada petunjuk Allâh Azza wa Jalla dan Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara mempelajari, memahami dan mengamalkannya adalah solusi untuk menghilangkan kerusakan di muka bumi dalam segala bentuknya, bahkan menggantikannya dengan kebaikan, kemaslahatan dan kesejahteraan. Karena memang agama Islam disyariatkan oleh Allâh Azza wa Jalla Dzat yang maha sempurna ilmu dan hikmah-Nya [19] untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup manusia. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasûl-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[20] hidup bagimu" [al-Anfâl/8:24].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanya bisa diraih dengan memenuhi seruan Allâh dan Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allâh dan Rasûl-Nya maka dia tidak akan merasakan (kebahagiaan-red) hidup, meskipun dia masih hidup sebagaimana binatang yang paling hina (sekalipun). Maka hidup bahagia yang hakiki adalah kehidupan orang yang memenuhi seruan Allâh dan Rasûl-Nya secara lahir maupun batin"[21]

Dalam ayat lain Allâh Jalla Jalaluhu berfirman :

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, Kami pasti akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya [al-A’râf/7:96]

Artinya, kalau saja mereka beriman dalam hati mereka dengan iman yang benar dan dibuktikan dengan amal shaleh serta merealisasikan ketakwaan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala lahir dan batin dengan meninggalkan semua larangan-Nya, maka niscaya Allâh akan membukakan (pintu-pintu) keberkahan di langit dan bumi bagi mereka. Allâh Azza wa Jalla akan menurunkan hujan deras (yang bermanfaat) dan menumbuhkan tanam-tanaman untuk kehidupan mereka dan hewan-hewan (ternak) mereka. (Mereka akan hidup) dalam kebahagiaan dan rezeki yang berlimpah, tanpa ada jerih payah, keletihan maupun penderitaan. Namun (kenyataanya-red) mereka tidak beriman dan bertakwa, akhirnya Allâh menyiksa mereka karena perbuatan (maksiat) mereka” [22]

Oleh karena itu, orang-orang yang mengusahakan perbaikan di muka bumi yang sebenarnya itu adalah orang-orang yang menyeru manusia agar kembali kepada petunjuk Allâh Azza wa Jalladan Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan mengajarkan dan menyebarkan tauhid dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada manusia.

Mereka inilah orang-orang yang menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan alam semesta beserta isinya, tidak terkecuali hewan-hewan di daratan maupun lautan. Mereka ikut merasakan kebaikan tersebut. Sehingga mereka senantiasa mendoakan kebaikan dari Allâh untuk orang-orang tersebut, sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada mereka[23] .

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ

Sesungguhnya orang yang berilmu (dan mengajarkan ilmunya kepada manusia) akan selalu dimohonkan pengampunan dosanya oleh semua makhluk yang ada di langit (para malaikat) dan di bumi, sampai-sampai (termasuk) ikan-ikan yang ada di lautan… .[24]

Sekaligus ini menunjukkan bahwa kematian orang-orang berilmu yang selalu mengajak manusia kepada petunjuk Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pertanda akan munculnya malapetaka dan kerusakan dalam kehidupan manusia. Karena dengan wafatnya mereka, akan berkurang penyebaran ilmu tauhid dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah manusia. Ini merupakan sebab timbulnya kerusakan dan bencana dalam kehidupan.

Dalam hal ini, imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah [25] pernah mengatakan, “Kematian orang yang berilmu merupakan kebocoran (kerusakan) dalam Islam yang tidak bisa ditambal (diperbaiki) oleh apapun selama siang dan malam masih terus berganti”[26] .

 

PENUTUP
 

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin dalam mengajak mereka untuk selalu kembali kepada petunjuk Allâh Azza wa Jalladan Rasul-Nya, yang itu merupakan sumber kebaikan dan kebahagiaan hidup yang hakiki bagi mereka.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsîr al-Qur'ânil 'Azhîm karya Ibnu Katsîr (3/576).
[2]. Karena huruf alif dan lam di awal kata al fasâd bermakna lil istigrâq yang memberikan makna semua atau seluruh-red
[3]. Beliau adalah Rufâi' bin Mihrân ar-Riyâhi (wafat tahun 90 H). Seorang Tabi'in senior yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lihat Taqrîbut Tahdzîb hlm. 162
[4]. Dinukil oleh Imam Ibnu Katsîr dalam tafsir beliau (3/576).
[5]. Fathul Qadîr (5/475)
[6]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 759
[7]. Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab ad-Dâ'u Wad Dawâ' hlm. 68
[8]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 42
[9]. HSR al-Bukhâri (6512) dan Muslim (no. 2245)
[10]. Beliau adalah Qatâdah bin Di'âmah as Sadûsi al-Bashri (wafat setelah tahun 110 H). Beliau adalah imam besar dari kalangan Tabi'in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam (lihat kitab Taqrîbut Tahdzîb, hlm. 409).
[11]. Dinukil oleh Imam al-Qurthubi dalam tafsir beliau 14/40
[12]. Yaitu mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama yang tidak dicontohkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[13]. Beliau adalah imam dari kalangan Atba'ut Tâbi'în senior, seorang ahli ibadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam (wafat 194 H). Lihat kitab Taqrîbut Tahdzîb hlm. 576
[14]. Tafsir Ibni Abi Hâtim ar Râzi (6/74) dan ad Durrul Mantsûr (3/477).
[15]. Yaitu taubat yang benar dan sungguh-sungguh, sehingga menghapuskan dosa-dosa yang lalu
[16]. HR. Ibnu Mâjah no. 4250 dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr no. 10281 dan dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar dan Syaikh al-Albâni. Lihat adh-Dha’îfah no. 615
[17]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 643
[18]. Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalâni dalam Fathul Bâri (3/443).
[19]. Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya. Ini bersumber dari kesempurnaan ilmu Allâh Subahnahu wa Ta'ala, lihat kitab Taisîrul Karîmir Rahmân (hlm. 131).
[20]. Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr (4/34).
[21]. al-Fawâ-id (hlm. 121- cet. Muassasatu Ummil Qurâ').
[22]. Taisîrul Karîmir Rahmân (hlm. 298).
[23]. Lihat kitab Miftâhu Dâris Sa’âdah (1/64) dan Faidhul Qadîr (4/268).
[24]. HR at-Tirmidzi (no. 2682) dan Ibnu Mâjah (no. 223), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albâni.
[25]. Beliau adalah al-Hasan bin abil Hasan Yasar al-Bashri (wafat 110 H), seorang imam besar dan termasyhur dari kalangan tabi’in. Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 160).
[26]. Diriwayatkan oleh imam Ad-Darimi dalam kitab “as-Sunan” (no. 324) dengan sanad yang shahih.


*****
Sumber : almanhaj.or.id

Subhanakalloohumma wa bihamdihi,  
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika  
Wa akhiru da'wana, walhamdulillaahi robbil 'aalamiin

FILE 313 : Perintah Pertama dalam Al Qur'an

Bismillahirrohmanirrohim  
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du   
….

.Perintah Pertama dalam Al Qur'an

Disusun oleh :   
Ust. Muhammad Ashim Musthafa, Lc.


يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
 
Hai manusia, sembahlah Rabbmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. 
Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allâh padahal kamu mengetahui 
[al-Baqarah/2:21-22]

 
AL-MUFRADAT

اعْبُدُوا :

Taatilah Allâh Azza wa Jalla dengan mengimani dan menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya disertai rasa cinta dan pengagungan kepada-Nya

الثَّمَرَات :

Bentuk jamak dari الثّمْرَة yaitu segala yang dihasilkan oleh bumi seperti biji-bijian, sayuran, dan segala yang dihasilkan tumbuh-tumbuhan seperti buah-buahan.

رَبَّكُـمْ

Pencipta kalian dan Dzat yang menguasai urusan kalian dan ilaah (sesembahan) kalian yang haq

أَنْدَادًا :

Tandingan-tandingan/sekutu-sekutu

 
TAFSIR AYAT
 
Ini adalah kalimat perintah pertama dalam al-Qur`ân. Melalui ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memanggil semuanya dengan ‘hai manusia’ agar menjadi seruan umum bagi seluruh umat manusia di setiap tempat dan di setiap masa. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk merealisasikan tujuan penciptaan mereka yaitu beribadah kepada-Nya yang mencakup unsur menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan membenarkan berita-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman: 


وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. [adz-Dzâriyât/51:56]

Dalam menegaskan perintah ini, Allâh Azza wa Jalla menyertakannya dengan memperkenalkan Dzat-Nya kepada mereka agar mereka mengenal sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan-Nya. Tujuannya, agar mereka menyadari dan lebih mudah menyambut perintah ini dan akhirnya menjalankan ibadah kepada-Nya yang akan menyelamatkan mereka dari siksa-Nya dan mendatangkan ridha dan jannah bagi mereka.[1]

Pertama-tama, Allâh Azza wa Jalla memulai penjelasan tentang kewajiban beribadah semata-mata kepada-Nya dengan menyebutkan bahwa Dialah Rabb mereka yang telah mentarbiyah mereka dengan berbagai kenikmatan. Dia Azza wa Jalla mengadakan mereka dari ketidakadaan menuju alam wujud, mengucurkan pada mereka beragam nikmat, yang zhahir maupun batin. Dia Azza wa Jalla menjadikan bumi sebagai firâsya yaitu hamparan (tempat berpijak kaki) layaknya tikar yang dihamparkan, hamparan yang stabil (tak bergoncang), menjadi tempat berpijak dan berjalan. Mereka pun dapat merasakan ketenangan hidup dalam rumah-rumah yang dibangun di atasnya. Orang-orang pun dapat mengambil manfaat dari bumi ini dengan hasil pertanian dan perkebunannya, dan manfaat-manfaat lainnya.

Selanjutnya, Allâh Azza wa Jalla menjadikan langit sebagai atap dan menempatkan padanya hal-hal yang sangat dibutuhkan manusia, seperti keberadaan matahari, bulan dan bintang-bintang.

Nikmat lain yang disebutkan selanjutnya, Allâh Azza wa Jalla menurunkan hujan dari langit yang dapat membantu mereka menumbuhkan tanaman-tanaman dan tumbuh-tumbuhan yang kemudian menghasilkan berbagai macam tanaman dan buah-buahan yang dapat disaksikan bersama, sebagai rezki, nutrisi dan makanan (bekal hidup) baik bagi mereka sendiri maupun hewan piaraan mereka. Ini juga telah Allâh tetapkan dalam beberapa ayat lain dalam al-Qur`ân.[2]

Allâh Azza wa Jalla menyebutkan langit dan bumi di antara nikmat-nikmat yang Dia sebutkan bagi mereka, karena melalui keduanya, mereka mendapatkan makanan pokok, rezeki dan penghidupan serta penopang dunia mereka. Kemudian Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa Dzat yang menciptakan keduanya dan seluruh yang ada di dalam keduanya serta seluruh kenikmatan di dalamnya Dialah yang berhak ditaati oleh mereka dan berhak disyukuri dan diibadahi oleh mereka. [3]

Di antara ayat yang paling mirip kandungannya dengan ayat ini yaitu firman Allâh Azza wa Jalla : 



اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ قَرَارًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ ۖ فَتَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

Allahlah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta memberi kamu rezki dengan sebagian yang baik-baik. Yang demikian itu adalah Allâh Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam [Ghâfir/40: 64].

Intisari kandungan ayat ini ialah, Dialah Yang Maha Pencipta, Yang Maha Pemberi rezeki, Pemilik alam dan para penghuninya, Pemberi rezki bagi mereka. Sehingga Dia berhak menjadi satu-satunya Dzat yang diibadahi, tidak boleh ada sesuatu yang dipersekutukan dengan-Nya dalam jenis peribadahan apapun [4] .

Oleh karena itu, di akhir ayat, Allâh Azza wa Jalla menutup seruan-Nya dengan peringatan agar mereka tidak menjadikan tandingan bagi Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman: 



فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
 
Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allâh padahal kamu mengetahui.

Maksudnya, janganlah kamu menyekutukan sesuatu dengan Allâh Azza wa Jalla , berupa tandingan-tandingan (dari makhluk-Nya) yang pasti tidak mampu mendatangkan kebaikan maupun madharat. Padahal, sejatinya kalian yakin sesungguhnya tidak ada rabb bagi kalian yang memberi rezeki kepada kalian selain-Nya. Dan kalian pun telah tahu, bahwa perkara yang diserukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalian yang berupa penetapan tauhid adalah perkara yang haq, tidak perlu diragukan lagi akan kebenarannya. [5]

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menyatakan, “(Janganlah kamu menyekutukan sesuatu dengan Allah) padahal kamu mengetahui Allâh Azza wa Jalla tiada memiliki sekutu dan tandingan, baik dalam penciptaan, pemberian rezki dan pengaturan (alam semesta), juga dalam hak uluhiyah-Nya dan kesempurnaan-Nya. Apakah pantas kalian beribadah kepada sesembahan lain bersama Allâh Azza wa Jalla , sedangkan kalian telah mengetahui hakekat tadi?. (Bila ini terjadi) maka itu adalah perbuatan yang paling aneh (tidak masuk di akal) dan kebodohan paling parah”.[6]

Sahabat Ibnu 'Abbâs menyampaikan penafsiran yang menjelaskan beberapa detail syirik kepada Allâh Azza wa Jalla berkait firman Allâh : {janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allâh}. Beliau menyatakan, 


"Syirik itu lebih samar daripada langkah semut di atas bebatuan yang hitam dalam kegelapan malam yang pekat, seperti ucapan seseorang, "Demi Allâh dan demi hidupmu wahai Fulan, dan demi hidupku”. Atau ucapan, “Jikalau tidak ada anjing-anjingmu ini, pastilah para pencuri akan mendatangi (rumah) kami”, atau ungkapan, “Seandainya tidak ada angsa dalam rumah, pastilah pencuri akan datang ke rumah”. Atau ucapan seseorang kepada kawannya, “Tergantung kehendak Allâh dan terserah engkau, Kalau tidak karena Allâh dan Si Fulan, engkau tidak akan melakukan“. Ini semua bentuk syirik kepada Allah Azza wa Jalla.

Perintah beribadah dan bertauhid kepada Allâh Azza wa Jalla yang selanjutnya disertai dengan larangan dari perbuatan yang menentang tauhid (syirik) merupakan ketetapan yang berlaku dalam al-Qur`an, seperti tercantum dalam ayat-ayat lainnya. Di antaranya firman Allâh Azza wa Jalla : 



وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Beribadahlah kepada Allâh (saja), dan jauhilah thaghut (sesembahan selain-Nya) itu", [an-Nahl/16:36]

Allâh Azza wa Jalla berfirman: 



وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

Beribadahlah kepada Allâh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. [an-Nisâ/4:36]

Ayat ini menjadi bukti yang pasti akan kewajiban beribadah kepada Allâh dan kebatilan peribadahan kepada selain-Nya melalui penyebutan tauhid rububiyah yang mengandung keesaan Allâh dalam hak penciptaan, pemberian rezki, pengaturan (alam semesta). Bila setiap orang mengakui tiada sekutu bagi Allâh dalam urusan-urusan tersebut, maka hendaknya ia pun meyakini bahwa Allâh tidak memiliki sekutu dalam peribadahan.[7]

 
BEBERAPA PELAJARAN DARI AYAT
  1. Tauhid adalah asas bangungan bak akar bagi satu pohon. Karena itu, perintah pertama kali yang menjumpai orang saat membuka mushaf adalah perintah bertauhid kepada Allâh Azza wa Jalla .
  2. Wajibnya beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla karena merupakan tujuan penciptaan seluruh umat manusia.
  3. Wajibnya mengenal Allâh Azza wa Jalla melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
  4. Larangan berbuat syirik, kecil maupun besar, yang zhahir maupun batin.
  5. Allâh Azza wa Jalla tidak hanya memerintahkan beribadah kepada-Nya saja, akan tetapi juga langsung melarang dari perbuatan syirik kepada-Nya.
  6. Kebatilan peribadahan kepada selain Allâh Azza wa Jalla.
Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVI/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Aisarut Tafâsir 1/29
[2]. Lihat Tafsir Ibni Jarir 1/213, Tafsir Ibnu Katsir 1/307
[3]. Tafsir Ibni Jarir 1/213
[4]. Tafsir Ibni Katsir 1/307
[5]. Tafsir Ibni Katsir 1/307
[6]. Tafsir as-Sa'di hlm. 27
[7]. Tafsir as-Sa'di hlm. 27. 

*****
Sumber : almanhaj.or.id

Subhanakalloohumma wa bihamdihi,  
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika  
Wa akhiru da'wana, walhamdulillaahi robbil 'aalamiin

01 Mei 2014

FILE 312 : Renungan Hari Buruh

Bismillahirrohmanirrohim  
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du  ….


.Para Buruh Telah Dibohongi Mengenai Keadaan Mereka Sendiri

Disusun oleh :   
Syaikh Umar Ibrahim Vadillo


Pengangguran bukanlah akibat tenaga kerja manusia diganti oleh kehadiran mesin-mesin. Ini tidak benar.

Mesin memang bisa menggantikan kerja manusia, tetapi ini tidak membuktikan bahwa pengangguran terjadi akibat teknologisasi proses-proses produksi, kecuali jika kita menganggap bahwa satu-satunya cara untuk meraih pendapatan adalah dengan menjadi seorang pekerja yang bekerja demi upah. Dan ini pun tidak benar.

Sebelum anda menganggap bahwa bekerja adalah menjadi seorang pekerja, kita harus kaji lebih dahulu apa sebenarnya yang memaksa kita menjadi pekerja, sehingga kita tidak mampu memiliki usaha sendiri (berswakarya). Mengapa tidak kita ganti saja istilah “penganggur” (tuna-karya) menjadi "tuna-swakarya"?

Mengapa tiba-tiba khalayak digolongkan sebagai pekerja atau penganggur, padahal sejarah membuktikan bahwa di masa silam sebagian besar khalayak berswakarya? Benarkah biang keladi pengangguran adalah teknologisasi proses-proses produksi? Salah, di sinilah justru kebohongannya.

Riba adalah satu-satunya penyebab keadaan yang konon disebut sebagai "pengangguran", atau lebih tepat, ribalah satu-satunya penyebab musnahnya berkesempatan untuk berswakarya.

Inti sari bisnis dan usaha adalah perdagangan, yaitu membeli lalu menjual. Selama masih ada orang yang memiliki sesuatu, dan masih ada orang yang ingin memiliki sesuatu, perdagangan akan selalu ada. Perdagangan tidak akan berkurang dengan adanya mesin-mesin, karena mesin tidak memiliki barang dagangan, mesin hanya bisa dijadikan sebagai alat produksi atau untuk aneka kegunaan lain. Para pekerja dapat digantikan oleh mesin-mesin, tetapi pedagang tidak.

Perdagangan tidak bisa dimusnahkan oleh mesin-mesin, namun bisa punah dengan adanya bunga sistem perbankan, yang apapun istilah maupun jenisnya, tetap saja riba.

Tingkat suku bunga bank berfungsi sebagai rintangan yang akan mematikan setiap usaha yang berada di bawahnya. 

Jika suku bunga bank adalah 10%, maka tak seorangpun akan menanam modal dalam proyek usaha baru apapun yang berancar-ancar akan berbagi hasil sejumlah 6% dari modal; dan bila anda sedang melangsungkan usaha dengan bagi hasil 6%, maka anda akan terpikat untuk melego saja usaha anda dan menimbun uangnya di bank. Dengan demikian setiap usaha yang berada di bawah suku bunga 10% itu akan punah.

Margaret Thatcher dan para pakar moneter menyebut hal itu sebagai "penyingkiran usaha-usaha yang tidak berdaya saing", demi meningkatkan "daya saing" negara. Namun mereka tidak menyatakan bahwa sebenarnya terdapat jauh lebih banyak usaha yang bisa dijalankan dengan keuntungan yang sangat kecil. Usaha yang bisa berkeuntungan besar hanya segelintir, yang lebih banyak adalah usaha-usaha berkeuntungan kecil. Dan sebagian besar usaha-usaha yang untungnya kecil itu adalah usaha kecil. Jadi sesungguhnya, fungsi suku bunga tadi adalah pemusnahan kesempatan hidup bagi mayoritas usaha kecil, demi peningkatan daya saing.

Jadi bagaimana mungkin pemusnahan usaha-usaha kecil bisa disebut sebagai “peningkatan daya saing”, padahal kita memahami bahwa lebih baik ada 20 usaha kecil, dibanding dengan hanya satu usaha yang 20 kali lipat lebih besar? Apalagi manajemen swakarsa tentu lebih luwes dibanding manajemen birokratis piramidis. Di sinilah perbedaan antara perusahaan swakarya dengan perusahaan raksasa. Hal ini pula yang seharusnya menjadi nilai lebih pasar bebas dibanding komunisme.

Jadi tujuan mereka "meningkatkan daya saing" adalah, agar hanya perusahaan-perusahaan besar saja yang bisa hidup, berkat raibnya gangguan dari usaha-usaha kecil pesaingnya, dan tentunya berkat berubahnya para pengusaha mandiri itu menjadi tenaga kerja murah dan rendah diri.

Dampak dari uang kertas yang dibuat seolah-olah ada nilainya dan tersedia dalam jumlah yang besar adalah: pembasmian usaha-usaha kecil. Tingkat suku bunga secara paksa telah merubah khalayak pengusaha mandiri menjadi pekerja-pekerja upahan yang sangat taat dan menghamba. Dan semua proses ini telah berlangsung selama berabad-abad.

Kini kita telah kembali mencapai puncak feodalisme baru. Socrates dengan tegas menyatakan bahwa upah itu khusus untuk para kacung dan budak. Kini kita semua telah dijadikan kacung dan budak. Terbebasnya masyarakat dari feodalisme abad pertengahan ditandai oleh kemerdekaan masyarakat untuk berswakarya atau untuk memilih bentuk pendapatannya sendiri. Hingga 150 tahun yang lalu, bekerja untuk orang lain masih dianggap sebagai sesuatu yang hina, yang hanya dilakukan secara sementara karena ditimpa krisis, atau terbatas dilakukan oleh mereka yang tak mampu mandiri. Dengan kehadiran bank-bank, keadaan itu dengan cepat berubah menjadi keadaan di mana khalayak mau tidak mau harus bekerja untuk orang lain, karena jika tidak mereka tak akan bisa memiliki apapun.

Awalnya, para bankir merekayasa 'kekuatan pasar' (melalui tingkat suku bunga) supaya manusia-manusia mandiri dijadikan "para pekerja" dan selanjutnya ketika suku bunga semakin didongkrak maka para pekerja pun menjadi penganggur. Dosanya bukan karena saya tidak bisa mendapat pekerjaan, namun karena saya telah dikutuk untuk bekerja bagi orang lain, karena saya tidak punya kesempatan secelah pun untuk berswausaha dan berswakarya, baik sendirian maupun, misalnya, bersama 50 orang lainnya.


TIMBULNYA SOSIALISME 

Sosialisme lahir untuk memerangi keadaan yang mengerikan itu. Sosialisme pada masa awal kejadiannya, sama sekali berbeda dengan Sosialisme menurut anggapan kita kini, bukan saja berbeda bahkan bertentangan. David Ricardo (salah satu ekonom yang jadi panutan Karl Marx), menyatakan bahwa penyebab pengangguran adalah kehadiran mesin-mesin saat revolusi industri. Namun kaum sosialis tidak puas dengan kesimpulan itu. 

Bakunin menetapkan bahwa sosialisme adalah "peruntuhan negara". Yaitu negara sebagai penyelenggara pemungutan pajak, yang hasilnya berperan mutlak demi pembayaran utang negara kepada bank-bank (sebagaimnaa yang kini terjadi), padahal pajak merupakan perintang perdagangan. 

Di Dresden, Richard Wagner merumuskan bahwa revolusi adalah "pemerintahan tanpa negara, dan perniagaan tanpa riba". Joseph Pierre Proudhon pun menuduh riba sebagai "biang kerok kelumpuhan industri".

Sosialisme merupakan perlawanan pada negara administratif dan pada bank-bank, demi menegakkan pemerintahan tanpa pajak-pajak, dan perdagangan tanpa bank-bank.


Pembajakan Atas Sosialisme 

Karl Marx, cucu seorang rabbi Yahudi, di bawah penugasan Mr. Rotschild (atasannya dari freemason Inggris), membuat teori nilai tambah (surplus value) dengan menyelewengkan makna riba.

Dalam bahasa Ibrani (bahasa Yahudi), riba disebut tarbith, yang arti harfiahnya adalah peningkatan nilai. Dagang tidak sama dengan riba. Dagang adalah mendatangkan keuntungan dari membeli dan menjual, setidaknya ada dua transaksi yang terjadi. Riba adalah mengambil untung dari satu transaksi, menuntut lebih dari yang sedikit (contohnya membungakan uang). 

Marx berkata bahwa perdagangan menciptakan nilai tambah (atau riba), sedangkan transaksi ribawi tidak akan menciptakan nilai tambah (riba). Seiring dengan itu Marx mengagungkan konsep Negara yang secara munafik disebutnya sebagai Worker's State (Negara Milik Para Pekerja), lalu dia pun meninggikan derajat sang pekerja upahan menjadi sesuatu yang sangat ideal dan bernilai kepahlawanan tinggi (bukannya sebagai keterpaksaan menjadi hamba negara dan hamba para bankir). Dengan pertolongan para freemason (The Fraternal Democrats – Persaudaraan Demokrat, the League of the Just –Liga Keadilan, dan lainnya), Karl Marx telah merampas revolusi Eropa milik Proudhon dan Bakunin, dan menjelmakannya menjadi kebalikannya.

Sosialisme modern bukanlah sosialisme (peruntuhan Negara), sosialisme modern adalah Marxisme. 


Pengkhianatan Serikat Buruh-isme  

Serikat Buruh-isme adalah menyerah pada kekacungan. Serikat-serikat Buruh tidak mempertanyakan mengapa kita harus menjadi budaknya upah, namun tujuan utama perjuangan mereka adalah demi meningkatkan upah para pekerja. Serikat Buruh tidak akan pernah menyelesaikan masalah pengangguran, karena mereka telah pasrah menerima tegaknya sistem perbankan yang telah mengutuk mereka jadi pekerja yang tidak akan pernah bisa berswausaha.

Jadi, bukannya berjuang demi khalayak kelas pekerja, Serikat Buruh-isme malah menjamin bahwa akan selalu tersedia khalayak kelas pekerja. Terpujilah Serikat-serikat Buruh, berkat perjuangan mereka kini orang-orang tidak lagi bekerja 12 jam sehari demi upah yang memprihatinkan (setidaknya begitulah nampaknya), walaupun yang sebenarnya dicapai oleh Serikat Buruh hanyalah kacung yang sedikit lebih ceria.  

Dengan melakukan itu, Serikat Buruh mencegah agar pokok masalah sebenarnya tidak digugat. Serikat Buruh-isme adalah pemberontakan para budak melawan para Majikan,

seraya mengakui bahwa mereka tidak bisa menjadi Majikan. Andaikan pilihan semata wayang hanyalah pengangguran, tentu saja mempunyai pekerjaan menjadi penting. Namun hal ini tidak akan membuat semua orang ceria selamanya

Serikat Buruh-isme sama dengan Marxisme, tidak mengecam riba. Mereka mengabaikan kata ini. Berkat mereka sistem perbankan jadi lestari.

Untuk menghilangkan sifat penghambaan kita pada dialektika menjadi pekerja atau menjadi penganggur, kita harus membasmi riba, artinya sistem perbankan harus dihapuskan. Selama kita masih bersama sistem perbankan, kita tak akan bisa mengelak dari kenyataan bahwa kita bekerja untuk orang lain, dan orang lain itu adalah: para bankir yang memiliki segalanya. Para bankir itu siap untuk menghukum para kacungnya dengan ancaman kehilangan pekerjaan dan hidup bergantung pada belas kasih negara. Ketakutan psikologis ini menyapu bersih kesempatan untuk berfikir bebas. Akhirnya yang ada adalah para kacung yang jauh lebih picik dibanding para majikannya. Mereka telah membuat khalayak takut pada perubahan sekecil apapun, karena takut kehilangan sesuap nasi yang telah dijanjikan. 

Kita dicekoki bahwa inilah yang "praktis" itu. Walhasil, tak heran jika kita lihat betapa gigihnya para kacung membela sistem perbankan, walaupun mereka adalah salah seorang dari 90.000 warga (di Inggris) yang setiap tahun harus kehilangan rumahnya, gara-gara tidak bisa membayar jahatnya bunga cicilan. Perbankan sudah menjadi "agama" yang ortodoks, bahkan sudah menjadi sebuah tabu (pamali). Untung saja masih ada orang-orang yang tidak percaya pada “agama” ini dan ingin berbuat sesuatu untuk mengatasinya.

Lantas, Bagaimana caranya kita mencampakkan sistem perbankan? 

Pertama, mari kita pahami dahulu bagaimana cara kerja bunga bank. Bank-bank itu berfungsi seolah penyebar ulang uang yang berasal dari simpanan kita. Mereka mendapatkan uang dari kita semua, lalu meminjamkannya pada orang lain. Mereka tidak meminjamkan uang tersebut kepada sesiapa yang paling jujur, atau kepada proyek usaha mana yang paling bermanfaat bagi masyarakat. Mereka tak peduli hal itu. Bank-bank hanya akan meminjamkan uang kepada sesiapa yang memiliki agunan yang memadai, tak peduli apapun tujuan usahanya. 

Boleh jadi usaha itu sangat bejat, namun asalkan anda punya agunan maka anda akan mendapatkan pinjaman. Sebaliknya, walau seseorang memiliki proyek yang sangat menjanjikan, bisa jadi tidak akan dapat pinjaman karena dia tidak mempunyai agunan yang memadai. Jelas ini bukanlah sistem terbaik bagi masyarakat. Sistem terbaik dan teradil bagi masyarakat adalah, jika sistem itu bisa menjamin bahwa modal milik masyarakat akan ditanamkan pada proyek-proyek terbaik, terlepas dari apakah si pengusaha itu kaya atau tidak. 

Dikatakan pada para pekerja: Kamu tidak boleh mengelola bisnis-bisnis besar, karena terus terang saja siapa sih kamu? Kamu tidak punya uang. Kamu hanya boleh bekerja demi upah. Maka tak heran jika berduyun-duyun pekerja lebih sungguh-sungguh membina hubungan suci mereka dengan bank, ketimbang hubungan mereka dengan agamanya, bahkan biasanya banklah yang menjadi keyakinan pegangan mereka. Adapun sistem adil yang disebutkan barusan, hanya bisa dicapai dengan penggunaan tertib kontrak gaya baru, yaitu kontrak-kontrak yang mengaitkan keuntungan bagi hasil investasi kepada kegiatan usaha itu sendiri, dan bukan kepada bunga.

Ketika bank-bank belum berdiri, kontrak-kontrak yang berlaku dalam perdagangan adalah kontrak-kontrak dari commenda dan perkongsian. 

Commenda adalah kontrak peminjaman uang untuk usaha, dengan demikian akan ada untung atau rugi. Cara ini bertentangan dengan kontrak ribawi, di mana bank meminjamkan uang tanpa peduli kemungkinan kerugian usaha, bank hanya mau untungnya. Dalam kontrak ribawi, anda tidak menanam modal demi kepentingan usaha, melainkan demi keuntungan dari kontraknya saja. Bunga atas pinjaman sama dengan menyewakan uang, walaupun pada uang tidak ada "benda" yang bisa disewa. Bunga adalah mengeduk untung tanpa memberi manfaat apapun.

Bentuk kontrak lainnya adalah perkongsian. Inti sari perkongsian adalah pengalihan tanggung jawab atas barang/jasa kepada orang lain, dan orang lain pun melakukan hal yang sama kepada anda. Dalam pengalihan barang/jasa dari orang ke orang ini, kita akan menemukan dasar-dasar dalil yang revolusioner: membangun usaha tanpa perlu modal keuangan, artinya melakukan usaha tanpa harus memiliki modal atau memiliki usahanya. Ini adalah sesuatu yang tidak terpikirkan oleh manusia modern. 

Menakjubkan! Dahulu usaha-usaha biasa berlangsung tanpa bergantung pada modal. Perkara ini tidak ada kaitannya dengan sistem Bursa Saham yang busuk itu, melainkan berkaitan dengan pembentukan guilds sebagai badan-badan pemodal mandiri non formal, yang kini sudah dipunahkan oleh bank-bank. Kabar barunya adalah bahwa untuk menjadi pengusaha, anda tidak perlu jadi pemilik barang/jasa. Anda tidak memerlukan bank, yang anda perlukan adalah orang. Ini kabar buruk bagi bank-bank. Sistem sedemikian dapat berfungsi bila di antara kita ada sifat saling percaya. Dan sifat inilah yang menyebabkan kita dapat mandiri, hingga tak perlu bekerja demi upah. Sifat ini pula yang menjadi syarat hidupnya sistem commenda dan perkongsian. Dan semua ini adalah dasar-dasar bagi tegaknya pembaharuan dunia.

Bagaimanakah cara bank-bank menghapus sistem kontrak commenda, dan menggantinya dengan pinjaman berbunga? Dan bagaimana pula bank-bank dapat menjelmakan orang-orang yang bersyarikat dalam perkongsian menjadi orang-orang pengais upah?

Bank-bank menciptakan barang baru. Mereka ciptakan sistem uang kertas. Bahkan perbankanlah sistem uang kertas. Pada awalnya, kemampuan sistem ini cukup menakjubkan. Bank-bank dapat menarik 1000 pound emas dan kemudian meminjamkan 20 kali lipatnya; yaitu 20.000 pound dalam bentuk kertas, artinya menciptakan kredit dari nihil. 

Pada masa itu, bank-bank (yang semuanya dikuasai oleh para Yahudi) diundang ke mana-mana di Eropa, karena mereka bisa mendatangkan uang dari nihil. Pada awalnya masyarakat terpesona, sebab mendadak di kota ada perputaran uang yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Usaha-usaha baru pun bermunculan di mana-mana. Bahkan bank menawarkan kertas-kertas yang bertuliskan angka-angka yang bernilai lebih tinggi dari emas yang hendak ditukarkan. 10 pound kertas diobral untuk ditukar 5 pound emas. Tak seorangpun bisa tahan godaan ini. 

Namun masalahnya, uang kertas itu bagaikan candu, efek pertamanya hebat lalu anda akan kecanduan. Dan beberapa tahun kemudian, ketika badai telah berlalu, baru khalayak sadar bahwa kini semua uang emas telah dikuasai oleh segelintir orang baru, sedangkan khalayak sisanya tidak lagi punya uang emas. Dan ketika khalayak menyerbu bank untuk menukarkan kembali lembaran-lembaran kertas itu dengan emas, diumumkanlah bahwa nilai uang kertas telah anjlok, bahwa mereka hanya bisa memperoleh emas senilai 1/100 dari nilai tertulis di kertas, atau pilih untuk terus memakai kertas-kertas itu. Khalayak telah ditipu. 

Kini, atas nama peradaban, proses yang sama pun sedang berlangsung di Nigeria utara. Mari kita tegaskan: Inflasi yang diakibatkan oleh pemaksaan satu alat tukar (yang dikendalikan oleh bank) adalah perampokan. Dan tidak mengijinkan khalayak untuk memilih alat tukarnya sendiri adalah penipuan.

Tingkat suku bunga perbankan telah membasmi usaha-usaha kecil. Mereka telah mengumpulkan lautan harta (uang-kredit) dan telah merekayasa penyalurannya hanya kepada perusahaan-perusahaan besar milik segelintir orang. Mereka tidak membuka kesempatan secelah pun bagi tumbuhnya perkongsian. Seluruh revolusi teknologi yang katanya demi manusia, telah dibajak oleh sistem perbankan dan dijelmakan jadi monster biadab. 

Dahulu ketika Eropa sibuk menjajah, masalah perampokan abadi dengan menggembosi nilai uang kertas ini tidak terlalu mencemaskan khalayak, karena berhasil diredam oleh pasokan besar-besaran aneka jarahan dari koloni-koloni jajahan, sehingga mengesankan bahwa keadaan baik-baik saja. Akan tetapi begitu hutang koloni-koloni di Dunia Ketiga itu mencapai titik jenuhnya, artinya mereka sudah tidak bisa dijarahi lagi, maka bahaya laten sistem ribawi itu mulai bangkit menyusupi rumah mereka sendiri. Jadi di masa kini, bukan hanya Dunia Ketiga saja yang hidup tertekan ditimpa hutang abadi, khalayak di Dunia Pertama pun kini sudah hampir gila menghadapinya.

Kita semua telah dijadikan kacung oleh sistem perbankan, karena mereka memusnahkan kesempatan hidup usaha-usaha kecil, dan lebih-lebih lagi, mereka telah menjadikan kita sebagai penghutang-penghutang abadi. Gara-gara Negara berhutang, kita pun terlahir sebagai penghutang (bagaikan “dosa asal”), dan dengan kemampuan mereka memonopoli dan merekayasa kekuatan-kekuatan pasar, mereka menjamin bahwa semua upah yang akan mereka keluarkan untuk anda selama 20 tahun mendatang, akan tersedot kembali kepada mereka (para Majikan) karena anda membayar cicilan rumah yang harganya sudah dipompa berkali lipat. Kalau tidak mau begini, anda bisa menyewa rumah anda dan tak perlu punya apa-apa, cukup para Majikan saja yang memiliki segalanya, dan cukup anda saja yang bekerja.

Tentu ini adalah tawaran yang sangat busuk. Serikat-serikat Buruh tidak akan membela para pekerja. Mereka akan berusaha agar para pekerja masuk kerja terus. Semua partai politik adalah dagelan dan tak akan mampu benar-benar membawa pembaharuan bagi masyarakat, karena semua kebijakan mereka bergantung pada bank. 

Sebelum kita belajar untuk hidup tanpa bank-bank, kita akan terus menjadi kacung-kacungnya. Kepercayaan adalah ajang di mana kontrak-kontrak commenda dan perkongsian bisa berjaya lagi. Dan ajang itu hanya bisa digalang dengan menerapkan kontrak-kontrak usaha yang tidak bergantung pada bank, melainkan cukup pada wewenang seseorang yang mandiri dan mewakili khalayak. 

Dengan kata lain, kita harus menghidupkan kembali bentuk-bentuk wewenang tradisional yang bersifat lokal, misalnya seperti Kepala-kepala marga di Skotlandia, Kepala-kepala suku di Afrika, para Lendakari di lembah negeri Basque, Amir-amir di Arab, atau seperti kepala-kepala keluarga mafia di Sisilia. Kepemimpinan masyarakat yang kini dikuasai perbankan harus direbut kembali. 

Jika kita sadar bahwa bank-bank telah menipu kita dan kita ingin terbebas darinya, maka kita harus mengalihkan tumpuan kepercayaan kita kepada pihak lain. Pada akhirnya sang pemimpin sebuah masyarakat harus bisa menjamin penyelenggaraan hukum-hukum dan dipenuhinya kontrak-kontrak, sehingga tumbuhlah saling percaya antar warga. Salah satu contoh ini adalah Mafia. Sayangnya, tinggal merekalah satu-satunya kaum di Eropa yang dapat membuat kontrak di antara mereka, dengan kepemahaman bahwa kontrak itu akan dipenuhi. Karena tak ada seorangpun yang berani berbuat keliru, dan khalayak Mafia punya rasa saling percaya yang sangat tinggi, dengan cara mereka sendiri yang tidak mungkin dilaksanakan di luar lingkaran mereka. Sayang, tinggal merekalah satu-satunya kaum di Eropa yang bisa mengejawantahkan kepemimpinan.

Unsur terpenting untuk terbebas dari tirani sistem moneter bank dan aneka praktek ribawinya, adalah dengan adanya pihak yang diberi wewenang secara lokal, yaitu dalam jangkauan masyarakatnya. Tanpa adanya pengemban amanah itu, bank lah yang akan berwenang, yang akan mendikte langkah-langkah kebijakan semua bangsa, dan kita akan terkutuk jadi kacung-kacung upahan mereka. Jika anda ingin keluar dari perangkap ini, anda harus bergabung bersama mereka yang sepaham, pilihlah seorang pemimpin dan nyatakanlah diri anda merdeka dari jeratan riba. Di luar sana, banyak orang sedang melakukan hal yang sama.

Satu-satunya jalan keluar dari sistem ribawi adalah Islam. Karena hanya Islam lah yang menegakkan pemerintahan tanpa negara dan perniagaan tanpa riba. Zaman yahudi dan kristen telah kadaluwarsa. Hanyalah dengan memahami bahwa "tiada tuhan selain Allah", baru manusia bisa berhenti menyembah segala sesuatu yang fana – seperti negara, uang dan pekerjaan mereka – dan menjadi merdekalah mereka. Hanyalah dengan membenarkan bahwa “Muhammad ialah Utusan Allah”, baru akan tegak keadilan dalam transaksi. Pilih Islam atau Ekonomi, pilih Islam atau Sistem Perbankan, inilah keputusan yang harus diambil oleh setiap insan.

Islam adalah Pemerintahan tanpa negara dan Perdagangan tanpa riba!

*****
Sumber : basyirahmedia.com

Subhanakalloohumma wa bihamdihi,  
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika  
Wa akhiru da'wana, walhamdulillaahi robbil 'aalamiin