Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

19 Mei 2012

FILE 264 : Tanda Hati yang Sakit

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Tanda Hati yang Sakit

.Disusun oleh:
Muhammad Nur Ichwan Muslim



Di antara tanda hati yang sakit adalah hamba sulit untuk merealisasikan tujuan penciptaan dirinya, yaitu untuk mengenal Allah, mencintai-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, kembali kepada-Nya dan memprioritaskan seluruh hal tersebut daripada seluruh syahwatnya. Akhirnya, hamba yang sakit hatinya lebih mendahulukan syahwat daripada menaati dan mencintai Allah sebagaimana yang difirmankan Allah ‘azza wa jalla,

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلاً

"Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?" (QS. Al Furqan [25]: 43).

Beberapa ulama salaf menafsirkan ayat ini dengan mengatakan,

هو الذي كلما هوى شيئا ركبه . فيحيا في هذه الحياة الدنيا حياة البهائم لا يعرف ربه عز وجل ولا يعبده بأمره ونهيه كما قال تعالى : ( يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوىً لَهُمْ)(محمد: من الآية12)

“Orang yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah dia yang senantiasa menunggangi hawa nafsunya, sehingga kehidupan yang dijalaninya di dunia ini layaknya kehidupan binatang ternak, tidak mengenal Rabb-nya ‘azza wa jalla, tidak beribadah kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, persis seperti firman Allah ta’ala (yang artinya), ‘Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka’ (QS. Muhammad [47]: 12)."

Pada akhirnya, balasan sesuai dengan perbuatan, sebagaimana di dunia dia tidak menjalani kehidupan yang dicintai dan diridhai Allah ‘azza wa jalla, dia menikmati seluruhnya dan hidup menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat kepada-Nya, maka demikian pula di akhirat kelak, dia akan menjalani kehidupan yang tiada kebahagiaan di dalamnya, dirinya tidak akan mati sehingga terbebas dari adzab yang menyakitkan. Dia tidak mati, tidakpula hidup,

يَتَجَرَّعُهُ وَلا يَكَادُ يُسِيغُهُ وَيَأْتِيهِ الْمَوْتُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَمَا هُوَ بِمَيِّتٍ وَمِنْ وَرَائِهِ عَذَابٌ غَلِيظٌ

Diminumnya air nanah itu dan hampir dia tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi dia tidak juga mati, dan dihadapannya masih ada azab yang berat” (QS. Ibrahim [14]: 17).


Diantara tanda hati yang sakit adalah pemiliknya tidak merasa terluka akibat tindakan-tindakan kemaksiatan sebagaimana kata pepatah ‘وما لجرح بميت إيلام’, tidaklah menyakiti, luka yang ada pada mayat. Hati yang sehat akan merasa sakit dan terluka dengan kemaksiatan, sehingga hal ini melahirkan taubat dan inabah kepada Rabb-nya ‘azza wa jalla. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala,

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. Al A’raaf [7]: 201).

Allah berfirman ketika menyebutkan karakter orang beriman,

والذين إذا فعلوا فاحشة أو ظلموا أنفسهم ذكروا الله فاستغفروا لذنوبهم ومن يغفر الذنوب إلا الله ولم يصروا على ما فعلوا وهم يعلمون

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” (QS. Ali Imran [3]: 135).

Maksudnya adalah ketika mereka bermaksiat, mereka mengingat Allah ‘azza wa jalla, ancaman dan siksa yang disediakan oleh-Nya bagi pelaku kemaksiatan, sehingga hal ini mendorong mereka untuk beristighfar kepada-Nya.

Penyakit hati justru menyebabkan terjadinya kontinuitas keburukan seperti yang dikemukakan oleh al-Hasan ketika menafsirkan firman Allah,

كلا بل ران على قلوبهم ما كانوا يكسبون

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al Muthaffifin [83]: 14).

Beliau mengatakan,

هو الذنب على الذنب حتى يعمى القلب أما سليم القلب فيتبع السيئة الحسنة والذنب التوبة

“Hal itu (raan) adalah dosa di atas dosa yang membutakan hati. Adapun hati yang salim justru akan melahirkan perbuatan yang baik setelah dulunya berbuat buruk, melahirkan taubat setelah dulunya berbuat dosa.”


Di antara tanda penyakit hati adalah pemiliknya tidak merasa risih dengan kebodohannya terhadap kebenaran. Hati yang salim akan merasa resah jika muncul syubhat di hadapannya, merasa sakit dengan kebodohan terhadap kebenaran dan ketidaktahuan terhadap berbagai keyakinan yang menyimpang. Kebodohan merupakan musibah terbesar, sehingga seorang yang memiliki kehidupan di dalam hati akan merasa sakit jika kebodohan bersemayam di dalam hatinya. Sebagian ulama mengatakan,

ما عصى الله بذنب أقبح من الجهل ؟

Adakah dosa kemaksiatan kepada Allah yang lebih buruk daripada kebodohan?

Imam Sahl pernah ditanya,

يا أبا محمد أي شيء أقبح من الجهل؟ قال ” الجهل بالجهل ” ،قيل : صدق لأنه يسد باب العلم بالكلية

“Wahai Abu Muhammad, adakah sesuatu yang lebih buruk daripada kebodohan? Dia menjawab, “Bodoh terhadap kebodohan.” Kemudian ada yang berkata, “Dia benar, karena hal itu akan menutup pintu ilmu sama sekali.”

Ada penyair yang berkata,

وفي الجهل قبل الموت موت لأهله             وأجسامهم قبل القبور قبور
وأرواحهم في وحشةٍ من جسومهم           وليس لهم حتى النشور نشور

Kebodohan adalah kematian sebelum pemiliknya mati,
tubuh mereka layaknya kuburan sebelum dikuburkan
Kepada tubuh yang semula, ruh mereka ingin kembali,
padahal bagi mereka, tidak ada kebangkitan hingga hari kebangkitan


Di antara tanda penyakit hati adalah pemiliknya berpaling dari nutrisi hati yang bermanfaat dan justru beralih kepada racun yang mematikan, sebagaimana tindakan mayoritas manusia yang berpaling dari al-Quran yang dinyatakan Allah sebagai obat dan rahmat dalam firman-Nya,

Hati yang Sakit
وننزل من القرآن ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين

Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…” (QS. Al Isra [17]: 82).

Mereka justru berpaling mendengarkan lagu yang menumbuhkan kemunafikan dalam hati, menggerakkan syahwat dan mengandung kekufuran kepada Allah ‘azza wa jalla. Pada kondisi ini, hamba mendahulukan kemaksiatan karena kecintaannya kepada sesuatu yang dimurkai oleh Allah dan rasul-Nya. Dengan demikian, mendahulukan kemaksiatan merupakan buah dari penyakit hati dan akan menambah akut penyakit tersebut. Sebaliknya, hati yang sehat justru akan mencintai apa yang dicintai Allah dan rasul-Nya sebagaimana firman-Nya,

وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ

Tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (QS. Al Hujuraat [49]: 7).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا

Orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai rasul, niscaya akan merasakan kelezatan iman.” [HR. Muslim].

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga diriku lebih dicintainya daripada orangtuanya, anaknya dan seluruh manusia.” [HR. Bukhari dan Muslim].


Diantara tanda penyakit hati, pemiliknya condong kepada kehidupan dunia, merasa enjoy dan tenteram dengannya, tidak merasa bahwa sebenarnya dia adalah pengembara di kehidupan dunia, tidak mengharapkan kehidupan akhirat dan tidak berusaha mempersiapkan bekal untuk kehidupannya kelak disana.

Setiap kali hati sembuh dari penyakitnya, dia akan beranjak untuk condong kepada kehidupan akhirat, sehingga keadaannya persis seperti apa yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كن في الدنيا كأنك غريب أو عابر سبيل

Hiduplah di dunia ini seakan-akan engkau orang asing atau orang yang sekedar menumpang lewat” [HR. Bukhari].

Wallahul muwaffiq.
Dikutip dari al-Bahr ar-Raiq karya Syaikh Ahmad Farid
*****
Sumber: muslim.or.id

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

12 Mei 2012

FILE 263 : Bolehkah Menghadiri Resepsi Pernikahan Non-Muslim ?

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Menghadiri Resepsi Pernikahan Non Muslim



Pertanyaan
Ustadz saya mau bertanya, bagaimanakah hukumnya kita sebagai seorang Muslim menghadiri acara pernikahan orang non-Muslim?

Jawaban
Menghadiri undangan pernikahan non-Muslim hukumnya boleh, apabila dalam acara tersebut tidak ada unsur kemaksiatan atau perbuatan yang dilarang oleh syari’at seperti syiar-syiar agama mereka. Jika ada, maka hukum menghadirinya haram.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan :

"Apabila ada tetanggamu yang kafir mengadakan resepsi pernikahan dan dia mengundangmu, maka kamu boleh memenuhi undangan itu tapi bukan sebuah kewajiban. Kecuali apabila dalam acara itu ada acara-acara keagamaan atau syiar-syiar agama mereka, maka hukum memenuhi undangan itu menjadi haram. Karena mengadiri undangan yang ada syiar-syiar kekufurannya sama dengan ridla terhadap syiar-syiar tersebut, sementara ridla terhadap kekufuran adalah suatu yang sangat berbahaya (bagi akidah seseorang).

Oleh karena itu para ulama sepakat mengharamkan pemberian ucapan selamat kepada orang kafir bertepatan dengan acara keagamaan mereka seperti memberikan ucapan selamat hari Natal.

Sedangkan memberikan ucapan selamat dalam acara pernikahan atau kelahiran, para Ulama membolehkan dengan syarat ada maslahat (kebaikan) yang diharapkan atau dalam rangka membalas perbuatan baik mereka kepada kita” [Syahrul Mumti’. 12/322 Bab Walimatil Ursy]

Demikian fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah. Namun berkaitan dengan mengkonsumsi hidangan, maka jika hidangan itu berupa daging sembelihan selain ahli kitab, maka hukumnya haram.

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan :

"Sembelihan penyembah berhala adalah haram berdasarkan ijma. Allah 'Azza wa Jalla berfirman.

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

"Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka." [Al-Maidah : 5]

Makna yang tersirat dari ayat ini adalah haramnya mengkonsumsi makanan orang-orang kafir selain ahli kitab karena mereka tidak memiliki kitab sehingga sembelihan mereka tidak halal atau haram."

Wallahu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
*****
Sumber: almanhaj.or.id

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

06 Mei 2012

FILE 262 : Hukum Pembatas Jama'ah di Masjid

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Hukum Kain Tabir Hijab Masjid

.Dijawab oleh:
Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah



Bismillahirrahmanirrahim. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya berkaitan dengan masalah tabir di dalam masjid. Berikut terjemah pertanyaannya beserta jawaban dari beliau :

Pertanyaan :

Di tempat kami ada sebuah masjid yang di dalamnya ada bagian khusus untuk perempuan yang terpisah dengan dinding dari tempat laki-laki. Di bagian khusus tersebut ada pengeras suara untuk mendengarkan suara imam dan pengajar. Ada seseorang yang ingin merobohkan dinding tersebut agar jama’ah perempuan tidak berada di samping jama’ah laki-laki. Dalam hal ini dia berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

تصف الرجال ثم الصبيان ثم النساء

Para lelaki bershaf, kemudian anak-anak, kemudian para perempuan.” (1)

Karena hal itu, timbullah perselisihan yang sengit. Maka, apa bimbingan anda? Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.(2)


Jawaban :

Semua hal itu tidak mengapa. Dahulu para perempuan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di belakang jama’ah laki-laki tanpa dipisah dengan dinding atau apapun. Namun para perempuan tersebut berhijab. Sebagaimana di dalam hadits shahih,  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

خير صفوف الرجال أولها وشرها آخرها، وخير صفوف النساء آخرها وشرها أولها

Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan, dan sejelek-jeleknya  adalah yang paling belakang. Sedangkan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling belakang, dan sejelek-jeleknya adalah yang paling depan.” (3)

Hijab kain
Hal tersebut karena shaf perempuan yang paling depan kadang dekat dengan shaf laki-laki. Jika mereka shalat di bagian belakang masjid setelah shaf laki-laki, dan mereka berhijab, maka tidak mengapa, dan tidak butuh dinding atau yang lainnya. Namun jika dibuat dinding atau penutup lain sehingga para perempuan bisa leluasa, membuka penutup wajah mereka dan beristirahat, maka hal tersebut tidak masalah. Mereka bisa mendengar suara imam dari pengeras suara atau tanpa pengeras suara jika mereka memang bisa mendengar suara imam tanpa alat itu. Hal tersebut tidak mengapa, perkara ini luas walhamdulillah

Jika dibuat jendela yang dengannya imam dan ma’mum laki-laki bisa terlihat, dan suara imam terdengar, hal tersebut juga tidak masalah. Semua perkara dalam hal ini ada keleluasaan, tidak sepantasnya bersikap keras dalam masalah ini. Ada dinding, jendela, atau penutup yang lain, atau tanpa adanya semua itu semuanya bagus dan boleh. 

Walhamdulillah.

——————————-
1)  Dikeluarkan oleh Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir Mu’jam Al Harits Abu Malik Al Asy’ari, Syahr bin Husyab dari Abu Malik Al Asy’ari jilid 3 hal. 291, nomor 3436.
2)   Pertanyaan ke-34 dari kaset nomor 256.
3)  Dikeluarkan oleh Muslim dalam Kitabush Shalat, bab Taswiyah Ash Shufuf wa Iqamatuha wa Fadhl Al Awwal fal Awwal minha, wal Izdiham ‘ala Ash Shaf Al Awwal wal  Musabaqah Ilaiha, wa Taqdim Ulil Fadhl wa Taqribihim minal Imam, nomor 440.
(Fatawa Nur ‘Ala Ad Darb Li Ibni Baz Bi’Inayah Asy Syuwai’ir 12/267-269)

--oo00oo--

Pertanyaan :

Orang-orang berpendapat bahwa zaman sekarang tidak seperti zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jadi harus ada tabir dan penghalang di masjid sehingga para lelaki tidak bisa melihat para perempuan.(1)


Jawaban :

Hijab kayu
Jika para perempuan tersebut karena kebiasaan mereka di sebagian negeri tidak berhijab, harus ada dinding atau tabir itu. Adapun jika mereka perhatian terhadap masalah hijab dan menutup tubuh mereka dengan baik sebagaimana di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu, maka tidak butuh tabir di masjid. Mereka shalat di belakang jama’ah laki-laki. Sebaik-baik shaf mereka adalah yang paling belakang, dan sejelek-jeleknya adalah yang paling depan. 

Tetapi jika mereka memiliki kebiasaan bermudah-mudahan dan membuka wajah, maka adanya tabir yang menutupi mereka di dalam masjid adalah perkara yang wajib, sehingga mereka tidak menimbulkan fitnah bagi yang lain dan juga tidak ditimpa fitnah.

————————-
1)    Pertanyaan ke-35 dari kaset nomor 256.
(Fatawa Nur ‘Ala Ad Darb Li Ibni Baz Bi’Inayah Asy Syuwai’ir 12/269-270)

Dari fatwa Syaikh bin Baz rahimahullah di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa jika kebiasaan para perempuan di suatu daerah adalah tidak perhatian dengan hijab, maka adanya tabir pemisah di masjid adalah wajib. Jika masjid tempat kita shalat tidak ada tabirnya atau tabirnya dipotong sehingga antara jama’ah lelaki dan perempuan bisa saling melihat, maka hendaknya kita memberi nasihat kepada ta’mir masjid tersebut dengan cara yang baik. Jika mereka menerima, walhamdulillah. Jika tidak, maka kewajiban kita untuk amar ma’ruf nahi mungkar dalam hal itu telah gugur.

Adapun tentang hukum shalat di masjid yang seperti itu, maka hukumnya sah karena tidak termasuk syarat sahnya shalat adanya tabir pemisah antara shaf laki-laki dan perempuan.

Wabillahit taufiq, wa shallallahu wa sallam ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.

*****
Sumber: Milis An Nashihah

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin