Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

26 Januari 2013

FILE 296 : Polemik Harta Gono Gini

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Menyibak Harta Gono Gini

.Disusun Oleh:
Ust. Ahmad Sabiq, Lc.
(Majalah Al Furqon Vol. 55 September - Oktober 2012)


Harta gono gini adalah harta milik bersama dari suami dan istri yang mereka peroleh selama perkawinan. Demikianlah pengertian harta gono-gini yang sesuai dengan pasal 35 UU Perkawinan di Indonesia, harta gono-gini adalah ”harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.” Hal ini karena harta dalam sebuah keluarga mempunyai tiga kemungkinan:

Pertama, harta miliki suami saja. Yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa ada sedikit pun kepemilikan istri pada harta itu. Misalnya harta suami sebelum menikah, atau harta yang diperoleh dari hasil kerja suami dan tidak diberikan sebagai nafkah kepada istrinya, atau harta yang dihibahkan orang lain kepada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.
 

Kedua, harta milik istri saja. Yaitu harta yang dimiliki oleh istri saja tanpa ada sedikit pun kepemilikan suami pada harta itu. Misalnya harta milik istri sebelum menikah, atau harta hasil kerja yang diperoleh dari istri tanpa harus mengganggu kewajibannya sebagai istri, atau harta yang dihibahkan orang lain khusus untuknya, atau harta yang diwariskan kepada istri, dan lain-lain. 

Ketiga, harta milik bersama. Misalnya harta yang dihibahkan seseorang kepada suami istri, atau harta benda semisal rumah, tanah, atau lainnya yang dibeli dari uang mereka berdua, atau harta yang mereka peroleh setelah menikah dan suami serta istri sama-sama kerja yang menghasilkan pendapatan dan sebagainya. Yang ketiga inilah yang kemudian diistilahkan dengan harta gono-gini.

Namun harta yang diperoleh sebuah keluarga tidak mesti secara langsung otomatis menjadi harta gono-gini. Perinciannya sebagai berikut:

Secara umum suamilah yang bekerja dan bertanggung jawab atas nafkah dan ekonomi keluarga. Ini banyak disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya. (di antaranya dalam QS. Ath Thalaq: 7)

Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang sangat pelit. Dia tidak memberi harta yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa yang saya ambil sendiri tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah bersabda, “Ambillah yang cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Bukhari no.5364 dan Muslim no.1714).

Dari Hakim bin Mu’awiyah dari bapaknya berkata: Saya bertanya, “Ya Rasulullah apakah hak istri kami?” Beliau bersabda, “Engkau memberinya makan jika kamu makan, engkau memberinya pakaian jika kamu berpakaian.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Al-Irwa’: 2033)

Adapun istri, maka aktivitasnya ada dua kemungkinan: 

Pertama, sama sekali tidak mempunyai aktivitas yang bernilai ekonomis. Jika demikian, maka harta dalam keluarga tersebut adalah harta suami, dan tidak ada harta gono-gini. Karena memang tidak ada andil istri dalam harta tersebut. 

Kedua, jika istri memiliki aktivitas yang bernilai ekonomis. Seperti dia bekerja sendiri, atau membantu suami dalam pekerjaanya, atau menjadi partner kerja bagi suami, atau yang semisalnya, maka dalam kondisi inilah harta dalam sebuah keluarga tersebut ada yang disebut harta gono-gini.

Namun satu masalah harus dipahami, bahwa harta suami tidak utuh, tapi berkurang dengan beberapa kewajibannya sebagai suami. Seperti memberi mahar istrinya, menunaikan kewajiban nafkah pada istri dan anaknya, yang meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan anak-anak dan lainnya. Sedangkan harta istri tetap utuh, karena tidak ada kewajiban baginya untuk memberikan nafkah kepada suami dan anak-anaknya. Kecuali apabila dengan keridhaan dirinya, dia memberikan untuk suami dan anak-anaknya. Dan itu menjadi sedekah baginya. 


Hukum Syar’i Tentang Harta Gono-Gini 

Jika telah dipahami permasalahan di atas, maka bagaimanakah status harta gono-gini ini, jika terjadi pisah antara suami istri, baik pisah karena wafat atau karena cerai?

Syariat tidak membagi harta gono-gini ini dengan bagian masing-masing secara pasti, misalnya istri 50% dan suami 50%. Sebab, tidak ada nash yang mewajibkan demikian –setahu kami- baik dari Alquran maupun sunah. Namun pembagiannya bisa ditinjau dari beberapa kemungkinan: 

Pertama, jika diketahui secara pasti perhitungan harta suami dan istri

Yaitu hasil kerja suami diketahui secara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya, demikian juga hasil kerja istri diketahui dengan pasti. Maka perhitungan harta gono-gininya sangat jelas, yaitu sesuai dengan perhitungan tersebut.

Kedua, jika tidak diketahui perhitungan harta suami istri

Gambarannya: suami istri sama-sama kerja atau saling bekerja sama dalam membangun ekonomi keluarga. Dan kebutuhan keluarga pun ditanggung berdua dari hasil kerja mereka. sehingga sisanya berapa bagian dari harta suami dan berapa bagian dari harta istri tidak jelas. Dan inilah gambaran kebanyakan keluarga di negeri Indonesia.

Dalam kondisi demikian, harta gono-gini tersebut tidak mungkin dibagi kecuali dengan jalan sulh, ‘urf atau qadha' (putusan). 

Sulh sendiri adalah kesepakatan antara suami istri berdasarkan musyawarah atas dasar saling ridha. Dalil pensyariatan perdamaian suami istri antara lain:

Dari Katsir bin Abdillah bin Amr bin Auf al-Muzani, dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berdamai itu boleh dilakukan antara kaum muslimin, kecuali sebuah perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum muslimin itu tergantung pada syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi no.1370, Ahmad 2:366, dan Abu Dawud no. 3594)

Saat menerangkan hadis di atas, ash-Shan’ani berkata, “Para ulama telah membagi ash-shulh (perdamaian) menjadi beberapa macam: 
  • perdamaian antara muslim dan kafir,
  • perdamaian antara suami dan istri, 
  • perdamaian antara kelompok yang bughat (zalim) dan kelompok yang adil, 
  • perdamaian antara dua orang yang mengadukan permasalahan kepada hakim, 
  • perdamaian dalam masalah tindak pelukaan seperti pemberian maaf untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan 
  • perdamaian untuk memberikan sejumlah harta milik bersama dan hak-hak. Pembagian inilah yang dimaksud di sini, yakni pembagian yang disebut oleh para ahli fiqih dengan ash-shulh (perdamaian).
Dengan demikian berdasarkan dalil hadis Amr bin Auf al-Muzani di atas, jika suami istri berpisah dan hendak membagi harta gono-gini di antara mereka, dapat ditempuh jalan perdamaian (ash-shulh). Sebab, salah satu jenis perdamaian adalah perdamaian antara suami istri, atau perdamaian tatkala ada persengketaan mengenai harta bersama.

Dengan jalan perdamaian ini, pembagian harta gono-gini bergantung pada musyawarah antara suami istri. Bisa jadi suami mendapat 50% dan istri 50% atau suami mendapat 30% dan istri 70%, pun suami bisa mendapat 70% dan istri 30%, dan boleh pula pembagian dengan nisbah (prosentase) yang lain. Semuanya dibenarkan syara’, selama merupakan hasil dari perdamaian yang telah ditempuh berdasarkan kerelaan masing-masing.

Memang, dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang diterapkan dalam Peradilan Agama, harta gono-gini antara suami istri tidaklah dibagi kecuali masing-masing mendapat 50%. Dalam pasal 97 KHI disebutkan: “Janda atau duda cerai hidup, masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”

Namun ketentuan dalam KHI ini bukanlah suatu putusan hukum yang paten, jika suami istri sepakat membagi harta dengan prosentase tertentu, maka kesepakatan dan keridhaan mereka didahulukan.

‘Urf, merupakan adat kebiasaan yang berlaku di sebuah masyarakat, sehingga itu menjadi hukum di masyarakat tersebut. Para ulama sepakat ‘urf  bisa dijadikan salah satu acuan hukum. Dalam salah satu kaidah fikih disebutkan,

العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ

“Sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum.”

Dengan syarat:
  1. Urf itu berlaku umum.
  2. Tidak bertentangan dengan nash syar’i.
  3. Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah kebiasaan yang baru saja terjadi.
  4. Tidak berbenturan dengan tashrih.
Jadi, jika dalam masalah harta gono-gini tidak ada kesepakatan antara suami istri, maka dilihat apakah dalam masyarakat tersebut ada ‘urf yang berlaku tentang permasalahan harta gono-gini atau tidak. Jika ada, itulah yang diberlakukan. Wallahu a‘lam. 

Qadha, jika tidak ada sulh dan ‘urf, barulah masuk dalam sistem terakhir, yaitu qadha. Qadha sendiri adalah keputusan yang ditetapkan oleh hakim setempat tentang masalah yang disampaikan kepadanya. Dalam kondisi ini seorang hakim harus melihat kepada kondisi suami istri tersebut, untuk bisa menentukan pembagian harta gono-gini secara baik. Dan dalam kondisi ini boleh bagi hakim untuk menggunakan hukum perdata yang berlaku di peradilan, selagi tidak bertentangan dengan hukum syariat Islam. Wallahu a’lam.

*****
Sumber: konsultasisyariah.com

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

12 Januari 2013

FILE 295 : Kafir-kah Orang yang Sampai Matinya Belum Pernah Mendengar Islam ?

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Orang yang Belum Pernah Mendengar Islam,
Apakah Kafir ?


Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh
 
Saya mendapatkan pernyataan dari teman, sebagai berikut :
Beruntunglah kita dilahirkan sudah beragama islam karena orang tua kita kebetulan juga beragama islam. Yang menjadi pertanyaan saya adalah bagaimana Tuhan memberikan kelahiran kepada seseorang yg hidup dipelosok ujung dunia, katakan ujung dunia indonesia yg sangat terpencil, misalnya di Wamena (Irian Jaya) yang kita nggak ngerti bahasa orang wamena, mereka masih pake koteka dan nggak pernah tahu akan agama Islam sampe mereka meninggal lalu apakah mereka kita bilang kafir?
Mohon tanggapannya dari Bapak atas pernyataan dari temen saya tersebut. Terimakasih.

Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh


Wisnu
Alamat
: Prabumulih – Sumatera Selatan
Email: wisxxxx@yahoo.com



Jawaban:

Wa’alaikumussalam Warahmatullah Wabarakatuh

Banyak kaum muslimin yang bingung menghadapi pertanyaan semacam ini, tidak jarang pula yang akhirnya meragukan Islam dan menganggap semua agama benar. Padahal andaikan mereka sedikit berusaha mempelajari Islam dengan benar, mereka akan menemukan para ulama kita sudah menjelaskan dengan panjang-lebar jawaban dari pertanyaan semacam ini.

Berikut ini kami kutipkan penjelasan bagus dari Syaikh Muhammad bin Abdillah Al Wuhaibi dalam kitabnya, Nawaqidhul Iman Wa Dhawabitut Takfir ‘Indas Salaf (1/294):

Perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah tentang hukum di akhirat, bukan hukum di dunia. Tidak ada satupun para ulama yang mengatakan bahwa orang yang tidak pernah mendengar Islam itu adalah muslim, atau pada mereka diberlakukan hukum orang muslim di dunia. Oleh karena itu, perbedaan pendapat yang ada bukanlah tentang hukum di dunia.

Al Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah berkata: “Wajib bagi setiap orang untuk meyakini bahwa setiap manusia yang tidak beragama dengan agama Islam adalah kafir. Namun wajib juga meyakini bahwa Allah Ta’ala (di akhirat) tidak akan mengadzab orang yang belum disampaikan hujjah. Ini secara umum. Adapun secara khusus per individu, hanya Allah yang mengetahuinya. Ini semua berkaitan dengan balasan dan hukuman di akhirat. Sedangkan hukum di dunia, diterapkan berdasarkan apa yang nampak. Oleh karena itu, anak-anak kecil orang kafir dan orang gila yang kafir, di dunia diberlakukan hukum orang kafir kepada mereka” (Thariqul Hijratain, 384).

Pembahasan mengenai nasib orang yang belum pernah mendengar Islam di akhirat, adalah permasalahan ijtihadiyah yang banyak dibahas para ulama. Namun bahasan ini tidak termasuk ushuluddin (pokok agama) dan bukan ‘ijma. Oleh karena itu tidak dibahas pada kebanyakan kitab aqidah yang terkenal. Ada beberapa pendapat ulama dalam permasalahan ini:

Pendapat pertama: Orang yang mati dalam keadaan belum pernah mendengar Islam, masuk surga

As Suyuthi Rahimahullah berkata: “Para imam Asy ‘ariyah yang termasuk ahlul kalam dan ahlul ushul, serta ulama ahli fiqih madzhab Syafi’i berpendapat bahwa orang yang mati dalam keadaan belum pernah mendengar Islam, ia masuk surga” (Al Haawi Lil Fatawa, 2/202).

Sebagian ulama juga berpendapat bahwa anak-anak kecil orang musyrik masuk surga, sebagaimana pendapat Ibnu Hazm, beliau berkata: “Mayoritas ulama berpendapat bahwa anak-anak kecil orang musyrik masuk surga, dan saya juga berpendapat demikian” (Al Fashl, 4/73). Juga Imam An Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 16/208), Ibnu Hajar Al Asqalani juga mengatakan bahwa pendapat ini adalah pilihan Al Bukhari (Fathul Baari, 3/246), juga Imam Al Qurthubi (At Tadzkirah, 612) dan Imam Ibnul Jauzi (Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam, 24/372).
 
Pendapat kedua: Orang yang mati dalam keadaan belum pernah mendengar Islam, masuk neraka

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata: “Ini adalah pendapat dari sejumlah ulama ahlul kalam, ulama ahli tafsir, juga salah satu pendapat dari murid-murid Imam Ahmad. Al Qadhi membawakan riwayat dari Imam Ahmad tentang hal ini, namun telah dibantah oleh guru kami (Syaikhul Islam)” (Thariqul Hijratain, 362). Pendapat ini juga diambil oleh sejumlah murid Abu Hanifah (Jam’ul Jawami’ Imam As Subki, 1/62).

Pendapat ketiga: Tawaqquf (Abstain), dan menyatakan nasib mereka terserah pada kehendak Allah

Ini adalah pendapat Al Hamidain, Ibnul Mubarak, Ishaq Ibnu Rahawaih. Ibnu Abdil Barr berkata: “Nasib mereka tergantung kepada keputusan Al Malik, dan dalam hal ini tidak ada nash yang menjelaskan, kecuali riwayat dari para sahabat yang menegaskan bahwa anak-anak kecil muslim akan masuk surga dan anak-anak kecil kafir tergantung pada keputusan Allah” (At Tamhid, 18/111-112).

Pendapat keempat: Mereka akan dites di depan pintu neraka

Allah memerintahkan mereka masuk ke dalamnya. Jika mereka patuh, mereka akan merasakan hawa dingin dan mereka selamat. Namun yang enggan masuk, berarti ia telah membangkang kepada Allah Ta’ala dan dimasukkan ke dalam neraka.

Pendapat (keempat) ini adalah pendapat mayoritas para ulama salaf, sebagaimana disampaikan oleh Abul Hasan Al Asy’ari (Al Ibanah, 33). Pendapat ini dipilih oleh Muhammad bin Nashir Al Marwazi, Al Baihaqi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, dan Ibnu Katsir.

Syaikhul Islam berkata: “Manusia yang belum ditegakkan hujjah padanya, seperti anak-anak kecil, orang gila, ahlul fathrah, nasib mereka sebagaimana terdapat pada banyak atsar, yaitu mereka akan dites pada hari qiamat. Ada yang diutus untuk memerintahkan mereka pada ketaatan. Jika mereka taat, mereka diberi surga. Jika mereka enggan taat, diberi neraka”.

Imam Ibnu Qayyim setelah menjelaskan perbedaan pendapat dan dalil-dalilnya, beliau berkata: “Pendapat ke delapan, mereka berpendapat bahwa anak-anak kecil orang kafir akan dites di sebuah dataran di hari kiamat. Setiap orang dikirimkan Rasul (utusan). Orang yang mematuhi utusan tersebut, akan dimasuk surga. Yang membangkang akan masuk neraka. Dengan kata lain, sebagain mereka ada yang masuk surga dan sebagiannya ada yang masuk neraka. Pendapat ini yang mencakup dalil-dalil yang ada, dan didukung oleh banyak hadits” (Thariqul Hijratain, 369). Kemudian Ibnu Qayyim memaparkan dalil-dalil yang mendukung pendapat ini, lalu berkata: “Hadits-hadits ini saling menguatkan. Dikuatkan juga dengan ushul dan kaidah syariat. Dan pendapat yang sesuai dengan hadits-hadits ini adalah mazhab salafush shalih, sebagaimana dinukil oleh Al ‘Asy’ari Rahimahullah” (Thariqul Hijratain, 371)

Al Hafidz Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Para ulama terdahulu dan ulama masa sekarang berbeda pendapat mengenai anak kecil yang meninggal dalam keadaan kafir, bagaimana statusnya? Demikian juga orang gila, orang tuli, orang tua yang pikun dan ahlul fatrah yang belum pernah mendengar dakwah, terdapat beberapa hadits yang membahas status mereka. Dengan inaayah dan taufiq Allah, akan saya sampaikan kepada anda”. Kemudian beliau memaparkan hadits-hadits tersebut, lalu menjelaskan pendapat-pendapat yang ada, dan memilih pendapat yang menyatakan bahwa mereka akan dites kelak di hari kiamat. Beliau berkata: “Pendapat inilah yang mencakup semua dalil yang ada. Dan hadits-hadits yang telah saya sebutkan pun menegaskannya dan saling menguatkan” (Tafsir Ibni Katsir, 3/30).

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, setelah menyatakan memilih pendapat ini, beliau berkata: “Ulama bersepakat bahwa selagi masih mungkin, wajib hukumnya untuk menggabungkan dalil-dalil yang ada. Karena mengamalkan dua dalil lebih utama daripada beramal dengan salah satu saja. Dan tidak ada pendapat yang bisa mencakup seluruh dalil kecuali pendapat ini, yaitu mereka akan diberi udzur lalu dites” (Adhwa’ul Bayan, 3/440)

Dalil penting yang mendasari pendapat ini ada 2 macam:

1. Dalil Al Qur’an

Para ulama yang berpegang pada pendapat yang terakhir ini berdalil dengan keumuman ayat-ayat tentang tidak adanya azab sebelum disampaikan hujjah. Contohnya firman Allah Ta’ala:

كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ. قَالُوا بَلَى قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا

Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: “Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan? Mereka menjawab: “Benar ada”, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, lalu kami mendustakan(nya)” (QS. Al Mulk: 8-9)

Juga firman Allah Ta’ala:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً

Sungguh Kami tidak akan mengadzab sebelum mengutus seorang Rasul” (QS. Al Isra: 15)

Dan ayat-ayat yang lain yang menunjukkan adanya udzur bagi ahlul fatrah, karena utusan yang memberi peringatan belum datang kepada mereka (Dalil Al Qur’an yang lain silakan lihat Adhwa’ul Bayan, 3/429-433).

Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat ini: “Allah Ta’ala Maha Adil. Allah tidak akan mengadzab seseorang, kecuali orang tersebut sudah ditegakkan hujjah padanya lalu ia menentang. Sedangkan orang yang belum disampaikan hujjah, maka ia tidak akan diadzab. Ayat ini dijadikan dalil bahwa Ahlul Fatrah dan anak-anak kecil kafir tidak akan diadzab oleh Allah, sampai seorang utusan datang kepada mereka. Karena Allah tidak mungkin berbuat zhalim” (Tafsir As Sa’di, 4/266)

2. Dalil Hadits

Para ulama yang berpegang pada pendapat ini berdalil dengan hadits-hadits yang tegas menunjukkan bahwa orang yang belum pernah disampaikan hujjah akan dites kelak di hari kiamat. Hadits yang paling terkenal dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Aswad bin Sari’, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يكون يوم القيامة رجل أصم لا يسمع شيئاً، ورجل أحمق، ورجل هرم ورجل مات في فترة فأما الأصم فيقول: رب لقد جاء الإسلام وما أسمع شيئاً، وأما الأحمق فيقول: رب لقد جاء الإسلام والصبيان يحذفونني بالبعر، وأما الهرم فيقول: رب لقد جاء الإسلام وما أعقل شيئاً، وأما الذي مات في الفترة فيقول: رب ما أتاني لك رسول، فيأخذ مواثيقهم ليطيعنه، فيرسل إليهم أن ادخلوا النار، قال: فوالذي نفس محمد بيده لو دخلوها لكانت عليهم برداً وسلاماً

Di hari kiamat ada seorang yang tuli, tidak mendengar apa-apa, ada orang yang idiot, ada orang yang pikun, ada yang mati pada masa fatrah. Orang yang tuli berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang saat itu aku tuli, tidak mendengar Islam sama sekali’. Orang yang idiot berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang, saat itu anak-anak nakal sedang memasung aku di dalam sumur’. Orang yang pikun berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang aku sedang hilang akal’. Orang yang mati pada masa fatrah berkata: ‘Ya Rabb, tidak ada utusan yang datang untuk mengajakku kepada Islam’. Lalu diuji kecenderungan hati mereka pada ketaatan. Diutus utusan untuk memerintahkan mereka masuk ke neraka. Nabi bersabda: ‘Demi Allah, jika mereka masuk ke dalamnya, mereka akan merasakan dingin dan mereka mendapat keselamatan” (HR. Ahmad no. 16344, Thabrani 2/79. Di-shahih-kan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 1434)

Terdapat juga hadits semisal yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, namun lafadz akhirnya berbunyi:

فمن دخلها كانت عليه برداً وسلاماً، ومن لم يدخلها سحب إليها

Diantara mereka yang patuh memasuki neraka akan merasakan dingin dan akhirnya selamat. Sedangkan yang enggan memasukinya justru akan diseret ke dalamnya” (HR. Ahmad no. 16345)

Pendapat yang didasari hadits ini merupakan pendapat yang mencakup keseluruhan dalil, sebagaimana nukilan dari para imam. Syaikhul Islam berkata: “Dengan penjelasan hadits ini, maka tuntaslah perdebatan yang berupa pembicaraan panjang lebar sampai menimbulkan perdebatan. Karena bagi yang berpendapat bahwa mereka semua masuk neraka, terdapat nash yang menyalahkannya. Dan bagi yang berpendapat bahwa mereka semua masuk surga, juga terdapat nash yang menyalahkannya” (Dar’ut Ta’arudh, 8/401).

Syaikh Asy Syinqithi Rahimahullah setelah memilih pendapat ini ia berkata: “Hadits ini shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan keshahihan hadits adalah solusi dari perdebatan. Maka tidak ada lagi sisi yang dapat didebat dengan adanya hadits ini” (Adhwa’ul Bayan, 3/438).

Sebagian ulama membantah pendapat ini, semisal Ibnu Abdil Barr, Al Qurthubi dan Al Hulaimi, ringkasnya mereka mengatakan bahwa hadits-hadits tentang hal ini tidak shahih, dan ini bertentangan dengan prinsip pokok bahwa akhirat bukan lagi tempat manusia diuji (At Tadzkirah, 611-612, At Tamhiid, 18/130).

Namun sanggahan ini dijawab dengan 2 poin:

1. Hadits-hadits tentang hal ini shahih dan diriwayatkan dari jalur yang banyak. Telah kami paparkan sedikit penjelasannya.

2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Takliif (beban syariat) berakhir di alam pembalasan, yaitu di neraka atau di surga. Sedangkan mereka yang dites di halaman akhirat itu sebagaimana pertanyaan di alam barzakh. Yaitu mereka ditanya: Siapa Rabb-mu? Apa agamamu? Siapa Nabimu? Dan Allah Ta’ala berfirman:

يَوْمَ يُكْشَفُ عَن سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلا يَسْتَطِيعُونَ خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ

Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa. (Dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (QS. Al Qalam: 42-43)

At Thibbi berkata: “Jangan menetapkan bahwa dunia itu alam ujian dan akhirat itu alam pembalasan. Karena tidak ada pengkhususan seperti itu. Buktinya di alam kubur, yang merupakan pintu gerbang akhirat, terdapat ujian dan terdapat kesulitan dengan adanya pertanyaan” (Fathul Baari, 11/451).

Ibnul Qayyim pun membuat telaah singkat dalam membantah sanggahan ini, beliau berkata: “Jika ada yang berkata bahwa akhirat adalah alam pembalasan bukan lagi alam pembebanan, maka bagaimana mungkin mereka dites di akhirat? Jawabannya, pembenanan itu berhenti jika telah memasuki darul qarar (surga dan neraka). Sedangkan di barzakh dan di halaman akhirat, pembebanan belum berhenti. Ini dapat dipahami dengan mudah walau tanpa menelaah, dengan adanya pertanyaan malaikat di alam barzakh dan ini merupakan takliif (pembebanan). Sedangkan di halaman akhirat, Allah Ta’ala berfirman:

يَوْمَ يُكْشَفُ عَن سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلا يَسْتَطِيعُونَ

Dan ini jelas sekali. Karena Allah Ta’ala menyuruh makhluk-Nya untuk bersujud di hari kiamat kelak dan orang kafir ketika itu dihalangi oleh Allah sehingga tidak mampu bersujud” (Thariqul Hijratain, 373).

Dan hadits-hadits banyak menyebutkan tentang adanya pembebanan di hari kiamat, sebagaimana pada hadits-hadits yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dan Ibnu Katsir, serta ulama yang lain.

[Sampai di sini kutipan dari Kitab Nawaqidhul Iman Wa Dhawabitut Takfir 'Indas Salaf (1/294)]

Kesimpulannya, di dunia mereka tetap dianggap sebagai orang kafir. Jika meninggal tidak dimandikan, tidak dishalatkan dan tidak boleh dikubur di pemakaman kaum muslimin. Namun tentang nasib mereka di akhirat kelak, pendapat yang paling kuat, mereka akan diuji. Jika dapat melewati ujian tersebut mereka akan masuk surga, jika tidak akan masuk neraka. Sebagaimana telah dipaparkan di atas.

Demikian, semoga dapat dipahami. Semoga Allah menetapkan hati kita di jalan-Nya.

*****
Sumber: kangaswad.wordpress.com

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

05 Januari 2013

FILE 294 : Baqi bin Makhlad Al-Andalusi, Ketidaktenaran Memudahkannya Menuntut Ilmu

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Imam Baqi bin Mahklad al Andalusi Pura-Pura Menjadi Pengemis


..........

Ini adalah kisah lain, termasuk kisah yang unik lagi menarik, yang terjadi pada diri seorang alim daerah Maghrib, dari kalangan ulama yang melakukan perjalanan dari Maghrib Aqsha ke arah timur. Seorang alim daerah Maghribi ini bepergian ke timur untuk menemui salah seorang Imam dan mengambil ilmu darinya. Namun, saat ia sampai kepadanya, ia mendapatinya sedang di isolir dan di cekal , tidak boleh menemui manusia. Maka, dia membuat taktik dan cara unik, sehingga dia bisa bertemu dengannya dan mengambil ilmu darinya. Cara yang mungkin tak pernah terbayangkan, kalau seandainya itu tidak terjadi. Dan, sejarah adalah bapaknya keajaiban dan keunikan.

Tercantum di dalam Al-Manhajul Ahmad fi Tarajim Ash-habil Imam Ahmad, karya Al-Ulaimi, I: 177; dan dalam Ikhtisarun Nablusi li Thabaqatil Hanabilah, karya Ibnu Ya’la, hal.79, tentang biografi Imam Baqi bin Makhlad Al-Andalusi. Dia adalah Abu Abdurrahman Baqi bin Makhlad Al-Andalusi Al-Hafidz, lahir tahun 201 H. Dia melakukan perjalanan ke Baghdad dengan kedua kakinya. Keinginan besarnya adalah bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal dan mengambil ilmu darinya.

Dikisahkan darinya, bahwa ia berkata,

‘Ketika aku hampir tiba di Baghdad, aku mendengar berita ujian yang menimpa Ahmad bin Hanbal. Dan, aku pun dilarang berkumpul dan mendengarkan ilmu dari beliau. Aku sangat sedih karenanya, lalu aku pun memilih tempat untuk singgah. Setelah aku letakkan barang bawaanku di kamar yang aku kontrak di sebuah penginapan, maka aku tidak melakukan apapun selain mendatangi masjid jami’ yang besar. Aku ingin duduk bersama halaqah-halaqah yang ada, dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan.

Aku mendatangi sebuah halaqah yang mulia, ternyata ada seorang laki-laki yang membeberkan keadaan para perawi, dia men-dha’if-kannya dan menguatkan mereka. Aku bertanya kepada orang yang berada di dekatku, ‘Siapa dia?’

Dia menjawab, ‘Yahya bin Ma’in.’

Maka, aku melihat celah yang terbuka di dekatnya. Aku bergegas mendekat kepadanya, seraya berkata, ‘Wahai Abu Zakariya, semoga Allah merahmatimu. Aku adalah seorang laki-laki perantau, yang negerinya jauh. Aku ingin bertanya, mohon jangan meremehkanku.’

Dia berkata kepadaku, ‘Katakanlah.’

Maka, aku bertanya kepadanya tentang sebagian ahli hadits yang aku temui. Dia merekomendasikan baik sebagian dari mereka, dan merekomendasikan cacat sebagian yang lainnya.

Di akhir pertanyaan, aku bertanya kepadanya tentang Hisyam bin Ammar, aku sendiri banyak mengambil ilmu darinya. Yahya berkata, ‘Abul Walid Hisyam bin Ammar, ahli shalat dari Damaskus, tsiqah bahkan di atas tsiqah. Dan, kalau pun di balik pakaiannya terdapat kesombongan atau dia menenteng kesombongan, maka itu tidak berpengaruh apa pun terhadapnya, karena kebaikan dan kemuliaannya.’

Maka, orang-orang yang berada di halaqah berteriak, ‘Cukup bagimu, semoga Allah merahmatimu, yang lainnya juga memiliki pertanyaan.’

Aku pun berkata sambil berdiri, ‘ Aku bertanya kepadamu tentang seorang laki-laki, Ahmad bin Hanbal?’

Maka, Yahya bin Ma’in memandangku heran, dia berkata kepadaku, ‘Orang seperti kita membeberkan Ahmad bin Hanbal? Dia adalah Imam kaum muslimin, orang terbaik dan termulia dari mereka.’

Aku pun keluar mencari tahu rumah Ahmad bin Hanbal. Kemudian, ada orang menunjukkan diriku. Aku mengetuk pintu rumahnya. Dia pun keluar dan membuka pintu. Dia melihat laki-laki yang belum dikenalnya. Aku berkata, ‘Wahai Abu Abdillah, inilah seorang laki-laki perantau, yang negerinya jauh. Ini adalah kedatanganku pertama kali di negeri ini. Aku pencari hadits dan pengumpul sunnah. Aku tidak melakukan perjalanan, kecuali hanya kepadamu.’

Dia berkata kepadaku, ‘Masuklah lorong itu, dan jangan sampai terlihat oleh seorang pun.’

Dia bertanya kepadaku, ‘Di mana negerimu?’

Aku menjawab, ‘Daerah Maghrib yang jauh.’

Dia bertanya kepadaku, ‘Afrika?’

Aku menjawab, ‘Lebih jauh lagi. Aku menyeberangi lautan untuk tiba di Afrika. Negeriku Andalus.’

Dia berkata, ‘Negerimu benar-benar jauh. Tidak ada sesuatu yang lebih aku sukai daripada membantu orang sepertimu dengan baik, untuk mewujudkan keinginannya. Hanya saja, saat ini aku sedang menghadapi ujian dengan sesuatu yang mungkin kamu telah mendengarkannya.’

Aku berkata, ‘Benar, aku telah mendengarkannya, saat aku berjalan ingin menemuimu dan hampir tiba di sini.’

Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Abu Abdillah, ini adalah kedatanganku yang pertama kali. Aku adalah orang yang tidak dikenal di kalangan kalian. Jika Anda berkenan, aku akan datang setiap hari dengan menyamar sebagai peminta-minta. Di depan pintu, aku akan mengucapkan apa yang sering diucapkan para pengemis. Lalu, Anda keluar ke tempat ini. Seandainya Anda tidak menyampaikan setiap hari kecuali hanya satu hadits saja, maka itu sudah cukup bagiku.’

Dia menjawab, ‘Ya, dengan syarat kamu jangan muncul di halaqah-halaqah, dan tidak pula kepada para ahli hadits.’

Aku menjawab, ‘Aku janji.’

Pada hari berikutnya, akau mengambil ranting pohon dengan tanganku, kemudian membebat kepalaku dengan kain. Kertas dan tinta aku sembunyikan di balik lengan bajuku. Lalu, aku mendatanginya pintunya sambil teriak, ‘Pahala, semoga Allah merahmati kalian.’ Begitulah yang diteriakkan oleh para peminta-minta di sana. Maka, dia keluar kepadaku dan menutup pintu. Dia menyampaikan dua, tiga hadits atau lebih kepadaku.

Aku terus melakukan hal itu sampai orang yang menimpakan ujian kepadanya telah mati. Setelah itu, kepemimpinan di ambil alih oleh orang yang berpegang kepada madzhab ahlussunnah. Maka, Ahmad bin Hanbal kembali muncul, namanya naik daun. Dia dihormati di mata manusia, ketokohannya terkenal, orang-orang berduyun-duyun mendatanginya. Dan, dia semakin mengetahui kesabaranku yang sebenarnya. Jika aku mendatangi halaqahnya, dia melapangkannya untukku dan mendekatkanku kepada dirinya. Dia berkata kepada para ahli hadits, ‘Orang ini berhak menyandang predikat sebagai pencari ilmu.’ Kemudian, dia menceritakan kisahku bersamanya. Dia menyodorkan hadits kepadaku, membacakannya untukku, dan aku membacakannya kepadanya.

Suatu ketika, aku jatuh sakit. Aku berusaha untuk segera sembuh. Imam Ahmad bin Hanbal mencariku, karena aku tidak hadir di majelisnya. Dia bertanya tentang diriku, dan ada yang memberi tahu perihal sakitku kepadanya. Maka, dia langsung berdiri, berjalan untuk menjengukku bersama orang banyak. Saat itu, aku terlentang di kamar yang aku sewa, beralaskan tikar, berselimut kain dan buku-buku yang ada di kepalaku.

Aku mendengar suara gaduh di penginapanku. Aku mendengar mereka berkata, ‘Dia di sana. Lihatlah ini imam kaum muslimin datang.’

Pemilik penginapan pun datang kepadaku dengan tergopoh-gopoh. Dia berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Abdirrahman, ini Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, imam kaum muslimin datang menjengukmu.’

Imam Ahmad segera masuk. Dia duduk di sisi kepalaku. Kamar tersebut penuh sesak dengan orang-orang sampai tidak muat. Sebagian dari mereka berada di luar kamar dengan berdiri, sementara tergenggam pena di tangan mereka. Imam Ahmad tidak mengatakan kepadaku melebihi dari kata-kata ini.

Dia berkata, ‘Wahai Abu Abdirrahman, berbahagialah dengan pahala Allah. Engkau telah menjalani hari-hari sehat, yang tidak ada sakit padanya. Dan, engkau sekarang sedang menjalani hari-hari sakit, yang tidak ada sehat padanya. Semoga Allah meninggikanmu kepada keselamatan, dan mengusapkan kesembuhan kepadamu dengan tangan kanan-Nya.’

Aku melihat pena-pena menulis lafazh yang Imam Ahmad ucapkan. Kemudian, dia keluar meninggalkanku. Maka, penghuni penginapan berbondong-bondong mendatangiku, mengasihiku, dan melayaniku dengan pamrih agama dan ingin mendapatkan pahala dari Allah. Ada yang membawakan kasur, ada yang membawakan selimut dan makanan-makanan yang lezat. Dalam merawat diriku yang sedang sakit, mereka lebih perhatian daripada keluargaku, seandainya kau berada di tengah-tengah mereka. Hal itu karena aku telah di jenguk oleh seorang laki-laki shalih.

Baqi bin Makhlad wafat pada tahun 276 H di Andalusia (Spanyol). Semoga Allah merahmatinya.

Sumber: Dahsyatnya Kesabaran Para Ulama, Syaikh Abdul Fatah,  Zam-Zam Mata Air Ilmu, 2008
Judul asli: Shafahat min Shabril ‘Ulama’, Syaikh Abdul Fatah, Maktab Al-Mathbu’at Al-Islamiyyah cet. 1394 H./1974 M.


*****
Sumber: kisahmuslim.com

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin