Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..
Diskusi Perbankan Syari'ah
.Oleh:
Ust. DR. Muhammad Arifin bin Baderi
Saudara-saudara sekalian, berikut ini adalah diskusi antara ustadz
Muhammad Arifin Badri yang merupakan pembina milis Pengusaha Muslim
dengan seorang ustadz praktisi perbankan syariah (selanjutnya disingkat
UPPS).
Sebelum saudara membaca diskusi ini, ada baiknya kami jelaskan latar
belakang terjadinya diskusi. Diskusi bermula ketika UPPS tersebut
mengkritisi jawaban ustadz Muhammad Arifin Badri terhadap pertanyaan
tentang hukum meminjam uang di bank syariah. Berikut ini kami sertakan
Tanya Jawab tersebut:
******
Pertanyaan:
Assalamualaikum
Saya mau tanya, saya punya rumah sudah saatnya
perlu diperbaiki/renovasi, tetapi saya belum mempunyai uang yang cukup
untuk memperbaikinya. Kalau saya meminjam uang dari bank (seperti Bank
Syariah Mandiri, yang notabene berbasiskan agama Islam, maaf terpaksa
menyebutkan namanya) bagaimana?
Kalau di bank tersebut, tidak menyebutnya dengan bunga, tetapi dengan istilah lainnya. Apakah itu termasuk haram?
Jazakumullah khairan katsiran.
Wassalamualaikum.
Jawaban:
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Selama akadnya adalah hutang-piutang, maka setiap keuntungan atau
tambahan yang dipersyaratkan atau disepakati oleh kedua belah pihak
adalah riba dan itu diharamkan dalam Islam. Hal ini berdasarkan ucapan
sahabat Fudholah bin Ubaid
radhiallahu 'anhu:
كل قرض جر منفعة فهو ربا
"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu adalah riba."
Ucapan Fudholah bin Ubaid
radhiallahu 'anhu diriwayatkan
oleh Al Baihaqi. Ucapan serupa juga diriwayatkan dari sahabat Abdullah
bin Mas'ud, Abdullah bin Salaam dan Anas bin Malik
radhiallahu 'anhuma.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Dan piutang yang mendatangkan
kemanfaatan, telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang
sebagian disebutkan oleh penanya dan juga dari selain mereka, di
antaranya sahabat Abdullah bin Salaam dan Anas bin Maalik." (
Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/334)
Adapun perubahan nama atau sebutan itu
tidak dapat merubah hukum,
bahkan itu semakin menjadikan dosanya berlipat ganda, dosa memakan riba
dan dosa memanipulasi syari'at Allah.
عن أبي هريرة أن رسول الله
صلى الله عليه و سلم قال: لا ترتكبوا ما ارتكبت اليهود فتستحلوا محارم الله
بأدنى الحيل. رواه ابن بطة وحسنه ابن كثير ووافقه الألباني
Dari Abu Hurairah
radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Janganlah
kalian melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, sehingga
kalian menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah dengan sedikit tipu
muslihat." (Riwayat Ibnu Batthah dan dihasankan oleh Ibnu Katsir serta disetujui oleh al-Albani)
Untuk mengetahui apakah akad yang ditawarkan oleh bank adalah akad
hutang piutang atau akad
istisna' atau
murabahah, anda dapat
mengetahuinya dengan menjawab dua pertanyaan berikut:
- Siapakah yang mendatangkan barang kepada saudara? Bila bank
mendatangkan barang, maka itu adalah perniagaan biasa, akan tetapi bila
saudara yang mendatangkan barang, maka itu berarti akad hutang piutang.
- Kepada siapakah saudara mengajukan komplain bila terjadi kerusakan
atau cacat pada barang/pekerjaan yang anda peroleh dengan akad itu? Bila
bank tidak mau tanggung jawab atas setiap komplain terhadap barang yang
anda peroleh melalui akad itu, maka akad yang terjadi adalah
hutang-piutang. Akan tetapi bila bank bertanggung jawab atas kerusakan
pada barang yang anda peroleh melalui akad itu, berarti akad itu adalah
akad perniagaan biasa dan insya Allah halal.
Perlu diketahui, bahwa dalam syari'at perniagaan dalam Islam yang
dibenarkan untuk mengambil keuntungan ialah orang yang punya kewajiban
menanggung kerugian –jika hal itu terjadi-. Kaidah ini berdasarkan sabda
Nabi
shallalllahu 'alaihi wa sallam:
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ غُلَامًا، فَأَقَامَ
عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يُقِيمَ، ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا،
فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم ، فَرَدَّهُ عَلَيْهِ،
فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ اسْتَغَلَّ غُلَامِي؟ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم: الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ. رواه أحمد
وأبو داود والترمذي والنسائي وحسنه الألباني
Dari sahabat 'Aisyah
radhiallahu 'anha bahwasanya seorang
lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian budak tersebut tinggal
bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan
adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian pembeli mengadukan penjual
budak kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka Penjual berkata:
"Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?" Maka Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Keuntungan adalah imbalan atas kerugian." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasai dan dihasankan oleh Al Albani)
Wallahu a'alam bisshowab.
Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
*****
Berikut ini komentar UPPS terhadap jawaban ustadz Muhammad Arifin
Badri di atas (diapit dengan tanda //), dan pada bagian bawah setiap
komentar UPPS kami sertakan tanggapan ustadz Muhammad Arifin Badri.
[DIALOG 1]
[Komentar UPPS]
//
Pertama, akad yang
dijalankan pada bank syariah untuk pengadaan rumah atau konsumtif
lainnya adalah jual beli secara murabahah dan bukan hutang piutang
(qardh), dengan demikian tidak berlaku hukum qardh, yang jika ada added
value dikategorikan sebagai riba atau bunga yang haram. Added value yang
timbul adalah profit atau margin dari jual beli barang dan bukan jual
beli uang.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Sangat berbahagia hati ini mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi
dengan UPPS, salah seorang ustadz Dewan Syariah Nasional. Semoga saya
bisa menimba ilmu dan pengalaman yang banyak dari beliau.
Menanggapi komentar Anda di atas, ada beberapa hal yang perlu didudukkan dengan jelas, agar kita tidak salah berpendapat:
1. Bila akad yang dijalin antara Bank Syari'ah dengan nasabah
(pemilik rumah yang hendak merenovasi rumahnya) adalah akad
murabahah
seperti yang Anda sampaikan, maka ini bertentangan dengan komentar kedua
Anda di bawah (
silakan lihat bagian Diskusi 2 –ed); Anda mengakui bahwa
bank adalah lembaga
intermediary alias penghubung. Berdasarkan
pengakuan Anda di bawah berarti status bank hanyalah sebagai mediator
alias calo atau perantara. Bila demikian adanya,
maka seharusnya yang
diperoleh oleh bank adalah upah/ujrah, dan
bukan ar ribhu (keuntungan)
yang dihitung dalam prosentasi dari keuntungan proyek. Saya yakin Anda
sepakat dengan saya bahwa
ujrah/upah berbeda dengan bagi hasil. Bila
bank bersikukuh untuk tetap mengambil bagi hasil dan bukan
ujrah, maka
sikap ini menjadikan akad yang ia jalankan ternodai oleh gharar dan itu
diharamkan:
أن النبي صلى الله عليه و سلم نهى عن بيع الغرر. رواه مسلم
"Bahwasannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual-beli untung-untungan (gharar)." (Riwayat Muslim)
2.
Dan kalau Anda tetap menganggap bahwa akad yang dijalin antara bank
dengan pemakai jasa yaitu pemilik rumah adalah akad
murabahah, maka
berarti
bank telah menjual barang yang belum ia miliki atau belum
sepenuhnya dimiliki, karena barang masih berada di tempat dan tanggung
jawab penjual pertama, dan itu nyata-nyata diharamkan dalam banyak
hadits. Diantaranya pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
berikut:
لا تبع ما ليس عندك
"Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu."
(Riwayat Ahmad 3/401, 403, Abu Dawud, no: 3503, An Nasa'i 2/225, At
Tirmizy no: 1232, Ibnu Majah no: 2187, As Syafi'i no: 1249, Ibnul Jarud
no: 602, Ad Daraquthny 3/15, Al Baihaqy 8/519 dan Ibnu Hazm 8/519.)
3.
Dan bila akad yang terjadi antara bank dengan pemilik rumah adalah
gabungan antara
murabahah dengan
ijarah (jual jasa sebagai perantara)
maka itu namanya manipulasi syari'at, dan ini lebih besar dosanya.
لا ترتكبوا ما ارتكب اليهود، فتستحلون محارم الله بأدنى الحيل. رواه ابن بطة بإسناد حسنه ابن تيمية وغيره
"Janganlah
kalian melakukan apa yang pernah diperbuat oleh orang-orang Yahudi,
sehingga kalian melanggar hal-hal yang diharamkan Allah dengan melakukan
sedikit rekayasa." (Riwayat Ibnu Batthoh dengan sanad yang dihasankan
oleh Ibnu Taimiyyah dan lainnya). Dan pada hadits lain dikisahkan salah
satu bentuk perilaku orang-orang Yahudi yang mengakali hukum Allah
dengan cara-cara yang membuktikan akan buruknya keimanan dan akal
mereka.
عن جابر رضي الله عنه أنه سمع النبي صلى الله عليه و سلم
عام الفتح وهو بمكة يقول: إن الله عز وجل ورسوله، حرما بيع الخمر والميتة
والخنزير والأصنام. فقيل: يا رسول الله، أرأيت شحوم الميتة، فإنه يطلى بها
السفن، ويدهن بها الجلود، ويستصبح بها الناس؟ قال: لا، هو حرام. ثم قال
رسول الله صلى الله عليه و سلم عند ذلك: قاتل الله اليهود، إن الله حرم
عليهم الشحوم، فأجملوه، ثم باعوه، فأكلوا ثمنه. خرجه البخاري ومسلم
Dari sahabat Jabir
radhiallahu 'anhu bahwasannya ia pernah mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), di saat beliau masih berada di kota Makkah, bersabda:
"Sesungguhnya
Allah Azza wa jalla dan Rasul-Nya, telah mengharamkan jual-beli khamr,
bangkai, khinzir (babi) dan berhala (patung)." Lalu dikatakan kepada beliau:
"Ya,
Rasulullah, bagaimanakan halnya dengan lemak bangkai, karena ia
digunakan untuk melumasi perahu, dan meminyaki (melumuri) kulit, juga
digunakan untuk bahan bakar lentera?" Beliaupun menjawab:
"Tidak, itu (menjual lemak bangkai) adalah haram." Kemudian Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Semoga
Allah membinasakan orang-orang Yahudi, sesungguhnya tatkala Allah
mengharamkan atas mereka untuk memakan lemak binatang, merekapun
mencairkannya, kemudian menjualnya, dan akhirnya mereka memakan hasil
penjualan itu." (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
[DIALOG 2]
[Komentar UPPS]
//
Kedua,
bank adalah lembaga intermediary dan bukan sektor riil, sehingga
pengadaan barang tidak dapat terlepas dari pihak ketiga (dealer,
supplier, atau developer). Kepastian kepemilikan atas barang yang dijual
oleh bank syariah adalah dengan mekanisme wakalah, wujud teknisnya
purchasing order (PO). Hal demikian sudah di-approve oleh DSN MUI.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Bila
benar ini yang terjadi maka praktek inipun tidak selamat,
karena bank
telah menjual barang yang belum sepenuhnya diserahterimakan dan masih
berada dalam tanggung jawab (dhoman) penjual pertama. Dan ini diharamkan
oleh banyak ulama, diantaranya oleh ulama yang bermazhab Syafi'i yang
merupakan mazhab umat Islam di negeri kita tercinta. Saya yakin Anda
mengetahui perselisihan ulama' seputar masalah:
(بيع المبيع قبل قبضه)
Pengharaman ini berdasarkan sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:
عن
ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من ابتاع
طعاما فلا يبعه حتى يقبضه. قال ابن عباس: وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام.
متفق عليه
Dari sahabat Ibnu 'Abbas
radhiallahu 'anhu, ia menuturkan: Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya." Ibnu 'Abbas berkata:
"Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan." (Muttafaqun 'alaih)
Pemahaman Ibnu 'Abbas ini didukung oleh riwayat Zaid bin Tsabit
radhiallahu 'anhu, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut:
عن
ابن عمر قال: ابتعت زيتا في السوق، فلما استوجبته لنفسي لقيني رجل فأعطاني
به ربحا حسنا، فأردت أن أضرب على يده، فأخذ رجل من خلفي بذراعي، فالتفت
فإذا زيد بن ثابت فقال: لا تبعه حيث ابتعته حتى تحوزه إلى رحلك فإن رسول
الله صلى الله عليه و سلم نهى أن تباع السلع حيث تبتاع حتى يحوزها التجار
إلى رحالهم. رواه أبو داود والحاكم
Dari sahabat Ibnu Umar, ia
mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika
saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan
menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup
banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran
dari orang tersebut), tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang
memegang lenganku. Maka aku pun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin
Tsabit, kemudian ia berkata:
"Janganlah engkau jual minyak itu di
tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali
barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut
dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing." (HR
Abu Dawud dan Al Hakim). (
Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin
Ishak, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar
langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam
kitab at-Tahqiq. Baca Nasbu ar-Rayah 4/43 , dan at-Tahqiq 2/181).
Para
ulama menyebutkan hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah
karena
barang yang belum diserahterimakan kepada pembeli bisa saja batal,
karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak
terkena air dan lain-lain, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali
ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Hikmah kedua, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu 'Abbas
radhiallahu 'anhu ketika muridnya yaitu Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ.
Saya bertanya kepada Ibnu 'Abbas:
"Bagaimana kok demikian?" Ia menjawab:
"Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ibnu
Hajar menjelaskan perkataan Ibnu 'Abbas di atas sebagaimana berikut:
"Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan
ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum
menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali
kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang
pembayaran tersebut, padahal bahan makanan masih tetap berada di penjual
pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/menukar uang 100
dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan penafsiran ini, maka
larangan ini
tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja." (
Fathu al-Bari, oleh Ibnu Hajar al-Asqalani 4/348-349)
Adapun
apa yang Anda sebutkan bahwa kepastian kepemilikan ditempuh dengan
mekanisme
wakalah, maka itu menurut syari'at belum cukup, sebagaimana
ditegaskan pada hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar di atas. Berdasarkan
kedua hadits di atas dan juga lainnya, para ulama syari'at, melarang
kita untuk menjual kembali barang yang kita beli
sebelum barang itu
berpindah dari tempat penjual pertama dan keluar dari dhoman-nya
(tanggung jawabnya).
Karenanya, bila terjadi komplain terhadap
barang yang dibeli, konsumen tidak mengajukan komplain ke bank, akan
tetapi ke pihak
developer, atau
supplier, atau penjual pertama,
sedangkan pihak bank terlepas dari komplain itu. Sebagaimana apabila
pada tengah-tengah pengadaan barang kemudian terjadi musibah, pihak
bank juga tidak mau tanggung jawab, dan sepenuhnya tanggung jawab
dibebankan kepada pihak ke-3 yang berperan sebagai penyedia barang, baik
itu
developer atau
supplier atau lainnya. Ini membuktikan bahwa
sebenarnya bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi
miliknya dan belum sepenuhnya masuk ke dalam tanggung jawabnya. Padahal
diantara prinsip perniagaan dalam Islam yang disepakati oleh seluruh
ulama' menegaskan:
الغنم بالغرم
"Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian."
Atau dalam ungkapan lain sering juga disebut
الخراج بالضمان
"Penghasilan/kegunaan adalah imbalan atas kesiapan menanggung jaminan."
Maksud
kaidah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang
yang punya kewajiban menanggung kerugian –jika hal itu terjadi-. Kaidah
ini berdasarkan sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam:
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ غُلَامًا،
فَأَقَامَ عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يُقِيمَ، ثُمَّ وَجَدَ بِهِ
عَيْبًا، فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم ، فَرَدَّهُ
عَلَيْهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ اسْتَغَلَّ
غُلَامِي؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم: الْخَرَاجُ
بِالضَّمَانِ. رواه أحمد وأبو داود والترمذي والنسائي وحسنه الألباني
Dari sahabat 'Aisyah
radhiallahu 'anha
bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian
budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang
pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian pembeli
mengadukan penjual budak kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka Penjual berkata:
"Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?" Maka Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Keuntungan adalah imbalan atas kerugian." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasai dan dihasankan oleh Al Albani)
[DIALOG 3]
[Komentar Ustadz UPPS]
//
Ketiga,
fatwa yang tidak keluar dan tidak didukung real case studi di lapangan
akan menghasilkan fatwa yang keliru atau syadz, dengan demikian kita
harapkan para ustadz atau yang sejenis kalau belum memahami hakekat
operasional bank, jangan sekali-kali melakukan "penilaian dini" yang
berdampak fatal dan merusak kafa'ah ilmiyah.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Sebaliknya
juga demikian, fakta yang tidak sesuai dengan fatwa juga salah. Yang
saya maksud, adanya fatwa halal belum cukup untuk menjadi jaminan halal
atau tidaknya suatu transaksi, sebab bisa saja fatwanya benar akan
tetapi aplikasi di lapangan -karena berbagai alasan- menyeleweng dari
fatwa tersebut.
Terlebih-lebih fatwa DSN MUI tidak sampai membahas pada
teknis aplikasinya di lapangan, padahal bisa saja pada tahap aplikasi
terdapat penyelewengan.
Dan kalau tidak salah fatwa DSN MUI
jumlahnya lebih sedikit dibanding jenis transaksi dan akad yang
dijalankan oleh perbankan syariat yang ada (mohon koreksi).
Dan
pada kesempatan ini, saya juga perlu mengingatkan saudara-saudaraku para
praktisi perbankan syari'at dengan petuah Khalifah Umar bin Khattab
radhiallahu 'anhu berikut:
لاَ يَتَّجِرُ فِي سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ فَقُهَ وَإِلاَّ أَكَلَ الرِّبَا. ذكره ابن عبد البر بهذا اللفظ.
ورواه مالك والترمذي بلفظ: لاَ يَبِعْ فِي سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِي الدِّينِ. حسنه الألباني
"
Hendaknya
tidaklah berdagang di pasar kita, kecuali orang yang telah faham
(berilmu), bila tidak, niscaya ia akan memakan riba." (Ucapan beliau
dengan teks demikian ini dinukilkan oleh Ibnu Abdil Bar Al Maliky)
Dan
ucapan beliau ini diriwayatkan oleh Imam Malik dan juga Imam At Tirmizy
dengan teks yang sedikit berbeda: "
Hendaknya tidaklah berdagang di
pasar kita, kecuali orang yang telah memiliki bekal ilmu agama."
(Riwayat ini dihasankan oleh Al Albany)
Imam Al Qurthuby Al
Maliky menjelaskan: "Orang yang bodoh tentang hukum perniagaan,–
walaupun
perbuatannya tidak dihalangi- maka tidak pantas untuk diberi
kepercayaan sepenuhnya dalam mengelola harta bendanya. Yang demikian ini
dikarenakan ia tidak dapat membedakan perniagaan terlarang dari yang
dibenarkan, transaksi halal dari yang haram. Sebagaimana ia juga
dikawatirkan akan melakukan praktek riba dan transaksi haram lainnya.
Hal ini juga berlaku pada orang kafir yang tinggal di negri Islam." (
Ahkaamul Qur'an oleh Imam Al Qurthuby Al Maaliky 5/29)
Menyandingkan
antara ilmu syariat dengan ilmu tentang realita ini begitu penting,
karena seorang mufti yang tidak paham akan realita permasalahan yang
hendak ia hukumi sangat dimungkinkan akan salah dalam berfatwa. Dan seorang praktisi yang kurang menguasai ilmu agama, sangat dimungkinkan
tersesat ketika hendak menerapkan fatwa, terlebih-lebih realita suatu
akad atau kejadian menurut ulama terbagi menjadi dua bagian:
Bagian pertama:
Realita yang memiliki pengaruh dalam penentuan hukum syariat.
Bagian kedua:
Realita yang tidak memiliki pengaruh dalam penentuan hukum syar'i.
Realita
jenis kedua ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan (
الأوصاف
الطردية). Dan realita jenis kedua ini termasuk dalam "ilmu yang bila
diketahui tidak ada manfaatnya, dan bila tidak diketahui juga tidak
merugikan."
Contoh nyata dari kedua jenis realita di atas:
A.
Berlakunya hukum riba pada emas dan perak (dinar dan dirham) tidak ada
kaitannya dengan warna dan bentuk keduanya. Tidak setiap yang berwarna
kuning atau putih berkilau berlaku padanya hukum riba, walaupun pada
kenyataanya emas berwarna kuning, dan perak berwarna putih berkilau.
B. Diharamkannya
khomer, apakah hanya karena ia terbuat dari jus anggur, sehingga
minuman yang terbuat dari bahan-bahan lain tidak haram, walaupun
memabukkan?
Minuman yang diolah dari bahan tebu atau lainnya,
diramu dengan teknologi tinggi, disterilisasi, dan dikemas dengan
kemasan yang bagus lagi menarik, kemudian diminum di tempat-tempat yang
terhormat, bukan di bar akan tetapi di masjid (misalnya), apakah tidak
dikatakan khamr? Tentu orang yang memahami hukum syariat tentang
keharaman khamr tidak akan berubah fatwanya hanya karena adanya
perubahan dalam hal-hal ini. Syariat pengharaman khamr bukan karena
bahan bakunya, akan tetapi sifat memabukkan yang ada pada minuman itu.
Dengan demikian, setiap yang memabukkan dalam syariat disebut khamr, dan
setiap yang memabukkan maka haram hukumnya.
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ. رواه مسلم
"Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan adalah haram." (HR Muslim)
Kaitannya
dengan permasalahan ini: Dalam fatwa, seorang ahli fiqih tidak
diharuskan mengetahui seluk beluk setiap masalah hingga sedetail
mungkin, akan tetapi ia cukup mengetahui seluk beluk permasalahan yang
mempengaruhi hukum dan dipertimbangkan dalam syariat.
Dan dalam
kasus yang menjadi tema pembahasan yaitu akad
murabahah dengan
merenovasi rumah, atau pengadaan barang konsumtif lainnya telah jelas
terdapat unsur-unsur yang terlarang dalam syariat, yaitu gharar atau
riba, sebagaimana dijelaskan pada tanggapan saya di atas. Dan saya yakin
Anda mengetahui bahwa gharar atau riba adalah bagian dari keempat yang
menjadikan suatu akad terlarang dalam syariat. Keempat hal itu ialah:
- Barang yang menjadi obyek akad adalah barang yang diharamkan.
- Adanya faktor riba,
- Adanya faktor ketidak jelasan (gharar),
- Adanya persyaratan yang akan mengakibatkan terjadinya praktek riba atau ketidak jelasan.
[DIALOG 4]
[Komentar UPPS]
//
Keempat,
fatwa tentang praktek bank syariah dengan akad jual beli secara
murabahah sudah diterbitkan bukan hanya level nasional akan tetapi
internasional (AAOIFI dan Majma al Fiqh al Islamy OKI)
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Adanya
fatwa tentang halalnya
murabahah bukanlah hal yang baru.
Akan tetapi
poin penting yang perlu diingat adalah pemahaman dan aplikasi akad
murabahah yang ada di perbankan syariah yang ada. Apakah sesuai dengan
murabahah yang dihalalkan oleh para ulama atau hanya sekedar persamaan
nama, akan tetapi hakekatnya berbeda?
Saya yakin ustadz
mengetahui bahwa istilah
murabahah di sini tidaklah sama dengan istilah
murabahah yang dimaksudkan oleh para ulama zaman dahulu, atau yang oleh
masyakarat sekarang disebut dengan istilah fiqih klasik. Menurut fiqih
ulama zaman dahulu,
murabahah ialah seorang pedagang menjual barang yang
telah ia miliki kepada konsumen dengan menyebutkan modal pembelian yang
ditambah dengan keuntungan dalam persentase atau nominal tertentu.
Agar
para pembaca dapat mengetahui perbedaan fatwa Majma' Al Fiqh Al Islami
di bawah organisasi OKI, dari aplikasi
murabahah yang dijalankan oleh
perbankan syariat di negeri kita, berikut saya nukilkan fatwa mereka:
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على سيدنا محمد خاتم النبيين وعلى آله وصحبه أجمعين
(قرار رقم: 40 - 41 (2/5 و 3/5)
بشأن
الوفاء بالوعد، والمرابحة للآمر بالشراء
إن
مجلس مجمع الفقه الإسلامي الدولي المنعقد في دورة مؤتمره الخامس بالكويت
من 1- 6 جمادى الأولى 1409 الموافق 10 – 15 كانون الأول (ديسمبر) 1988م،
بعد
اطلاعه على البحوث المقدمة من الأعضاء والخبراء في موضوعي الوفاء بالوعد،
والمرابحة للآمر بالشراء، واستماعه للمناقشات التي دارت حولهما،
قرر ما يلي:
أولاً:
أن بيع المرابحة للآمر بالشراء إذا وقع على سلعة بعد دخولها في ملك
المأمور، وحصول القبض المطلوب شرعاً، هو بيع جائز، طالما كانت تقع على
المأمور مسؤولية التلف قبل التسليم، وتبعة الرد بالعيب الخفي ونحوه من
موجبات الرد بعد التسليم، وتوافرت شروط البيع وانتفت موانعه.
ثانياً:
الوعد – وهو الذي يصدر من الآمر أو المأمور على وجه الانفراد – يكون ملزماً
للواعد ديانة إلا لعذر، وهو ملزم قضاء إذا كان معلقاً على سبب ودخل
الموعود في كلفة نتيجة الوعد. ويتحدد أثر الإلزام في هذه الحالة إما بتنفيذ
الوعد، وإما بالتعويض عن الضرر الواقع فعلاً بسبب عدم الوفاء بالوعد بلا
عذر.
ثالثاً: المواعدة – وهي التي تصدر من الطرفين – تجوز في بيع
المرابحة بشرط الخيار للمتواعدين، كليهما أو أحدهما، فإذا لم يكن هناك خيار
فإنها لا تجوز، لأن المواعدة الملزمة في بيع المرابحة تشبه البيع نفسه،
حيث يشترط عندئذ أن يكون البائع مالكاً للمبيع حتى لا تكون هناك مخالفة
لنهي النبي صلى الله عليه وسلم عن بيع الإنسان ما ليس عنده.
ويوصي بما يلي:
في ضوء ما لوحظ من أن أكثر المصارف الإسلامية اتجه في أغلب نشاطاته إلى التمويل عن طريق المرابحة للآمر بالشراء.
أولاً:
أن يتوسع نشاط جميع المصارف الإسلامية في شتى أساليب تنمية الاقتصاد
ولاسيما إنشاء المشاريع الصناعية أو التجارية، بجهود خاصة، أو عن طريق
المشاركة والمضاربة، مع أطراف أخرى.
ثانياً: أن تدرس الحالات العملية
لتطبيق المرابحة للآمر بالشراء لدى المصارف الإسلامية، لوضع أصول تعصم من
وقوع الخلل في التطبيق، وتعين على مراعاة الأحكام الشرعية العامة أو الخاصة
ببيع المرابحة للآمر بالشراء.
والله أعلم ؛
مجلة المجمع (العدد الخامس، ج2 ص 754 و 965).
Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang
Segala
puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga
senantiasa dilimpahkan kepada sayyidina Muhammad, penghulu para nabi,
kepada keluarga dan seluruh sahabatnya.
Keputusan No: 40- 41(2/5 & 3/5)
Perihal:
Kewajiban memenuhi perjanjian, dan hukum murabahah dengan pemesan.
Sesungguhnya
rapat pleno Majma' Al Fiqih Al Islami Ad Dauly yang kelima yang
diadakan di Kuwait sejak tanggal 1 - 6 Jumadil Ula 1409 H yang
bertepatan 10 – 15 Desember 1988 M.
Setelah mengkaji lembar kerja
yang diajukan oleh anggota Majma' Al Fiqih dan juga yang ditulis oleh
para pakar tentang dua permasalahan: Kewajiban memenuhi perjanjian, dan
hukum murabahah dengan pemesan, serta setelah mendengarkan berbagai
diskusi anggota Majma' tentang keduanya, maka Majma' Al Fiqih
memutuskan:
Pertama:
Akad jual-beli murabahah dengan pemesan
bila dilakukan pada barang yang telah sepenuhnya dimiliki oleh penjual
penerima pesanan, dan sepenuhnya telah diserahterimakan secara syariat,
maka itu adalah akad yang dibolehkan.
Dengan catatan:
- Penjual penerima pesanan bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi sebelum barang diserahkan kepada pemesan.
- Bertanggung jawab atas resiko komplain/pengembalian barang karena
ada cacat (khafi) yang tidak diketahui oleh penjual pertama/penyedia
barang atau alasan serupa yang membolehkan pemesan untuk mengembalikan
barang.
- Memenuhi berbagai persyaratan jual-beli.
- Terbebas dari berbagai faktor yang menjadikan akad jual-beli terlarang.
Kedua: Janji/komitmen sepihak dari pemesan atau penjual secara agama
bersifat mengikat pihak yang berjanji, kecuali bila ada uzur. Dan janji
itu juga mengikat secara peradilan bila dikaitkan dengan suatu sebab
sehingga pihak yang dijanjikan terlanjur melakukan pembiayaan
dikarenakan janji tersebut. Aplikasi dari sifat mengikat tersebut pada
keadaan semacam ini diwujudkan dengan memenuhi janji, baik dengan
mengganti kerugian yang benar-benar terjadi akibat dari tidak
dipenuhinya janji pembelian atau penjualan yang tanpa alasan.
Ketiga:
Janji/Komitmen dari kedua belah pihak (bukan sepihak) dibolehkan dalam
akad murabahah dengan ketentuan harus ada hak khiyar (hak membatalkan
akad) bagi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Dengan demikian,
bila pada akad tidak ada hak khiyar (membatalkan akad) sama sekali, maka
akad ini tidak dibenarkan; karena janji yang sepenuhnya mengikat (tanpa
ada hak khiyar) pada akad murabahah seperti ini serupa dengan akad jual
beli biasa. Pada keadaan semacam ini dipersyaratkan agar penjual
terlebih dahulu telah memiliki barang yang diperjual-belikan, agar tidak
melanggar larangan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya.
Majma' Al Fiqh Al Islamy merekomendasikan berikut:
Berdasarkan
fakta yang didapatkan di lapangan bahwa kebanyakan kegiatan perbankan
Islam mengarah pada pembiayaan melalui skema murabahah dengan pemesan.
Pertama:
Hendaknya gerak seluruh perbankan Islam mencakup seluruh metode
pengelolaan perekonomian, terlebih-lebih dengan mendirikan berbagai
proyek industri atau perdagangan, baik mandiri atau melalui menanamkan
modal, atau menjalin akad mudharabah (bagi hasil) dengan pihak-pihak
lain.
Kedua: Hendaknya diadakan studi banding seputar aplikasi
akad murabahah dengan pemesan yang diterapkan oleh perbankan Islam, guna
meletakkan pedoman-pedoman yang jelas sehingga pada tahapan prakteknya
tidak terjerumus ke dalam kesalahan, serta memudahkan bagi praktisi
perbankan dalam mengindahkan berbagai hukum syariat secara umum atau
yang berlaku khusus pada akad murabah dengan pemesan. Wallahu a'lam.
(Disadur dari majalah Majma' Al Fiqh Al Islami edisi 5, jilid 2 hal: 754 & 965)
***
Dengan
demikian, jelaslah bahwa Majma' Al Fiqhi Al Islami
TIDAK MENGHALALKAN
AKAD MURABAHAH SECARA MUTLAK.
Akad murabahah yang dihalalkan adalah yang
memenuhi beberapa persyaratan yang telah dijelaskan pada keputusan di
atas. Dengan demikian, tidak ada yang perlu dirisaukan pada tulisan
saya, karena yang saya permasalahkan
bukan hukum asal akad
murabahah,
akan tetapi aplikasinya yang ada di perbankan syariat di negeri kita.
Ada
satu hal yang perlu dicatat di sini: Sudah saatnya bagi setiap muslim
di negeri kita untuk bersikap kritis, sehingga tidak cukup dengan adanya
fatwa halal atau haram terhadap suatu hal, akan tetapi terus mengawal
fatwa tersebut hingga pada tahap aplikasinya di lapangan atau
masyarakat.
Wallahu a'lam bisshowab.
BAGIAN II
[Komentar Moderator Milis]
Assalamu 'alaikum warohmatullah wabarokatuh
Terimakasih
pak, tentang hal ini sudah kami sampaikan kepada ustadz Muhammad Arifin
Badri, M.A. yang insya Allah beliau juga memiliki kapasitas di bidang
ini (beliau sekarang sedang menyelesaikan S3 di Jami'ah Islamiyah
Madinah, Arab Saudi). Satu hal yang menjadi catatan di sini adalah:
kajian terhadap Bank Syariah masih terbuka lebar untuk dibahas dan
dikritisi, dan bahkan DSN MUI pun masih sangat pantas untuk dikritisi
(tentunya dengan adab dan ilmiah).
Di antara pertanyaan di benak saya (mungkin ini agak melebar dari
topik): apakah benar ada jaminan dari DSN MUI bahwa praktek perbankan
sudah aman 100 persen secara syariat? Jika belum aman 100 persen, maka
bagian manakah dari praktek perbankan syariah yang perlu diwaspadai oleh
ummat? Tentu hal ini harus dipaparkan dan diungkapkan oleh DSN MUI
kepada ummat, tanpa perlu ada yang ditutup-tutupi. Pertanyaan
selanjutnya, sampai sejauh mana kontrol DSN MUI terhadap praktek
perbankan syariah di Indonesia?
Terimakasih. Mohon maaf atas kata-kata yang kurang berkenan.
Moderator
[DIALOG 1]
[Komentar UPPS]
//
Tidak ada yg bisa menjamin
akan aplikasi perenial values atau kesyariahan dalam angka 100% pada
pribadi muslim, terlebih dalam sebuah lembaga bisnis yang relatif lebih
komplek, hatta pada masa Nabi saw, karena masih ditemukan juga perilaku
jahiliyah yang secara langsung disaksikan Nabi saw.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Saya merasa heran dengan komentar Anda di atas. Terkesan ada upaya
menutup rapat-rapat pintu kritik dari masyarakat umum terhadap perbankan
Islam yang ada di negeri kita. Yang lebih mengherankan adalah ucapan
Anda berikut:
"hatta pada masa Nabi saw, karena masih ditemukan juga perilaku jahiliyah yang secara langsung disaksikan Nabi saw."
Ucapan ini dapat menimbulkan kesan dan pemahaman yang kurang bagus
pada pembaca. Bisa saja ada dari pembaca yang menyimpulkan bahwa para
sahabat Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersikap kurang ajar sehingga tetap dengan sengaja melangggar syariat walaupun berada di hadapan nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam.
Tentu kesan seperti ini tidak layak terbetik di pikiran seorang muslim
yang mengenal dan paham bagaimana keluhuran akhlaq dan ketulusan batin
para sahabat.
Selain itu, pernyataan Anda ini dapat menimbulkan kesan pada pembaca bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam membiarkan sebagian sahabatnya melanggar syariat. Tentu ini tidak benar, mustahil Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam
membiarkan kemungkaran terjadi di hadapannya tanpa ada pengingkaran.
Sebab diam ketika menyaksikan kemungkaran adalah perbuatan haram:
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه.
"Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya
dia mengubahnya dengan tangannya (kekuatannya), jika tidak bisa, maka
dengan lisannya dan bila tidak bisa maka dengan hatinya." (Riwayat Muslim)
Bila Anda menampik adanya dua kesan ini dari ucapannya, maka itu menuntut Anda untuk
legowo
menerima dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk
mengkritisi praktek perbankan syariah yang ada di negeri kita. Karena
memang sulit untuk mencapai kesempurnaan dalam penerapan syariat, baik
dalam skala pribadi atau lembaga, sehingga masukan dan kritikan harus
tetap dibuka lebar-lebar. Dan sudah sepantasnya sebagai seorang muslim
yang sejati untuk berlaku sebagai seorang pemberani dan ksatria bila
terbukti salah dengan ruju' (kembali) kepada kebenaran.
كُلُّ ابنِ آدَمَ خَطَّاءُ وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ. رواه أحمد والترمذي وابن ماجة وصححه الحاكم
"Setiap anak Adam sering melakukan kesalahan, dan sebaik-baik
orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat (kembali kepada
kebenaran)." (Riwayat Ahmad, At Tirmizy, Ibnu Majah, dan dishohihkan oleh Al Hakim)
[DIALOG 2]
[Komentar UPPS]
//
Pihak yang berkewajiban
mengontrol dan mengawasi secara langsung akan produk dan praktek lembaga
bisnis syariah adalah DPS bukan DSN MUI, DSN hanya bertugas menerbitkan
fatwa yang terbatas dalam marhalah ijtihadiyah bukan pada marhalah
tathbiqiyah.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS yang terhormat, jika yang Anda maksudkan adalah tanggung jawab
dan kewajiban secara kelembagaan, saya dapat menerima komentar Anda ini.
Akan tetapi kalau yang dimaksud adalah kewajiban secara umum,
sehingga mencakup kewajiban secara moral dalam beragama maka saya tidak
sependapat dengan Anda. Karena komentar Anda tersebut mengarah kepada
pengekangan kebebasan masyarakat dalam berpendapat dan bersikap. Seakan
Anda ingin memaksakan agar masyarakat taqlid kepada DSN dan DPS. Padahal
DSN dan DPS sendiri masih layak untuk dikritisi, sebagai konsekuensi
langsung dari keterbatasan dan kekurangan yang senantiasa melekat pada
diri setiap anak manusia, termasuk seluruh anggota DPS sebagaimana yang
Anda paparkan sebelumnya, bahwa kesempurnaan dalam beragama itu sulit
terwujud.
Masing-masing orang yang memiliki rencana atau bahkan terlanjur
berhubungan dengannya pun memiliki kewajiban yang sama. Hanya dengan
demikian, masing-masing pihak terkait dapat terbebas dari tanggung jawab
moral di hadapan Allah. Karena kelak di hari kiamat, masing-masing
manusia akan mempertanggungjawabkan amalannya masing-masing. Bagi
seorang muslim yang meragukan atau bahkan meyakini bahwa praktek
perbankan syariat yang ada sekarang ini masih belum atau tidak selaras
dengan syariat islam, maka tidak pantas baginya untuk mempercayakan
pengelolaan dananya kepada badan-badan tersebut.
لاَ تَزُولَ
قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتىَّ يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ: عَنْ
عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ مَا عَمِلَ بِهِ، وَعَنْ
مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ
فِيمَا أَبْلاَهُ. رواه الترمذي والطبراني وصححه الألباني
"Kelak kedua kaki setiap hamba tidak akan beranjak, hingga
ditanyai tentang empat hal: tentang umurnya; ia pergunakan untuk
mengamalkan apa?, ilmunya; apa yang ia perbuat dengannya?,
harta-bendanya; dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan?,
badannya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa?" (Riwayat At Tirmizy, At Thabrany dan dishahihkan oleh Al Albani)
[DIALOG 3]
[Komentar UPPS]
//
Peluang
untuk mengkritisi DSN sangat terbuka lebar, dan saya adalah orang yg
sering mengkritik beberapa fatwa DSN khususnya di forum "Kompartemen
Perbankan Syariah". Akan tetapi harus diingat mereka sudah berupaya
sekuat mungkin untuk melakukan tugasnya, dan jika hasil ijtihad mereka
salah, masih diberi satu pahala (insya Allah).
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Saya rasa peluang yang sama juga masih terbuka di hadapan kita
terhadap DPS. Saya yakin Anda tetap komitmen terhadap ucapan Anda di
atas bahwa mencapai kesempurnaan itu sulit dicapai. Karenanya saya yakin
Anda pun masih menyadari bahwa DPS masih berpeluang melakukan
kesalahan, baik disengaja atau tidak dalam menjalankan peranan dan
tugasnya. Oleh karena itu sudah sepantasnya para praktisi perbankan
syariat, dan seluruh komponen terkait untuk tetap
legowo menghadapi kritikan dan hujatan dari berbagai pihak, selama kritikan itu berdasarkan dalil dan alasan yang kuat.
Masalah DSN MUI atau DPS telah berupaya sekuat tenaga, itu tidak
dapat dijadikan alasan untuk menutup pintu kritik, sehingga bila
terbukti ada kesalahan sudah sepantasnya bagi setiap muslim untuk tidak
mengikuti kesalahan tersebut. Walaupun di sisi Allah para anggota DSN
atau DPS tidak dianggap berdosa (bahkan mendapatkan pahala) bila tidak
melakukan kesalahan yang disengaja.
Dan sebaliknya, sudah sepantasnya pula DPS dan DSN untuk menerima
koreksi yang terbukti benar dan meninggalkan kesalahan mereka. Tidak
sepantasnya usaha keras itu dijadikan alasan untuk mempertahankan
kesalahan.
[DIALOG 4]
[Komentar UPPS]
//
Hal lain yang perlu diingat bahwa dalam tataran dirasah fiqhiyah banyak sekali khilafiyah yg harus disikapi secara mature.
Seorang
yang murni akademisi atau ustadz boleh-boleh saja mengkritisi penerapan
syariah dalam bank dll, akan tetapi dari pengalaman yang ada, mereka
hanya sebatas teks langit yang belum membumi, dan menurut hemat saya
harus diselami juga aspek dari sisi praktisinya.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS, saya ingin bertanya: Bila terjadi pertentangan antara hukum dan
paktek di lapangan, manakah yang harus diubah dan disesuaikan?
Saya yakin setiap muslim akan berpendapat bahwa yang harus aktif
menyesuaikan diri adalah para praktisi dan bukan para ustadz, ulama atau
para ahli fatwa. Jadi menurut hemat saya, istilah MEMBUMI harus diganti
dengan istilah MELANGIT. Maksudnya, segala praktek dan pola hidup
manusia haruslah diupayakan agar selaras dengan hukum Allah, sehingga
para praktisi-lah yang harus aktif menyelaraskan produk ekonomi mereka
dengan hukum-hukum Allah, bukan sebaliknya para ustadz dan ahli fatwa
yang sibuk menyelaraskan fatwa mereka dengan paktek para praktisi
ekonomi.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ
يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah
dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Qs. Al-Hujurat: 1)
Ibnu Katsir berkata:
لا تسرعوا في الأشياء بين يديه، أي: قبله، بل كونوا تبعا له في جميع الأمور.
"Hendaknya kalian tidak terburu-buru dalam setiap urusan sehingga
melangkahi kehendak Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi seyogyanya kalian
senantiasa menuruti kehendak Allah dan Rasul-Nya dalam segala urusanmu." (
Tafsir Ibnu Katsir 7/364)
Bila para para ahli fatwa yang sibuk menyelaraskan fatwanya dengan
praktek masyarakat maka sangat dimungkinkan para ahli fatwa akan
terjerumus ke dalam kenistaan. Kenistaan yang saya maksud ialah menjual
ayat-ayat Allah dan syariat-Nya, sehingga berfungsi sebagai label halal
yang oleh para pedagang dijadikan sarana untuk mengeruk keuntungan.
Saya yakin Anda mengetahui sepenuhnya bahwa seorang ahli fatwa yang
benar-benar bertakwa dan berilmu tidaklah akan berani berfatwa kecuali
setelah mengetahui seluk beluak kejadian yang hendak ia hukumi. Karena
bila seorang ahli fatwa belum menguasai permasalahan dengan baik maka ia
terjerumus ke dalam ancaman firman Allah Ta'ala berikut:
وَلاَ
تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا
حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ
يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut
oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (Qs. An Nahl: 116)
[DIALOG 5]
[Komentar UPPS]
//
Saya pribadi beberapa kali
membaca pengkritisan terhadap bank syariah yang dilakukan oleh alumni Madinah, akan tetapi belum menyentuh aspek maslahat dan common practice sebuah bank.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS yang terhormat, saya jadi kurang mengerti dengan pola pikir Anda
dalam berijtihad dan menghukumi suatu masalah. Sebab dalam syariat
Islam, maslahat dan kepentingan umat manusia dibatasi oleh syariat,
bukan sebaliknya syariat dibatasi oleh maslahat dan kepentingan manusia.
Saya kira Anda sudah tahu lebih banyak daripada saya tentang perbedaan
antara keduanya. Terlebih-lebih syariat Islam diturunkan demi mewujudkan
kemaslahatan ummat manusia, sehinga seorang muslim yang benar-benar
beriman ialah orang yang senantiasa yakin dan mengimani bahwa
kemaslahatannya terletak pada tindakan penerapan syariat Islam secara
menyeluruh. Tidak heran bila imam Izzuddin bin Abdissalam menuliskan
bukunya:
قواعد الأحكام في مصالح الأنام
Pada kitab ini, beliau menjelaskan bahwa seluruh syariat Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
Oleh karena itu, manusia yang paling banyak mendapatkan maslahah ialah yang paling komitmen dengan ajaran agamanya.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ
تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaithan.
Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu." (Qs. Al Baqarah: 208)
Upaya para praktisi perbankan syariah yang ada di negeri kita dengan
merintis dan mendirikan bank-bank yang berbasis syariat adalah salah
satu bukti nyata akan apa yang saya utarakan di atas.
Dengan demikian, bila yang Anda maksudkan dari kata "
maslahah" ialah
maslahah yang masih berada dalam batasan syariat maka saya setuju dengan
Anda. Akan tetapi bila yang Anda maksud adalah kemaslahatan yang berupa
"yang penting perusahaan untung" maka saya tidak setuju, dan saya yakin
Anda termasuk orang yang terdepan dalam memerangi "maslahat" semacam
ini.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا
إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِن
نَّفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ
يُبيِّنُ اللّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah:
'Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.' Dan
mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:
'Yang lebih dari keperluan.' Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berpikir." (Qs. Al Baqarah: 219)
Pada ayat ini dengan jelas Allah menyatakan bahwa pada khamr dan
perjudian terdapat kemaslahatan, akan tetapi dikarenakan kemaslahatannya
lebih kecil dibanding mafsadahnya, maka keduanya diharamkan.
Singkat kata, kata "maslahah" harus ditimbang dengan hukum syariat bukan hukum syariat ditimbang dengan "maslahah".
[DIALOG 6]
[Komentar UPPS]
//
Menurut hemat saya, orang
yang paling "kriminil" adalah orang yang mencemooh praktek bank syariah
dengan men-judge belum syariah sementara dirinya dan rekeningnya ada di
bank ribawi, bahkan tidak malu-malu bertransaksi kartu kredit yang
kontraknya jelas-jelas bunga.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS yang saya hormati, kalau masalah persepsi, maka kebalikan dari pendapat Anda pun tidak kalah besar nilai "kriminal"nya.
Dalam syariat Islam, mengharamkan yang halal sama dengan menghalalkan yang haram, sama-sama dosa besar:
وَلاَ
تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ
وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ
يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut
oleh lidahmu secara dusta 'ini halal dan ini haram', untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (Qs. An Nahl: 116)
Masalah kartu kredit, saya yakin Anda lebih mengetahui tentangnya
dari pada saya, karena alhamdulillah hingga saat ini saya tidak pernah
mempunyai kartu kredit, apatah pula kartu kredit, rekening bank saja
alhamdulillah saya tidak punya. Semoga Allah Ta'ala senantiasa
melindungi saya dan seluruh saudara kita seiman dan seakidah dari riba
dan debunya.
Wallahu a'alam bisshowab, mohon maaf sebelumnya bila ada
kata-kata saya yang jahil ini yang mungkin kurang berkenan atau kurang
santun.
Semoga sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
BAGIAN III
[Komentar UPPS]
//
Ass. Wr. Wb
Terima
kasih ustadz M. Arifin Badri atas nasehat dan petuahnya, jika berkenan
ana (saya –ed) akan sedikit berikan penjelasan atas pendapat ana yang
lalu sbb:
Ana sependapat dengan ustadz bahwa menjual sesuatu yang belum dimiliki (al bai fiimaa laa yumlak)
adalah dilarang adanya, namun demikian yang dilakukan oleh bank syariah
adalah mekanisme qabdh hukmy dengan instrumen PO seperti yang sudah ana
jelaskan, dan bukan qabdh fi'ly sebagaimana yang dilakukan pedagang di
sektor riil pada umumnya.
Kenapa demikian? Regulasi di Indonesia,
yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI), serta peraturan perpajakan yang
melatarbelakangi fatwa DSN akan bolehnya transaksi murabahah dengan
wakalah.
Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas bank umum
melarang seluruh bank umum untuk bertindak sebagaimana pedagang sektor
riil (menyetok barang dan dijual). Artinya direct selling oleh bank
dilarang oleh regulasi, karena bank adalah sektor intermediasi.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Wa'alaikumussalam. UPPS, semoga Allah Ta'ala melimpahkan keberkahan kepada Anda dan keluarga.
Pertama
saya ucapkan terimakasih sebesar-besarnya, karena Anda telah mengakui
bahwa perbankan syariah yang ada telah menjual barang yang mereka beli
sebelum terjadi qabdh fi'ly. Pengakuan ini secara tidak langsung adalah
pengakuan bahwa perbankan telah melakukan hal yang nyata-nyata
terlarang.
Karena dalam syariat Islam yang dimaksud dengan
qabdh (serah terima) yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas dan lainny adalah
al qabdh al fi'li
(benar-benar diserah terimakan) karena saya yakin Anda mengetahui bahwa
akad jual beli adalah akad yang
mulzimah (mengikat) sehingga sekedar
akad jual-beli selesai ditanda tangani, kepemilikan barang dan uang
secara otomatis berpindah. Barang berpindah kepemilikan kepada pembeli
dan uang dari pembeli menjadi milik penjual. Walau demikian adanya, Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengizinkan kepada pembeli
untuk menjual ulang barang itu (walaupun secara hukum telah menjadi
miliknya). Yang demikian itu dikarenakan bila pembeli menjual ulang
barang yang ia beli sebelum sepenuhnya diserah-terimakan, maka pembeli
telah mendapatkan keuntungan dari barang yang belum menjadi tanggung
jawabnya. Dan keuntungan semacam ini terlarang.
لاَ يَحِلُّ
سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ
يُضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ. رواه أحمد وأبو داود والترمذي
وصححه الألباني
"Tidak halal menggabungkan antara piutang
dengan akad jual-beli, juga tidak halal dua persyaratan dalam satu akad
jual-beli, sebagaimana tidak halal keuntungan yang diperoleh dari barang
yang belum menjadi tanggung jawab penjual, tidak pula menjual barang
yang tidak ada (tidak engkau miliki) padamu." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)
Pendek
kata, status barang yang telah menjadi milik perbankan belum cukup,
akan tetapi harus benar-benar telah diserahterimakan oleh penjual kepada
bank.
Masalah peraturan Bank Indonesia, maka itu tidak dapat dijadikan alasan untuk melanggar ketentuan hukum Islam ini.
Apakah layak bagi seorang muslim untuk mengalahkan hukum Allah demi mematuhi peraturan manusia?
على المرء المسلم السمع والطاعة فيما أحب وكره إلا أن يؤمر بمعصية فإن أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة، أخرجاه.
"Wajib
atas setiap orang muslim untuk mendengar dan menta'ati, baik dalam hal
yang ia suka atau yang ia benci, kecuali kalau ia diperintahkan dengan
kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan menta'ati." (Muttafaqun 'alaih)
Pada hadits lain beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
"Tidak ada keta'atan kepada makhluk dalam memaksiati sang pencipta." (Riwayat At Tirmizy)
Walau
demikian, saya yakin Anda mengetahui bahwa peraturan PBI di atas masih
bisa diakali alias disiasati, karena peraturan itu hanya urusan
administrasi, sedangkan praktek di lapangan, sepenuhnya urusan operator.
Sebagai
contoh:
Bisa saja operator suatu bank membeli barang terlebih dahulu,
dengan pembayaran ditunda satu minggu (misal) tanpa dibuatkan surat
pembelian atau penjualan. Selanjutnya dealer mengantarkan kendaraan ke
Bank atau ke rumah nasabah. Setiba di rumah nasabah dan setelah petugas
dari dealer pergi, segera petugas dari bank dan nasabah mengadakan akad
jual beli. Setelah akad jual-beli antara bank dengan nasabah selesai
ditandatangani, maka bank dapat membuat surat penjualan dan pembelian
dengan dealer. Dengan demikian, tanggal penjualan antara Bank dan
nasabah lebih dahulu dibanding tanggal pembelian dan penjualan antara
bank dan dealer.
Dalam praktek perundang-undangan di negeri kita,
manipulasi atau akal-akalan semacam ini biasa terjadi, dan itu telah
menjadi rahasia umum. Mengapa para praktisi perbankan syariah kok ciut
nyali, sehingga tunduk dan patuh seratus persen, sehingga melanggar
ketentuan syariat ini?
Solusi ini selamat secara syariat dan
secara peraturan BI. Hanya saja solusi ini memiliki resiko, misalnya
nasabah ingkar janji, atau terjadi kerusakan pada barang setelah
diserahkan oleh dealer, misal terjadi gempa, atau banjir, atau
perampokan. Tapi resiko semacam ini adalah konsekuensi dari dunia
perniagaan yang wajar. Karena kesiapan menanggung resiko semacam inilah,
akad ini halal, dan menyelisihi akad hutang piutang atau riba.
Demikianlah karakter dunia usaha yang tidak mungkin bisa dirubah. Oleh
karenanya Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ. رواه أحمد وأبو داود والترمذي والنسائي وحسنه الألباني
"Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasai dan dinyatakan hasan oleh Al Albani)
Dengan cara ini, apa yang di khawatirkan berupa peraturan BI dan repot menimbun barang dapat dihindari.
Bila
solusi ini tidak bisa atau belum bisa diterapkan, mengapa kita
memaksakan diri? Bukankah masih ada solusi lain selain perbankan,
sehingga kita bisa menjalankan akad
murabahah atau
mudharabah yang
sebenarnya. Misalnya dengan mendirikan perusahaan publik biasa, sehingga
bebas membeli dan menjual. Dan benar-benar menggerakkan perekonomian
umat.
Praktek perbankan syari'ah selama ini menurut hemat saya
adalah solusi pemalas belaka. Betapa tidak, perbankan yang ada hanya
menerima dana dan kemudian mencari para pengelola dari pihak ketiga.
Seharusnya perbankan yang memiliki segudang tenaga handal, menerima dana
dari masyarakat lalu ia kelola dalam sektor riil. Bukan malah
masyarakat yang jelas memiliki banyak kekurangan diminta mengembangkan
dana milik perbankan.
[Komentar UPPS]
//
Kendala
kedua, isu double tax yang memberatkan industri. Ketika bank syariah
harus membeli barang maka secara langsung masuk dalam buku kita sebagai
aset bank dan menjadi obyek pajak. Kemudian bank menjual asetnya kepada
nasabah, kondisi ini juga menjadi obyek pajak (PPN), berdasarkan hal
tersebut bank syariah menjadi tidak efisien karena over head cost-nya
melambung tinggi.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS
yang saya hormati, apa yang Anda khawatirkan berupa
double tax, dapat
disiasati, misalnya dengan cara yang saya gambarkan di atas. Atau dengan
membeli barang dari agen besar atau PMT suatu merek dagang atau bahkan
langsung ke perusahaan pemroduksi barang, dengan meminta agar bank
mendapatkan harga yang jauh lebih murah dari yang berlaku umum di
pasaran.
Karena pajak dan yang serupa hanya berlaku bila
transaksi kita lakukan dengan formal; dibukukan, ada surat penjualan dan
pembelian. Akan tetapi bila surat menyurat ditunda, atau penjualan
antara dealer dengan pihak bank surat menyuratnya ditiadakan, maka tidak
akan ada PPN.
Saya yakin bila pihak operator perbankan syariat
benar-benar serius mencari solusi yang sesuai syariat dan mengedepankan
hukum agama dibanding undang-undang manusia,
pasti ada celah yang bisa
ditempuh.
[Komentar UPPS]
//
Ust, kami
sedang berjuang untuk membebaskan diri dari pajak dengan loby kepada
pemerintah agar treathment double tax bagi bank syariah dihapuskan,
karena dalam jangka panjang sisi madharatnya lebih terlihat dari pada
maslahatnya.
Dan info terbaru bahwa pemerintah AKAN menghapus
regulasi tersebut bagi bank syariah, karena hal yang sama tidak
diberlakukan bagi bank ribawi, dimana mereka berlindung di bawah UU
tahun 1998, dimana aktifitas perbankan, asuransi, dan leasing bebas PPN.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS
yang terhormat, kembali saya ucapkan banyak terimakasih atas info yang
sangat berharga ini. Betapa tidak, info bahwa para praktisi perbankan
syariat di antaranya Anda yang berusaha meminta kebijaksanaan agar dapat
terhindar dari
double tax merupakan pengakuan bahwa praktek
murabahah
yang sekarang diterapkan belum selaras dengan syariat. Karena kalau
Anda sudah meyakini praktek perbankan syariat yang sekarang telah
selaras dengan syariat, maka apa gunanya perjuangan meminta dibebaskan
double tax semacam ini?
Upaya ini merupakan kilas dari kesadaran bahwa praktek
murabahah yang ada belum selaras dengan syariat.
[Komentar UPPS]
//
Ust,
sekalipun regulasi tersebut tidak lagi diberlakukan, dan bank syariah
harus memiliki inventory dalam transaski murabahah-nya, maka regulasi BI
atau PBI tetap melarang bank untuk melakukan aktifitas direct selling.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS,
pengakuan ini sangat berharga bagi saya, karena pengakuan ini artinya
Anda menyadari bahwa akad yang dijalin antara bank dengan nasabah
hanyalah berkutat pada kegiatan pembiayaan alias
mudayanah dan
bukan
akad jual-beli. Karena andai
murabahah yang dijalankan oleh perbankan
syari'ah adalah benar-benar
murabahah, niscaya dilarang oleh BI atau
PBI. Saya yakin pihak BI dan PBI tidak sebodoh yang dibayangkan oleh
sebagian orang. Mereka tahu sepenuhnya apa perbedaan konsekuensi
direct
selling dari
murabahah yang diterapkan oleh perbankan syariat.
Direct
selling memiliki resiko untung rugi, barang rusak, dicuri dan resiko
lain, sedangkan
murabahah yang diterapkan perbankan syari'ah
sama sekali
tidak ada resiko di atas,
sehingga tidak ada bedanya dengan yang
dilakukan oleh perbankan konvensional, sama-sama aman tanpa resiko.
Bedanya hanya dasi, baju koko, dan sebutan, adapun hakekatnya kosong.
Tidak
heran bila Singapura dan Inggris mengibarkan bendera bahwa mereka
sebagai kiblat perekonomian/perbankan syariat internasional. Lucu bukan?
Masak negara semisal Singapura dan Inggris sudi menerapkan syariat
Islam yang sebenarnya?
[Komentar UPPS]
//
Selain
itu, kalau bank syariah harus menyetok barang, maka berapa banyak
gudang yang harus dimiliki bank? Gedung, mobil, motor, mesin berat,
rumah, dll, itu semua madharat bagi bank karena over head cost menjadi
sangat tinggi dan tidak efisien.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Saya
yakin masalah gudang bukan masalah yang prinsipil, karena pihak
perbankan bisa saja menjual barang tanpa harus memiliki gudang, yaitu
dengan cara tidak membeli barang kecuali setelah ada nasabah yang janji
akan membeli.
Setelah bank membeli barang di dealer atau agen, maka barang
bisa langsung dikirim ke rumah atau tempat calon pembeli, dan
selanjutnya diadakan serah terima barang di sana, dan selanjutnya
langsung diadakan akad jual beli antara perwakilan/pegawai bank dengan nasabah
pemesan.
Mudah bukan? Tidak perlu gudang, sehingga tidak ada pajak bangunan, sewa, gedung, satpam dan lainnya.
[Komentar UPPS]
//
Dulu
Islamic Bank di Sudan awalnya menyetok barang, karena berupaya
mengamalkan hadits-hadits Nabi, bahwa menjual barang yang belum dimiliki
dilarang. Namun demikian sekarang mereka kembali ke konsep bank sebagai
lembaga intermediasi karena tidak efisien dan over head cost yang
besar.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS
yang terhormat, kembali info ini adalah info yang sangat berharga bagi
saya; betapa tidak, info ini semakin menambah banyak data yang saya
ketahui tentang perilaku perbankan syariat di negeri kita. Para praktisi
perbankan syariat siap mengadakan study banding dengan perbankan yang
ada di mana saja, sampaipun yang ada di benua afrika, akan tetapi saya
heran kenapa mereka terkesan menutup mata dari praktek perbankan Islam
yang ada di Saudi Arabia.
Saya yakin Anda mengetahui bahwa Ar
Rajhi Bank yang ada di Saudi Arabia menyelisihi praktek perbankan
syari'ah yang ada di indonesia. Ar Rajhi Bank memiliki banyak gudang
bahan bangunan, gudang kendaraan, dan alat-alat berat. Bahkan saya
beberapa kali mendapatkan info dari penduduk Saudi bahwa Ar Rajhi Bank
mengadakan lelang kendaraan-kendaraannya yang kurang laku jual, dan
telah berlalu beberapa tahun dari pembeliannya.
Di antara faktor
yang menjadikan perbankan syariat di negeri kita tidak siap untuk
melakukan seperti yang dilakukan oleh Ar Rajhi Bank ialah karena
perbankan syari'ah di negeri kita memiliki kewajiban atau komitmen untuk
memberikan "bagi hasil" kepada setiap nasabah yang menyimpan dana di
tempatnya. Walaupun pada kenyataannya dana nasabah tersebut belum
disalurkan kepada pihak ketiga. Oleh karena itu kita sering mendengar
berita bahwa perbankan syariat mengalami over likuiditas, sehingga
akhirnya dananya yang melimpah itu disalurkan ke Sertifikat Bank
Indonesia.
Sedangkan di Ar Rajhi Bank, kewajiban ini tidak ada,
sehingga walaupun seorang nasabah menabungkan puluhan juta real atau
bahkan mungkin miliaran real, pihak Ar Rajhi Bank tidak akan pernah
memberinya fee atau bagi hasil walau hanya 1 real saja, bila ia tidak
menginvestasikannya dalam proyek-proyek yang dijalankan oleh Ar Rajhi.
Dengan demikian, walaupun Bank Ar Rajhi belum atau tidak bisa
menyalurkan sebagian dana nasabahnya, tidak menjadi masalah baginya.
Fakta
ini menjadikan kita meragukan status "bagi hasil" yang diberikan oleh
perbankan syariat yang ada di negeri kita. Bagi hasil kok diberikan
kepada setiap nasabah, tanpa ada beda, nasabah yang dananya telah
disalurkan dalam unit usaha dari nasabah yang dananya masih macet di
bank.
[Komentar UPPS]
//
Ada investor
besar dari timteng (timur tengah –ed) yang akan invest bank syariah di
Indonesia, namun karena adanya regulasi double tax tersebut, mereka
mundur dengan pasti. Inilah ijtihad DSN MUI sampai hari ini, tidak
menutup kemungkinan akan ada fatwa baru yang disesuaikan dengan hajat,
dan kami berupaya loby secara mudawamah kepada regulator agar regulasi
tersebut dihapuskan.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Semoga
perubahan fatwa yang akan datang berdasarkan dalil dan bukan
berdasarkan hajat (kebutuhan). Saya yakin pembaca mengetahui perbedaan
antara perubahan fatwa karena hajat dari perubahan fatwa karena dalil.
[Komentar UPPS]
//
Bank
syariah di Indonesia terhitung baru, dan inilah upaya kita untuk
membumikan nash-nash langit ke dalam bisnis bank, walaupun kendala
regulasi mengharuskan kita untuk melakukan ijtihad semampu kami.
Semoga prinsip taghayyur ahkam bitaghayyuri azman yang dimaknai positif tidak disalahgunakan dalam prakteknya.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Kembali
saya kritisi istilah membumikan nash-nash langit, dan saya mengusulkan
agar diganti melangitkan praktek-praktek bumi. Dengan demikian
masyarakat dapat mengetahui bahwa
hukum syariah adalah baku,
sedangkan
yang harus dirubah dan disesuaikan adalah praktek masyarakat dan bukan
nash-nash Al Qur'an dan As sunnah. Oleh karena itu, kalaupun di kemudian
hari terjadi perubahan ijtihad, maka perubahan itu berdasarkan dalil
dan bukan karena perubahan praktek dan tuntutan masyarakat.
Adapun kaedah yang Anda sebutkan: "
taghayyur ahkam bitaghayyuri azman"
maka perlu dicatat, bahwa
ahkam yang dimaksudkan dalam kaedah ini ialah
ahkam yang berdasarkan adat istiadat, semisal hukum yang berkaitan
dengan kadar nafkah seorang suami untuk istrinya, ahkam yang berkaitan
dengan bahasa, semisal hukum yang ada pada kata-kata nikah, talak,
sumpah dan yang serupa.
Adapun hukum yang berdasarkan dalil, maka
tidak dapat diubah-ubah walaupun zaman dan daerah telah berubah. Dengan
demikian prinsip-prinsip perniagaan yang telah digariskan dalam Al
Qur'an dan As Sunnah tidak boleh diubah untuk selama-lamanya.
[Komentar UPPS]
//
Prinsip
fiqh sebagaimana diketahui bersama banyak khilafiyah di dalamnya,
bahkan ada persoalan baru yang belum pernah dibahas oleh para fuqaha dan
ulama kita, yang mengharuskan kita melakukan ijtijad semampunya sesuai
dhuruf dan hal.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS,
saya yakin khilaf ulama' yang ada bukanlah masalah yang harus
dirisaukan, karena kita beragama bukan dengan agama satu ulama'
tertentu, akan tetapi kita beragama dengan Al Qur'an dan As Sunnah.
Dengan demikian, pendapat siapapun yang selaras dengan kedua dasar hukum
Islam ini, maka itulah yang wajib di amalkan.
Oleh karena itu,
dahulu ulama' salaf kita senantiasa menekankan agar kita meninggalkan
pendapat mereka yang terbukti salah dan menyelisihi dalil.
لَيْسَ أَحَدٌ إِلاَّ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُدَعّ غَيْرَ النَّبي صلى الله عليه و سلم.
"Tidaklah
ada seorangpun, melainkan pendapatnya bisa diambil dan juga bisa
ditinggalkan, kecuali Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam." (Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam
Mu'jam Al Kabir 11/339, dari sahabat Ibnu Abbas dengan sanad yang marfu' (sampai kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam) dan dinyatakan oleh Al Haitsami bahwa para perawinya adalah tsiqah. (
Majma' Az Zawaid 1/179). Walaupun yang masyhur, ini adalah ucapan Imam Malik bin Anas
rahimahullah.)
Imam As Syafi'i juga berpesan:
إِذَا صَحَّ الحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِي، وَإِذَا صَحَّ الحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَولِي الحَائِطَ.
"Bila
ada hadits yang shohih, maka itulah pendapat (mazhab)ku, dan bila suatu
hadits telah terbukti keshahihannya, maka campakkanlah pendapatku ke
dinding." (
Siyar A'alam An Nubala' oleh Adz Zahaby 10/35, dan Qaulul Imam Al Muthalliby:
Idza Shohhal Hadits Fahuwa Madzhaby)
Pada riwayat lain beliau menyatakan:
أَجْمَعَ
النَّاسُ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ الله
صلى الله عليه و سلم لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَولِ أَحَدٍ مِنَ
النَّاسِ
"Para ulama' telah sepakat bahwa apabila telah terbukti sunnah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bagi seseorang, maka tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan sunnah itu hanya karena ucapan seseorang."
Penjelasan
ini
bukan berarti seruan untuk tidak menjaga kehormatan mereka.
Ahlussunnah adalah orang yang paling hormat dan paling santun terhadap
para ulama'. Betapa tidak, mereka adalah para penerus atau ahli waris
Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah mewarisi ilmu dan teladan beliau.
Terlebih
dari itu, walaupun banyak permasalahan kontemporer yang belum pernah
disebut oleh ulama' kita, akan tetapi permasalahan-permasalahan tersebut
tidak akan keluar dari kaedah dan prinsip-prinsip yang telah digariskan
oleh para ulama' berdasarkan dalil-dalil Al Qur'an dan As Sunnah.
Benar
bila kita berkutat seputar perubahan nama, maka kita akan kebingungan,
akan tetapi bila kita berpedoman pada hakikat dari setiap permasalahan,
niscaya semuanya menjadi gamblang.
Bila Anda berpegangan pada
nama besar "Bank Syariah" maka saya yakin Anda akan kebingungan. Akan
tetapi bila Anda melepaskan nama besar "Bank Syariah" kemudian mengkaji
masalah akad "
murabahah" berdasarkan dalil-dalil yang ada, dan
kaedah-kaedah yang telah digariskan oleh para ulama' niscaya akan
gamblang semuanya. Nyata-nyata menjual barang yang belum dimiliki,
nyata-nyata tidak siap menanggung resiko perdagangan, maka jelaslah
bahwa yang terjadi bukanlah jual-beli
murabahah, akan tetapi
hutang-piutang atau permainan istilah atau nama belaka.
[Komentar UPPS]
//
Kehadiran
Bank Syariah di indonesia sedikit banyak memberikan maslahat bagi umat,
dan bukankah kewajiban menegakkan syariah berlaku bagi setiap individu
muslim, karena jika syariah tidak ditegakkan maka dosa kolektif yang
akan diperoleh.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Saya
tidak begitu paham akan maksud dari ucapan Anda ini, apakah maksudnya
bila umat Islam tidak mendirikan bank maka seluruh umat akan dosa? Bila
ini maksud Anda, maka itu jelas-jelas tidak benar, karena seluruh
kegiatan yang dilakukan oleh perbankan adalah amalan-amalan mubah, dan
bukan amalan ibadah mahdhah, apalagi fardhu 'ain atau kifayah, sehingga
tidak ada dosa. Yang berdosa ialah yang menghalalkan riba, melanggar
prinsip perniagaan yang diajarkan dalam Syariat hanya karena mengikuti
trend dan kehendak masyarakat. Atau mengharamkan yang halal. Adapun
amalan mubah, jual-beli, hutang-piutang, transfer dana, atau yang serupa
maka itu sepenuhnya terserah kepada masing-masing individu. Dengan
demikian, umat tidak berdosa apabila tidak ada bank, atau tidak ada
pabrik.
Dan kalau yang dimaksud ialah menegakkan syariat dengan
menjalankan transaksi melalui bank syariat, maka itupun juga tidak
benar. Karena tidak ada dalil yang mengharuskan agar umat Islam
menjalankan transaksi perniagannya melalui bank syariah. Mereka bebas
menjalankan transaksinya dengan cara apa saja, asalkan tidak melanggar
syariat. Sehingga orang yang tidak bertransaksi dengan bank syariah sama
sekali tidak akan pernah berdosa karenanya. Betapa banyak umat Islam
yang sampai mati ia tidak penah membutuhkan kepada jasa perbankan sama
sekali, sebagaimana yang dialami oleh banyak dari penduduk desa.
Terlebih-lebih
syariat Islam dalam hal muamalah dapat ditegakkan tanpa harus melalui
badan keuangan semisal bank. Syariat muamalah dapat diterapkan di pasar
tradisional, perusahaan, organisasi atau lainnya.
Jadi saya harap
Anda tidak hidup dalam daun kelor, akan tetapi hiduplah dalam alam
nyata. Umat manusia bisa hidup dan bisa menjalankan syariat agamanya
walau tanpa menggunakan jasa perbankan syariat, terlebih-lebih yang
ekonomi rendah, sehingga tidak butuh terhadap layanan perbankan sama
sekali.
Kalo yang dimaksud ialah menegakkan syariat dalam artian
"mendirikan negara Islam, menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar" maka itu
bisa ditempuh walau tanpa melalui jalur perbankan.
Dengan
demikian, komentar Anda di atas harus diklarifikasi ulang agar jelas
maksud dan arahnya. Semoga Anda berkenan melakukannya.
[Komentar UPPS]
//
Ustadz
Dr. Al Ushaimy (guru besar ekonomi syariah di Jami'ah Muhammad Ibnu Saud
Riyadh) pernah mengatakan kepada saya dalam konteks bank syariah saat
ini:
"Ayyuhuma afdhal min an namsyia 'uryaanan awa namsyi 'ala tsaubin muraqa'?"
Sungguh
ini akan menjadi amal shalih bagi umat Islam jika lembaga keuangan
syariah dijadikan pusat transaksi umat Islam di seluruh dunia. Sementara
itu dulu ust jawaban dari kami, semoga mafhum muqtadha al hal dapat
dipraktekan dengan baik.
Wallahu a'lam
Akhukum fillah
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS, ucapan Dr. Al
Ushaimy di atas saya rasa hanya tepat diterapkan pada masyarakat, dan
hanya dari satu sisi pandang. Bagi masyarakat, memang lebih baik baik
bertransaksi dengan orang yang pelanggarannya 70% dibanding dengan orang
yang pelanggarannya 100%
Akan tetapi dari sisi lain, yaitu dari
sisi operator perbankan, itu tidak menjadi alasan bagi mereka untuk
menempuh filsafat lilin, menerangi orang lain, akan tetapi diri sendiri
luluh terbakar. Mungkin orang lain menjadi nyaman, karena dananya dijaga
sehingga tidak dicuri, mudah bertransaksi, dan lainnya, akan tetapi itu
tidak cukup untuk menghapus dosa-dosa pelanggaran syariat yang
dilakukan oleh operator perbankan.
Masing-masing dari kita akan mempertanggung jawabkan amalan kita sendiri di hadapan Allah.
لاَ
تَزُولَ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتىَّ يُسْأَلَ عَنْ
أَرْبَعٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ مَا عَمِلَ
بِهِ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَعَنْ
جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ. رواه الترمذي والطبراني وصححه الألباني
"Kelak
kedua kaki setiap hamba tidak akan beranjak, hingga dipertanyai tentang
empat hal: tentang umurnya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa?,
ilmunya; apa yang ia perbuat dengannya?, harta-bendanya; dari mana ia
peroleh dan kemana ia belanjakan?, badannya; ia pergunakan untuk
mengamalkan apa?" (Riwayat At Tirmizy, At Thabrany dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)
Sebagaimana
perbuatan Anda menukil ucapan Dr. Al Ushaimy yang menggambarkan konteks
perbankan Islam yang ada sebagai seseorang yang mengenakan pakaian
bertambal sulam layaknya seroang gembel. Penukilan ini bagi saya sebagai
pengakuan terselubung bahwa perbankan syariat yang ada gambarannya
bagaikan baju tambalan, bolong sana-sini, compang-camping, layaknya
gembel, dan bahkan sangat dimungkinkan terdapat banyak robekan yang
belum atau tidak kuasa ditambal karena begitu luasnya robekan yang ada.
Dalam pepatah arab disebutkan:
اتسعت الرقعة على الراقعي
"
Apa
daya bila robekan baju telah terlalu lebar untuk ditambal" atau dalam
pepatah indonesia: Maksud hati memeluk gunung apa daya bila tangan tak
sampai.
Pertanyaannya: Seberapa luas dan seberapa banyakkah
robekan yang ada di baju yang Anda kenakan? Inilah yang menjadi inti
permasalahan dan tema diskusi kita.
Mohon maaf bila ada kata-kata
yang kurang berkenan, sungguh tiada maksud sedikitpun di hati untuk
menggunakan kata-kata yang tidak layak atau tidak santun. Wallahu
a'alam.
BAGIAN IV
Pada
diskusi keempat ini, saudara AH, seorang anggota milis Pengusaha
Muslim, membuka diskusi dengan mengomentari komentar UPPS yang
ditanggapi oleh ustadz Muhammad Arifin Badri di atas.
[Komentar AH]
Bismillaahirrahmaanirrahiim...
Ihwan
wa ahwat fillah member milis pengusaha muslim (yang semoga dirahmati
Allah), ikutilah orang karena dia benar, dan Janganlah mengikuti
kebenaran karena orang, carilah kebenaran itu niscaya engkau akan tahu
siapa yang benar dan siapa yang salah. Insya Allah saya merasa yakin
bagi siapa yang telah menyimak dan memahami dan berusaha kuat agar
mencari kebenaran disertai doa ....maka akan bisa memilah/memilih
pendapat yang benar/mendekati kebenaran di antara 2 pendapat yang ada.
Begitu pula dari diskusi ini ....tanyakan pada hati nurani anda sebagai
tempat masuknya Taufik Hidayah sehingga menjadikan ia berjiwa Haniif...
lapang menerima kebenaran dari siapapun dan kapanpun kebenaran itu
sampai maka ia bergegas meninggalkan hawa nafsu & kesalahannya
menuju pengampunan Allah.
Semoga Allah memudahkan kita agar
lapang menerima kebenaran meskipun pahit bertolak belakang dengan hawa
nafsunya. Semoga kita termasuk hamba yang berusaha keras untuk
mengamalkan DALIL dan bukan men-DALIL amal.
Baarokallaahu fiikum....
NB: afwan ahsannya ucapan salam tidak disingkat!?
[][][]
Komentar
AH di atas kemudian dijawab oleh UPPS, dan jawaban UPPS tersebut
ditanggapi oleh ustadz Muhammad Arifin Badri. Silakan menyimak
diskusinya berikut ini:
[Komentar UPPS Buat AH]
//
Kita
semua sepakat bahwa kita berislam harus menggunakan rujukan atau dalil,
dan ketika dalil yang dicari tidak ditemukan maka peranan ijtihad lah
yang mengambil alih, terlebih lagi untuk transaksi muamalah kontemporer
yang belum diakomodir dalam fiqh dan ijtihad ulama zaman dahulu,
hujiyatu ijtihad sangat kuat. Kita bukan men-DALIL kan amalan, akan
tetapi berupaya membentuk maslahat dengan ijtihad.
Dalam hal
fiqh, selama memiliki acuan baik naqly, aqly, dan hissy, serta landasan
ijtihad insya Allah ahlan wa sahlan, dan dalam hal fiqh terlebih lagi
umur khilafiyah tidak ada yang berhak mengklaim mana yang benar dan mana
yang salah. Yang benar adalah yang membawa maslahat bagi semua sesuai
dengan dhuruf (muqtadha al hal).
Bersikaplah mature
dalam menyikapi perbedaan, dengan tidak saling menyalahkan, INGAT para
imam mujtahid muthlaq saja saling ta'dhim terhadap persoalan yang mereka
berbeda pendapat, sementara orang sekarang yang realitanya memiliki
jaudah ilmiyah munkhafidhah mengekpresikan sikap al bathar dan ghamthu
naas, bukankah hal demikian madzmum dalam syariah ini.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS
yang terhormat, saya kurang setuju dengan ucapan ustadz di atas. Betapa
banyak para ulama menyalahkan sebagian lainnya dalam urusan
ijtihadiyah.
Sebagai contoh misalnya dalam masalah hukum
jual-beli 'inah (A menjaul barang kepada B dengan pembayaran terhutang,
selanjutnya B menjual kembali barang itu kepada A dengan pembayaran
kontan dan lebih murah dari harga pertama). Simaklah ucapan 'Aisyah
radhiallahu 'anha:
أَخْبِرِي
زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ أَنَّهُ قَدْ أَبْطَلَ جِهَادَهُ مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إلَّا أَنْ يَتُوبَ
"Sampaikanlah
kepada Zaid, bahwa ia telah menggugurkan nilai jihadnya bersama
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bila ia tidak bertobat." (Riwayat Ad Daraquthni dan Al Baihaqi)
Bila Anda kurang percaya, silahkan buka kitab
Al Umm
karya imam As Syafi'i. Padanya Anda akan dapatkan, bagaimana imam As
Syafi'i membantah gurunya sendiri yaitu Imam Malik, begitu juga Abu
Hanifah, Al Laits Bin Sa'ad dan lainnya.
Perlu dibedakan antara
menyalahkan dengan menghormati. Urusan salah dan benar itu urusan dalil,
mana yang terbukti dalilnya lebih kuat maka itulah yang benar dan
sebaliknya adalah yang salah. Adapun urusan menghormati itu urusan harga
diri seorang muslim. Dengan demikian tidak sepantasnya dicampuradukkan.
Makanya dalam diskusi ini, walaupun saya menganggap pendapat Anda
kurang benar akan tetapi saya tetap menghormati dan menghargai Anda
sebagai seorang muslim yang berilmu.
[Komentar UPPS Buat AH]
//
Kalau
yang diminta dalil yang termasuk dalam dairah ijtihad pasti tidak ada,
sebab jika ada dalil atau nash runtuh atau tidak berlaku ijtihad.
Model
transaksi kontemporer yang belum ada rujukannya zaman salaf shalih
pasti metode ijtihad yang digunakan, bahwa hal tersebut adalah ijtihad
DSN, dengan mengambil ijma ulama tentang bolehnya wakalah dalam
melakukan perkara.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS,
ucapan Anda ini menurut hemat saya sangat rancu. Betapa tidak, Anda
mengesankan bahwa pada masalah ijtihadiyah tidak ada dalil secara
mutlak. Padahal nyatanya tidak demikian.
Benar, bila yang Anda
maksudkan dengan dalil ialah dalil yang dikategorikan sebagai (nash atau
shorih), akan tetapi bila yang dimaksudkan ialah dalil secara mutlak,
maka itu tidak benar. Karena itu artinya mengesankan ulama' berijtihad
tanpa dasar dalil sama sekali.
Saya yakin Anda mengetahui
sepenuhnya bahwa dalam masalah-masalah ijithadiyah yang tidak ada dalil
nash/sharih para ulama' berusaha berpegang atau berusaha menerapkan
dalil-dalil umum atau kaedah umum dalam syariat. Karena ijtihad menurut
ulama' terbagi menjadi dua:
- Ijtihad fi fahmi an nash (ijtihad dalam memahami dalil). Ijithad jenis ini pasti ada dalilnya.
- Ijtihad fi tathbiq an nash (penerapan ijtihad jenis pertama
pada kejadian yang ada di masyarakat). Pada ijtihad jenis ini pun pasti
ada dalilnya, baik dalil yang sharih atau keumuman suatu dalil dan yang
serupa dengannya.
[Komentar UPPS Buat AH]
//
Dalil-dalil yang
dinukil ust Badri itu sangat tepat diterapkan 100% dalam sektor riil
atau person to person. Namun ketika dijalankan pada industri bank
syariah khususnya di Indonesia berpotensi adanya constraint. Langkah ijtihad adalah solusi.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Saya
tidak mempermasalahkan diperlukannya ijtihad dalam menyesuaikan
aplikasi perbankan dan undang-undang yang ada agar selaras dengan
syariat. Akan tetapi, itu
tidak berarti ada kebebasan bagi kita untuk
keluar dari ketentuan dan prisnip-prinsip perniagaan yang telah
digariskan pada dalil-dalil yang ada.
Karenanya, bila peraturan
dan aplikasi perbankan yang ada tidak bisa disesuaikan dengan
prinsip-prinsip yang ada, maka yang harus dirombak adalah perbankannya,
kalo perlu dibuat badan usaha lain selain perbankan yang lebih bisa
bebas dan leluasa mengembangkan perekonomian umat tanpa melanggar
syariat. Misalnya dengan mendirikan perusahaan investasi, atau
perusahaan multinasional yang bergerak dalam berbagai sektor
perdagangan, industri, pemasaran, jasa dan lainnya.
Dan komentar
ustadz ini menurut saya juga sebagai pengakuan lain bahwa praktek
perbankan syariat yang ada masih sangat layak untuk dikritisi, bahkan
disalahkan. Betapa tidak, perbankan yang ada hanyalah sebatas produk
ijtihad segelintir orang saja. Tentunya produk ijitihad mereka masih
menyisakan peluang untuk itu.
Oleh karena itu pada kesempatan ini
saya menyeru kepada saudara-saudaraku sekalian untuk bersama-sama
mengkritisi dan mengawasi hasil ijtihad beberapa saudara kita di
perbankan syariat agar tidak terjadi kesalahan. Bila tidak, bisa-bisa
terjadi pergeseran pemahaman terhadap syariat Islam, terutama yang
berkaitan dengan berbagai akad dan unit usaha perbankan syariat.
Wallahu
a'alam bisshowab.
******
Sumber: pengusahamuslim.com
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin