Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..
.Disusun oleh :
Ust. Muhammad Abduh Tuasikal
Sebagian kita tidak memperhatikan bagaimana makanan yang ia makan,
apakah berasal dari yang halal ataukah haram. Segala cara pun ditempuh
demi mendapatkan sesuap nasi. Padahal pekerjaan yang halal sangat
penting sekali diperhatikan. Adapun jika kita memiliki harta yang haram,
maka mesti dibersihkan.
Pengaruh Harta Haram
1- Harta haram mempengaruhi do’a
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ
فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا
صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) ». ثُمَّ
ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ
إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ
حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ
لِذَلِكَ ».
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah
tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik). Dan
sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti
yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: ‘Wahai para
Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal
shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Dan
Allah juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki
yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.’” Kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki
yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan
berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a:
“Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang
haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi
makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan
do’anya?” (HR. Muslim no. 1015)
Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada Sa’ad,
أطب مطعمك تكن مستجاب الدعوة
“Perbaikilah makananmu, maka do’amu akan mustajab.” (HR.
Thobroni dalam Ash Shoghir. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini dho’if jiddan sebagaimana dalam As Silsilah Adh Dho’ifah 1812)
Ada yang bertanya kepada Sa’ad bin Abi Waqqosh,
تُستجابُ دعوتُك من
بين أصحاب رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ؟
فقال : ما رفعتُ إلى فمي
لقمةً إلا وأنا عالمٌ من أين مجيئُها ، ومن أين خرجت .
“Apa yang membuat do’amu mudah dikabulkan dibanding para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya?”
Maka Sa'ad radliyallaahu 'anhu menjawab,“Saya tidaklah
memasukkan satu suapan ke dalam mulutku melainkan saya mengetahui dari
manakah datangnya dan dari mana akan keluar.”
Dari Wahb bin Munabbih, ia berkata,
من سرَّه أنْ يستجيب الله دعوته ، فليُطِب طُعمته
“Siapa yang bahagia do’anya dikabulkan oleh Allah, maka perbaikilah makanannya.”
Dari Sahl bin ‘Abdillah, ia berkata,
من أكل الحلال أربعين يوماً أُجيبَت دعوتُه
“Barangsiapa memakan makanan halal selama 40 hari, maka do’anya akan mudah dikabulkan.”
Yusuf bin Asbath berkata,
بلغنا أنَّ دعاءَ العبد يحبس عن السماوات بسوءِ المطعم .
“Telah sampai pada kami bahwa do’a seorang hamba tertahan di langit karena sebab makanan jelek (haram) yang ia konsumsi.”
Gemar melakukan ketaatan secara umum, sebenarnya adalah jalan mudah
terkabulnya do’a. Sehingga tidak terbatas pada mengonsumsi makanan yang
halal, namun segala ketaatan akan memudahkan terkabulnya do’a.
Sebaliknya kemaksiatan menjadi sebab penghalang terkabulnya do’a.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Melakukan ketaatan
memudahkan terkabulnya do’a. Oleh karenanya pada kisah tiga orang yang
masuk dan tertutup dalam suatu goa, batu besar yang menutupi mereka
menjadi terbuka karena sebab amalan yang mereka sebut. Di mana mereka
melakukan amalan tersebut ikhlas karena Allah Ta’ala. Mereka berdo’a
pada Allah dengan menyebut amalan sholeh tersebut sehingga doa mereka
pun terkabul.”
Wahb bin Munabbih berkata,
العملُ الصالحُ يبلغ الدعاء ، ثم تلا قوله تعالى : { إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُه }
“Amalan sholeh akan memudahkan tersampainya (terkabulnya) do’a.
Lalu beliau membaca firman Allah Ta’ala, “Kepada-Nya-lah naik
perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10)
Dari ‘Umar, ia berkata,
بالورع عما حرَّم الله يقبلُ الله الدعاء والتسبيحَ
“Dengan
sikap waro’ (hati-hati) terhadap larangan Allah, Dia akan mudah
mengabulkan do’a dan memperkenankan tasbih (dzikir subhanallah).”
Sebagian salaf berkata,
لا تستبطئ الإجابة ، وقد سددتَ طرقها بالمعاص
“Janganlah engkau memperlambat terkabulnya do’a dengan engkau menempuh jalan maksiat.” (Dinukil dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, 1: 275-276)
2- Rizki halal mewariskan amalan sholeh
Rizki
dan makanan yang halal adalah bekal dan sekaligus pengobar semangat
untuk beramal shaleh. Buktinya adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai
rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thoyyib (yang baik), dan
kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS. Al Mu’minun: 51).
Sa’id bin Jubair dan Adh
Dhohak mengatakan bahwa yang dimaksud makanan yang thoyyib adalah
makanan yang halal (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 10: 126).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini
memerintahkan para rasul ’alaihimush sholaatu was salaam untuk memakan
makanan yang halal dan beramal sholeh. Penyandingan dua perintah ini
adalah isyarat bahwa makanan halal adalah pembangkit amal shaleh. Oleh
karena itu, para Nabi benar-benar memperhatikan bagaimana memperoleh
yang halal. Para Nabi mencontohkan pada kita kebaikan dengan perkataan,
amalan, teladan dan nasehat. Semoga Allah memberi pada mereka balasan
karena telah memberi contoh yang baik pada para hamba.” (Tafsir Al Qur’an
Al ‘Azhim, 10: 126).
Bila selama ini kita merasa malas dan berat untuk beramal? Alangkah
baiknya bila kita mengoreksi kembali makanan dan minuman yang masuk ke
perut kita. Jangan-jangan ada yang perlu ditinjau ulang.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْخَيْرَ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ أَوَ خَيْرٌ هُوَ
“Sesungguhnya yang baik tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan. Namun benarkah harta benda itu kebaikan yang sejati?“ (HR. Bukhari no. 2842 dan Muslim no. 1052)
3- Rizki halal bisa sebagai pencegah dan penawar berbagai penyakit
Allah Ta’ala berfirman,
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah
mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang hanii’ (baik) lagi marii-a (baik
akibatnya).” (QS. An Nisa’: 4).
Al Qurthubi menukilkan dari sebagian ulama’ tafsir bahwa maksud
firman Allah Ta’ala “هَنِيئًا مَرِيئًا” adalah, “Hanii’ ialah yang baik
lagi enak dimakan dan tidak memiliki efek negatif.
Sedangkan marii-a ialah yang tidak menimbulkan efek samping pasca
dimakan, mudah dicerna dan tidak menimbulkan peyakit atau gangguan.”
(Tafsir Al Qurthubi, 5:27).
Tentu saja makanan yang haram menimbulkan
efek samping ketika dikonsumsi. Oleh karenanya, jika kita sering
mengidap berbagai macam penyakit, koreksilah makanan kita. Sesungguhnya
yang baik tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.
4- Di akhirat, neraka lebih pantas menyantap jasad yang tumbuh dari yang haram
Dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
مَنْ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ السُّحْتِ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Siapa yang dagingnya tumbuh dari pekerjaan yang tidak halal, maka neraka pantas untuknya.”
(HR. Ibnu Hibban 11: 315, Al Hakim dalam Mustadrok-nya 4: 141. Hadits
ini shahih kata Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 4519)
Pembagian Harta Haram
Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan,
Harta haram ada dua macam:
- Haram karena sifat atau zatnya,
- Haram karena pekerjaan atau usahanya.
Harta haram karena usaha seperti hasil kezholiman, transaksi riba dan maysir (judi).
Harta haram karena sifat (zat) seperti bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih atas nama selain Allah.
Harta haram karena usaha lebih keras pengharamannya dan kita
diperintahkan untuk wara’ dalam menjauhinya. Oleh karenanya ulama salaf,
mereka berusaha menghindarkan diri dari makanan dan pakaian yang
mengandung syubhat yang tumbuh dari pekerjaan yang kotor.
Adapun harta jenis berikutnya diharamkan karena sifat yaitu khobits
(kotor). Untuk harta jenis ini, Allah telah membolehkan bagi kita
makanan ahli kitab padahal ada kemungkinan penyembelihan ahli kitab
tidaklah syar’i atau boleh jadi disembelih atas nama selain Allah. Jika
ternyata terbukti bahwa hewan yang disembelih dengan nama selain Allah,
barulah terlarang hewan tersebut menurut pendapat terkuat di antara
pendapat para ulama yang ada.
Telah disebutkan dalam hadits yang shahih
dari ‘Aisyah,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ قَوْمٍ
يَأْتُونَ بِاللَّحْمِ وَلَا يُدْرَى أَسَمَّوْا عَلَيْهِ أَمْ لَا ؟
فَقَالَ : سَمُّوا أَنْتُمْ وَكُلُوا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai suatu kaum
yang diberi daging namun tidak diketahui apakah hewan tersebut disebut
nama Allah ketika disembelih ataukah tidak. Beliau pun bersabda,
“Sebutlah nama Allah (ucapkanlah ‘bismillah’) lalu makanlah.” (Majmu’ Al
Fatawa, 21: 56-57)
Pekerjaan yang Haram
Pertama: Karena mengandung ghoror (ketidakjelasan)
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh
(hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual
beli ghoror (mengandung unsur ketidak jelasan)” (HR. Muslim no. 1513).
Berbagai bentuk ghoror:
a- Ghoror dalam akad
Misalnya tunai
dengan harga sekian dan kredit dengan harga lebih mahal dan tidak ada
kejelasan manakah akad yang dipilih. Dari Abu Hurairah, ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua bentuk transaksi dalam satu
akad” (HR. An Nasai no. 4632, Tirmidzi no. 1231 dan Ahmad 2: 174. Syaikh
Al Albani mengatakan hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Jaami’ Ash
Shohih no. 6943).
Sedangkan jika sudah ada kejelasan, misalnya membeli
secara kredit –walau harganya lebih tinggi dari harga tunai-, maka tidak
termasuk dalam larangan hadits di atas. Karena saat ini sudah jelas
transaksi yang dipilih dan tidak ada lagi dua bentuk transaksi dalam
satu akad. Sehingga dalil di atas bukanlah dalil untuk melarang jual
beli kredit. Jual beli secara kredit itu boleh selama tidak ada riba di
dalamnya.
b- Ghoror dalam barang yang dijual
Ghoror dalam barang bisa
jadi pada jenis, sifat, ukuran, atau pada waktu penyerahan. Ghoror bisa
terjadi pula karena barang tersebut tidak bisa diserahterimakan, menjual
sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dilihat.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari munabadzah,
yaitu seseorang melempar pakaiannya kepada yang lain dan itulah yang
dibeli tanpa dibolak-balik terlebih dahulu atau tanpa dilihat keadaan
pakaiannya. Begitu pula beliau melarang dari mulamasah, yaitu pakaian
yang disentuh itulah yang dibeli tanpa melihat keadaaannya” (HR. Bukhari
no. 2144).
Jual beli ini terdapat jahalah (ketidakjelasan) dari barang
yang dijual dan terdapat unsur qimar (spekulasi tinggi) dan keadaan
barang tidak jelas manakah yang dibeli.
c- Ghoror dalam bayaran (uang)
Ghoror dalam masalah bayaran
boleh jadi terjadi pada jumlah bayaran yang akan diperoleh, atau pada
waktu penerimaan bayaran, bisa jadi pula dalam bentuk bayaran yang tidak
jelas.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi jual
beli yang disebut dengan “habalul habalah”. Itu adalah jenis jual beli
yang dilakoni masyarakat jahiliyah.
“Habalul habalah” adalah transaksi
jual beli yang bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal
unta secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu
dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir” (HR. Bukhari, no.
2143 dan Muslim, no. 3883).
Cucu dari unta tersebut tidak jelas
diperoleh kapankah waktunya. Pembayarannya baru akan diberi setelah cucu
unta tadi muncul dan tidak jelas waktunya. Bisa jadi pula unta tersebut
tidak memiliki cucu.
Kedua: Karena mengandung riba
Riba ada tiga macam:
a. Riba fadhel, yaitu riba yang terjadi pada barang yang sejenis karena adanya tambahan.
Contoh: Menukar emas 24 karat dengan emas 18 karat dengan salah satu
dilebihkan dalam hal timbangan. Atau menukar uang Rp 10 ribu dengan
pecahan seribu rupiah namun hanya 9 lembar.
b. Riba nasi-ah, yaitu riba yang terjadi pada barang yang sejenis
atau beda jenis namun masih dalam satu sebab (‘illah) dan terdapat
tambahan dalam takaran atau timbangan dikarenakan waktu penyerahan yang
tertunda.
Contoh: Membeli emas yaitu menukar uang dengan emas, namun uangnya tertunda, alias dibeli secara kredit atau utang.
c.
Riba qordh, yaitu riba dalam utang piutang dan disyaratkan adanya
keuntungan atau timbal balik berupa pemanfaatan. Seperti, berutang namun
dipersyaratkan dengan pemanfaatan rumah dari orang yang berutang.
Contoh: Si B meminjamkan uang sebesar Rp 1 juta pada si A, lalu
disyaratkan mengembalikan Rp 1,2 juta rupiah, atau disyaratkan selama
peminjaman, rumah si A digunakan oleh si B (pemberi utang). Hal ini
berlaku riba qordh karena para ulama sepakat, “Setiap utang yang ditarik
keuntungan, maka itu adalah riba”.
Contoh jual beli yang mengandung riba: Jual beli kredit lewat pihak ketiga (leasing)
Jual
beli secara kredit asalnya boleh selama tidak melakukan hal yang
terlarang. Namun perlu diperhatikan bahwa kebolehan jual beli kredit harus melihat beberapa kriteria. Jika tidak diperhatikan, seseorang
bisa terjatuh dalam jurang riba.
Kriteria pertama, barang yang dikreditkan sudah menjadi milik penjual
(bank). Kita contohkan kredit mobil. Dalam kondisi semacam ini, si
pembeli boleh membeli mobil tadi secara kredit dengan harga yang sudah
ditentukan tanpa adanya denda jika mengalami keterlambatan. Antara
pembeli dan penjual bersepakat kapan melakukan pembayaran, apakah setiap
bulan atau semacam itu. Dalam hal ini ada angsuran di muka dan sisanya
dibayarkan di belakang.
Kriteria kedua, barang tersebut bukan menjadi milik si penjual
(bank), namun menjadi milik pihak ketiga. Si pembeli meminta bank untuk
membelikan barang tersebut. Lalu si pembeli melakukan kesepakatan dengan
pihak bank bahwa ia akan membeli barang tersebut dari bank. Namun
dengan syarat, kepemilikan barang sudah berada pada bank, bukan lagi
pada pihak ketiga. Sehingga yang menjamin kerusakan dan lainnya adalah
bank, bukan lagi pihak ketiga. Pada saat ini, si pembeli boleh melakukan
membeli barang tersebut dari bank dengan kesepakatan harga. Namun
sekali lagi, jual beli bentuk ini harus memenuhi dua syarat:
(1)
harganya jelas di antara kedua pihak, walau ada tambahan dari harga beli
bank dari pihak ketiga,
(2) tidak ada denda jika ada keterlambatan
angsuran.
(Faedah dari islamweb.net)
Jika salah satu dari dua syarat di atas tidak bisa dipenuhi, maka
akan terjerumus pada pelanggaran. Pertama, boleh jadi membeli sesuatu
yang belum diserahterimakan secara sempurna, artinya belum menjadi milik
bank, namun sudah dijual pada pembeli. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa
yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga
ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa
segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no.
2136 dan Muslim no. 1525)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Kami dahulu di zaman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu
seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar
memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain,
sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim no. 1527)
[Kedua] Atau bisa jadi terjerumus dalam riba karena bentuknya sama dengan
mengutangkan mobil pada pembeli, lalu mengeruk keuntungan dari utang.
Padahal para ulama berijma’ (bersepakat) akan haramnya keuntungan
bersyarat yang diambil dari utang piutang.
Ketiga: Mengandung dhoror (bahaya) dan pengelabuan (tindak penipuan)
Contohnya adalah menimbun barang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ
“Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa” (HR. Muslim no. 1605).
Imam Nawawi berkata, “Hikmah terlarangnya menimbun barang karena
dapat menimbulkan mudhorot bagi khalayak ramai.” (Syarh Shahih Muslim,
11: 43). Artinya di sini jika menimbun barang tidak menyulitkan orang
lain maka tidak ada masalah. Seperti misalnya kita membeli hasil panen
di saat harga murah. Lalu kita simpan kemudian kita menjualnya lagi
beberapa bulan berikutnya ketika harga menarik, maka seperti ini tidak
ada masalah karena jual beli memang wajar seperti itu.
Jadi, larangan
memonopoli atau yang disebut ihtikar, maksudnya ialah membeli barang
dengan tujuan untuk mempengaruhi pergerakan pasar. Dengan demikian ia
membeli barang dalam jumlah besar, sehingga mengakibatkan stok barang di
pasaran menipis atau langka. Akibatnya masyarakat terpaksa
memperebutkan barang tersebut dengan cara menaikkan penawaran atau
terpaksa membeli dengan harga tersebut karena butuh.
Contoh jual beli yang mengandung pengelabuan atau penipuan disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata,
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ
فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا
هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ. قَالَ « أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ
النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk
makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan
beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini
wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut
terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu
tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya?
Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR.
Muslim no. 102).
Jika dikatakan tidak termasuk golongan kami, maka itu
menunjukkan perbuatan tersebut termasuk dosa besar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ.
“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang
yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu
Hibban 2: 326. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam
Ash Shahihah no. 1058).
Keempat: Terlarang karena sebab lain
a- Jual beli saat shalat jum’at
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ , فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ
فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا
اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10).
Perintah meninggalkan jual beli
dalam ayat ini menunjukkan terlarangnya jual beli setelah
dikumandangkannya azan Jum’at, yaitu azan kedua.
b- Jual beli di lingkungan masjid
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِيْ الْمَسْجِدِ
فَقُولُوا: لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُم مَنْ
يُنْشِدُ فِيْهِ ضَالَةً فَقُولُوا: لاَ رَدَّ الههُ عَلَيْكَ
“Bila engkau mendapatkan orang yang menjual atau membeli di dalam
masjid, maka katakanlah kepadanya: ‘Semoga Allah tidak memberikan
keuntungan pada perniagaanmu.’ Dan bila engkau menyaksikan orang yang
mengumumkan kehilangan barang di dalam masjid, maka katakanlah
kepadanya, ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barangmu yang hilang.’”
(HR. Tirmidzi, no. 1321. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih).
Termasuk juga terlarang adalah berjualan di lingkungan masjid yang
masih masuk dalam pagar masjid. Hal ini karena para ulama telah
menggariskan satu kaidah yang menyatakan,
الْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيْمٌ لَهُ
“Sekelilingnya
sesuatu memiliki hukum yang sama dengan hukum yang berlaku pada sesuatu
tersebut.” (Al Asybah wan Nazha-ir, 240, As Suyuthi).
c- Jual beli barang yang nanti digunakan untuk tujuan haram
Dari
Abdullah bin Buraidah dari ayahnya (yakni Buraidah), beliau berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَبَسَ الْعِنَبَ أَيَّامَ الْقِطَافِ حَتَّى يَبِيعَهُ حَتَّى
يَبِيعَهُ مِنْ يَهُودِيٍّ أَوْ نَصْرَانِيٍّ أَوْ مِمَّنْ يَعْلَمُ
أَنَّهُ يَتَّخِذُهُ خَمْرًا فَقَدْ تَقَحَّمَ فِي النَّارِ عَلَى
بَصِيرَةٍ
“Siapa saja yang menahan anggur ketika panen hingga menjualnya pada
orang yang ingin mengolah anggur tersebut menjadi khomr, maka dia berhak
masuk neraka di atas pandangannya” (HR. Thobroni dalam Al Awsath. Ibnu
Hajar dalam Bulughul Marom mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Sedekah dengan Harta Haram
Mengenai sedekah dengan harta haram, maka bisa ditinjau dari tiga macam harta haram berikut:
-
Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khomr, babi, benda najis. Harta
seperti ini tidak diterima sedekahnya dan wajib mengembalikan harta
tersebut kepada pemiliknya.
- Harta yang haram karena berkaitan
dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta
semacam ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada
pemilik sebenarnya.
- Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari
hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga
tidak diterima dan wajib membersihkan harta haram semacam itu. Namun
apakah pencucian harta seperti ini disebut sedekah? Para ulama
berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika dinamakan sedekah,
tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224).
Ghulul
yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain
seperti harta curian. Sedekah tersebut juga tidak diterima karena
alasan dalil lainnya yang telah disebutkan, “Tidaklah seseorang
bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan
Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia
membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta
betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014). Lihat bahasan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 92-93.
Adapun bersedekah dengan harta yang berkaitan dengan hak orang
lain (barang curian, misalnya), maka Ibnu Rajab membaginya menjadi dua
macam,
- Jika bersedekah atas nama pencuri, sedekah tersebut tidaklah
diterima, bahkan ia berdosa karena telah memanfaatkannya. Pemilik
sebenarnya pun tidak mendapatkan pahala karena tidak ada niatan dari
dirinya. Demikian pendapat mayoritas ulama.
- Jika bersedekah dengan harta haram tersebut atas nama pemilik
sebenarnya ketika ia tidak mampu mengembalikan pada pemiliknya atau pun
ahli warisnya, maka ketika itu dibolehkan oleh kebanyakan ulama di
antaranya Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad. LihatJaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 264-268.
Kaedah dalam Harta Haram Karena Usaha (Pekerjaan)
Kaedah dalam memanfaatkan harta semacam ini -semisal harta riba- disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,
أن ما حُرِّم لكسبه فهو حرام على الكاسب فقط، دون مَن أخذه منه بطريق مباح.
“Sesuatu
yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang
mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan
jalan yang mubah (boleh)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
Contoh dari kaedah di atas:
- Boleh menerima hadiah dari orang yang bermuamalah dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
- Boleh transaksi jual beli dengan orang yang bermuamalan dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
- Jika
ada yang meninggal dunia dan penghasilannya dari riba, maka hartanya
halal pada ahli warisnya. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 10)
Contoh-contoh di atas dibolehkan karena harta haram dari usaha
tersebut diperoleh dengan cara yang halal yaitu melalui hadiah, jual
beli dan pembagian waris.
Di Manakah Menyalurkan Harta Haram?
Dari
pendapat terkuat dari pendapat yang ada, harta haram harus dibersihkan,
tidak didiamkan begitu saja ketika harta tersebut tidak diketahui lagi
pemiliknya atau pun ahli warisnya. Namun di manakah tempat
penyalurannya? Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:
Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum
muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat tertentu.
Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah
secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada fakir
miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah,
Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari
ulama Syafi’iyah.
Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum
muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat ulama
Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut
disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut
berasal dari harta yang thohir (suci).
Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.
Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu
untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir miskin.
Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan
pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah (keutamaan). Sedangkan
pendapat keempat dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an
(kehati-hatian) dalam masalah asal yaitu shalat di tanah rampasan (al
ardhul maghsubah), di mana masalah keabsahan shalat di tempat tersebut
masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta haram tidak boleh
disalurkan untuk pembangunan masjid. [Disarikan dari penjelasan Syaikh
Kholid Mihna, http://www.almoslim.net/node/82772]
Dalam rangka hati-hati, harta haram disalurkan untuk kemaslahatan
secara umum, pada orang yang butuh, fakir miskin, selain untuk masjid
dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi si pemilik harta
haram.
Wallahu a’lam.
Keuntungan yang Tumbuh dari Modal Haram
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah bagaimanakah hukum harta
yang tumbuh dari investasi harta yang haram. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah telah menjelaskan mengenai perselisihan ulama dalam masalah ini
dan menyimpulkan pendapat terkuat. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Mengenai harta hasil curian yang dimanfaatkan oleh pencuri hingga
mendapatkan hasil setelahnya, para ulama berselisih pendapat dalam
masalah ini. Apakah harta yang tumbuh itu kembali menjadi si pemilik
pertama saja? Ataukah harta tersebut si pencuri dan pemilik
menyedekahkannya?” …
Terhadap harta semacam ini, ‘Umar bin Al Khottob
pada awalnya menyikapinya dengan memerintahkan untuk menyerahkan
seluruhnya pada Baitul Maal. Keuntungan sama sekali tidak boleh diambil
oleh mereka yang memanfaatkan harta haram tadi. Lalu ‘Abdullah bin ‘Umar
menyanggah ayahnya dengan mengatakan bahwa seandainya harta tersebut
rusak, maka dhoman (ganti rugi) bagi yang memegangnya saat itu. Kalau
punya kewajiban ganti rugi, lalu mengapa dalam masalah keuntungan tidak
didapat? ‘Umar lantas terdiam.
Kemudian sebagian sahabat mengatakan pada
‘Umar bahwa harta tersebut di bagi saja untuk mereka dan separuhnya
lagi untuk (maslahat) kaum muslimin, yaitu setengah keuntungan pada
mereka dengan setengahnya lagi pada kaum muslimin. ‘Umar pun memilih
melaksanakan hal itu.
Inilah yang jadi pilihan para fuqoha dalam masalah mudhorobah yang
berasal dari ketetapan ‘Umar bin Al Khottob dan para sahabat pun
sependapat dengannya, dan inilah bentuk keadilan. Keuntungan yang tumbuh
dari harta haram tersebut tidaklah dikhususkan milik salah satunya.
Begitu pula tidaklah harta tersebut disucikan seluruhnya melalui sedekah
dengan seluruh harta tadi. Yang tepat, keuntungan tersebut milik mereka
berdua, sebagaimana pembagian dalam akad mudhorobah.” (Majmu’ Al
Fatawa, 30: 323)
Sehingga misalnya ada seseorang yang memanfaatkan harta curian atau
korupsi untuk investasi, maka ia hanya berhak mendapat 50% dari hasil
keuntungan. Sisanya diserahkan kepada pemilik harta yang sebenarnya.
Jika tidak memungkinkan mengembalikan kepada pemilik sebenarnya, maka
modal dan separuh dari keuntungan tadi disucikan dengan disalurkan untuk
kemaslahatan kaum muslimin, seperti untuk menolong orang fakir,
membangun rumah sakit, atau membangun sekolah. Jika ternyata pemilik
harta tadi datang, maka jelaskan bahwa seluruh hartanya telah
disedekahkan atau mengembalikan sejumlah uang yang menjadi haknya.
Lihat Fatwa Islamweb.
***
Kaedah Fikih: Keuntungan bagi yang Berani Menanggung Resiko
Siapa yang berani menanggung resiko kerugian, maka dialah yang berhak
mendapatkan keuntungan. Dalam kasus mudhorobah (bagi-hasil) misalnya,
jika pelaku usaha rugi karena gagal usaha, maka si pemodal pun harus
menanggung kerugian. Karena jika si pemodal mendapat keuntungan ketika
usaha mendapatkan profit, maka ketika mendapatkan rugi pun demikian,
harus berani memikul resiko.
Dalam kaedah fikih disebutkan,
الخراج بالضمان
“Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian”.
Maksud kaedah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan
ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian -jika hal itu
terjadi-. Keuntungan ini menjadi milik orang yang berani menanggung
kerugian karena jika barang tersebut suatu waktu rusak, maka dialah yang
merugi. Jika kerugian berani ditanggung, maka keuntungan menjadi
miliknya.
Dalil Kaedah
Asal kaedah ini adalah dari hadits berikut ini,
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ غُلَامًا،
فَأَقَامَ عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يُقِيمَ، ثُمَّ وَجَدَ بِهِ
عَيْبًا، فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم، فَرَدَّهُ
عَلَيْهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ اسْتَغَلَّ
غُلَامِي؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم: (الْخَرَاجُ
بِالضَّمَانِ).
“Dari sahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya seorang lelaki
membeli seorang budak laki-laki. Kemudian, budak tersebut tinggal
bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan
adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian, pembeli mengadukan penjual
budak kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan
agar budak tersebut dikembalikan. Maka penjual berkata, ‘Ya Rasulullah!
Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, ‘Keuntungan adalah imbalan atas kerugian.’” (HR. Abu
Daud no. 3510, An Nasai no. 4490, Tirmidzi no. 1285, Ibnu Majah no.
2243 dan Ahmad 6: 237. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
hasan).
Penerapan Kaedah
- Dalam akad mudhorobah,
jika sama-sama mendapat untung, maka pihak pemodal dan pelaku usaha
harus sama-sama menanggung rugi. Jika pelaku usaha, sudah mendapatkan
rugi karena usahanya gagal, maka pemodal pun harus menanggung rugi.
Karena jika pemodal mendapat untung, maka kerugian pun -artinya: tidak
mendapatkan apa-apa- harus berani ia tanggung. Termasuk kekeliruan jika
si pemodal minta modalnya itu kembali selama bukan karena kecerobohan
pelaku usaha.
- Dalam sistem dropshipping, ada reseller/ retailer yang memajang
barang di toko online. Jika reseller tidak menanggung resiko sama
sekali dalam pengiriman barang oleh dropshipper (produsen atau grosir),
maka berarti transaksinya bermasalah. Karena kalau ia berani meraup
untung, maka harus berani pula menanggung kerugian.
- Bermasalahnya transaksi riba, simpan pinjam yang menarik keuntungan.
Jika pihak kreditur dalam posisi aman, hanya mau ingin uangnya kembali,
tanpa mau menanggung resiko karena boleh jadi yang meminjam uang adalah
orang yang susah, maka berarti ini masalah. Karena kalau ia ingin
uangnya kembali, maka ia pun harus berani menanggung resiko tertundanya
utang tersebut. Alasannya adalah kaedah yang kita bahas saat ini.
- Orang yang memanfaatkan harta curian untuk investasi, ia berhak
mendapatkan 50% dari keuntungan dan sisanya diserahkan kepada pemilik
harta sebenarnya. Karena jika merugi, dialah yang menanggungnya. Maka
keuntungan berhak juga ia dapat sebabnya ia berani menanggung resiko
kerugian.
- Orang yang menggunakan modal riba dari koperasi atau bank, maka ia
boleh memanfaatkan keuntungan dari usaha tersebut. Karena jika usahanya
bangkrut, ia menanggungnya, bukan ditanggung oleh pihak yang memberikan
pinjaman riba. Kalau ia menanggung resiko demikian, dialah yang berhak
mendapatkan keuntungan.
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
Allahummak-finii bi halaalika ‘an haroomik, wa aghniniy bi fadhlika ‘amman siwaak.
[Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dari-Mu dan jauhkanlah aku
dari yang Engkau haramkan. Cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dan
jauhkan dari bergantung pada selain-Mu]. (HR. Tirmidzi no. 3563 dan
Ahmad 1: 153. Kata Tirmidzi, hadits ini hasan ghorib)
Hanya Allah memberi petunjuk dan hidayah.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
*****
Sumber : muslim.or.id
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin