Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..
Hanya Satu Jalan Menuju Allah 'Azza wa Jalla
.Disusun oleh:
Syaikh Abdul Malik Bin Ahmad Ramdhani
Ketahuilah –
semoga Allah merahmatimu- bahwa
jalan yang menjamin nikmat
Islam bagimu hanya satu, tidak bercabang. Allah telah menetapkan
keberuntungan hanya untuk satu golongan saja. Allah berfirman,
أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلآَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"
Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung." [QS.Al Mujadalah (58):22].
Dan Dia (Allah) menetapkan kemenangan hanya untuk mereka pula. Allah berfirman,
وَمَن يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
"
Dan barangsiapa mengambil Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman
menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah
yang pasti menang." [QS.Al Maidah (5):56].
Bagaimanapun, jika anda mencari dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka anda tidak akan menemukan di
dalamnya (dalil, red.) pengkotak-kotakan umat kepada jama’ah-jama’ah,
partai-partai atau golongan-golongan, kecuali perbuatan itu dicela dan
tercela. Allah berfirman,
وَلاَتَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ . مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ
وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
"
Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,
yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka, dan mereka menjadi
beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada
pada golongan mereka."[QS.Ar Rum (30):31-32].
Bagaimana mungkin Allah mengakui dan melegitimasi perpecahan ummat,
setelah Dia memelihara mereka dengan tali (agama)Nya? Lagi pula, Allah
telah melepaskan tanggung jawab NabiNya -Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam - atas umatnya, manakala mereka berpecah-belah, dan (dia)
mengancam mereka atas perpecahan tersebut. Allah berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ
فِي شَىْءٍ إِنَّمَآأَمْرُهُمْ إِلَى اللهِ ثُمَّ يُنَبِئُهُم بِمَا
كَانُوا يَفْعَلُونَ
"
Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka
(terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung
jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah)
kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang
telah mereka perbuat." [QS.Al An’am (6):159].
Dari Muawiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu anhu berkata, ketahuilah,
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di
tengah-tengah kami, lalu bersabda,
أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى
ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ
عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ
فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
"
Ketahuilah, bahwasanya Ahlul Kitab sebelum kalian terpecah menjadi
tujuhpuluh dua golongan. Dan bahwasanya, umat ini akan terpecah menjadi
tujupuluh tiga golongan. Tujuhpuluh dua di neraka, dan hanya satu yang
di surga, yaitu Al Jama’ah."
[1]
Mengomentari hadits ini, Amir Ash Shan’ani rahimahullah
berkata,“Penyebutan bilangan pada hadits ini, bukan untuk menjelaskan
banyaknya orang yang binasa. Akan tetapi, hanya untuk menerangkan
luasnya jalan-jalan kesesatan dan cabang-cabang kesesatan, serta untuk
menjelaskan bahwa jalan kebenaran itu hanya satu. Hal ini, sama dengan
yang telah disebutkan oleh ulama ahli tafsir berkaitan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
"
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka
ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya." [QS.Al
An’am (6):153].
Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan bentuk jamak pada
kata yang menerangkan “jalan-jalan yang dilarang mengikutinya”, guna
menerangkan cabang-cabang dan banyaknya jalan-jalan kesesatan serta
keluasannya. Sedangkan pada kata “jalan petunjuk dan kebenaran“, Allah
Subhanahu wa Ta’ala menggunakan bentuk tunggal.
(Ini) dikarenakan jalan al
haq itu hanya satu, dan tidak berbilang.
[2]
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata,
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا
ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ
وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ قَالَ يَزِيدُ مُتَفَرِّقَةٌ
عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ
إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat sebuah garis lurus bagi
kami, lalu bersabda,”
Ini adalah jalan Allah,” kemudian beliau membuat
garis lain pada sisi kiri dan kanan garis tersebut, lalu bersabda,”
Ini
adalah jalan-jalan (yang banyak). Pada setiap jalan ada syetan yang
mengajak kepada jalan itu,” kemudian beliau membaca,
إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka
ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. [QS.Al
An’am (6):153]."
[3]
Redaksi hadits ini menunjukkan, bahwa jalan (kebenaran, pent.) itu hanya
satu. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Dan ini disebabkan,
karena jalan yang mengantarkan (seseorang) kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala hanyalah satu. Yaitu sesuatu yang dengannya, Allah mengutus para
rasulNya dan menurunkan kitab-kitabNya. Tiada seorangpun yang dapat
sampai kepadaNya, kecuali melalui jalan ini. Seandainya manusia datang
dengan menempuh semua jalan, lalu mendatangi setiap pintu dan meminta
agar dibukakan, niscaya seluruh jalan tertutup dan terkunci buat mereka;
terkecuali melalui jalan yang satu ini. Karena jalan inilah, yang
berhubungan dengan Allah dan bisa mengantarkan kepadaNya.
[4]
Aku (penyusun) mengatakan: Akan tetapi, banyaknya liku-liku di jalan ini
yang cukup memberatkan, menyebabkan seseorang menjadi ragu, lalu
meninggalkannya. Dan sesungguhnya kelompok-kelompok yang menyimpang,
telah menyelisihi jalan ini. (Penyebabnya), karena merasa senang dan
tenang pada jalan yang banyak, serta merasa berat untuk menyendiri.
Ingin segera tiba (tergesa-gesa, Red.) dan takut memikul beban
perjalanan yang panjang. Ibnul Qayyim berkata, “Barangsiapa menganggap
jauh satu jalan ini, maka dia tidak akan mampu menempuhnya.”
MENGENAL JALAN YANG SATU
(Menyimpulkan) dari pendapat Ibnul Qayyim di atas, maka jelaslah jalan
yang dimaksud. Dan jelas, bahwa jalan yang dimaksud disini, ialah “rukun
yang kedua” dari rukun tauhid. (Yaitu) setelah syahadat (persaksian)
bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, maka (yang kedua,
Red.) persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dan (kalimat) ini,
juga menjadi syarat kedua diterimanya suatu amal ibadah. Karena
-sebagaimana sudah diketahui- bahwa amal ibadah tidak akan diterima,
kecuali setelah memenuhi dua syarat;
Pertama, mengikhlaskan agama
(ketaatan) karena Allah semata.
Kedua, dalam beribadah hanya dengan
mengikuti (cara yang dicontohkan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Pada kesempatan ini, saya tidak bermaksud menjadikan untuk kaidah yang
mashur ini sebagai dalil dalam pembahasan ini. Sebab, tujuan utama
bahasan ini untuk menjelaskan bahwa jalan yang pernah ditempuh Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, itulah satu-satunya jalan yang bisa
mengantarkan seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla.
(Pengenalan terhadap jalan ini amat penting, pent); karena ketidak
tahuan terhadap jalan ini, rintangan-rintangannya, serta tidak mengerti
maksud dan tujuannya, hanya akan menghasilkan kepayahan yang sangat,
tanpa bisa mendapatkan manfaat yang berarti.
[5]
Tujuan pembahasan ini, juga untuk menjelaskan, bahwa jalan itu hanya
satu. Sehingga tidak boleh berdusta mengatas-namakan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menda’wahkan, bahwa jalan menuju
Allah Azza wa Jalla itu (jumlahnya banyak, pent.), sejumlah bilangan
nafas manusia. Atau ungkapan-ungkapan lain, yang menurut agama Allah
Azza wa Jalla –yang datang guna menyatukan pemeluknya dan bukan untuk
memecah-belah mereka- jelas nyata kebathilannya. Allah berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا
نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ
قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
"
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika
dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan
hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara."
[QS.Ali Imran (3):103].
Tali yang menjamin kaum muslimin adalah kitab Allah Azza wa Jalla,
sebagaimana penafsiran para ulama kaum muslimin. Abdullah bin Mas’ud
Radhiyallahu anhu berkata,
إِنَّ هَذَا الصِّرَاطَ مُحْتَضَرٌ تَحْضُرُهُ الشَّيَاطِينُ يُنَادُونَ
يَا عَبْدَ اللَّهِ هَلُمَّ هَذَا الصِّرَاطُ لِيَصُدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ
اللهِ فَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ فَإِنَّ حَبْلَ اللَّهِ الْقُرْآنُ
"Sesungguhnya, jalan ini dihadiri para syetan. Mereka berseru,”
Wahai
hamba-hamba Allah, kemarilah. Ini adalah jalan (yang benar).” (Mereka
melakukan ini, pent.) untuk menghalang-halangi manusia dari jalan Allah
Azza wa Jalla . Maka, berpegang taguhlah kalian dengan
hablullah.
Sesungguhnya,
hablullah itu adalah Kitabullah (Al Qur’an)."
[6]
Ungkapan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu ini, mengandung dua makna yang sangat penting.
Pertama : Jalan menuju Allah itu hanya satu. Hanya saja, jalan itu
dikelilingi oleh syetan yang ingin memisahkan manusia dari jalan ini.
Sementara itu, syetan tidak menemukan jalan terbaik untuk
mencerai-beraikan mereka dari jalan ini, kecuali dengan menda’wakan,
bahwa jalan-jalan itu banyak. Maka, barangsiapa yang hendak memasukkan
suatu anggapan kepada manusia, bahwa kebenaran (al haq) itu tidak hanya
terbatas pada satu jalan saja, berarti dia adalah syetan. Dan sungguh
Allah berfirman,
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ
"
Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan." [QS.Yunus (10):32].
Kedua : Tafsir
hablullah (tali Allah Azza wa Jalla) yang wajib dipegang
teguh oleh kaum muslimin agar tetap bersatu, ialah kitab Allah, Al Qur’an
Al Karim. Tafsir ini tidak bertentangan dengan ucapan Abdullah bin
Mas’ud Radhiyallahu anhu yang berbunyi,
.
الصِّرَاطُ الْمُستَقـِيْمُ الَّذِي تَرَكَنَا عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ
"
Jalan yang lurus, yaitu jalan yang kami lalui ketika kami ditinggal oleh Rasulullah."
[7]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewariskan dua pusaka untuk
mereka, yaitu Al Qur’an dan Sunnah, sebagaimana sabda beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam,
تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي أَبَدًاكِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِيْ
"
Aku tinggalkan untuk kalian sesuatu. Jika kalian berpegang teguh
kepadanya, kalian tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan
Sunnahku."
[8]
Ditinjau dari ekstensinya, Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam itu sama dengan kitab Allah sebagai wahyu, dan Sunnah itu sebagai
penjelas bagi Kitab Allah Azza wa Jalla. Bahkan, makhluk terbaik yang
menafsirkan Al Qur’an adalah Rasulullah, sebagaimana firman Allah Azza
wa Jalla,
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ
"
Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka." [QS.An Nahl (16):44].
Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata,
كَانَ خُلُقُهُ القُرْآنَ
"
Akhlaq beliau adalah Al Qur’an."
[9]
Oleh karena itu pula, jika timbul perpecahan dan perselisihan diantara
mereka, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan umatnya
agar berpegang teguh dengan sunnahnya Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersada,
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ
الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
"
Dan sesungguhnya, barangsiapa diantara kalian yang hidup setelahku, dia
akan melihat banyak perselisihan, maka wajib atas kalian untuk berpegang
teguh dengan sunnahku dan sunnah para khalifah yang diberi hidayah yang
mereka di atas petunjuk. Berpegang teguhlah padanya, dan gigitlah ia
dengan gigi geraham kalian (peganglah sekuat-kuatnya, Red.), serta
jauhilah perkara-perkara yang baru (dalam agama); karena sesungguhnya,
setiap perkara yang baru (yang diada-adakan dalam agama) adalah bid’ah."
[10]
Ketika menjelaskan sebab bersatunya salaf pada aqidah yang sama, Imam
Ibnu Bathuthah rahimahullah mengatakan,“Generasi pertama, semuanya masih
tetap pada aqidah ini. Hati dan mazdhab mereka menyatu. Kitab Allah
sebagai jaminan yang memelihara keutuhan mereka. Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pedoman. Mereka tidak menuruti
pendapat atau rasio mereka, (dan) tidak menyandarkan pemahamannya kepada
hawa nafsu. Kondisi umat pada saat itu terus demikian. Hati-hati mereka
terpelihara oleh penjagaan Allah Azza wa Jalla, dan berkat ‘InayahNya
jiwa-jiwa mereka terkendali dari hawa nafsu. [Lihat kitab
Al Ibanah atau
Al Qadar, I].
Apa yang dikatakan Ibnu Baththah rahimahullah itu benar; karena agama
Allah itu hanya satu (dan) tidak ada pertentangan. Allah berfirman,
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرًا
"
Kalau sekiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." [QS.An Nisa’ (4):82].
Adapun yang kami dakwahkan ini adalah jalan yang paling jelas, paling
terang, paling kaya (dengan dalil) dan paling sempurna. Dari Al Irbadh
bin Sariyah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ
"
Sesungguhnya, aku telah meninggalkan kalian di atas jalan, seperti jalan
yang sangat putih, malamnya sama dengan siangnya. Tiada yang menyimpang
sesudahku dari jalan itu, kecuali orang (itu) akan binasa."
[11]
Sehingga, jika ada seseorang yang berupaya untuk “menyempurnakan atau
menghiasinya” dengan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak pula oleh para sahabat
Radhiyallahu anhum, berarti perbuatan itu hanyalah sebuah upaya untuk
menyimpangkan mereka kepada jalan-jalan kesesatan, bahkan menyimpangkan
ke lembah-lembah kebinasaan. Inilah yang dinamakan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam,
البِدْعَةُ الضَّلاَلَةُ
Bid’ah adalah kesesatan
Oleh karena itu, para salafush shalih sangat mengingkari orang-orang
yang menambah-nambah dalam (masalah) agama, atau mengotori agama ini
dengan pendapat rasionya. Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu menuturkan,
إِيَّاكُمْ وَ مُجَالَسَةَ أَصْحَابِ الرَّأْيِ فَإِنَّهُمْ أَعْدَاءُ
السُّنَّةِ أُعِيَتْهُمُ السُّنَّةُ أَنْ يَحْفَظُوْهَا وَنَسَوْا (وفي
رواية) وَتَفَلَّتَتْ عَلَيْهِمُ الأَحَادِيْثُ أَنْ يَعُوْدَهَا
وَسُئِلُوْا عَمَّا لاَ يَعْلَمُوْنَ فَاسْتَحْيَوْا أَنْ يَقُوْلُوْا لاَ
نَعْلَمُ فَأَفْتَوْا بِرَأْيِهِمْ فَضَلُّوْا فَأَضَلُّوْا كَثِيْرًا وَ
ضَلُّوْا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ . إِنَّ نَبِيَّكُمْ لَمْ يَقْبِضْهُ
اللهُ حَتَّى أَغْنَاهُ بِالْوَحْيِ عَنِ الرَّأْيِ وَلَوْكَانَ الرَّأْيُ
أَوْلَى مِنَ السُّنَّةِ لَكَانَ بَاطِنُ الْخُفَّيْنِ أَوْلَى بِالْمَسْحِ
مِنْ ظَاهِرِهِمَا
"
Janganlah kalian duduk dengan orang-orang yang berpegang dengan rasio
(akal/pendapat) mereka; karena sesungguhnya, mereka itu musuh Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka tidak mampu memelihara Sunnah.
Mereka lupa (dalam sebuah riwayat, mereka diserang) hadits-hadits
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga mereka tidak mampu
memahaminya. Mereka ditanya tentang masalah yang tidak mereka ketahui,
akan tetapi mereka malu untuk mengatakan,“Kami tidak mengetahui,” lalu
mereka berfatwa dengan rasionya, sehingga mereka tersesat dan
menyesatkan orang banyak. Mereka tersesat dari jalan yang lurus.
Sesungguhnya Nabi kalian tidaklah diwafatkan Allah, kecuali setelah
Allah mencukupkannya dengan wahyu dari rasio. Dan seandainya rasio (akal) itu
lebih utama daripada Sunnah, niscaya mengusap bagian bawah kedua sepatu
(khuf), itu lebih utama daripada mengusap bagian atasnya."
[12]
Yang demikian itu, karena agama ini dibangun diatas dasar ittiba’
(mengikuti wahyu), bukan dengan ikhtira’ (mengada-ada). Sedangkan rasio,
biasanya tercela; karena banyak urusan agama yang tidak bisa dijangkau
oleh akal semata. Apalagi akal manusia memiliki perbedaan dalam
menjangkau pemahaman dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; meskipun
terkadang pendapat itu patut mendapatkan pujian.
[13] Abdullah bin Mas’ud
berkata,
اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ عَلَيْكُمْ بِالْعَتِيْقِ
"
Ikutilah dan jangan mengada-ada, karena sesungguhnya (ajaran syari’at
Islam ini) telah mencukupi kalian, hendaklah kalian berpegang dengan
tuntunan agama yang sediakala (kuno)."
[14]
Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhu berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٍ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
"
Semua bid’ah itu adalah sesat, meskipun manusia memandangnya baik." [Ibnu
Nashr dalam
As Sunnah, 82; Al Lalika’i dalam
Syarh Ushulul I’tiqad, no.
126; Al Baihaqi dalam
Al Madkhal, no. 191, dan sanadnya shahih]
Dan selama pembahasan kami tentang “pengaruh perbuatan bid’ah” yang
menghalangi seseorang dalam mencari jalan yang lurus, maka saya akan
menyebutkan sebuah ucapan Abdullah bin Abbas perihal masalah ini, yang
menunjukkan luasnya ilmu para sahabat.
Dari Utsman bin Hadhir, ia berkata: Aku datang menjumpai Abdullah bin
Abbas. Lalu aku berkata kepadanya,
أوصيني ( berilah wasiat kepadaku);
diapun berkata,
نَعَمْ عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ وَ الإِسْتِِقَامَةِ وَ الأَثَرِ وَ لاَ تَبْتَدِعْ
“Ya , bertaqwalah engkau kepada Allah, istiqamahlah dan (berpeganglah
pada)
atsar (jejak para salaf, pent). Dan jangan mengada-ada
dalam urusan agama."
[15]
Cobalah anda perhatikan ucapan ini. Dia memadukan dua hal.
Pertama,
taqwa kepada Allah, yang maknanya sama dengan keikhlasan. Sebab ia
dipadukan dengan perintah untuk berittiba’ (perintah untuk mengikuti
tuntunan Nabi, pent.).
Kedua, al ittiba’, yang maknanya mengikuti jalan
yang lurus, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Selanjutnya, beliau mengingatkan agar waspada terhadap yang bertolak
belakang dengan kedua hal di atas, yaitu bid’ah. Demikianlah mayoritas
ucapan para salaf, meskipun singkat, namun selalu mencakup dan
membentengi (seseorang).
Merupakan perangai Salafush Shalih, mereka selalu bersikap tegas dan
keras terhadap orang yang mencari-cari ucapan manusia (para tokoh) untuk
menandingi hukum Rasulullah, setinggi apapun kedudukan dan martabat
tokoh-tokoh tersebut.
Tidak diragukan, bahwasanya beradab dan memelihara kesopanan terhadap
para ulama’, mencintai dan mendahulukan mereka atas lainnya, serta
tudingan seseorang terhadap rasionya jika disejajarkan dengan
pendapat-pendapat para ulama; semua itu perkara yang amat penting. Namun
demikian, hal tersebut merupakan persoalan lain. Sedangkan
mendahulukan wahyu (Al Qur’an dan As Sunnah) setelah jelas
permasalahannya, juga merupakan perkara lain.
Urwah berkata kepada Ibnu Abbas,“Celaka engkau. Engkau telah menyesatkan
manusia, karena memerintahkan untuk melakukan ibadah umrah pada sepuluh
hari ( pertama bulan Dzul Hijjah), padahal tiada umrah pada hari-hari
itu.” Maka Ibnu Abbas berkata,“Wahai Uray
[16] Tanyakanlah kepada
ibumu.” Urwah berkata, “Bahwasanya Abu Bakar dan Umar tidak pernah
berkata (berpendapat) seperti itu, padahal mereka benar-benar lebih
mengetahui dan lebih mengikuti Rasulullah daripada engkau.” Maka dijawab
oleh Ibnu Abbas,
مِنْ هَهُنَا تُؤْتَوْنَ نَجِيْئُكُمْ بِرَسُوْلِ اللهِ وَتَجِيْئُوْنَ بِأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ
Dari sinilah kalian didatangi (fitnah-
Sa'ad). Kami membawakan kepadamu (perkataan)
Rasulullah, dan kamu membawakan (perkataan) Abu Bakar dan Umar.
Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas berkata kepadanya,
أَهُمَا –وَيْحَكَ- آثَرٌ عِنْدَكَ أَمْ مَا فِي كِِتَابِ اللهِ وَمَاسَنَّ رَسُوْلُ اللهِ فِي أَصْحَابِهِ وَأُمَّتِهِ
Celaka engkau. Apakah mereka berdua (Abu Bakar dan Umar, pent), lebih
engkau dahulukan ataukah yang tertulis dalam Kitab Allah dan disunahkan
oleh Rasulullah bagi sahabat dan umatnya?
Dalam riwayat lain, ia bertutur,
أُرَاهُمْ سَيُهْلَكُوْنَ أَقُوْلُ قَالَ النَّبِي وَيَقُوْلُ نَهَى أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ
Kelihatannya mereka akan dibinasakan, aku katakan “
Nabi berkata” sedang
mereka berkata “
Abu Bakar dan Umar telah melarangnya”.
[17].
Setelah membawakan ucapan Ibnu Abbas di atas, Syaikh Abdurrahman bin
Hasan mengatakan,“Dalam ucapan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu terdapat
isyarat yang menunjukkan, bahwa seseorang yang telah sampai padanya
dalil, lalu tidak mengambilnya (tidak mengamalkannya) karena bertaklid
kepada imamnya, maka orang itu wajib diingkari dengan keras karena
sikapnya yang menyelisihi dalil.”
[18]
Beliau juga mengatakan,”Kemungkaran ini
[19]. telah merebak luas
terutama dari mereka yang menisbatkan diri kepada ilmu. Mereka telah
menancapkan jerat-jerat dalam menghalangi (manusia) dari mengambil Al
Qur’an dan As Sunnah; menghalangi mereka dari mengikuti Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjunjung tinggi perintah serta
larangannya.”
Diantara ucapan mereka, “Tidak boleh berdalil dengan Al Qur’an dan
Sunnah Rasulullah, kecuali seorang mujtahid, sedangkan ijtihad telah
terputus.” Ada juga yang mengatakan, “Orang yang aku taklidi (ikuti)
padanya, lebih mengetahui daripada kamu tentang hadits, nasikh dan
mansukhnya” serta ucapan-ucapan serupa dengan tujuan akhirnya untuk
meninggalkan ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam , yang (beliau) tidak pernah berbicara karena terdorong hawa
nafsu, lalu (mereka) bersandar kepada ucapan orang-orang yang bisa saja
berbuat kesalahan. Ada juga di antara imam yang menyelisihi dan mencegah
dari perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan berdalih
“Tiada seorang ulama pun, kecuali yang dimilikinya hanyalah sebagian
ilmu, dan tidak semua (dikuasainya)”.
Maka wajib bagi setiap mukallaf (orang yang telah terkena beban
syari’at), jika telah sampai kepadanya dalil Al Qur’an dan Sunnah
Rasulullah dan telah dipahaminya, untuk berhenti padanya dan
mengamalkannya, meskipun ada yang menyelisihinya, sebagaimana firman
Allah,
اتَّبِعُوا مَآأُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَتَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ قَلِيلاً مَاتَذَكَّرُونَ
"
Ikutilah apa yang diturunkan kepada kamu sekalian dari Rabb-mu dan
janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah
kamu mengambil pelajaran (daripadanya)." [QS.Al A’raf (7):3].
FirmanNya
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّآأَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى
عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
"
Dan apakah tidak cukup bagi mereka, bahwasannya Kami telah menurunkan
kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) sedang dia dibacakan kepada mereka.
Sesungguhnya di dalam (Al Qur'an) itu terdapat rahmat yang besar dan
pelajaran bagi orang-orang yang beriman." [QS.Al Ankabut (29):51].
Dan di depan telah disampaikan perihal ijma’ (kesepakatan) para ulama’
terhadap yang kami sampaikan ini, serta keterangan, bahwa muqallid
(orang yang taklid) tidak termasuk orang-orang yang berilmu. Demikian
pula Abu Umar bin Abdil Barr dan ulama’ lainnya, telah menceritakan
ijma’ atas masalah ini.
[20].
Pengagungan kaum salaf terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam, telah sampai pada tingkatan menghunuskan pedang kepada orang
yang menolak hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
sebagaimana dilakukan oleh Imam Syafi’i. Beliau rahimahullah telah
mengadu kepada Al Qadhi (pemimpin mahkamah syari’at) Abul Bakhturi
perihal Bisyir Al Marisi
[21]. Beliau berkata,”Aku berdialog dengan Al
Marisi tentang mengundi
[22]. Dia berkata, “Wahai Abu Abdillah, Al Qur’an (mengundi) itu judi.”
Maka
kudatangi Abul Bakhturi, lalu kukatakan kepadanya,”Aku mendengar Al
Marisi berkata, mengundi itu judi,” Abul Bakhturi menjawab,”Wahai Abu
Abdillah, ajukan seorang saksi lagi. Aku akan membunuhnya.” Dalam
riwayat lain, ia berkata,”Ajukan seorang saksi lagi, niscaya akan
kuangkatnya pada sebatang kayu, lalu kusalibnya.”
[23]
(Diterjemahkan Oleh : Ustadz Mubarak Bamualim, dari
Sittu Durar Min
Ushuli Ahlil Atsar, karya Syaikh Abdul Malik Bin Ahmad Ramdhani)
[Disalin dari
majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun VII/1424H/2003M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.
8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Ahmad 4/102; Abu Dawud no. 4597; Darimi 2/241;
Thabrani 19/367, 88-885; Hakim 1/128; dan yang lainnya. Hadits ini
shahih.
Juga dikeluarkan oleh Ahmad 2/332; Abu Dawud no. 4596; Tirmidzi no.
2642; Ibnu Majah no. 3990; Abu Ya’la no. 5910, 5978, 6117; Ibnu Hibban
14/6247 dan 15/6731; Hakim 1/6, 128, dan lainnya dari hadits Abu
Hurairah, dan Hakim mempunyai beberapa riwayat lain dalam jumlah banyak
dari hadits Anas bin Malik, Abdullah bin Amr bin Al Ash, dan yang
selainnya. Hadits ini dishahihkan oleh Tirmidzi; Hakim; Adz Dzahabi, dan
Al Jazajani dalam kitab
Al Abathil 1/302; Al Baghawi dalam
Syarh Sunnah
1/213; Asy Syathibi dalam
Al I’tisham 2/698,
tahqiq Salim Al Hilali;
Ibnu Taimiyah dalam
Majmu’ Fatawa 3/345; Ibnu Hibban dalam
Shahih-nya
4/48; Ibnu Katsir dalam tafsirnya 1/390; Ibnu Hajr dalam
Tarikh Al
Kasysyaf, halaman 63; Al Iraqi dalam
Al Mughni ‘An Hamlil Asfar, no.
3240; Al Bushairi dalam
Mishbahuz Zujajah, halaman 4/180; Al Albani
dalam
Silsilah Shahihah, no. 203, dan yang lainnya. Sangat banyak.
Sengaja saya sebutkan ini semua, untuk membuat ahli bid’ah yang berupaya
melemahkan hadits yang agung ini, menjadi sia-sia –aku ingin menjadikan
mereka bisu. Al Hakim rahimahullah berkata tentang hadits ini,”Hadits yang agung
atau banyak, sebagaimana sebagian ulama telah menempatkannya dalam
hadits-hadits yang pokok.
[2]. Lihat hadits
Iftiraqul Ummah Ila Nayyif Sab’ina Firqah, halaman 67-68.
[3]. Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad I/435, dan yang lainnya.
[4].
At Tafsir Al Qayyim, halaman 14-15.
[5]. Lihat
Al Fawa’id, karya Ibnu Qayyim, halaman 223
[6]. Diriwayatkan Abu Ubaid dalam
Fadhailul Qur’an, halaman 75; Ad
Darimi 2/433; Ibnu Nashr dalam
As Sunnah, no 22; Ibnu Dhurais dalam
Fadhailul Qur’an, 74; Ibnu Jarir dalam tafsirnya no. 7566 (
tahqiq Ahmad
Asakir); Ath Thabari 9/9031; Al Ajuri dalam
Asy Syari’ah, 16; dan Ibnu
Baththah dalam
Al Ibanah, no. 135; dan riwayat ini shahih.
[7]. Atsar shahih, dikeluarkan Ath Thabari, 10 no. 10454; Al Baihaqi
dalam
Asy Syu’ab 4/88-89; Ibnu Wadhdhah dalam
Al Bida’, no. 76.
[8]. Diriwayatkan Imam Malik dalam
Al Muwaththa’ 2/899; Ibnu Nashr dalam
As Sunnah, no. 68; Al Hakim 1/93; dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani
dalam komentar beliau tentang kitab
Misykatul Mashabih, no. 186.
[9]. Riwayat Ahmad 6/91, 163; dan Muslim 746.
[10]. Hadits shahih diriwayatkan Abu Daud, no. 4607; At Tirmidzi, no. 2676; dan yang lainnya
[11]. Riwayat Ahmad 4/126; Ibnu Majah, no. 5 dan 43; Ibnu Abi Ashim
dalam kitabnya
As Sunnah, no. 48-49; Al Hakim 1/96; dan dishahihkan oleh
Al Albani dalam kitab
Fi Dhalalil Jannah Fi Takhrij Sunnah.
[12]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Zuamanain dalam
Ushulus Sunnah, no 8; Al
Lalika’i dalam
Syarh Ushulul I’tiqad, no. 201; Al Khatib Al Bagdadi
dalam
Faqih wal Mutafaqqih, no. 476-480; Ibnu Abdil Baar dalam
Jami’
Bayanul Ilmi Wa Fadluhu, no. 2001, 2003, 2005; Ibnu Hazm dalam
Al Ihkam,
4/42-43; Al Baihaqi dalam
Al Madkhal, 312; Qiwamus Sunnah dalam
Al
Hujjah, 1/205, pada sebagian sanadnya ada yang lemah dan ada pula yang
putus. Namun demikian, sebagian sanad dapat menguatkan sebagian yang
lain. Oleh karena itu, Ibnu Qayyim mengatakan,“Sanad-sanad ucapan Ibnu
Umar ini sangat shahih.” Lihat
I’lamul Muwaqi’ien, 1/44.
[13]. Lihat perinciannya dalam
I’lamul Muwaqi’ien, 1/63 karya Ibnu Qayyim.
[14]. Diriwayatkan oleh Waki’ dalam
Az Zuhd, no. 315; Abdur Razaq, no.
20465; Abu Khaitsamah dalam
Al Ilmu, no. 45; Ahmad dalam
Az Zuhd,
halaman 62; Ad Darimi 1/69; Ibnu Wadhdhah dalam
Al Bida’, no. 60; Ibnu
Nashr dalam
As Sunnah, no. 78 dan 85; Thabrani 9/8770 dan 8845; Ibnu
Baththah dalam
Al Ibanah/
Al Iman 168-169, 174-175 dan
Al Madkhal, no.
387-388; Al Khatib dalam
Al Faqih Wal Mutafaqih, 1/43; dan dishahihkan
oleh Al Albani dalam
ta’liq-nya atas kitab
Al Ilmu, karya Abu Khaitsamah.
[15]. Diriwayatkan Ad Darimi, I/53; Ibnu Wadhdah dalam
Al Bida’, no. 61;
Ibnu Nashr, no. 83; Ibnu Baththah dalam
Al Ibanah, no. 200 dan 206; Al
Khatib dalam
Al Faqih Wal Mutafaqqih, I/173, dari dua jalan yang saling
menguatkan.
[16]. Nama
tasghir ( kecil ) Urwah bin Zubair. Wallahu a’lam, (pent).
[17]. Diriwayatkan Ishaq bin Rahawi (Rahwiyah), sebagaimana dalam kitab
Al Muthallibul ‘Aliyah, no. 1306; Ibnu Abi Syaibah, 4/103, dan dari
jalurnya dikeluarkan oleh Thabrani; Al Khatib dalam
Al Faqih Wal
Mutafaqqih, 379 – 380 ), Ibnu Abdil Baar dalam
Jami’-nya, no. 2378 dan
2381; dan dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam
Al Muthalib; dan dihasankan
oleh Al Haitsami dalam
Al Mujma’, 3/234; juga oleh Ibnu Muflih dalam
Al
Adab Asy Syar’iyyah, 2/66.
[18]. Lihat pada
Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, halaman 338.
[19]. Yang beliau maksud dengan “kemungkaran”, yaitu mengesampingkan
dalil hanya dikarenakan taqlid kepada imam (madzhab)nya, Pent.
[20]. Lihat
Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, halaman 339- 340.
[21]. Bisyir bin Ghiyats Al Marisi, seorang ahli kalam yang keluar dari
ketaqwaan dan sikap wara’. Dia berakidah Jahmiyah (golongan yang
mengingkari dan menafi’kan sifat-sifat Allah). Dia menyatakan, bahwa Al
Qur’an adalah makhluk ciptaan Allah. Oleh sebab itu, dikafirkan oleh
sejumlah ulama’, seperti: Qutaibah bin Sa’id dan yang lainnya, meninggal
tahun 218 H. Lihat
Siyar A’lamin Nubala’, 10 / 199, (Pent).
[22]. Hal ini mengacu kepada hadits Imran bin Husain
أَنَّ رَجُلًا أَعْتَقَ سِتَّةَ مَمْلُوكِينَ لَهُ عِنْدَ مَوْتِهِ لَمْ
يَكُنْ لَهُ مَالٌ غَيْرَهُمْ فَدَعَا بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَزَّأَهُمْ أَثْلَاثًا ثُمَّ أَقْرَعَ
بَيْنَهُمْ فَأَعْتَقَ اثْنَيْنِ وَأَرَقَّ أَرْبَعَةً وَقَالَ لَهُ
قَوْلًا شَدِيدًا
Bahwasanya seorang lelaki membebaskan enam budaknya ketika ia dihampiri
kematian, ia tidak memiliki harta selain mereka, maka Rasulullah
memanggil mereka dan membagi menjadi tiga bagian, lalu beliau mengundi
diantara mereka, kemudian beliau memerdekakan dua orang dan yang empat
tetap sebagai budak dan beliau mengeluarkan kata-kata yang keras
terhadap orang. (HR Muslim,1668).
[23]. Diriwayatkan Al Khalal dalam
As Sunnah, 1735; Al Khatib dalam
Tarikh Al Baghdad, 7/60, dan sanadnya shahih. Faidah dari riwayat ini adalah celaan terhadap orang yang mengambil suatu
perkara atau mengerjakan suatu amalan tanpa mengetahui sumber dalilnya
*****
Sumber:
almanhaj.or.id
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin