Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..
Nasikh dan Mansukh
.Disusun Oleh:
Ust. Muslim Al Atsari
Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan; menghapuskan; memindahkan; menulis. Adapun secara istilah, maka ada dua macam:
Pertama : Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda.
Al-Baidhowi rahimahullah (wafat th 685 H) mendefinisikan dengan : “Naskh
adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang
datang setelahnya”.
[1]
Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh
dengan menyatakan: “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan
(dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya”.
[2]
Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, yaitu: “menghapuskan hukum
dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah”.
[3]
Kedua : Naskh menurut istilah Salafush Sholih Mutaqoddimin. Istilah
naskh yang ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul
Mutaakhirin.
Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu berkata: “Yang memberi fatwa kepada manusia
hanyalah tiga orang: Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an;
atau amir (pemimpin) yang harus (berfatwa); atau orang dungu yang
memaksakan diri”.
[4]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengomentari perkataan di atas:
“Yang dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh
kebanyakan Salaf dengan (istilah) naasikh dan mansukh terkadang adalah:
menghapuskan hukum sekaligus, dan ini merupakan istilah muta-akhirin,
dan terkadang adalah:
menghapus penunjukkan dalil ‘am,
[5] mutlaq,
[6]
zhahir,
[7] dan lainnya, kemungkinan dengan
takhshish (pengkhususan),
taqyiid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang
ditentukan), dan
tafsir (penjelasan) serta
tanbiih (mengingatkan).
Sehingga mereka (Salaf) menamakan
istitsna’ (pengecualian),
syarath, dan
sifat dengan naskh, karena hal itu menghapus penunjukkan zhahir dan
menjelaskan yang dimaksudkan. Maka naskh, menurut mereka (Salaf) dan
bahasa mereka adalah:
menjelaskan yang dimaksudkan dengan bukan lafazh
itu, tetapi dengan perkara yang di luarnya. Barangsiapa memperhatikan
perkataan mereka, akan melihat padanya dari hal itu apa-apa yang tidak
dapat dihitung, dan dengan sebab itu akan hilang darinya
kesulitan-kesulitan yang diakibatkan karena membawa perkataan mereka
pada istilah baru yang akhir”.
[8]
Nasikh artinya : yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah
yang menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakekatnya
naasikh (yang menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.
Mansukh artinya : yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan.
PENUNJUKKAN ADANYA NASKH DALAM SYARI’AT
Perlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat
Al-Qur’an yang mansukh (dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain
ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal, dan ijma’.
Dalil Naql
Firman Allah Azza wa Jalla.
مَا نَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ
"
Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)..." [Al Baqarah:106]
Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an,
sebagaimana penafsiran Salafush Sholih yang kami ketahui. Seperti
riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul
‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi,
Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir [Lihat
Tafsir Ibnu Katsir,
surat Al-Baqarah: 106]
Adapun menafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan
“mu’jizat”, sebagaimana dalam
Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A.Hassan
rahimahullah, maka kami khawatir itu merupakan tafsir bid’ah. Walaupun
secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir
sebagaimana di atas. Wallohu a’lam.
Firman Allah Azza wa Jalla.
وَإِذَا بَدَّلْنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍ
"
Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain." [An Nahl:101]
Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang
nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Alloh jadikan
pengganti adalah naasikh, ayat yang digantikan adalah ayat mansukh. Dan
ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari
contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Alloh.
Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.
Dalil Akal.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Naskh
boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun
bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah,
segala hukum (keputusan) miliknya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang
Penguasa) Al-Maalik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi
hamba-hambanya apa yang dituntut oleh hikmahNya dan rahmatNya. Apakah
akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki
dengan apa yang Dia kehendaki?
Kemudian bahwa kandungan hikmah Allah dan
rahmatNya terhadap hamba-hambaNya adalah Dia mensyari’atkan untuk
mereka apa-apa yang Allah mengetahui bahwa padanya terdapat
mashlahat-mashlahat agama dan dunia mereka. Sedangkan
mashlahat-mashlahat berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan zaman.
Terkadang suatu hukum lebih mashlahat bagi para hamba pada satu waktu
atau satu keadaan. Dan terkadang hukum lainnya pada waktu dan keadaan
yang lain lebih mashlahat. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”. [
Ushul Fiqih, hal: 45, karya Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin]
Dalil Ijma’.
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Baji rahimahullah berkata: “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at menurut akal dan syara’”.
[9]
Al-Kamal Ibnul Humam rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at
telah sepakat atas bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara
syari’at)”.
[10]
Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Ketahuilah
bahwa tiga bentuk ini (yaitu naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; naskh
Sunnah Mutawatir dengan Sunnah Mutawatir; dan naskh Sunnah Ahad dengan
Ahad) tidak ada perselisihan padanya di antara ulama yang dipercaya,
sebagaimana banyak ulama telah menukilkan adanya ijma’ padanya. Maka
penyelisihan orang yang menyelisihi dalam hal ini tidak dihitung dan
tidak ada dalil untuknya”. [hal: 148]
Dr. Ali berkata: “Mereka (para ulama) mengatakan: Sesungguhnya para
sahabat Radhiyallahu 'anhum dan seluruh Salaf telah ijma’ (sepakat)
bahwa syari’at Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menghapus seluruh
syari’at yang telah lalu. Sebagaimana mereka juga telah ijma’ bahwa
naskh telah terjadi pada banyak hukum-hukum syari’at Islam. Dan
terjadinya hal itu cukup sebagai dalil untuk menetapkan
bolehnya/mungkinnya (naskh menurut akal-red)”. [
Araul Mu’tazilah
Al-Ushuliyyah, hal: 425, Syaikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih
Adh-Dhuweihi]
Syaikh Tsanaulloh Az-Zahidi berkata: “Ahli fiqih dan ushul telah sepakat
atas kebolehan/kemungkinan adanya naskh menurut akal, dan atas
terjadinya menurut syara’. Kecuali apa yang dinukilkan dari Abu Muslim
Muhammad bin Bahr Al-Ashfahani seorang Mu’tazilah yang mati tahun 322
H”.
[11]
MACAM-MACAM NASKH
Pertama : Macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga bagian:
[12]
1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap.
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap.
Hikmah naskh jenis ini adalah: tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan
mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang
diringankan dan dimudahkan.
Contohnya firman Allah Azza wa Jalla.
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِن يَكُن
مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَّكُن
مِّنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُوا
بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَفْقَهُونَ
"
Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min itu untuk berperang. Jika ada
dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang
sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada
orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak
mengerti." [Al Anfal :65]
Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang
menghadapi 200 orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam
berperang menghadapi 1000 orang-orang kafir.
Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.
الْئَانَ خَفَّفَ اللهُ عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِن
يَكُن مِّنكُم مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَكُنْ
مِّنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ
الصَّابِرِينَ
"
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui
padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang
sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika
diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."
[Al Anfal :66]
Abdullah bin Abbas radliyallaahu 'anhumaa berkata:
لَمَّا نَزَلَتْ ( إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا
مِائَتَيْنِ ) شَقَّ ذَلِكَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ حِينَ فُرِضَ عَلَيْهِمْ
أَنْ لَا يَفِرَّ وَاحِدٌ مِنْ عَشَرَةٍ فَجَاءَ التَّخْفِيفُ فَقَالَ (
الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضُعْفًا فَإِنْ
يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ) قَالَ
فَلَمَّا خَفَّفَ اللَّهُ عَنْهُمْ مِنَ الْعِدَّةِ نَقَصَ مِنَ الصَّبْرِ
بِقَدْرِ مَا خُفِّفَ عَنْهُمْ
Ketika turun (firman Allah): “
Jika ada dua puluh orang yang sabar
diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh”
(Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu ketika diwajibkan
atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi 10 (musuh).
Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman: “
Sekarang Allah telah
meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada
kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (Al-Anfal: 66) Ketika Allah
telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang wajib dihadapi-red),
kesabaran pun berkurang seukuran apa yang Allah telah meringankan dari
mereka”. [HR. Bukhari, no: 4653]
Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan
mansukhnya hukum dalam ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu
Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid, Atho’, ‘Ikrimah, Al-Hasan
Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan lainnya.
[13] Orang yang menolak adanya mansukh dalam Al-Qur’an telah
menyelisihi penafsiran mereka.
2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap.
Al-Aamidi rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas
terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya,
berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan
Mu’tazilah.
[14]
Hikmah naskh jenis ini adalah: agar kadar ketaatan umat kepada Allah
menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber
yang
zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah,
bukan dari sumber yang seluruhnya
yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana
Nabi Ibrahim Alaihissallam bersegera akan melaksanakan penyembelihan
terhadap anaknya, Nabi Isma’il, dengan sumber mimpi, sedangkan mimpi
adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi. Wallahu a’lam.
[15]
Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata: “Hikmah
naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap
amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan
keimanan mereka dengan apa yang Alloh turunkan. Berbeda dengan
orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rajam di dalam Taurat”.
[16]
Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajam
[17], Umar bin Al-Khoththob radliyallaahu 'anhu berkata:
لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ يَطُولَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ حَتَّى يَقُولَ قَائِلٌ
لَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ
أَنْزَلَهَا اللَّهُ أَلَا وَإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى
وَقَدْ أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوِ
الِاعْتِرَافُ قَالَ سُفْيَانُ كَذَا حَفِظْتُ أَلَا وَقَدْ رَجَمَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ
"Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga
seseorang akan berkata: “Kita tidak mendapati rajam di dalam kitab
Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan sebab meninggalkan satu
kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajam
adalah haq atas
orang yang berzina dan dia telah menikah,
jika bukti
telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan”.
Sufyan berkata:
“Demikianlah yang aku ingat”. “Ingatlah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam telah melakukan rajam, dan kita telah melakukan rajam setelah
beliau”. [HR. Bukhari, no: 6829; Muslim, no: 1691; dan lainnya]
Adapun lafazh ayat rajam, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
"
Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita yang tua
(maksudnya : yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya
sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah,
dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana." [Lihat
Fathul Bari, 12/169,
Darul Hadits, Kairo, cet: 1, th: 1419 H / 1998 M, syarh hadits no: 6829]
3. Nash Yang Mansukh Hukumnya Dan Lafazhnya.
Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah radliyallaahu 'anhaa berkata:
كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ
يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ
الْقُرْآنِ
"Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah:
“
Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu
dinaskh (dihapuskan) dengan: “
Lima kali penyusuan yang diketahui” (dari Hadits).
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan itu termasuk
yang dibaca di antara Al-Qur’an." [HR. Muslim, no: 1452]
Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu : Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau : Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya.
[18]
Kedua : Macam-macam naskh dilihat dari nash yang naasikh (menghapus) –secara ringkas- ada empat bagian:
1. Al-Qur’an Dimansukh Dengan Al-Qur’an.
Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama’, adapun orang yang
beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya
tidak dianggap.
[19]
Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal,
sebagaimana telah kami sampaikan di atas. Contoh lain: firman Allah
Azza wa Jalla.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا
بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ
فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ
"
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus
dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin)
sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan
lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [Al Mujadilah
:12]
Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum
berbisik-bisik dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian
ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban
tersebut. Lihat hal ini dalam Tafsir Ibnu Katsir. Allah Azza wa Jalla
firmanNya:
ءَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ
فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ
وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا
تَعْمَلُونَ
"
Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah
sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan
Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan." [Al Mujadilah:13]
2. Al-Qur’an Dimansukh Dengan As-Sunnah.
Pada jenis ini ada dua bagian:
a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir.
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad
rahimahullah bahwa beliau menyatakan: “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus)
kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…”. Namun Syaikh Muhammad
Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “(Berdasarkan) penelitian,
boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya:
dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya
surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh
lainnya”.
[20]
b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad.
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih –wallohu a’lam- hal ini ada dan terjadi. Contohnya firman Allah Azza wa Jalla.
قُل لآ أَجِدُ فِي مَآ أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ
يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَّكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ
لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ
بِهِ
"
Katakanlah:"Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging
babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang disembelih
atas nama selain Allah." [Al An’am :145]
Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan -di saat ayat ini
diturunkan- hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, di saat itu,
daging keledai jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian
kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang
kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas
termasuk surat Al-An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun
sebelum hijrah, dengan kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging
keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah itu di Khoibar.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتِ
الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتِ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ
جَاءٍ فَقَالَ أُفْنِيَتِ الْحُمُرُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى فِي
النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ
الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ فَأُكْفِئَتِ الْقُدُورُ
وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِاللَّحْمِ
Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
didatangi oleh seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai
telah dimakan”. Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang yang
datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian
datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan:
“Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian beliau memerintahkan seorang
penyeru, lalu dia menyeru di kalangan orang banyak: “
Sesungguhnya Alloh
dan RasulNya melarang kamu dari daging keledai jinak, sesungguhnya ia
kotor/najis”. Maka periuk-periuk dibalikkan, sedangkan periuk-periuk itu
mendidih (berisi) daging (keledai jinak).
[21]
Antara ayat di atas dengan hadits yang mengharamkan daging keledai jinak
tidak bertentangan, karena waktu keduanya berbeda. Di saat ayat di atas
turun, daging keledai jinak halal, karena yang diharamkan hanyalah
empat jenis makanan. Kemudian setelah itu datang pengharaman daging
keledai jinak. [
Mudzakiroh, hal: 153-155]
3. As-Sunnah Dimansukh Dengan Al-Qur’an.
Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang
ini berdasarkan Sunnah, dihapuskannya dengan firman Allah Azza wa Jalla.
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً
تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا
كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
"
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh
Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada,
palingkanlah mukamu ke arahnya." [Al Baqarah :144]
4. As-Sunnah Dimansukh Dengan As-Sunnah.
Contoh: Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
"
Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur)." [HR. Muslim, no: 977]
Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh
(ayat yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat
yang dihapus) hukumnya atau lafazhnya.
Demikian, semoga bermanfaat
[Disalin dari
majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat:
Al-Minhaj Bi Syarhil Ibhaaj 2/247; dinukil dari
Araul
Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 412-413, Syaikh Dr. Ali bin Sa’id bin
Shalih Adh-Dhuweihi
[2]. Idem, hal: 413
[3].
Ushulul Fiqh, hal: 45, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
[4].
I’lamul Muwaqqi’in 1/36, Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 M
[5].
‘Am adalah: lafazh yang meliputi seluruh apa yang pantas baginya
sekaligus dan sesuai dengan bentuknya dengan tanpa pembatasan”. Lihat:
Taisirul Ushul, hal: 95, Syaikh Hafizh Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th:
1410 H
[6].
Muthlaq adalah: lafazh yang mengenai satu yang tidak tertentu dalam
kedudukan hakekat yang mencakup terhadap jenisnya. Lihat:
Taisirul
Ushul, hal: 90
[7].
Zhahir adalah: lafazh yang mengandung dua makna atau lebih, namun
lebih nampak pada salah satunya, mungkin dari sisi syara’ atau bahasa
atau ‘urf (kebiasaan). Lihat:
Taisirul Ushul, hal: 32
[8]. Idem
[9].
Ihkamul Fushul, hal: 391, dinukil dari 421
[10].
At-Tahrir bi Syarhit Taisir 3/181, dinukil dari
Araul Mu’tazilah
Al-Ushuliyyah, hal: 421, karya Syaikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih
Adh-Dhuweihi
[11].
Taisirul Ushul, hal: 216
[12]. Lihat:
Mudzakirah Ushulul Fiqh ‘Ala Raudhatun Nazhir, hal: 127,
karya Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi, tahqiq: Abu Hafsh Sami
Al-‘Arabi, Darul Yaqin,;
Ushulul Fiqh, hal: 47-48, karya Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-‘Utsaimin;
Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal:
170-173, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan;
Taisirul Ushul,
hal: 214-216, Syaikh Hafizh Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H
[13]. Lihat
Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Anfal 65-66
[14].
Al-Ihkaam 3/154, karya Al-Amidi ; dinukil dari
Syarh Al-Waraqat
Fii Ushulil Fiqh, hal: 170, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[15]. Lihat:
Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 171, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[16].
Ushul Fiqh, hal: 48, karya Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin
[17]. Yaitu had (hukuman) bagi pezina yang sudah menikah dengan dilempari batu sampai mati
[18]. Lihat:
Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[19]. Lihat:
Mudzakirah ‘Ala Ushul Fiqh, hal: 148, karya Syaikh Muhammad Al-Amin Syinqithi
[20].
Mudzakirah 'Ala Ushul Fiqih, hal: 150
[21]. HR. Bukhari, no: 5528; Muslim, no: 1940 (35)
******
Sumber: almanhaj.or.id
Artikel Terkait:
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin