Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..
Seputar Sujud Tilawah
.Disusun Oleh:
Muhammad Abduh Tuasikal
Sujud tilawah adalah sujud yang disebabkan karena
membaca
atau mendengar ayat-ayat sajadah yang terdapat dalam Al Qur’an Al Karim.
Keutamaan Sujud Tilawah
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ
فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِى يَقُولُ يَا وَيْلَهُ – وَفِى
رِوَايَةِ أَبِى كُرَيْبٍ يَا وَيْلِى – أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ
فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِىَ
النَّارُ
“
Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan
akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka
aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka
baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun
aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.” (HR. Muslim no. 81)
Begitu juga keutamaan sujud tilawah dijelaskan dalam hadits yang membicarakan keutamaan sujud secara umum.
Dalam hadits tentang
ru’yatullah (melihat Allah) terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
حَتَّى إِذَا فَرَغَ اللَّهُ مِنَ
الْقَضَاءِ بَيْنَ الْعِبَادِ وَأَرَادَ أَنْ يُخْرِجَ بِرَحْمَتِهِ مَنْ
أَرَادَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ أَمَرَ الْمَلاَئِكَةَ أَنْ يُخْرِجُوا مِنَ
النَّارِ مَنْ كَانَ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا مِمَّنْ أَرَادَ
اللَّهُ تَعَالَى أَنْ يَرْحَمَهُ مِمَّنْ يَقُولُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللَّهُ. فَيَعْرِفُونَهُمْ فِى النَّارِ يَعْرِفُونَهُمْ بِأَثَرِ
السُّجُودِ تَأْكُلُ النَّارُ مِنِ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ أَثَرَ السُّجُودِ
حَرَّمَ اللَّهُ عَلَى النَّارِ أَنْ تَأْكُلَ أَثَرَ السُّجُودِ.
“
Hingga Allah pun menyelesaikan ketentuan di antara
hamba-hamba-Nya, lalu Dia menghendaki dengan rahmat-Nya yaitu siapa saja
yang dikehendaki untuk keluar dari neraka. Dia pun memerintahkan
malaikat untuk mengeluarkan dari neraka siapa saja yang sama sekali
tidak berbuat syirik kepada Allah. Termasuk di antara mereka yang Allah
kehendaki adalah orang yang mengucapkan ‘laa ilaha illallah’. Para
malaikat tersebut mengenal orang-orang tadi yang berada di neraka melalui bekas sujud mereka. Api
akan melahap bagian tubuh anak Adam kecuali bekas sujudnya. Allah
mengharamkan bagi neraka untuk melahap bekas sujud tersebut.” (HR. Bukhari no. 7437 dan Muslim no. 182)
Dalam shahih Muslim, An Nawawi menyebutkan sebuah Bab “
Keutamaan sujud dan dorongan untuk melakukannya”.
Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia
ditanyakan oleh Ma’dan bin Abi Tholhah Al Ya’mariy mengenai amalan yang
dapat memasukkannya ke dalam surga atau amalan yang paling dicintai di
sisi Allah. Tsauban pun terdiam, hingga Ma’dan bertanya sampai ketiga
kalinya. Kemudian Tsauban berkata bahwa dia pernah menanyakan hal ini
pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab,
عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ لِلَّهِ
فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا
دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“
Perbanyaklah sujud kepada Allah. Sesungguhnya jika engkau
bersujud sekali saja kepada Allah, dengan itu Allah akan mengangkat satu
derajatmu dan juga menghapuskan satu kesalahanmu”.
Ma’dan berkata, “
Kemudian aku bertemu Abud Darda, lalu menanyakan
hal yang sama kepadanya. Abud Darda’ pun menjawab semisal jawaban
Tsauban kepadaku.” (HR. Muslim no.488)
Juga hadits lainnya yang menceritakan keutamaan sujud yaitu hadits
Robi’ah bin Ka’ab Al Aslamiy. Dia menanyakan pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengenai amalan yang bisa membuatnya dekat dengan
beliau di surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sujud Tilawah Wajib Ataukah Sunnah?
Para ulama sepakat (ijma’) bahwa sujud tilawah adalah amalan yang disyari’atkan. Di antara dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar:
كَانَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ فَيَقْرَأُ
سُورَةً فِيهَا سَجْدَةٌ فَيَسْجُدُ وَنَسْجُدُ مَعَهُ حَتَّى مَا يَجِدُ
بَعْضُنَا مَوْضِعًا لِمَكَانِ جَبْهَتِهِ
“
Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca Al Qur’an yang
di dalamnya terdapat ayat sajadah. Kemudian ketika itu beliau bersujud,
kami pun ikut bersujud bersamanya sampai-sampai di antara kami tidak
mendapati tempat karena posisi dahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian para ulama berselisih pendapat apakah sujud tilawah wajib ataukah sunnah.
Menurut Ats Tsauri, Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, sujud tilawah itu
wajib.
Sedangkan menurut jumhur (mayoritas) ulama yaitu Malik, Asy Syafi’i,
Al Auza’i, Al Laitsi, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Daud dan Ibnu Hazm, juga
pendapat sahabat Umar bin Al Khattab, Salman, Ibnu ‘Abbas, ‘Imron bin
Hushain, mereka berpendapat bahwa sujud tilawah itu
sunnah dan bukan wajib.
Dalil ulama yang menyatakan sujud tilawah adalah wajib, yaitu firman Allah Ta’ala,
فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُونَ
“Mengapa mereka tidak mau beriman? dan apabila Al Quraan dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud.”
(QS. Al Insyiqaq: 20-21).
Para ulama yang mewajibkan sujud tilawah
beralasan, dalam ayat ini terdapat perintah dan hukum asal perintah
adalah
wajib. Dan dalam ayat tersebut juga terdapat
celaan bagi orang yang meninggalkan sujud. Namanya celaan tidaklah
diberikan kecuali pada orang yang meninggalkan sesuatu yang wajib.
Yang lebih tepat adalah
sujud tilawah tidaklah wajib,
namun sunnah (dianjurkan). Dalil yang memalingkan dari perintah wajib adalah hadits
muttafaqun ‘alaih (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
Dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata,
قَرَأْتُ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ( وَالنَّجْمِ ) فَلَمْ يَسْجُدْ فِيهَا
“
Aku pernah membacakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
surat An Najm, (tatkala bertemu pada ayat sajadah dalam surat tersebut)
beliau tidak bersujud.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bukhari membawakan riwayat ini pada Bab “
Siapa yang membaca ayat sajadah, namun tidak bersujud.”
Dalil lain yang memalingkan dari perintah wajib adalah perbuatan Umar
bin Khattab dan perbuatan beliau ini tidak diingkari oleh para sahabat
lainnya ketika khutbah Jum’at. Pada hari Jum’at Umar bin Khattab pernah membacakan surat An Nahl
hingga sampai pada ayat sajadah, beliau turun untuk sujud dan manusia
pun ikut sujud ketika itu. Ketika datang Jum’at berikutnya, beliau pun
membaca surat yang sama, tatkala sampai pada ayat sajadah, beliau lantas
berkata,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا نَمُرُّ بِالسُّجُودِ فَمَنْ سَجَدَ فَقَدْ أَصَابَ ، وَمَنْ لَمْ يَسْجُدْ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ
“
Wahai sekalian manusia. Kita telah melewati ayat sajadah.
Barangsiapa bersujud, maka dia mendapatkan pahala. Barangsiapa yang
tidak bersujud, dia tidak berdosa.” Kemudian ‘Umar pun tidak bersujud. (HR. Bukhari no. 1077)
Dari sinilah Ibnu Qudamah mengatakan bahwa hukum sujud tilawah itu
sunnah (tidak wajib) dan pendapat ini merupakan ijma’ sahabat
(kesepakatan para sahabat). (Lihat
Al Mughni, 3/96)
Tata Cara Sujud Tilawah
[Pertama] Para ulama bersepakat bahwa sujud tilawah cukup dengan sekali sujud.
[Kedua] Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.
[Ketiga] Tidak disyari’atkan -berdasarkan pendapat yang paling kuat- untuk
takbiratul ihram dan juga tidak disyari’atkan untuk
salam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَسُجُودُ الْقُرْآنِ لَا يُشْرَعُ فِيهِ
تَحْرِيمٌ وَلَا تَحْلِيلٌ : هَذَا هُوَ السُّنَّةُ الْمَعْرُوفَةُ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ عَامَّةُ
السَّلَفِ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَنْ الْأَئِمَّةِ الْمَشْهُورِينَ
“Sujud tilawah ketika membaca ayat sajadah tidaklah disyari’atkan
untuk takbiratul ihram, juga tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah
ajaran yang sudah ma’ruf dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga
dianut oleh para ulama salaf, dan inilah pendapat para imam yang telah
masyhur.” (
Majmu’ Al Fatawa, 23/165)
[Keempat] Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika
hendak sujud dan bangkit dari sujud. Hal ini berdasarkan keumuman hadits
Wa-il bin Hujr, “
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir. Beliau pun bertakbir ketika
sujud dan ketika bangkit dari sujud.” (HR. Ahmad, Ad Darimi, Ath Thoyalisiy. Hasan)
[Kelima] Lebih utama sujud tilawah dimulai dari
keadaan berdiri, ketika sujud tilawah ingin dilaksanakan di luar shalat.
Inilah pendapat yang dipilih oleh Hanabilah, sebagian ulama belakangan
dari Hanafiyah, salah satu pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, dan juga
pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dalil mereka adalah:
إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّداً
“
Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya
apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka
mereka sambil bersujud.” (QS. Al Isro’: 107). Kata mereka, yang namanya
yakhirru (menyungkur) adalah dari keadaan berdiri.
Namun, jika seseorang melakukan sujud tilawah dari keadaan duduk,
maka ini tidaklah mengapa. Bahkan Imam Syafi’i dan murid-muridnya
mengatakan bahwa tidak ada dalil yang mensyaratkan bahwa sujud tilawah
harus dimulai dari berdiri.
Mereka mengatakan pula bahwa lebih baik meninggalkannya. (
Shahih Fiqih Sunnah, 1/449)
Apakah Disyariatkan Sujud Tilawah (Di Luar Shalat) Dalam Keadaan Suci (Berwudhu)?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam sujud tilawah disyari’atkan
untuk berwudhu sebagaimana shalat. Oleh karena itu, para ulama
mensyariatkan untuk bersuci (thoharoh) dan menghadap kiblat dalam sujud
sahwi sebagaimana berlaku syarat-syarat shalat lainnya.
Namun, ulama lain yaitu Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak disyari’atkan untuk thoharoh karena
sujud tilawah bukanlah shalat.
Namun sujud tilawah adalah ibadah yang berdiri sendiri. Dan diketahui
bahwa jenis ibadah tidaklah disyari’atkan thoharoh. Inilah pendapat yang
dipilih oleh Ibnu ‘Umar, Asy Sya’bi dan Al Bukhari. Pendapat kedua
inilah yang lebih tepat.
Dalil dari pendapat kedua di atas adalah hadits dari Ibnu ‘Abbas. Beliau radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ سَجَدَ بِالنَّجْمِ وَسَجَدَ مَعَهُ المُسْلِمُوْنَ
وَالمُشْرِكُوْنَ وَالجِنُّ وَالأِنْسُ
“
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sujud
tilawah tatkala membaca surat An Najm, lalu kaum muslimin, orang-orang
musyrik, jin dan manusia pun ikut sujud.” (HR. Bukhari)
Al Bukhari membawa riwayat di atas pada Bab “
Kaum muslimin bersujud bersama orang-orang musyrik, padahal kaum musyrik itu najis dan tidak memiliki wudhu.”
Jadi, menurut pendapat Bukhari berdasarkan riwayat di atas, sujud
tilawah tidaklah ada syarat berwudhu. Dalam bab tersebut, Al Bukhari
juga membawakan riwayat bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berwudhu
dalam keadaan tidak berwudhu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَسُجُودُ الْقُرْآنِ لَا يُشْرَعُ فِيهِ
تَحْرِيمٌ وَلَا تَحْلِيلٌ : هَذَا هُوَ السُّنَّةُ الْمَعْرُوفَةُ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ عَامَّةُ
السَّلَفِ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَنْ الْأَئِمَّةِ الْمَشْهُورِينَ .
وَعَلَى هَذَا فَلَيْسَتْ صَلَاةً فَلَا تُشْتَرَطُ لَهَا شُرُوطُ
الصَّلَاةِ بَلْ تَجُوزُ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ . كَمَا كَانَ ابْنُ
عُمَرَ يَسْجُدُ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ ؛ لَكِنْ هِيَ بِشُرُوطِ
الصَّلَاةِ أَفْضَلُ وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُخِلَّ بِذَلِكَ إلَّا لِعُذْرِ
“Sujud tilawah ketika membaca ayat sajadah tidaklah disyari’atkan
untuk takbiratul ihram, juga tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah
ajaran yang sudah ma’ruf dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga
dianut oleh para ulama salaf, dan inilah pendapat para imam yang telah
masyhur. Oleh karena itu, sujud tilawah tidaklah seperti shalat yang
memiliki syarat yaitu disyariatkan untuk bersuci terlebih dahulu. Jadi,
sujud tilawah diperbolehkan meski tanpa thoharoh (bersuci). Hal ini
sebagaimana dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Beliau pernah bersujud, namun
tanpa thoharoh. Akan tetapi apabila seseorang memenuhi persyaratan
sebagaimana shalat, maka itu lebih utama. Jangan sampai seseorang
meninggalkan bersuci ketika sujud, kecuali ada udzur.” (Majmu’ Al Fatawa, 23/165)
Asy Syaukani mengatakan,
لَيْسَ فِي أَحَادِيثِ سُجُودِ
التِّلَاوَةِ مَا يَدُلُّ عَلَى اعْتِبَارِ أَنْ يَكُونَ السَّاجِدُ
مُتَوَضِّئًا وَقَدْ كَانَ يَسْجُدُ مَعَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ حَضَرَ تِلَاوَتَهُ ، وَلَمْ يُنْقَلْ أَنَّهُ أَمَرَ
أَحَدًا مِنْهُمْ بِالْوُضُوءِ ، وَيَبْعُد أَنْ يَكُونُوا جَمِيعًا
مُتَوَضِّئِينَ
وَأَيْضًا قَدْ كَانَ يَسْجُدُ مَعَهُ الْمُشْرِكُونَ كَمَا تَقَدَّمَ وَهُمْ أَنْجَاسٌ لَا يَصِحُّ وُضُوؤُهُمْ .
وَقَدْ رَوَى الْبُخَارِيُّ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَسْجُدُ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ .
“
Tidak ada satu hadits pun tentang sujud tilawah yang menjelaskan
bahwa orang yang melakukan sujud tersebut dalam keadaan berwudhu. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersujud dan
di situ ada orang-orang yang mendengar bacaan beliau, namun tidak ada
penjelasan kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan salah
satu dari yang mendengar tadi untuk berwudhu. Boleh jadi semua yang
melakukan sujud tersebut dalam keadaan berwudhu dan boleh jadi yang
melakukan sujud bersama orang musyrik sebagaimana diterangkan dalam
hadits yang telah lewat. Padahal orang musyrik adalah orang yang paling
najis, yang pasti tidak dalam keadaan berwudhu. Al
Bukhari sendiri meriwayatkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar bahwa dia
bersujud dalam keadaan tidak berwudhu.” (
Nailul Author, 4/466, Asy Syamilah)
Apakah Sujud Tilawah Mesti Menghadap Kiblat?
Asy Syaukani
rahimahullah mengatakan,
وَأَمَّا سَتْرُ الْعَوْرَةِ وَالِاسْتِقْبَالِ مَعَ الْإِمْكَانِ فَقِيلَ : إنَّهُ مُعْتَبَرٌ اتِّفَاقًا .
“
Adapun menutup aurat dan menghadap kiblat, maka ada ulama yang
mengatakan bahwa hal itu disyariatkan berdasarkan kesepakatan ulama.” (
Nailul Author, 4/467, Asy Syamilah)
Namun karena
sujud tilawah bukanlah shalat, maka tidak disyari’atkan
untuk menghadap kiblat. Akan tetapi, yang lebih utama adalah tetap dalam
keadaan menghadap kiblat dan tidak boleh seseorang meninggalkan hal ini
kecuali jika ada udzur. Jadi, menghadap kiblat bukanlah syarat untuk
melakukan sujud tilawah. (Lihat
Shahih Fiqih Sunnah, 1/450)
Bagaimana Tata Cara Sujud Tilawah bagi Orang yang Sedang Berjalan atau Berkendaraan?
Siapa saja yang membaca atau mendengar ayat sajadah sedangkan dia
dalam keadaan berjalan atau berkendaraan, kemudian ingin melakukan sujud
tilawah, maka boleh pada saat itu berisyarat dengan
kepalanya ke arah mana saja. (
Shahih Fiqih Sunnah, 1/450 dan lihat pula
Al Mughni)
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ السُّجُودِ عَلَى الدَّابَةِ فَقَالَ : اسْجُدْ وَأَوْمِئْ.
Dari Ibnu ‘Umar: Beliau ditanyakan mengenai sujud (tilawah) di atas tunggangan. Beliau mengatakan, “
Sujudlah dengan isyarat.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang
shahih)
Bacaan Ketika Sujud Tilawah
Bacaan ketika sujud tilawah sama seperti bacaan sujud ketika shalat.
Ada beberapa bacaan yang bisa kita baca ketika sujud di antaranya:
(1) Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca:
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
“
Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi] (HR. Muslim no. 772)
(2) Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujud:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى
“
Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.”
[Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu,
ampunilah dosa-dosaku] (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484)
(3) Dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud membaca:
اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ
وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ
سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
“
Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada
wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa
bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.” [Ya Allah, kepada-Mu
lah aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri.
Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk
pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta]
(HR. Muslim no. 771)
Adapun bacaan yang biasa dibaca ketika sujud tilawah sebagaimana
tersebar di berbagai buku dzikir dan do’a adalah berdasarkan
hadits yang
masih diperselisihkan keshohihannya. Bacaan tersebut terdapat dalam
hadits berikut:
(1) Dari ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam sujud tilawah di malam hari
beberapa kali bacaan:
سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
“
Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.”
[Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk
pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta]
(HR. Abu Daud, Tirmidzi dan An Nasa-i)
(2) Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata bahwa ada seseorang yang pernah
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, “Wahai
Rasulullah, aku melihat diriku sendiri di malam hari sedangkan aku
tertidur (dalam mimpi). Aku seakan-akan shalat di belakang sebuah pohon.
Tatkala itu aku bersujud, kemudian pohon tersebut juga ikut bersujud.
Tatkala itu aku mendengar pohon tersebut mengucapkan:
اللَّهُمَّ اكْتُبْ لِى بِهَا عِنْدَكَ
أَجْرًا وَضَعْ عَنِّى بِهَا وِزْرًا وَاجْعَلْهَا لِى عِنْدَكَ ذُخْرًا
وَتَقَبَّلْهَا مِنِّى كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ
“
Allahummaktub lii bihaa ‘indaka ajron, wa dho’ ‘anniy bihaa
wizron, waj’alhaa lii ‘indaka dzukhron, wa taqqobbalhaa minni kamaa
taqobbaltahaa min ‘abdika dawuda”. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Kedua hadits di atas terdapat perselisihan ulama mengenai statusnya.
Untuk hadits pertama dikatakan shahih oleh At Tirmidzi, Al Hakim, An
Nawawi, Adz Dzahabi, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Al Albani dan
Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali. Sedangkan tambahan “
Fatabaarakallahu ahsanul kholiqiin”
dishahihkan oleh Al Hakim, Adz Dzahabi dan An Nawawi. Namun sebagian
ulama lainnya semacam guru dari penulis Shahih Fiqih Sunnah, gurunya
tersebut bernama Syaikh Abi ‘Umair dan menilai bahwa hadits ini lemah
(dho’if).
Sedangkan
hadits kedua dikatakan hasan oleh At Tirmidzi. Menurut Al
Hakim, hadits kedua di atas adalah hadits yang shahih. Adz Dzahabi juga
sependapat dengannya. Sedangkan ulama lainnya menganggap bahwa hadits
ini memang memiliki syahid (penguat), namun penguat tersebut tidak
mengangkat hadits ini dari status dho’if (lemah).
Jadi, intinya kedua
hadits di atas masih mengalami perselisihan mengenai keshahihannya. Oleh
karena itu, bacaan ketika sujud tilawah diperbolehkan dengan bacaan
sebagaimana sujud dalam shalat seperti yang kami contohkan di atas.
Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah- mengatakan,
أَمَّا أَنَا فَأَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّي الْأَعْلَى
“Adapun (ketika sujud tilawah), maka aku biasa membaca:
Subhaana robbiyal a’laa” (Al Mughni, 3/93, Asy Syamilah).
Dan di antara bacaan sujud dalam shalat terdapat pula bacaan “
Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin”, sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Ali yang diriwayatkan oleh Muslim.
Wallahu a’lam.
Hukum Sujud Tilawah Ditujukan pada Siapa Saja?
[Pertama] Sujud tilawah ditujukan untuk orang yang
membaca Al Qur’an dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama, baik ayat sajadah dibaca di dalam shalat ataupun di luar shalat.
[Kedua] Lalu bagaimana untuk orang yang
mendengar bacaan Qur’an dan di sana terdapat ayat sajadah? Apakah dia juga dianjurkan sujud tilawah?
Dalam kasus kedua ini terdapat perselisihan di antara para ulama.
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang
mendengar bacaan ayat sajadah dianjurkan untuk sujud tilawah,
walaupun
orang yang membacanya tidak melakukan sujud. Pendapat pertama ini
dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Asy Syafi’i, dan salah satu pendapat
Imam Malik.
Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang mendengar
bacaan ayat sajadah ikut bersujud
jika dia menyimak bacaan dan jika
orang yang membaca ayat sajadah tersebut ikut bersujud. Pendapat kedua
ini dipilih oleh Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Malik. Inilah
pendapat yang lebih kuat.
Dalil dari pendapat kedua ini adalah dua hadits shahih berikut:
Hadits Ibnu ‘Umar: “
Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah
membaca Al Qur’an yang di dalamnya terdapat ayat sajadah. Kemudian
ketika itu beliau bersujud, kami pun ikut bersujud bersamanya
sampai-sampai di antara kami tidak mendapati tempat karena posisi
dahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Mas’ud pernah mengatakan pada Tamim bin Hadzlam yang saat itu
adalah seorang pemuda (ghulam), -tatkala itu dia membacakan pada Ibnu
Mas’ud ayat sajadah-,
اسْجُدْ فَإِنَّكَ إِمَامُنَا فِيهَا
“
Bersujudlah karena engkau adalah imam kami dalam sujud tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al Bukhari secara
mu’allaq).
Al Bukhari membawakan hadits Ibnu ‘Umar di atas dan riwayat Ibnu Mas’ud ini pada Bab “
Siapa yang sujud karena sujud orang yang membaca Al Qur’an (ayat sajadah).”
Perhatian: Disyariatkan bagi orang yang mendengar
bacaan ayat sajadah kemudian dia ikut bersujud adalah
apabila orang yang
diikuti termasuk orang yang layak jadi imam. Jadi, apabila orang yang
diikuti tadi adalah anak kecil (
shobiy) atau wanita, maka orang
yang mendengar bacaan ayat sajadah tadi tidak perlu ikut bersujud.
Inilah pendapat Qotadah, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Ishaq. (Lihat
Al Mughni, 3/98)
Bolehkah Melakukan Sujud Tilawah di Waktu Terlarang untuk Shalat?
Sujud tilawah boleh dilakukan di waktu terlarang untuk shalat.
Alasannya, karena
sujud tilawah bukanlah shalat. Sedangkan larangan
shalat di waktu terlarang adalah larangan khusus untuk shalat. Inilah
pendapat yang lebih kuat di antara pendapat para ulama. Inilah pendapat
Imam Syafi’i dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Pendapat ini juga
dipilih oleh Ibnu Hazm. (Lihat
Shahih Fiqih Sunnah, 1/452)
Bagaimana Ketika Membaca Ayat Sajadah, Luput Dari Sujud Tilawah?
Dianjurkan bagi orang yang membaca ayat sajadah atau mendengarnya
langsung bersujud setelah membaca ayat tersebut, walaupun mungkin telat
beberapa saat. Namun, apabila sudah lewat waktu yang cukup lama antara
membaca ayat dan sujud, maka tidak ada anjuran sujud sahwi karena dia
sudah luput dari tempatnya. Inilah pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah.
(Lihat
Shahih Fiqih Sunnah, 1/452)
Sujud Tilawah Ketika Shalat
Dianjurkan bagi orang yang membaca ayat sajadah dalam shalat baik
shalat wajib maupun shalat sunnah agar melakukan sujud tilawah. Inilah
pendapat mayoritas ulama. Hal ini dianjurkan pada shalat jama’ah atau
sendirian dan shalat siriyah (shalat dengan suara lirih seperti pada
shalat zhuhur dan ashar) atau shalat jariyah (shalat dengan suara keras
seperti pada shalat maghrib dan isya).
عَنْ أَبِى رَافِعٍ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ
أَبِى هُرَيْرَةَ الْعَتَمَةَ فَقَرَأَ ( إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ )
فَسَجَدَ فَقُلْتُ مَا هَذِهِ قَالَ سَجَدْتُ بِهَا خَلْفَ أَبِى
الْقَاسِمِ – صلى الله عليه وسلم – فَلاَ أَزَالُ أَسْجُدُ بِهَا حَتَّى
أَلْقَاهُ
Dari Abu Rofi’, dia berkata bahwa dia shalat Isya’ (shalat ‘atamah) bersama Abu Hurairah, lalu beliau membaca “
idzas samaa’unsyaqqot”,
kemudian beliau sujud. Lalu Abu Rofi’ bertanya pada Abu Hurairah, “Apa
ini?” Abu Hurairah pun menjawab, “Aku bersujud di belakang Abul Qosim
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ketika sampai pada ayat
sajadah dalam surat tersebut.” Abu Rofi’ mengatakan, “Aku tidaklah
pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku menemukannya
saat ini.” (HR. Bukhari no. 768 dan Muslim no. 578)
Namun bagaimana jika shalatnya adalah shalat sirriyah semacam shalat
zhuhur dan shalat ashar? Pada shalat tersebut, makmum tidak mendengar
kalau imam membaca ayat sajadah.
Sebagian ulama Hanabilah mengatakan bahwa imam terlarang untuk
membaca ayat sajadah dalam shalat yang tidak di
jahrkan suaranya
(dikeraskan suaranya). Jika imam tersebut tetap membaca ayat sajadah
dalam shalat semacam itu, maka tidak perlu ada sujud. Pendapat ini juga
adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Alasan dari pendapat ini adalah
agar
tidak membuat kebingungan pada makmum.
Namun ulama Syafi’iyah tidaklah melarang hal ini. Karena
tugas makmum
hanyalah mengikuti imam. Jadi jika imam melakukan sujud tilawah, maka
makmum hanya manut saja dan dia ikut sujud. Alasannya adalah sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا
“
Sesungguhnya imam itu untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam sujud, maka bersujudlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Begitu pula apabila seorang makmum tatkala dia berada jauh dari imam
sehingga tidak bisa mendengar bacaannya atau makmum tersebut adalah
seorang yang tuli, maka dia harus tetap sujud karena mengikuti imam.
Pendapat kedua inilah yang lebih tepat. Inilah pendapat yang juga dipilih oleh Ibnu Qudamah. (Lihat
Al Mughni, 3/104)
Terlarang Meloncati Ayat Sajdah Karena Alasan Supaya Tidak Sujud
Ibnu Qudamah mengatakan, “Dimakruhkan melakukan
ikhtishorus sujud
yaitu melompati ayat sajadah agar tidak bersujud. Yang berpendapat
seperti ini adalah Asy Sya’bi, An Nakho’i, Al Hasan, Ishaq. Sedangkan An
Nu’man, sahabatnya Muhammad dan Abu Tsaur memberi keringanan dalam hal
ini.” Ibnu Qudamah lalu mengatakan,
وَلَنَا أَنَّهُ لَيْسَ بِمَرْوِيٍّ عَنْ السَّلَفِ فِعْلُهُ ، بَلْ كَرَاهَتُهُ
“Menurut kami, tidak ada diriwayatkan dari seorang salaf pun yang
melakukan semacam ini (yaitu melompati ayat sajadah agar tidak melakukan
sujud tilawah), bahkan mereka (para salaf) memakruhkan hal ini.” (Lihat
Al Mughni, 3/103)
Bagaimana Jika Ayat Sajadah Berada Di Akhir Surat?
Surat yang terdapat ayat sajadah di akhir adalah seperti surat An
Najm ayat 62 dan surat Al ‘Alaq ayat 19. Maka ada tiga pilihan dalam
kasus ini.
[Pilihan pertama] Ketika membaca ayat sajadah lalu
melakukan sujud tilawah kemudian setelah itu berdiri kembali dan membaca
surat lain kemudian ruku’.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Umar bin Khaththab. Ketika
shalat shubuh, beliau membaca surat Yusuf pada raka’at pertama. Kemudian
pada raka’at kedua, beliau membaca surat An Najm (dalam surat An Najm
terdapat ayat sajadah, pen), lalu beliau sujud (yaitu sujud tilawah).
Setelah itu, beliau bangkit lagi dari sujud kemudian berdiri dan membaca
surat “
Idzas samaa-un syaqqot” (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Rozaq dan Ath
Thohawiy dengan sanad yang
shahih)
[Pilihan kedua] Jika
ayat sajadah di ayat terakhir dari surat, maka cukup dengan ruku’ dan itu sudah menggantikan sujud.
Ibnu Mas’ud pernah ditanyakan mengenai surat yang di akhirnya
terdapat ayat sajadah, “Apakah ketika itu perlu sujud ataukah cukup
dengan ruku’?” Ibnu Mas’ud mengatakan, “Jika antara kamu dan ayat
sajadah hanya perlu ruku’, maka itu lebih mendekati.” (Diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang
shahih)
[Pilihan ketiga] Jika ayat sajadah di ayat terakhir
di suatu surat, ketika membaca ayat tersebut, lalu sujud tilawah,
kemudian bertakbir dan berdiri kembali, lalu dilanjutkan dengan ruku’
tanpa ada penambahan bacaan surat.
Dari tiga pilihan di atas, cara pertama adalah yang lebih utama. (Lihat
Shahih Fiqih Sunnah, 453-454)
Bagaimana Jika Membaca Ayat Sajadah Di Atas Mimbar?
Jika ayat sajadah dibaca di atas mimbar, maka dianjurkan pula untuk
melakukan sujud tilawah dan para jama’ah juga dianjurkan untuk sujud.
Namun apabila sujud itu ditinggalkan, maka ini juga tidak mengapa. Hal
ini telah ada riwayatnya sebagaimana terdapat pada riwayat Ibnu ‘Umar
yang telah lewat.
Di Mana Sajakah Ayat Sajadah?
Ayat sajadah di dalam Al Qur’an terdapat pada 15 tempat. Sepuluh
tempat disepakati. Empat tempat masih dipersilisihkan, namun terdapat
hadits shahih yang menjelaskan hal ini. Satu tempat adalah berdasarkan
hadits, namun tidak sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan
tetapi sebagian melakukan sujud tatkala bertemu dengan ayat tersebut.
(Lihat pembahasan ini di
Shahih Fiqih Sunnah, 1/454-458)
Sepuluh ayat yang disepakati sebagai ayat sajadah
- QS. Al A’rof ayat 206
- QS. Ar Ro’du ayat 15
- QS. An Nahl ayat 49-50
- QS. Al Isro’ ayat 107-109
- QS. Maryam ayat 58
- QS. Al Hajj ayat 18
- QS. Al Furqon ayat 60
- QS. An Naml ayat 25-26
- QS. As Sajdah ayat 15
- QS. Fushilat ayat 38 (menurut mayoritas ulama), QS. Fushilat ayat 37 (menurut Malikiyah)
Empat ayat yang termasuk ayat sajadah namun diperselisihkan, akan tetapi ada dalil shahih yang menjelaskannya
- QS. Shaad ayat 24
- QS. An Najm ayat 62 (ayat terakhir)
- QS. Al Insyiqaq ayat 20-21
- QS. Al ‘Alaq ayat 19 (ayat terakhir)
Satu ayat yang masih diperselisihkan dan tidak ada hadits marfu’ (hadits yang sampai pada Nabi) yang menjelaskannya, yaitu
surat Al Hajj ayat 77. Banyak sahabat yang menganggap ayat ini sebagai
ayat sajadah semacam Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, Abu Musa,
Abud Darda, dan ‘Ammar bin Yasar.
Ibnu Qudamah mengatakan,
لَمْ نَعْرِفْ لَهُمْ مُخَالِفًا فِي عَصْرِهِمْ ، فَيَكُونُ إجْمَاعًا
“
Kami tidaklah mengetahui adanya perselisihan di masa sahabat
mengenai ayat ini sebagai ayat sajadah. Maka ini menunjukkan bahwa para
sahabat telah berijma’ (bersepakat) dalam masalah ini.” (
Al Mughni, 3/88)
Demikian pembahasan mengenai sujud tilawah. Semoga risalah ini bisa
menjadi ilmu bermanfaat bagi kita sekalian.
Ya Allah, berilah manfaat
terhadap apa yang kami pelajari, ajarilah ilmu yang belum kami ketahui
dan tambahkanlah selalu ilmu kepada kami.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
*****
Sumber:
muslim.or.id
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin