Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

25 Februari 2012

FIILE 253 : Mengenal Masjidul Bait

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Masjidul Bait (Masjid di Dalam Rumah),
Urgensi dan Fungsinya

.[Diadaptasi oleh Abu Minhal dari Masajidul Buyut, Ahkamuha wa Adabuha (Ghurfatush Shalati fil Baiti Sunnatun Ghaibah). DR Khalid bin Ali al-Anbari, Darul Atsariyyah, Amman Yordania]


Rumah merupakan salah satu nikmat besar dari Allah Azza wa Jalla bagi setiap muslim. Allah Azza wa Jalla telah mengingatkan besarnya nikmat ini dan fungsi pentingnya bagi para penghuninya. Jiwa-jiwa dan hati mereka akan merasa tenang ketika sudah berada di dalamnya. Rumah akan menjadi tempat melepas lelah, menutup aurat, dan menjadi tempat menjalankan berbagai aktifitas yang bermanfaat, untuk dunia maupun akherat.

Allah Azza wa Jalla mengingatkan besarnya nikmat rumah bagi manusia dengan berfirman.

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّن بُيُوتِكُمْ سَكَنًا

dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal” [QS. an-Nahl [16]: 80]

Termasuk pertanda bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla atas nikmat rumah tempat naungan ini, hendaknya Allah Azza wa Jalla ditaati di dalamnya dengan menjadikannya sebagai tempat ibadah, dzikir, shalat-shalat sunnah dan ibadah-ibadah lainnya. Bukan sebaliknya, malah menjadi pusat maksiat kepada Allah Azza wa Jalla, dipenuhi berbagai perangkat yang melalaikan orang dari beribadah kepada-Nya.

Di antara faktor yang mendukung keluarga untuk beribadah, dibuat tempat khusus untuk beribadah bagi seluruh penghuni rumah, sebagai tempat berdzikir dan tempat mengerjakan shalat-shalat sunnah. Satu tempat yang mereka gunakan untuk menikmati bermunajat dengan Rabb mereka, Allah Azza wa Jalla Dzul jalali wal ikram.


MEMBUAT MASJID DI DALAM RUMAH, MUSTAHAB

Yang dimaksud dengan masjidul bait seperti tertera dalam judul tulisan ini berdasarkan penjelasan Ulama yaitu tempat atau ruangan yang dikhususkan dan diperuntukkan oleh pemilik rumah sebagai tempat mengerjakan shalat-shalat sunnat dan ibadah-ibdah nafilah lainnya [1]

Bagaimanakah sebenarnya hukum membuat masjidul bait dalam rumah bagi seorang muslim? Membuat tempat khusus di dalam rumah sebagai tempat menjalankan shalat sunnat dan mengerjakan amalan-amalan ibadah lainnya adalah mustahab (dianjurkan). Para ulama telah membicarakan pembahasan ini dalam kitab-kitab fikih dan hadits karya mereka.

Dari Ummu Humaid Radhiyallahu anhuma, istri Abu Humaid al-Sa’idi Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku sangat suka shalat (berjamaah) bersamamu”. Beliau berkata, “Aku sudah tahu engkau menyukai shalat bersamaku, (akan tetapi) shalatmu di masjid rumahmu (tempat paling dalam –red) lebih baik daripada shalatmu di kamar, shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di dalam rumahmu, shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu, shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalamu di masjidku (Masjid Nabawi)”. Selanjutnya Ummu Humaid meminta dibuatkan masjid (tempat shalat) di tempat paling ujung dalam rumahnya dan yang paling gelap. Ia mengerjakan shalat di situ sampai menjumpai Allah (ajal datang) [2]

Amirul Mukminin dalam Hadits, Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari rahimahullah menyatakan dalam kitab shahihnya : “Bab masjid-masjid di dalam rumah dan shalatnya al-Bara bin Azib Radhiyallahu anhu di masjid rumahnya dengan berjama’ah”.

Sehubungan dengan fungsinya sebagai tempat ibadah, maka harus diperhatikan aspek kebersihan dan keharumannya. [3] Apalagi mengingat fungsi-fungsi positifnya dalam membina dan mendidik anak-anak serta menanamkan nilai-nilai Islam yang luhur pada generasi yang akan datang tersebut.


TIDAK MESTI RUANGAN ATAU KAMAR KHUSUS

Ada dua bentuk masjidul bait pada masa lalu seperti tertuang pada beberapa nash dan atsar berikut :

1. Berbentuk kamar khusus di dalam rumah

Bentuk pertama ini berdasarkan riwayat dari Ummu Humaid Radhiyallahu anhuma yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwasanya ia mendatangi Nabi seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku sangat suka shalat (berjama’ah) bersamamu”. Beliau berkata, “Aku sudah tahu engkau menyukai shalat bersamaku, (akan tetapi) shalatmu di tempat paling dalam di rumahmu lebih baik dari pada shalatmu di kamar…. Selanjutnya Ummu Humaid meminta dibuatkan masjid (tempat shalat) di tempat paling ujung dalam rumahnya dan yang paling gelap. Ia mengerjakan shalat di situ sampai menjumpai Allah (ajal datang). [4]

2. Tempat khusus di salah satu pojok kamar

Jika kurang memungkinkan bagi seorang muslim untuk mengadakan ruangan khusus sebagai masjidul bait untuk tempat shalat sunnah dan ibadah-ibadah nafilah lainnya, maka tidak masalah bila ia hanya menentukan pojok tertentu dari kamar yang dapat dipergunakan untuk tujuan tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa seorang lelaki dan kaum Anshar memohon Rasulullah datang (ke rumahnya) untuk berkenan menggarisi tempat sebagai masjid di dalam rumahnya untuk dia jadikan tempat shalatnya. Itu dilakukan setelah ia mengalami kebutaan dan kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhinya. [5]

Dalam al-Musnad, Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari ‘Itban bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah, air bah telah menghalangiku untuk mendatangi masjid di kampung (untuk shalat fardhu). Aku ingin engkau mendatangiku dan kemudian mengerjakan shalat di suatu tempat (yang nantinya) aku jadikan sebagai masjid (masjidul bait)”. Nabi menjawab, “Baiklah”. Keesokan harinya, Rasulullah mendatangi Abu Bakar dan memintanya untuk mengikuti beliau. Ketika memasuki (rumah ‘Itban), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Di mana tempat yang engkau inginkan?” Maka aku (‘Itban) menunjuk ke satu pojok rumahnya. Kemudian Rasulullah berdiri dan shalat (di situ). Dan kami berbaris di belakang beliau. Beliau mengerjakan shalat dua rakaat bersama kami”. [6]

Dalam riwayat al-Bukhari, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin (masuk rumah), kemudian beliau aku persilahkan (masuk). Beliau tidak duduk sampai berkata, “Dimana tempat yang engkau ingin aku shalat di rumahmu?”. Kemudian ia (‘Itban) menunjuk tempat yang ia ingin Nabi shalat di situ..”[7]

 
DAHULU, SEMUA RUMAH PUNYA MASJIDUL BAIT

Generasi salaf dari kalangan sahabat Nabi dan Tabi’in, mereka berada di puncak tinggi dalam ibadah, menghambakan diri kepada Allah Azza wa Jalla, dan konsentrasi meraih akhirat. Begitu banyak ibadah sunnah yang mereka kerjakan, sementara di malam hari, mereka isi dengan berdiri, ruku dan sujud yang sangat panjang. Ketaatan mereka sangat besar. Di antara faktor yang mendukung mereka untuk keperluan tersebut ialah adanya masjidul bait, di rumah-rumah mereka.

Ternyata mereka telah memiliki masjidul bait di rumah mereka masing-masing. Hal ini berdasarkan pernyataan sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berikut :

مَا مِنْكُمْ إِلاَّ وَلَهُ مَسْجِدْ فِيْ بَيْتِهِ

Setiap kalian telah mempunyai masjid di dalam rumahnya[8]

Hal ini dikarenakan konsentrasi mereka yang besar terhadap kehidupan akhirat, yang telah memenuhi relung hati mereka paling dalam. Meski rumah tinggal mereka sederhana dan tidak luas, mereka masih mengkhususkan satu tempat dari rumah mereka sebagai tempat menjalankan ibadah-ibadah sunnat dan nafilah. Malam mereka lalui di dalamnya dalam keadaan berdiri, ruku dan sujud, mengharapkan rahmat Allah Azza wa Jalla dan takut dari siksa-Nya, mengingatkan mereka akan tujuan hidup mereka, dan kampung akhirat. Bahkan sebagian dari mereka, seperti Abu Tsa’labah al-Khusyanni Radhiyallahu anhu meninggal di dalam masjidul bait dalam keadaan bersujud.


MANFAAT MASJIDUL BAIT

Keberadaan masjidul bait mendatangkan berbagai macam manfaat dan dampak positif bagi keluarga itu sendiri. Inilah yang memotivasi generasi Salaf dalam mengkhususkan tempat untuk itu. Di antara manfaatnya:
  • Sebagai tempat menguatkan hubungan dengan Allah Azza wa Jalla
  • Sebagai tempat membina jiwa untuk lebih ikhlas dalam berbicara dan berbuat. Sebab ibadah yang dikerjakan jauh dari pandangan manusia akan lebih mendatangkan ikhlas.
  • Sebagai tempat mengerjakan shalat bagi keluarga.
  • Sebagai tempat pembinaan anak-anak untuk lebih taat beragama dan rajin beribadah.
  • Sebagai pendorong untuk beribadah dan mengingatkannya.
  • Menghidupkan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
  • Sebagai media mengokohkan hubungan keluarga.
  • Sebagai tempat shalat fardhu bagi yang memiliki udzur


SHALAT-SHALAT SUNNAT DI MASJIDUL BAIT

Shalat fardhu telah menjadi salah satu kewajiban terpenting atas setiap muslim dan muslimah. Dan khusus bagi para lelaki, syariat telah menetapkan pelaksanaan shalat fardhu tersebut secara berjama’ah di masjid. Adapun shalat nafilah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan pelaksanaannya di dalam rumah.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

عَلَيْكُمْ بِالصَّلاَةِ فِيْ بُيُوْ تِكُمْ فَإِنَّ خَيْرَ صَلاَةِ الْمَرْءِفِيْ بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوْ بَة

Shalatlah kalian di dalam rumah kalian. Sungguh sebaik-baik shalat seseorang adalah (yang dikerjakan) di dalam rumahnya kecuali shalat fardhu[9]

Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِذَا قَضَى أَحَدُ كُمْ الصَّلاَةَ فِيْ مَسْجِدِهِ فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيْبًا مِنْ صَلاَتِهِ فَإِنَّ اللَّهَ جَاعِلٌ فِيْ بَيْتِهِ مِنْ صَلاَتِهِ خَيْرًا

Jika salah seorang kalian telah menyelesaikan shalat di masjid, maka hendaknya ia memberikan bagian shalatnya di dalam rumahnya. Sesungguhnya Allah akan menjadikan kebaikan di dalam rumahnya melalui shalatnya (yang dilakukan di rumah)”. [10]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya oleh sahabat Hakim bin Hizam Radhiyallahu anhu perihal tempat mengerjakan shalat, apakah di rumah atau di masjid. Meski rumah beliau dengan masjid sangat dekat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan berkata :

وَلأَِنْ أُصَلِيَ فَيْ بَيْتِيْ أَحَبُّء إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُصَلِّي فِيْ مَسْجِدِ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَة

Aku mengerjakan shalat di dalam rumahku lebih aku sukai daripada shalat di masjid kecuali shalat fardhu[11]

Penekanan shalat wajib di masjid secara berjama’ah atas kaum lelaki akan bertambah jelas melalui nasehat sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu yang berharga berikut ini. Beliau mengatakan, “Barangsiapa di antara kalian yang mau bergembira berjumpa dengan Allah besok dalam keadaan muslim, hendaknya memelihara shalat lima waktu yang telah diwajibkan saat diserukan untuk menjalankannya.

Sesungguhnya shalat lima waktu termasuk jalan-jalan hidayah, dan sungguh Allah telah menetapkan berbagai macam jalan hidayah. Setiap kalian telah mempunyai masjid di dalam rumahnya. Jika kalian mengerjakan shalat (lima waktu) di masjid rumah kalian seperti mutakhollif (orang yang tidak terbiasa datang ke masjid untuk shalat berjama’ah) yang suka menjalankan shalat (fardhu) di rumahnya (saja), berarti kalian telah meninggalkan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kalian, dan jika kalian meninggalkan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kalian, niscaya kalian akan tersesat.

Aku sudah menyaksikan bahwa yang sudah terbiasa tidak ke masjid (untuk shalat berjama’ah) ialah orang munafik yang telah dimaklumi kenifakannya. Aku dahulu menyaksikan seseorang dipapah oleh dua orang agar bisa berdiri di shaf (shalat fardhu)” [12]

Disebutkan dalam Hasyiyah Ibni Abidin (2/441), “… Sesungguhnya dianjurkan bagi seorang lelaki untuk mengkhususkan satu tempat dari rumahnya sebagai tempat mengerjakan shalat nafilah. Adapun shalat fardhu dan I’tikaf, sudah dimaklumi hanya dikerjakan di masjid”.

Dengan demikian kebaikan dan keberkahan dari Allah Azza wa Jalla akan mendatangi rumah yang bercahaya dengan ibadah dan dzikir tersebut, sehingga rumah bercahaya dan tidak gelap seperti kuburan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

اجْعَلُوْا مِنْ صَلاَتِكُمْ فِيْ بُيُوْتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا

Kerjakanlah sebagian shalatmu di dalam rumah-rumah kalian. Jangan menjadikan rumah seperti kuburan” [Muttafaqun ‘alaih]


SHALAT NAFILAH (SUNNAT) BERJAMA’AH DI MASJIDUL BAIT

Disyariatkan bagi seorang muslim untuk mengerjakan shalat sunnat berjama’ah dengan anggota keluarganya, bahkan hukumnya mustahab. Manfaatnya sebagai ajang pembinaan bagi keluarga pun tampak jelas. Akan tetapi, tidak boleh menjadikannya sebagai kebiasaan dan rutinitas.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “berkumpul dalam menjalankan shalat sunnat secara berjamaah termasuk perkara yang dianjurkan selama tidak dijadikan sebuah kebiasaan..” [13]

Diriwayatkan Imam al-Bukhari rahimahullah dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu : “Aku dan seorang anak yatim yang ada di rumah pernah mengerjakan shalat di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara ibuku dan Ummu Sulaim di belakang kami”. [14]

Imam al-Bukhari rahimahullah menyimpulkan satu judul bab dalam kitab Shahihnya dengan judul Bab shalatul nawafili jama’atan (bab shalat sunnat yang dikerjakan secara berjama’ah).


MENYEDIAKAN MUSHAF DAN BUKU DI MASJIDUL BAIT

Tujuan disyariatkannya mengadakan masjidul bait di rumah ialah sebagai tempat menjalankan ibadah sunah dan nafilah, dzikir, serta membaca al-Qur’an.

Untuk itu, perlu disediakan hal-hal yang akan mendukungnya seperti adanya mushaf al-Qur’an yang seyogyanya sesuai dengan jumlah anggota keluarga, ditambah dengan buku-buku agama dan buku dzikir.

Tempat ini juga tepat untuk mengajari anak-anak dan orang-orang tua belajar membaca al-Qur’an, Hadits, hukum-hukum fikih dan adab-adab Islam.


MENGAPA SEBAGIAN MELUPAKANNYA ?

Namun, mengapa perkara ini terlupakan? Padahal bangunan-bangunan rumah kalian luas, berisi banyak kamar; kamar tidur, kamar (tempat) makan keluarga, kamar tamu, tempat untuk mencari nafkah (toko), kamar keluarga yang terkadang dihiasi dengan TV dan perangkat hiburan lainnya, tempat santai keluarga, kamar mandi, kolam ikan, tempat berolahraga, bahkan terkadang juga ada kolam renang di dalam rumah. Atau sebagian kamar bahkan juga disewakan untuk orang lain. Mana ruangan khusus untuk ibadah di rumah tersebut? Kenapa tidak disediakan tempat khusus dimana keluarga akan menjalankan aktifitas ibadah di situ?

Perhatian dan orientasi (sebagian) manusia telah berubah. Ketika dunia menjadi bidikan utama dan perkara yang paling meliputi jiwa, maka rumah disesaki oleh hal-hal yang melalaikan Allah Azza wa Jalla dan akhirat.

Mari menghidupkan salah satu sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini di dalam rumah-rumah kita. 
 
Wallahul muwaffiq

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Bada’i Shana’i 5/126, Hasyiyah Ibnu Abidin 1/657, 2/44, As-Sirajul Wabhaj 1/147
[2]. Hadits Hasan riwayat Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban
[3]. Lihat Hasyiyah Ibni Abidin 1/657
[4]. Hadits hasan riwayat Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban
[5]. Hadits shahih riwayat Ibnu Majah
[6]. HR. Ahmad no. 15886
[7]. HR. al-Bukhari no. 795
[8]. Atsar berderajat shahih diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i
[9]. HR. al-Bukhari no. 6113 dan Muslim no. 781
[10]. HR. Muslim no. 778
[11]. Hadits Shahih riwayat Ahmad dan Ibnu Majah
[12]. Atsar berderajat shahih diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i
[13]. Mukhtashar Fatawa al-Mishriyyah hlm.81
[14]. HR. al-Bukhari no. 727
 
*****
Sumber: almanhaj.or.id

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

18 Februari 2012

FILE 252 : Ibnu Taimiyah Pro Maulid ?

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Distorsi Pendapat Ibnu Taimiyah tentang Maulid Nabi

.Disusun Oleh:
Akhi Dobdob


Ada orang yang menyangka bahwa Ibnu Taimiyah membolehkan Maulid lewat nukilan dari tulisan beliau pada Kitab Iqtidha' Sirothol Mustaqim.

Saya ajak ikhwan semua untuk meneliti apakah yang dikatakan oleh yang bersangkutan memang benar atau hanya sebuah pengelabuan.

Kitab yang digunakan sebagai sandaran dalam hal ini adalah kitab Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim karya Ibnu Taimiyah terbitan Darl Fikr Libanon. Adapun terbitan yang saya gunakan sebagai pembanding adalah terbitan Maktabah Ar-Rusyd – Riyadl (terdiri dari dua jilid), tahqiq : Prof. Dr. Naashir bin ‘Abdil-Karim Al-‘Aql hafidhahullah.
Halaman Cover

Perlu diketahui bahwa pembahasan ini secara khusus untuk mengungkapkan pendapat Ibnu Taimiyah yang sebenarnya tentang Maulid, bukan bid’ah tidaknya Maulid.

Silahkan mendownload kitab Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim agar tidak ada keraguan dan kecurangan dalam pembahasan ini

Download


Kalimat yang dinukil sebagai alasan bahwa Ibnu Taimiyah membolehkan Maulid adalah sebagai berikut :

فتعظيم المولد ، واتخاذه موسمًا ، قد يفعله بعض الناس ، ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده ، وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وسلم

“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutin, segolongan orang terkadang melakukannya. Dan mereka mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah Shallallaahu 'alayhi wa sallam ..”

Mereka mengatakan ini terdapat di dalam Kitab Iqtidha' Sirathal Mustaqim cet. Darul Fikr Lebanon th.1421 H hal 269.

Terus terang saya kesulitan untuk mendapatkan cetakan Darul Fikr, Namun dalam cetakan Maktabah Ar-Rusyd tulisan tersebut terdapat dalam halaman 621 baris terakhir dan awal halaman 622 dengan teks yang sama.

Halaman 621

Halaman 622
Lebih lengkap saya postingkan kalimatnya:

فتعظيم المولد، واتخاذه موسمًا، قد يفعله بعض الناس، ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده، وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وسلم، كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس، ما يستقبح من المؤمن المسدد . ولهذا قيل للإمام أحمد عن بعض الأمراء : إنه أنفق على مصحف ألف دينار ، أو نحو ذلك فقال : دعهم ، فهذا أفضل ما أنفقوا فيه الذهب ، أو كما قال . مع أن مذهبه أن زخرفة المصاحف مكروهة . … إنما قصده أن هذا العمل فيه مصلحة ، وفيه أيضًا مفسدة كره لأجلها . فهؤلاء إن لم يفعلوا هذا ، وإلا اعتاضوا بفساد لا صلاح فيه ، مثل أن ينفقها في كتاب من كتب الفجور

“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutin, segolongan orang terkadang melakukannya. Dan mereka mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah Shallallaahu 'alayhi wa sallm, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya bahwasanya itu baik untuk sebagian orang tapi tidak baik untuk Mukmin yang lurus….
 
Oleh karena itu, dikatakan kepada Imam Ahmad tentang beberapa Umara': Sesungguhnya umara' tersebut telah menginfaqkan 1000 dinar untuk sebuah Mushaf. Maka beliau berkata:”Biarkan mereka melakukan itu, itulah infaq terbaik yang dapat mereka lakukan dengan emas”, Padahal mazhabnya memakruhkan menghias Mushaf-Mushaf…. Sesungguhnya Qasadnya pada amal ini adalah maslahah, dan sekalipun padanya ada mafsadah yang dibenci.


Jika mereka tidak melakukan itu, maka mereka akan melakukan keburukan lain yang tidak ada kebaikan padanya, seperti menginfakkannya untuk kitab-kitab tak bermoral”.
Ikhwah sekalian,

perhatikan dengan jelas kalimat yang saya cetak tebal sebagai nukilan yang tidak ditampilkan oleh orang yang ingin mengambil keuntungan dari tulisan Ibnu Taimiyah.

Kalau kita perhatikan huruf lam yang menyertai lafaz Husni adalah lam ta’lil, jadi pahala itu didapat karena tujuan (Qasad) dan pengagungannya saja, karena inilah illat-nya. Ini jelas, karena tujuan baik dan pengagungan merupakan subtansi Ibadah yang manusia akan diberi pahala jika melakukannya.

Kemudian Syaikhul Islam menegaskan bahwa itu berlaku untuk orang tertentu, tidak untuk orang Mukmin yang musaddad yang tentunya mereka mengetahui dalil-dalil syariat.Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah juga membawakan riwayat tentang orang yang bertanya kepada Imam Ahmad tentang penguasa muslim yang berlebihan dengan menginfaqkan harta sebesar 1000 dinar hanya untuk menghias Al Qur’an.

Ini jelas perbuatan yang buruk, namun Imam Ahmad menilai Qasad-nya baik dan itulah amalan terbaik dengan emas yang bisa ia lakukan, karena kalau dilarang, niscaya ia akan mengalihkan kepada amalan yang buruk secara mutlak.

Dalam kitab yang sama halaman 732, Ibnu Taimiyah juga mengatakan :

Halaman 732

من كانت له نية صالحة أثيب على نيته وإن كان الفعل الذي فعله ليس بمشروع إذا لم يتعمد مخالفة الشرع

“Barangsiapa memiliki niat yang sholeh, maka ia akan diberi pahala, sekalipun perbuatan yang dilakukannya tidak syar’i, jika ia tidak sengaja menyalahi Syariat”.

Dalam halaman 619 disebutkan

قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد لا على البدع

“Terkadang mereka diberi pahala karena kecintaan dan ijtihadnya bukan atas bid’ahnya”

Dalam halaman yang sama Ibnu Taimiyah kembali menegaskan,

وأكثر هؤلاء الذين تجدهم حرَّاصاً على أمثال هذه البدع-مع ما لهم فيها من حُسن القصد والاجتهاد الذي يرجى لهم بهما المثوبة تجدهم فاترين في أمر الرسول صلى الله عليه وسلم عما أُمروا بالنشاط فيه ، وإنما هم بمنزلة من يزخرف المسجد ولا يصلي فيه ،أو يصلي فيه قليلاً ،وبمنزلة من يتخذ المسابيح والسجادات المزخرفة، وأمثال هذه الزخارف الظاهرة التي لم تُشرع ،ويصحبها من الرياء والكِبْر ،والاشتغال عن المشروع ما يفسد حال صاحبها

“Adapun kebanyakan orang yang gigih dalam melakukan kegiatan bid’ah peringatan Maulid Nabi itu – yang mungkin mereka mempunyai tujuan dan ijtihad yang baik untuk mendapatkan pahalabukanlah orang-orang yang mematuhi perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan semangat. Mereka adalah seperti kedudukan orang-orang yang memperindah masjid, tetapi tidak shalat di dalamnya, atau hanya melaksanakan shalat malam di dalamnya dengan minim, atau menjadikan tasbih dan sajadah hanya sebagai hiasan yang tidak disyari’atkan. Tujuannya adalah untuk riya’ dan kesombongan serta sibuk dengan syari’at-syari’at yang dapat merusak keadaan pelakunya”.

Jadi jelas pahala yang didapat adalah pahala ijtihad dan pahala cinta, bukan pahala melakukan maulid yang merupakan bid’ah. Adapun merayakan Maulid, sebenarnya telah divonis bid’ah yang buruk Oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab yang sama Halaman 619,

Halaman 619

وكذلك ما يحدثه بعض الناس: إما مضاهاة للنصارى في ميلاد عيسى-عليه السلام-،وإما محبة للنبي صلى الله عليه وسلم، والله قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد لا على البدع – من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه وسلم عيداً مع اختلاف الناس في مولده ،

 فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له ، وعدم المانع فيه لو كان خيراً ، ولو كان خيراً محضاً أو راجحاً لكان السلف – رضي الله عنهم- أحق به منا ،فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيماً له منا ،وهم على الخير أحرص،

وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته،وطاعته واتباع أمره، وإحياء سنته باطناً وظاهراً ، ونشر ما بعث به ، والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان ، فإن هذه طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار،والذين اتبعوهم بإحسان،

وأكثر هؤلاء الذين تجدهم حرَّاصاً على أمثال هذه البدع-مع ما لهم فيها من حُسن القصد والاجتهاد الذي يرجى لهم بهما المثوبة – تجدهم فاترين في أمر الرسول صلى الله عليه وسلم عما أُمروا بالنشاط فيه ، وإنما هم بمنزلة من يزخرف المسجد ولا يصلي فيه ،أو يصلي فيه قليلاً ،وبمنزلة من يتخذ المسابيح والسجادات المزخرفة، وأمثال هذه الزخارف الظاهرة التي لم تُشرع ،ويصحبها من الرياء والكِبْر ،والاشتغال عن المشروع ما يفسد حال صاحبها

“Begitu pula yang diadakan oleh sebagian manusia, baik yang tujuannya untuk menghormati orang-orang Nashrani atas kelahiran ‘Isa ataupun karena mencintai Nabi. Kecintaan dan ijtihad mereka dalam hal ini tentu akan mendapatkan pahala di sisi Allah, tetapi bukan atas bid’ah – seperti menjadikan kelahiran Nabi sebagai hari raya tertentu – padahal manusia telah berbeda pendapat tentang tanggal kelahiran beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. 

Perayaan seperti ini belum pernah dilakukan oleh para salaf, meski ada tuntutan untuk melakukannya dan tidak ada penghalang tertentu bagi mereka untuk melakukannya. Seandainya perayaan itu baik atau membawa faedah, tentu para salaf lebih dulu melakukannya daripada kita karena mereka adalah orang-orang yang jauh lebih cinta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan lebih mengagungkannya. Mereka lebih tamak kepada kebaikan. 

Akan tetapi, perlu diingat bahwa kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan cara mengikutinya, mentaatinya, menjalankan perintahnya, menghidupkan sunnahnya – baik secara lahir maupun batin – menyebarkan apa yang diwahyukan kepadanya, dan berjihad di dalamnya dengan hati, kekuatan, tangan, dan lisan. Itulah cara yang digunakan oleh para salaf, baik dari golongan Muhajirin, Anshar, maupun orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dalam mencintai dan mengagungkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. 

Adapun kebanyakan orang yang gigih dalam melakukan kegiatan bid’ah peringatan Maulid Nabi itu – yang mungkin mereka mempunyai tujuan dan ijtihad yang baik untuk mendapatkan pahala – bukanlah orang-orang yang mematuhi perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan semangat. Mereka adalah seperti kedudukan orang-orang yang memperindah masjid, tetapi tidak shalat di dalamnya, atau hanya melaksanakan shalat malam di dalamnya dengan minim, atau menjadikan tasbih dan sajadah hanya sebagai hiasan yang tidak disyari’atkan. Tujuannya adalah untuk riya’ dan kesombongan serta sibuk dengan syari’at-syari’at yang dapat merusak keadaan pelakunya”.

Mari saya perjelas,

فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له ، وعدم المانع فيه لو كان خيراً ، ولو كان خيراً محضاً أو راجحاً لكان السلف - رضي الله عنهم- أحق به منا ،فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيماً له منا ،وهم على الخير أحرص

Coba anda perhatikan, lafadz خيرا merupakan khobar كان sedangkan isim-nya Mustatir (disembunyikan), namun sangat jelas sekali bahwa isim كان dalam hal ini adalah هو yang kembali kepada هذا (yang dimaksud adalah Maulid).

Jadi mafhum dari lafadz لو كان خيرا adalah buruknya perayaan Maulid, maka tidak dilakukan oleh Salafussholeh. Padahal kalau itu baik, maka niscaya mereka adalah yang paling dahulu melakukannya.

Kalau masih tidak percaya, mari kita menukil pendapat Ibnu Taimiyah yang lebih tegas,

Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah
Juz 25 Hal. 298
وأما اتخاذ موسم غير المواسم الشرعية كبعض ليالي شهر ربيع الأول ، التي يقال إنها المولد ، أو بعض ليالي رجب ، أو ثامن عشر ذي الحجة ، أو أول جمعة من رجب ، أو ثامن شوال الذي يسميه الجهال عيد الأبرار ، فإنها من البدع التي لم يستحبها السلف ، ولم يفعلوها ، والله سبحانه وتعالى أعلم

“Adapun menjadikan upacara peribadahan selain yang disyari’atkan, seperti sebagian malam Rabi’ul-Awwal yang sering disebut Maulid (Nabi), atau sebagian malam Rajab, atau tanggal 18 Dzulhijjah , atau Jum’at pertama bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan oleh orang-orang bodoh dengan ‘Iedul-Abraar; semuanya termasuk bid’ah yang tidak disunnahkan salaf dan tidak mereka kerjakan. Wallaahu subhaanahu wa ta’ala a’lam” [Majmu’ Al-Fataawaa, 25/298].

Semoga bermanfaat ....

*****
Sumber: syaikhulislam.wordpress.com

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin