Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

25 Juni 2011

FILE 226 : Fiqih Mengusap Khuf

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Hukum Mengusap Khuf (Sepatu)

Disusun Oleh:
Muhammad Abduh Tuasikal


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
 
Islam selalu mendatangan kemudahan. Inna ad diina yusrun [1], sesungguhnya Islam itu mudah, demikian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara kemudahan yang diberikan oleh Islam adalah memberikan keringanan saat thoharoh (bersuci). Ketika seseorang mesti mengenakan khuf (sejenis sepatu) dan sulit ia copot karena berada dalam perjalanan (misalnya), maka Islam mengajarkan jika kondisi demikian sepatu tersebut tidak perlu dilepas. Sepatu tersebut hanya perlu diusap asalkan sebelumnya dikenakan dalam keadaan suci. Baik, bagaimanakah Islam menjelaskan hal ini? Alangkah bagusnya kita menyimak ulasan sederhana berikut ini.

Apa itu Khuf dan Apa yang Dimaksud Mengusap? 

Khuf adalah alas kaki dari kulit yang menutupi mata kaki[2].

Sedangkan mengusap diistilahkan dengan (مَسْحِ) “mas-h” yaitu tangan yang dalam keadaan basah bergerak menyentuh sesuatu[3].

Jadi yang dimaksud mengusap khuf adalah membasahi khuf dengan cara yang khusus, di bagian yang khusus, dan pada waktu yang khusus sebagai ganti dari membasuh kedua kaki saat berwudhu.[4]

Dalil Pensyariatan Khuf

Tentang dalil pensyariatan mengusap khuf adalah dari berbagai hadits Nabawiyah. Di antaranya dari hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu,

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.

Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.”[5]

Ada juga riwayat dari Jarir bin ‘Abdillah Al Bakhili radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau kencing, kemudian berwudhu lalu mengusap kedua khufnya. Ada yang mengatakan padanya, “Betul engkau melakukan seperti itu?” “Iya betul”, jawab Jarir, "Saya pernah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam kencing, kemudian beliau berwudhu, lalu hanya mengusap kedua khufnya saja".

Dan perlu diketahui bahwa Jarir masuk Islam setelah turun firman Allah yaitu surat Al Maidah berikut,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)[6]

Penulis Tuhfatul Ahwadzi rahimahullah menjelaskan bahwa seandainya Jarir masuk Islam lebih dulu sebelum turunnya surat Al Maidah di atas, maka dapat dipahami kalau mengusap khuf itu sudah dihapus dengan ayat Al Maidah tersebut. Namun Islamnya Jabir ternyata belakangan setelah turun surat Al Maidah tadi. Dari sini dapat diketahui bahwa hadits mengusap khuf itu masih tetap diamalkan. Sedangkan yang dimaksud mencuci kaki (bukan mengusap khuf) dalam surat Al Maidah di atas berlaku untuk selain yang mengenakan khuf. Oleh karena itu, sunnah di sini menjadi pengkhusus bagi ayat di atas. Demikian kata An Nawawi.[7]

Dalil yang menjelaskan disyari’atkannya mengusap khuf diriwayatkan lebih dari 80 sahabat radhiyallahu ‘anhum, di antara mereka adalah sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga.[8]

Ibnul Mubarok rahimahullah mengatakan, “Tidak ada beda pendapat di kalangan sahabat akan bolehnya mengusap khuf. Karena setiap riwayat yang menunjukkan kalau mereka mengingkari bolehnya hal itu, dalam riwayat lainnya menunjukkan kebalikannya yaitu mereka membolehkan mengusap khuf.”[9]

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui riwayat dari salaf yang mengingkari bolehnya mengusap khuf kecuali dari Malik. Namun riwayat shahih dari Imam Malik adalah beliau membolehkan mengusap khuf.”[10]

Hukum Mengusap Khuf

Hukum asal mengusap khuf adalah boleh. Menurut mayoritas ulama, mencuci kaki lebih afdhol (lebih utama) daripada mengusap khuf. Mengusap khuf adalah rukhsoh (keringanan) dalam ajaran Islam. Allah subhanahu wa ta’ala amat menyukai orang yang mengambil rukhsoh (keringanan), sebagaimana Dia suka jika seseorang menjauhi larangan-Nya. Namun menurut ulama Hambali, mengusap khuf itu lebih afdhol karena itu berarti seseorang mengambil rukhsoh dan kedua-keduanya (antara mengusap khuf dan mencuci kaki saat wudhu) adalah suatu hal yang sama-sama disyari’atkan.[11]

Hikmah Mengusap Khuf

Hikmah mengusap khuf adalah untuk mendatangkan kemudahan dan keringanan bagi setiap muslim. Kesulitan yang dihadapi barangkali adalah kesulitan untuk melepas khuf dan mencuci kedua kaki, apalagi saat musim dingin atau ketika mendapati cuaca yang amat dingin. Begitu pula kesulitan tersebut bisa jadi didapati ketika safar yang biasanya terjadi ketergesa-gesaan sehingga sulit untuk mencuci kaki secara langsung.[12]

Syarat Bolehnya Mengusap Khuf

Syarat yang harus dipenuhi agar dibolehkan mengusap khuf adalah sebelum mengenakan khuf dalam keadaan bersuci (berwudhu atau mandi[13]) terlebih dahulu.

Hal ini berdasarkan hadits Al Mughiroh bin Syu’bah, ia berkata, “Pada suatu malam di suatu perjalanan aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku sodorkan pada beliau bejana berisi air. Kemudian beliau membasuh wajahnya, lengannya, mengusap kepalanya. Kemudian aku ingin melepaskan sepatu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau berkata,

دَعْهُمَا ، فَإِنِّى أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ » . فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا

Biarkan keduanya (tetap kukenakan). Karena aku telah memakai keduanya dalam keadaan bersuci sebelumnya.” Lalu beliau cukup mengusap khufnya saja.[14]

Syarat ini yaitu mengenakan khuf dalam keadaan sudah bersuci dengan sempurna adalah syarat yang disepakati oleh para ulama.[15]

Adapun syarat yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa khuf tersebut harus menutupi kaki (yang wajib dibasuh saat wudhu), harus kokoh dan kuat digunakan untuk berjalan, maka tentang hal ini telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatwanya akan lemahnya pendapat tersebut.[16]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Mengusap khuf disebutkan secara mutlak. Dan diketahui bahwa cacat ringan secara adat (kebiasaan umumnya) yang didapati pada khuf seperti adanya belahan, sobekan, lebih-lebih lagi jika khuf tersebut sudah lama dikenakan dan para sahabat di masa dahulu kebanyakan miskin, yang tidak mungkin mereka terus menggunakan khuf baru.”[17]

Pendapat yang tepat adalah masih bolehnya mengusap khuf yang cacat (seperti ada sobekan) selama masih disebut khuf dan selama masih kuat untuk digunakan berjalan.[18]

Bagian Mana yang Diusap?

Bagian khuf yang diusap bukanlah seluruh khuf, atau bukan pula pada bagian bawah yang biasa menginjak tanah atau kotoran. Yang diajarkan dalam Islam, ketika berwudhu maka bagian khuf yang diusap adalah bagian punggung khuf (atas). Jadi cukup bagian atas khuf yang dibasahi lalu khuf diusap (tidak perlu air dialirkan), sebagaimana definisi “mengusap” (مَسْحِ) yang sudah disebutkan di awal.

Dalilnya adalah hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib,

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.

Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.”[19]

Jangka Waktu Bolehnya Mengusap Khuf

Keringanan mengusap khuf di sini bukan selamanya, ada masanya yang dibatasi oleh ajaran Islam. Bagi orang yang mukim, jangka waktu mengusap khuf adalah sehari semalam (1×24 jam), sedangkan untuk musafir selama tiga hari tiga malam (3×24 jam).

Dari Shafwan bin ‘Assal, ia berkata,

فَأَمَرَنَا أَنْ نَمْسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ ثَلاَثاً إِذَا سَافَرْنَا وَيَوْماً وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا وَلاَ نَخْلَعَهُمَا مِنْ غَائِطٍ وَلاَ بَوْلٍ وَلاَ نَوْمٍ وَلاَ نَخْلَعَهُمَا إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk mengusap khuf yang telah kami kenakan dalam keadaan kami suci sebelumnya. Jangka waktu mengusapnya adalah tiga hari tiga malam jika kami bersafar dan sehari semalam jika kami mukim. Dan kami tidak perlu melepasnya ketika kami buang hajat atau buang air kecil (kencing) atau karena tidur. Kami tidak mencopotnya melainkan ketika dalam kondisi junub (hadats besar).[20]

Dari Syuraih bin Haani’, ia berkata, aku pernah mendatangi ‘Aisyah, lalu akan menanyakannya mengenai cara mengusap khuf. ‘Aisyah menjawab, “Lebih baik engkau bertanya pada ‘Ali bin Abi Tholib, tanyakanlah padanya karena ‘Ali pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian aku bertanya kepada ‘Ali, lantas ia menjawab,

جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.”[21]

Kapan dihitung 1×24 jam (bagi mukim) atau 3×24 jam (bagi musafir)? 

Hitungannya adalah dimulai dari mengusap pertama kali setelah berhadats. Demikian pendapat Imam Ahmad, Al Auzai, An Nawawi, Ibnul Mundzir, dan Ibnu ‘Utsaimin. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan “musafir mengusap” atau “mukim mengusap”. Ini menunjukkan bahwa waktu permulaan sebagai hitungan memulai mengusap adalah ketika mengusap khuf pertama kali. Demikian pemahaman tekstual (zhohir) dari hadits. Wallahu a’lam.[22]

Contoh: Ahmad berwudhu sebelum memulai safar pada pukul 06.00. Pada pukul 09.00, wudhu Ahmad batal karena hadats kecil (kentut). Namun ia berwudhu pada pukul 12.00 saat akan melaksanakan shalat Zhuhur. Maka pada pukul 12.00 mulai hitungan 3×24 jam bagi Ahmad. Jadi setelah 3×24 jam (pukul 12.00 tiga hari berikutnya), masa mengusap khuf bagi Ahmad usai.

Cara Mengusap Khuf

Setelah berwudhu secara sempurna lalu mengenakan khuf, kemudian setelah itu tatkala ingin berwudhu cukup khuf saja yang diusap sebagai ganti dari mencuci (membasuh) kaki. Keringanan seperti ini diberikan bagi orang mukim selama 1×24 jam dan bagi musafir selama 3×24 jam. Namun ketika seseorang terkena hadats besar (yaitu junub), wajib baginya melepas sepatunya saat bersuci. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits Shafwan di atas.[23]

Pembatal Mengusap Khuf
  1. Berakhirnya waktu mengusap khuf.
  2. Terkena junub.
  3. Melepas sepatu.[24]
Jika khuf dilepas –dan masa mengusap khuf belum selesai- kemudian berhadats, maka tidak diperkenankan mengenakan khuf dan mengusapnya, karena ketika itu berarti seseorang memasukkan kakinya dalam keadaan tidak suci.

Jika salah satu pembatal di atas ada, maka tidak diperkenankan mengusap khuf. Wajib baginya ketika berhadats, ia berwudhu lagi, lalu ia mencuci kakinya secara langsung saat itu. Kemudian setelah itu, ia boleh lagi mengenakan khuf dan mengusapnya.[25]

Catatan penting: Jika salah satu pembatal mengusap khuf di atas terwujud tidak berarti wudhunya batal jika memang masih dalam keadaan suci. Demikian pendapat An Nakho’i, Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Ibnu Hazm, pilihan An Nawawi, Ibnul Mundzir dan Ibnu Taimiyah.[26]

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

References:
  1. Ad Durul Mukhtar, Al Hish-faki, Mawqi’ Ya’sud (sesuai cetakan).
  2. Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait.
  3. Al Mughrib fii Tartiibil Mu’rob, Abul Fath Nashiruddin bin ‘Abdis Sayyidin ‘Ali bin ‘Ali bin Al Mathrizi, terbitan Maktabah Usamah bin Zaid, cetakan pertama, 1979.
  4. Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan ketiga, 1430 H.
  5. Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
  6. Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin Asy Sayyid Salim, cetakan Al Maktabah At Taufiqiyah.
  7. Subulus Salam, Muhammad bin Ismai’l Al Amir Ash Shan’ani, tahqiq: Muhammad Shabhi Hasan Hallaq, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, Muharram 1432 H.
  8. Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad bin ‘Abdirrahman bin ‘Abdirrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Alaa, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.


Footnote:
[1] HR. Bukhari no. 39.
[2] Subulus Salam, 1/233.
[3] Al Mughrib fii Tartiibil Mu’rob, 2/266.
[4] Ad Durul Mukhtar, 1/281.
[5] HR. Abu Daud no. 162. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[6] Lihat HR. Ibnu Majah no. 543. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih.
[7] Tuhfatul Ahwadzi, 1/264
[8] Ad Durul Mukhtar, 1/286
[9] Subulus Salam, 1/235.
[10] Idem.
[11] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 37/262.
[12] Idem.
[13] Sebagaimana pendapat mayoritas ulama selain Syafi’iyah. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 37/264.
[14] HR. Ahmad 4/251, Bukhari no. 206 dan Muslim no. 274.
[15] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 37/264.
[16] Fiqh Sunnah, 1/47.
[17] Majmu’ Al Fatawa, 21/174.
[18] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/154.
[19] HR. Abu Daud no. 162. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[20] HR. Ahmad 4/239. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa penjelasan mengenai mengusap khuf dalam hadits ini dinilai shahih lighoirihi (dilihat dari jalur lain). Sedangkan sanad ini hasan dilihat dari jalur ‘Ashim.
[21] HR. Muslim no. 276.
[22] Shahih Fiqh Sunnah, 1/152.
[23] Fiqh Sunnah, 1/48.
[24] Fiqh Sunnah, 1/ 48 dan Shahih Fiqh Sunnah, 1/155.
[25] Shahih Fiqh Sunnah, 1/155
[26] Shahih Fiqh Sunnah, 1/156
*****

Sumber: muslim.or.id

Artikel terkait:

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

18 Juni 2011

FILE 225 : Ringkasan Kondisi Sujud Sahwi

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Ringkasan Hukum Sujud Sahwi

Disusun Oleh:
Ust. Abu Abdil Muhsin Firanda Ardinja hafidhahullah


Ringkasan Hukum Sujud Sahwi dari penjelasan Syaikh Al-'Utsaimin -rahimahullah-:

 No
Permasalahan
Kondisi
Tempat sujud sahwi
1
Salam sebelum berakhirnya sholat : Jika ia mengucapkan salam padahal sholatnya belum selesai dalam keadaan lupa
  • Jika dia baru ingat setelah selang waktu yang lama maka mengulangi sholat dari awal.
  • Jika dia ingat setelah selang waktu yang pendek maka tinggal menyempurnakan sholatnya yang kurang kemudian mengucapkan salam
Setelah salam
2
Tambahan dalam sholat : Jika ia menambah dalam sholatnya baik menambah berdirinya, atau duduknya, atau ruku'nya, ataupun sujudnya
  • Jika ia baru ingat setelah selesai dari melakukan tambahan tersebut maka tinggal sujud sahwi saja
  • Jika dia ingat tatkala sedang akan menambah maka dia harus kembali
Setelah salam
3
Meninggalkan rukun sholat : Jika ia meninggalkan salah satu rukun sholat (selain takbirotul ihroom, karena jika yang ditinggal takbirotul ihrom maka sholatnya harus diulang).
  • Jika telah sampai pada tempat rukun yang ia tinggalkan pada rakaat selanjutnya maka rakaat yang lalu tidak dianggap, dan rakaat yang selanjutnya inilah yang menduduki posisi rakaat yang lalu
  • Kalau ia belum sampai pada tempat rukun yang ia tinggalkan pada rakaat selanjutnya maka ia harus kembali ke tempat rukun yang ia tinggalkan lalu mengerjakan rukun tersebut dan melanjutkan sholatnya
Setelah salam
4
Ragu dalam sholat : Jika ia ragu dalam sholat apakah sudah sholat dua rakaat atau tiga rakaat?, maka ada dua kemungkinan :
  • Jika ia lebih condong pada salah satu dari dua kondisi tersebut maka ia amalkan, kemudian ia sempurnakan sholatnya dan salam
  • Jika bimbang dan tidak condong pada salah satu kondisi, maka ia amalkan yang ia yakini (pasti) yaitu jumlah rakaat yang paling kecil (dalam hal ini anggap saja ia baru sholat 2 rakaat)
setelah salam


sebelum salam

5
Jika ia meninggalkan salah satu kewajiban sholat (di antaranya misalanya adalah meninggalkan tasyahhud awal atau lupa membaca subhaana Robbiyal 'Adziim tatkala ruku')
  • Ia baru ingat setelah berpindah ke gerakan (rukun) selanjutnya (dalam hal meninggalkan tasyahhud awal maka ia telah tegak berdiri (ke rakaat ketiga), maka ia lanjutkan sholatnya dan tidak kembali duduk untuk tasyahhud
  • Jika ia ingat tatkala hendak bangun (namun belum sampai tegak berdiri) maka ia kembali duduk untuk tasyahhud
  • Jika ia ingat sebelum bangkit (sebelum kedua pahanya diangkat) maka ia tasyahhud dan tidak perlu sujud sahwi karena pada dasarnya belum ada tambahan atau kekurangan
sebelum salam


Catatan :
  1. Semua perkara-perkara di atas (baik meninggalkan rukun atau kewajiban, atau mengurangi atau menambah) jika dikerjakan dengan sengaja maka sholat menjadi batal.
  2. Barangsiapa yang meninggalkan sebuah perkara yang mustahab dalam sholat maka tidak perlu sujud sahwi
  3. Sujud sahwi disyari'atkan baik dalam sholat wajib maupun sholat sunnah
  4. Tidak disyari'atkan sujud sahwi dalam sholat janazah, karena asalnya sholat janazah tidak ada ruku' dan sujud
  5. Sujud sahwi dua kali sujud, terkadang dikerjakan sebelum salam dan terkadang setelah salam. Jika dikerjakan setelah salam maka harus salam lagi
  6. Sujud sahwi dikerjakan karena adanya tambahan, atau kekurangan atau keraguan
  7. Sujud sahwi dikerjakan setelah salam dikarenakan 2 sebab,
Sebab pertama : Karena adanya tambahan, dan bentuk-bentuk tambahan ada tiga :
  • Menambah berdiri atau duduk atau ruku atau sujud (adapun menambah selain dari 4 perkara ini, seperti menambah mengangkat kedua tangan di tempat-tempat yang tidak disyari'atkan untuk mengangkat kedua tangan maka tidak disyari'atkan sujud sahwi, demikian juga misalnya membaca bacaan yang bukan pada tempatnya seperti membaca doa tasyahhud tatkala berdiri karena lupa, maka tidak perlu sujud sahwi)
Dalilnya hadits Ibnu Mas'ud dimana ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صلى الظُّهْرَ خَمْسًا فَقِيلَ له أَزِيدَ في الصَّلَاةِ فقال وما ذَاكَ قال صَلَّيْتَ خَمْسًا فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ ما سَلَّمَ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sholat dzhuhur 5 raka'at, maka dikatakan kepada beliau, "Apakah jumlah raka'at telah ditambah?", Maka Nabi berkata, "Memangnya ada apa?", maka ada yang berkata, "Engkau sholat 5 raka'at". Maka beliau pun sujud dua kali setelah salam (HR Al-Bukhari no 1168 dan Muslim no 572)
  • Salam sebelum berakhirnya sholat, dan hal ini termasuk tambahan dalam sholat,  karena tatkala ia salam sebelum waktunya sehingga mengakhiri sholatnya, lalu ia ingat dan menyempurnakan kekurangan sholatnya, maka di akhir sholat ia akan salam lagi, karenanya ia salam dua kali. Berarti ada tambahan satu salam.
Dalilnya : Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengimami para sahabat pada waktu sholat dzuhur atau ashar, lalu tatkala sampai raka'at kedua maka beliau salam. Lantas beliau keluar segera menuju salah satu pintu mesjid. Orang-orang pun berkata, "Sholat telah diqosorkan". Nabi pun berdiri ke sebuah kayu di mesjid lantas beliau bersandar di atasnya, seakan-akan beliau dalam keadaan marah. Lalu ada seseorang yang berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah, engkau lupa ataukah sholat telah diqosor?". Nabi berkata, "Aku tidak lupa dan sholat tidak diqosor". Orang itu berkata, "Engkau telah lupa". Nabi berkata kepada para sahabat, "Apa benar apa yang telah dikatakan orang ini?", mereka menjawab, "Benar". Maka Nabi pun maju lalu menyempurnakan sholatnya yang kurang kemudian beliau salam kemudian sujud dua rakaat lalu salam lagi (HR Al-Bukhari no 468 dan Muslim no 573)
  • Meninggalkan rukun sholat, karena jika dia ingat sebelum sampai atau pas sampai pada rukun yang ia tinggalkan pada rakaat berikutnya (sebagaimana kondisi 3a dan 3b di tabel) maka pada hakekatnya ia telah melakukan tambahan gerakan sholat.
Dalilnya adalah dalil di atas tentang salam sebelum berakhirnya sholat, karena barang siapa yang salam sebelum berakhirnya sholat (misalanya salam pada rakaat kedua tatkala sholat dzhuhur) maka pada hakekatnya telah meninggalkan 2 rakaat yang lainnya yang merupakan rukun-rukun sholat Dzuhur.

Adapun rukun-rukun yang lain (seperti seseorang yang lupa untuk duduk diantara dua sujud, dan otomatis lupa sujud yang kedua, maka ia telah meninggalkan salah satu rukun sholat) maka hukumnya sama, yaitu sujud sahwinya setelah salam.

Sebab kedua :   jika terjadi keraguan namun ada kecondongan kepada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan (lihat kondisi 4a di tabel)

Dalilnya adalah sabda Nabi :

وإذا شَكَّ أحدكم في صَلَاتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عليه ثُمَّ لِيُسَلِّمْ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ

"Jika salah seorang dari kalian ragu dalam sholatnya maka hendaknya ia berusaha mencari yang benar (yaitu kecondongan yang lebih kuat-pent) kemudian ia sempurnakan sholatnya kemudian salam kemudian sujud dua kali" (HR Al-Bukhari no 392 dan Muslim no 572)

8.   Sujud sahwi dikerjakan sebelum salam dikarenakan 2 sebab

Sebab pertama : karena ada kekurangan, dalam hal ini adalah meninggalkan salah satu kewajiban dari kewajiban-kewajiban sholat seperti tasyaahud awal

Dalilnya dari sahabat Abdullah bin Buhainah bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam 

صلى بِهِمْ الظَّهْرَ فَقَامَ في الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَيَيْنِ لم يَجْلِسْ فَقَامَ الناس معه حتى إذا قَضَى الصَّلَاةَ وَانْتَظَرَ الناس تَسْلِيمَهُ كَبَّرَ وهو جَالِسٌ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ قبل أَنْ يُسَلِّمَ ثُمَّ سَلَّمَ

mengimami mereka sholat Dzuhur, beliaupun berdiri setelah dua rakaat (yaitu ke rakaat ketiga-pent) dan tidak duduk (tasyahhud awal). Orang-orang (para makmum) juga berdiri mengikuti Nabi. Hingga tatkala Nabi selesai sholat dan orang-orang menunggu beliau salam, beliaupun bertakbir dalam keadaan duduk lalu beliau sujud dua kali sebelum salam, kemudian beliau salam" (HR Al-Bukhari no 795 dan Muslim no 570)

Adapun jika meninggalkan kewajiban-kewajiban yang lain (seperti tidak membaca tasbih tatkala ruku' atau tatkala sujud) maka hukumnya sama diqiyaskan dengan jika meninggalkan tasyahhud awal. Oleh karenanya barangsiapa yang lupa membaca tasbih tatkala ruku' hingga akhirnya ia telah i'tidal maka hendaknya ia meneruskan sholatnya dan tidak kembali ruku' untuk membaca tasbihnya yang ia lupakan.

Sebab kedua : terjadi keraguan namun ia tidak bisa merojihkan (tidak ada kecondongan) pada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan (lihat kondisi 4b di tabel)

Dalilnya sabda Nabi :

إذا شَكَّ أحدكم في صَلَاتِهِ فلم يَدْرِ كَمْ صلى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ على ما اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قبل أَنْ يُسَلِّمَ

"Jika salah seorang diantara kalian ragu dalam sholatnya dan ia tidak tahu sudah berapa rakaat ia sholat, apakah tiga atau empat rakaat maka hendaknya ia membuang keraguannya tersebut dan dia bangun sholatnya di atas yang dia yakini (yaitu jumlah rakaat yang terkecil karena itulah yang sudah pasti-pent) kemudian ia sujud dua kali sebelum salam" (HR Muslim no 571)

Sebelum salam
Sesudah salam
kekurangan
keraguan tanpa ada kecondongan
tambahan
keraguan namun ada kecendongan


Menambah berdiri atau ruku' atau duduk atau sujud
Salam sebelum berakhirnya sholat
Meninggalkan salah satu rukun sholat


9.   Keraguan tidak diperhatikan (yaitu tidak perlu sujud sahwi) jika hanya merupakan was-was, atau terlalu sering (yaitu selalu muncul setiap sholat), atau muncul setelah selesai sholat.
10. Jika imam lupa lalu sujud sahwi  maka wajib bagi makmum untuk mengikuti meskipun sang makmum tidak lupa. Kecuali masbuq, jika sujud sahwi yang dikerjakan imam setelah salam maka sang makmum masbuq mengakhirkan sujud sahwinya setelah ia menyempurnakan sholatnya.
11. Doa sujud sahwi sama seperti doa sujud-sujud yang lainnya, adapun doa khusus tentang sujud sahwi seperti سبحان من لا ينسى سبحان من لا يسهو  atau  ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا

maka tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

* Diringkas dari Risalah fi sujuud As-Sahwi dan As-Syarhul Mumti' 3/336-399 dan Fataawaa Nuur 'alaa Ad-Darb

*****

Sumber: firanda.com

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

11 Juni 2011

FILE 224 : Dari Masjid Kita Bangkit

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Dari Masjid Kita Bangkit

Disusun Oleh:
Hanif Nur Fauzi


Masjid memiliki peran yang sangat besar dalam perkembangan dakwah Islam dan penyebaran syiar-syiar agama Islam. Di sanalah tempat didirikan sholat jama’ah dan berbagai kegiatan kaum muslimin. Seluruh manusia yang membawa perbaikan terhadap umat Islam ini, merupakan produk ‘jebolan pendidikan’ yang berawal mula dari masjid.

Keutamaan Masjid

Masjid merupakan sebaik-baik tempat di muka bumi ini. Di sanalah tempat peribadatan seorang hamba kepada Allah, memurnikan ibadahnya hanya untuk Allah semata. Dari sanalah titik pangkal penyebaran tauhid. Allah telah memuliakan masjid-masjid-Nya dengan tauhid.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”. (QS. Al Jin: 18)

Tidak ada tempat yang lebih baik dari pada masjid Allah di muka bumi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tempat yang paling dicintai oleh Allah dalam suatu negeri adalah masjid-masjidnya dan tempat yang paling Allah benci adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu ketika pernah ditanya, “Tempat apakah yang paling baik, dan tempat apakah yang paling buruk?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Aku tidak mengetahuinya, dan Aku bertanya kepada Jibril tentang pertanyaan tadi, dia pun tidak mengetahuinya. Dan Aku bertanya kepada Mikail dan diapun menjawab: Sebaik-baik tempat adalah masjid dan seburuk-buruk tempat adalah pasar”. (Shohih Ibnu Hibban)

Masjid adalah pasar akhirat, tempat bertransaksinya seorang hamba dengan Allah. Di mana Allah telah menawarkan balasan surga dan berbagai kenikmatan di dalamnya bagi mereka yang sukses dalam transaksinya dengan Allah.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan,“Masjid adalah rumah Allah di muka bumi, yang akan menyinari para penduduk langit, sebagaimana bintang-bintang di langit yang menyinari penduduk bumi”

Orang yang membangun masjid, ikhlas karena mengharap ganjaran dari Allah ta’ala akan mendapatkan ganjaran yang luar biasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membangun suatu masjid, ikhlas karena mengharap wajah Allah ta’ala, maka Allah ta’ala akan membangunkan rumah yang semisal di dalam surga.” (Muttafaqun’alaihi)

Masjid dan Dakwah Islam

Dahulu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak berjihad, berperang melawan orang-orang kafir, sebelum beliau menyerang suatu negeri, beliau mencari apakah ada kumandang suara adzan dari negeri tersebut atau tidak. Apabila beliau mendegar adzan maka beliau tidak jadi menyerang, namun bila tidak mendengar maka beliau akan menyerang negeri tersebut. (Muttafaqun ’alaihi)

Hal ini menunjukkan bahwa syi'ar-syi'ar agama yang nampak dari masjid-masjid kaum muslimin merupakan pembeda manakah negeri kaum muslimin dan manakah negeri orang-orang kafir. Adanya masjid dan makmurnya masjid tersebut dengan berbagai syi'ar agama Islam, semisal adzan, sholat jama’ah dan syiar lainnya, merupakan ciri bahwa negeri tersebut adalah negeri kaum muslimin. (Lihat ‘Imaratul Masajid, Abdul Aziz Abdullah Al Humaidi, soft copy hal. 4)

Memakmurkan Masjid

Di antara ibadah yang sangat agung kepada Allah ta’ala adalah memakmurkan masjid Allah, yaitu dengan cara mengisinya dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bentuk memakmurkan masjid bisa pemakmuran secara lahir maupun batin. Secara batin, yaitu memakmurkan masjid dengan sholat jama’ah, tilawah Al quran, dzikir yang syar’i, belajar dan mengajarkan ilmu agama, kajian-kajian ilmu dan berbagai ibadah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sedangkan pemakmuran masjid secara lahiriah, adalah menjaga fisik dan bangunan masjid, sehingga terhindar dari kotoran dan gangguan lainnya. Sebagaimana diceritakan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan manusia untuk mendirikan bangunan masjid di perkampungan, kemudian memerintahkan untuk dibersihkan dan diberi wangi-wangian. (Shohih Ibnu Hibban, Syuaib Al Arnauth mengatakan sanad hadits tersebut shahih sesuai syarat Bukhari)

Sholat Berjama’ah di Masjid

Salah satu syi'ar agama Islam yang sangat nampak dari adanya masjid Allah, adalah ditegakkannya sholat lima waktu di dalamnya. Ini pun merupakan salah satu cara memakmurkan masjid Allah ta’ala. Syariat Islam telah menjanjikan pahala yang berlipat bagi mereka yang menghadiri sholat jama’ah di masjid. Di sisi lain syariat memberikan ancaman yang sangat keras bagi orang yang berpaling dari seruan sholat berjama’ah.

Suatu ketika, tatkala tiba waktu sholat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkeinginan meminta seseorang untuk mengimami manusia, kemudian beliau pergi bersama beberapa orang dengan membawa kayu bakar. Beliau berkeinginan membakar rumah orang-orang yang tidak menghadiri sholat jama’ah. Hal ini menunjukkan bahwa sholat jama’ah di masjid adalah wajib, karena ada hukuman bagi mereka yang meninggalkannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat seseorang (di masjid dengan berjama’ah) itu dilebihkan dengan 25 derajat dari shalat yang dikerjakan di rumah dan di pasar. Sesungguhnya jika salah seorang di antara kalian berwudhu kemudian menyempurnakan wudhunya lalu mendatangi masjid, tak ada keinginan yang lain kecuali untuk shalat, maka tidaklah ia melangkah dengan satu langkah pun kecuali Allah mengangkatnya satu derajat, dan terhapus darinya satu kesalahan…”(Muttafaqun ‘alaihi, dari shahabat Abu Hurairah)

‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Allah kelak dalam keadaan muslim, maka hendaklah dia menjaga sholat lima waktu tatkala dia diseru (dengan adzan). Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan sebuah sunnah yang agung, dan sholat berjamaah adalah diantara sunnah tersebut. Seandainya kalian sholat di rumah-rumah kalian, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang belakangan, maka sungguh kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Jika kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian, maka sungguh kalian telah berada dalam kesesatan. (HR. Muslim)

Setelah nampak di hadapan kita khabar tentang pahala bagi orang yang menghadiri sholat jama’ah di masjid, dan ancaman bagi orang yang tidak menghadirinya, lantas masih adakah rasa berat di dalam hati kita untuk melangkah memenuhi seruan adzan?  

Allahul Muwaffiq.

Keutamaan Orang-orang yang Perhatian terhadap Masjid

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, bahwa kelak di hari kiamat ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan pertolongan  dari Allah ta’ala. Salah seorang di antaranya adalah para pecinta masjid. “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan dari Allah, tatkala tidak ada naungan selain naungan-Nya(di antaranya) Seseorang yang hatinya senantiasa terkait dengan masjid…” (Muttafaqun ‘alaihi).

Ibnu Hajar rahimahullahu menjelaskan makna hadits tersebut, “Hadits ini menunjukkan bahwa orang tersebut hatinya senantiasa terkait dengan masjid meskipun jasadnya terpisah darinya. Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa keterkaitan hati seseorang dengan masjid, disebabkan saking cintanya dirinya dengan masjid Allah ta’ala”. (Lihat Fathul Bari)

Lalai dengan Pemakmuran Masjid

Banyak di antara kaum muslimin, sangat semangat dalam mendirikan dan membangun masjid. Mereka berlomba-lomba menyumbangkan banyak harta untuk mendirikan bangunan masjid di berbagai tempat, setelah masjid berdiri pun tidak lupa untuk menghiasnya dengan hiasan yang bermegah-megahan. Namun setelah bangunan beserta hiasan berdiri tegak, justru mereka tidak memanfaatkan masjid tersebut untuk solat jama’ah dan ibadah lainnya. Mereka sangka sumbang sih mereka dengan harta dan modal dunia tersebut sudah mencukupinya.

Saudaraku, memakmurkan masjid tidak semata-mata makmur secara fisik, memakmurkan masjid yang hakiki adalah dengan ketaatan kepada Allah, yaitu dengan sholat jama’ah, tilawah Al quran, pengajian-pengajian ilmiah dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhabarkan bahwa hal yang demikian merupakan salah satu tanda datangnya hari kiamat, “Tidaklah tegak hari kiamat sampai ada manusia yang bermegah-megahan dalam membangun masjid” (HR. Abu Dawud, dinilai shohih oleh Syaikh Al Albani)

Imam Al Bukhari rahimahullahu berkata dalam kitab shahihnya, Anas berkata, “Orang-orang bermegah-megahan dalam membangun masjid, mereka tidak memakmurkan masjid tersebut melainkan hanya sedikit. Maka yang dimaksud dengan bermegah-megahan ialah bersungguh-sungguh dalam memperindah dan menghiasinya”. 

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata,“Sungguh kalian akan memperindah dan menghiasi masjid sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani memperindah dan menghiasi tempat ibadah mereka”. (HR. Bukhari, Kitab Ash-Shalah, Bab Bunyanil Masajid)

Renungkanlah, Back to Basic !

Terlampau banyak penjelasan yang memaparkan keutamaan masjid sebagai benteng utama kekuatan kaum muslimin. Telah terbukti secara nash dan realita. Perjalanan hidup para pendahulu kita telah membuktikannya. Bukankah seluruh para ulama yang membawa perbaikan terhadap agama Islam adalah para pecinta masjid. Imam Malik rahimahullahu mengatakan, Tidak akan pernah baik generasi akhir umat ini kecuali dengan perkara-perkara yang dengannya telah menjadi baik generasi awal umat Islam (yaitu generasi sahabat)

Maka apabila kita menghendaki kejayaan dan kemenangan kaum muslimin, maka hendaklah kita menempuh jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum, yang mereka senantiasa perhatian terhadap masjid-masjid mereka, memakmurkan masjid-masjid Allah dengan ketaatan kepada-Nya. Mulailah dari masjid kita membangun umat ini, DARI MASJID KITA AKAN BANGKIT.  

Allahu A’laam bish showab

*****

Sumber: muslim.or.id

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

04 Juni 2011

FILE 223 : Bolehkah Shalat Jama'ah Kedua dalam Satu Masjid ?

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Hukum Jama'ah Kedua dalam Satu Masjid


Sangat sering terjadi pengulangan berjama’ah dalam satu masjid, sehingga lebih dari dua jama’ah. Bahkan terkadang terjadi dua jama’ah dalam satu waktu. Adanya kenyataan ini mengharuskan kita mengetahui tinjauan hukum syari’at tentangnya, agar semakin jelas permasalahan dan hukum syari’atnya.

Melihat keadaan jama’ah kedua dalam satu masjid, disebabkan karena beberapa kondisi.

Pertama : Melakukan jama’ah kedua pada satu masjid yang tidak memiliki imam rawatib. Hal ini diperbolehkan [1], dan merupakan ijma’ sebagaimana dinukil oleh Imam Nawawi. Beliau menyatakan, “Apabila masjid tidak memiliki imam rawatib (tetap), maka -menurut ijma’- diperbolehkan mengadakan jama’ah kedua dan ketiga atau lebih.” [2]

Kedua : Melakukan jama’ah kedua pada satu masjid yang ada imam rawatibnya, namun dilakukan karena kapasitas masjidnya tidak mampu menampung seluruh jama’ah shalat. Demikian juga hal ini diperbolehkan.

Ketiga : Melakukan jamaah kedua di masjid yang sama pada waktu yang bersamaan pula. Hal ini disepakati oleh para ulama tentang keharamannya [3] dan dikuatkan dengan beberapa hal.
  • Hal ini menyelisihi amalan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, karena kejadian ini tidak pernah ada pada zaman mereka. Syaikh ‘Alisi Al Mishri menjelaskan, bahwa awal terjadinya berbilang jama’ah dalam satu masjid terjadi pada abad keenam dan belum pernah ada sebelumnya [4].
  • Menyelisihi hikmah pensyari’atan berjama’ah, yang berupa kesatuan hati dan persatuan. Jama’ah kedua yang dilakukan pada masjid dan waktu yang sama, tentu akan memecah-belah persatuan dan kesatuan hati kaum muslimin.
  • Mengganggu dan memecah konsentrasi serta kekhusyukan orang yang shalat.
  • Tidak dapat melakukan taswiyatus shufuf (merapatkan dan meluruskan shaf). Ini tentunya menyelisihi anjuran dan ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
  • Terdapat penghinaan dan celaan kepada iman rawatib. Padahal para imam madzhab, khususnya madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah sangat menganjurkan penjagaan hak imam rawatib. Tidak boleh selainnya menegakkan jama’ah bila ia tidak ada di masjid, kecuali dengan udzur, seperti: tidak mungkin ia hadir di masjid dan takut hilang waktu shalat. [5]
Keempat : Mengerjakan jama’ah lebih dari sekali di mushala-mushala pinggir jalan dan pasar (pusat perbelanjaan). Hukum jama’ah ini diperbolehkan, walaupun ada jama’ah ketiga, keempat dan seterusnya. Sebabnya, karena mushala-mushala ini tidak dapat diatur jama’ahnya, silih berganti datangnya.[6]

Imam Syafi’i berkata,“Adapun masjid yang dibangun di pinggir jalan atau pojokannya yang tidak ada mu’adzin tetap dan juga tidak ada imam tetapnya, tempat shalat dan istirahat orang yang lalu-lalang di sana, maka aku tidak melarangnya.” [7]

Kelima : Imam mengulangi shalatnya berjama’ah dua kali, dengan mengimami satu shalat dua kali. Ini diharamkan. Walaupun ia berniat shalat yang kedua mengqadha shalat yang terlewatkan. Apalagi shalat fardhu harus pada waktunya. Ini disepakati oleh para imam madzhab sebagai perkara yang haram.[8]

Keenam : Mengerjakan jama’ah kedua dalam masjid yang ada imam rawatibnya setelah selesai jama’ah pertama bersama imam rawatib. Pada masalah ini terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama.

PENDAPAT PERTAMA : Melarang secara tegas dan orang yang tertinggal pada jama’ah pertama hendaklah shalat sendirian.

Demikian ini pendapat Imam Sufyan Ats Tsauri, Abdullah bin Al Mubarak, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, Laits bin Sa’ad, Al Auza’i, Az Zuhri, Utsman Al Bitti, Rabi’ah, An Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah, Ya’qub bin Ibrahim Abu Yusuf Al Qadhi, Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani, Al Qasim, Yahya bin Sa’id, Salim bin Abdillah, Abu Qilabah, Abdurrazaq Ash Shan’ani, Ibnu ‘Aun, Ayub As Sakhtiyani, Al Hasan Al Bashri, ‘Al Qamah, Al Aswad bin Yazid, An Nakha’i dan Abdillah bin Mas’ud.

Dalam menetapkan pendapatnya, ulama-ulama ini mengambil dalil nash dan akal. Adapun dari nash, dinukil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, terdiri dari tiga sisi, Al Qur’an, As Sunnah (Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan atsar para sahabat.

a. Dalil Al Qur’an

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ لَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَآ إِلاَّ الْحُسْنَى وَاللهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang. orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu'min), untuk kekafiran dan untuk memecah-belah antara orang-orang mu'min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan RasulNya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah,"Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).
[QS. At Taubah (9):107].

Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ , menunjukkan secara jelas larangan memecah-belah kaum muslimin, sehingga wajib bagi mereka untuk menyatukan kekuatan. Hal ini tidak bakal terjadi, kecuali dengan berjama’ah bersama imam rawatib.

Imam Al Qadhi Abu Bakr Ibnul ‘Arabi menjelaskan maksud ayat ini dengan pernyataannya,“Maknanya, mereka berada pada satu jama’ah di satu masjid. Lalu kaum munafiq ingin memecah-belah kesatuan mereka dalam ketaatan, dan mengajak mereka kepada kekufuran dan maksiat. Ini menunjukkan, bahwa tujuan terbesar dan jelas dalam penetapan jama’ah ialah menyatukan hati dan persatuan dalam ketaatan. Mengendalikan dan melarang melakukan perbuatan yang rendah, sehingga timbul rasa senang berkumpul serta membersihkan hati dari noda kedengkian dan iri hati. Imam Malik mengerti akan makna ini, ketika menyatakan,’Tidak boleh ditegakkan shalat dua jama’ah dalam satu masjid, baik dengan dua imam atau satu imam’. Beliau menyelisihi ulama lainnya.” [9]

b. Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Mereka berdalil dengan hadits Abu Bakroh Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ أَقْبَلَ مِنْ نَوَاحِيْ المَدِيْنَةِ يُرِيْدُ الصَّلاَةََ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا فَمَالَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَجَمَعَ أَهْلَهُ فَصَلَّى بِهِمْ

Sesungguhnya Rasulullah datang dari pinggiran Madinah ingin menunaikan shalat. Lalu beliau mendapati orang-orang telah selesai shalat berjama’ah. Kemudian beliau pulang ke rumahnya dan mengumpulkan keluarganya dan mengimami mereka shalat.[10]

Hadits ini menunjukkan, tidak bolehnya jama’ah kedua. Karena seandainya diperbolehkan, tentu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak meninggalkan keutamaan masjid Nabawi.[11]

Ibnu ‘Abidin menyatakan dalam Hasyiyah Radul Mukhtar (1/553), “Seandainya diperbolehkan jama’ah kedua, tentu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memilih shalat di rumah dari berjama’ah kedua di masjid.” [12]

Demikian juga mereka berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى مَنَازِلِ قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ

Sungguh aku ingin memerintahkan seseorang mengimami shalat, lalu ditegakkan (dilaksanakan). Kemudian aku pergi ke rumah orang-orang yang tidak mengikuti shalat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka tersebut.[13]

Hadits ini menunjukkan tidak bolehnya jama’ah kedua dalam satu masjid. Karena seandainya diperbolehkan, maka ancaman pembakaran tersebut tidak ada artinya. Hal ini karena mereka dapat mengambil udzur dari jama’ah pertama dengan menyatakan, kami akan melaksanakan jama’ah kedua.

Pernyataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ , bermakna shalat yang diperintahkan untuk ditegakkan atau dilaksanakan ialah shalat jama’ah yang pertama. Karena kata (الصَّلاَةَ) diberi tambahan huruf alif dan lam, sehingga menunjukkan shalat jama’ah yang pertama. Hal ini menguatkan pendapat larangan jama’ah kedua. Karena seandainya diperbolehkan, tentu dikatakan لاَ يَشْهَدُوْنَ صَلاَةً tanpa huruf alif dan lam.

c. Atsar Sahabat.

Imam Syafi’i dalam kitab Al Umm (1/136) menyatakan,“Apabila seseorang mendapatkan masjid yang dipakai berjama’ah, lalu tertinggal shalat jama’ah. Seandainya ia mendatangi masjid lain untuk berjama’ah, ini lebih saya sukai. Apabila ia tidak mencari masjid lain, lalu shalat sendirian di masjidnya tersebut, maka itu baik. Apabila satu masjid memiliki imam rawatib (tetap) lalu seseorang atau sejumlah orang tertinggal shalat berjama’ah, maka mereka shalat sendiri-sendiri. Saya tidak menyukai mereka shalat berjama’ah padanya. Jika mereka melakukan shalat sendirian tersebut, maka ia mendapat pahala berjama’ah. Hal ini (berjama’ah) dilarang bagi mereka, karena bukan merupakan amalan para salaf sebelum kita. Bahkan sebagian mereka mencelanya.” [14]

Imam Syafi’i menyatakan lagi,“Sungguh, kami telah mengetahui secara pasti, bahwa jika sejumlah sahabat tertinggal jama’ah shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka shalat sendiri-sendiri -sepengetahuan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam -. Padahal mereka mampu untuk berjama’ah. Demikian juga kami ketahui, sejumlah orang tertinggal jama’ah shalat, lalu mendatangi masjid dan shalat sendiri-sendiri, padahal mereka mampu melakukan jama’ah kedua di masjid tersebut. Namun mereka shalat sendiri-sendiri. Mereka tidak menyukainya, hanya agar tidak ada shalat jama’ah dua kali pada satu masjid.” [15]

Pernyataan seorang mujtahid seperti ini tentu memiliki sumber rujukan. Diantaranya ialah pernyataan Al Hasan Al Bashri yang mengatakan,“Para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika masuk masjid dan mendapatkan imam telah shalat, maka mereka shalat sendiri-sendiri.” [16]

Demikian juga atsar sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan Imam Abdirrazaq Ash Shon’ani dari Ma’mar dari Hammad bin Ibrahim, bahwa Al Qamah dan Al Aswad berangkat bersama Ibnu Mas’ud ke masjid. Lalu orang-orang menyongsong mereka dalam keadaan telah shalat. Lalu Ibnu Mas’ud pulang bersama keduanya ke rumah. Salah seorang mereka lalu berdiri di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kirinya. Kemudian Ibnu Mas’ud mengimami mereka shalat. [17]

Seandainya jama’ah kedua diperbolehkan, tentulah Ibnu Mas’ud tidak berjama’ah di rumah. Apalagi berjama’ah di masjid jelas lebih utama. Demikian juga sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lainnya, tidaklah shalat sendiri-sendiri, padahal mampu untuk melakukan jama’ah.

Hal ini dikuatkan lagi dengan riwayat Sahnun dari Ibnul Qasim dari Malik dari Abdurrahman Al Mujabbar. Beliau berkata,“Aku masuk bersama Salim bin Abdillah pada satu masjid jami’ dalam keadaan orang-orang telah selesai shalat. Lalu mereka berkata,’Mengapa tidak shalat berjama’ah?’ Salim bin Abdillah bin Umar menjawab,’Tidak boleh shalat berjama’ah dalam satu shalat pada satu masjid dua kali’.” [18]

Pernyataan Imam Salim bin Abdillah bin Umar ini menunjukkan tidak dibolehkannya berjama’ah lebih dari satu pada satu masjid. Hal ini juga disepakati oleh sejumlah tabi’in, diantaranya Ibnu Syihab [Az Zuhri], Rabi’ah dan Yahya bin Sa’id.

Sedangkan dalil akal, mereka menyatakan, bahwa jama’ah kedua dapat menimbulkan perpecahan atas jama’ah pertama yang disyari’atkan. Karena jika seseorang mengetahui akan tertinggal jama’ah, tentu ia akan segera bergegas, sehingga jumlah jama’ahnya menjadi banyak. Akan tetapi, jika mereka mengetahui tidak akan kehilangan jama’ah dengan adanya jama’ah yang kedua, tentu menyebabkan seseorang bersantai-santai, yang berakibat jumlah jama’ah shalat menjadi sedikit. Padahal sedikitnya jumlah jama’ah shalat dimakruhkan.

Demikian pula mereka menyatakan, bahwa jama’ah-jama’ah yang tertinggal (jama’ah kedua dan seterusnya) dapat dikatakan sebagai jama’ah orang yang malas. Lalu bagaimana mereka mendapatkan pahala jama’ah, padahal mereka tertinggal jama’ah pertama dan tidak memenuhi panggilan Allah tepat waktu?! Sungguh membolehkan adanya jama’ah kedua dan seterusnya, dapat menghilangkan jama’ah pertama dan mennyia-nyiakan hikmahnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:

إِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَىَ اللهِ الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا

Sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah ialah shalat tepat waktu [19].

Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

مَنْ سَمِعَ النِّدَاء فَلَمْ يُجِبْ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ

Barangsiapa yang telah mendengar panggilan shalat lalu tidak memenuhinya, maka tidak ada baginya shalat, kecuali karena udzur [20].

Demikian juga mereka menyatakan, bahwa dalam fatwa bolehnya mengadakan jama’ah kedua, akan mengecilkan makna shalat berjama’ah.

As Sarkhasi menyatakan,“Sesungguhnya, kita diperintahkan memperbanyak jumlah jama’ah pertama. Dan pengulangan jama’ah shalat pada satu masjid akan menguranginya. Karena jika manusia mengetahui akan kehilangan jama’ah, maka mereka bersegera hadir sehingga jumlah anggota jama’ahnya menjadi banyak. Apabila mereka mengetahui tidak akan kehilangan jama’ah, maka mereka memperlambat. Lalu hal ini mengurangi jumlah jama’ah.” [21]

Setelah membawakan pendapat Imam Malik, berkatalah Al Qadhi Abu Bakr Ibnul Arabi, “Ini adalah makna yang dijaga dalam syari’at dari penyimpangan ahli bid’ah. Agar mereka tidak meninggalkan jama’ah kemudian datang dan shalat dipimpin imam yang lain. Dengan demikian, akan hilang hikmah dan sunnah berjama’ah.” [22]

Mereka juga mengutarakan, bahwa jama’ah kedua menimbulkan kemalasan dan meremehkan jama’ah pertama. sehingga sebab kemakruhan hukumnya makruh.

Pendapat ini dirajihkan Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah dengan menyatakan : Kesimpulannya, jumhur ulama memandang tidak boleh mengulang jama’ah shalat pada satu masjid, dengan syarat terdahulu. Inilah yang benar. Dan pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits yang masyhur:

أَلاَ رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيْ مَعَهُ

Adakah orang yang bershadaqah kepada orang ini lalu shalat bersamanya ?

Karena paling-paling (lantaran) hanya ada anjuran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada seseorang yang telah shalat bersama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada jama’ah pertama untuk shalat sunah di belakang orang tersebut. Maka demikian ini adalah shalat sunah di belakang orang yang shalat wajib. Padahal pembahasan kita ialah mengenai shalat wajib di belakang orang yang mengerjakan shalat wajib, yang dikarenakan kehilangan jama’ah pertama. Sehingga tidak boleh dianalogikan dengan kisah tersebut. Karena ini termasuk analog dengan adanya perbedaan (qiyas ma’al fariq). Hal ini dapat dilihat dari dua sisi:
  1. Bentuk pertama (jama’ah kedua dalam shalat wajib) belum pernah dinukil dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik izin atau persetujuan. Padahal itu ada di zamannya, sebagaimana ditunjukkan riwayat Al Hasan Al Bashri.
  2. Jama’ah kedua ini menimbulkan perpecahan atas jama’ah pertama yang disyari’atkan. Karena jika manusia mengetahui akan kehilangan jama’ah, mereka akan bersegera, sehingga jumlah anggota jama’ah pertama menjadi banyak. Sebaliknya, jika mengetahui tidak akan kehilangan jama’ah, maka memperlambat hadir, sehingga mengurangi jumlah anggota jama’ah pertama. Padahal pengurangan jumlah jama’ah dimakruhkan. Tidak ada sedikitpun persetujuan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atas hal yang dilarang ini. Sehingga terbukti perbedaannya. Kalau demikian, tidak boleh mengambil dalil dari hadits tersebut dalam menyelisihi sesuatu yang sudah ditetapkan.” [23]
Demikian uraian singkat pendapat dan dalil mereka dalam permasalahan hukum jama’ah kedua dalam satu masjid. Wallahu a’lam.


PENDAPAT KEDUA : Diperbolehkan mendirikan jama’ah kedua dalam satu masjid, jika jama’ah kedua terpisah dari jama’ah pertama.

Demikian ini pendapat Imam Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Ibnul Mundzir, Daud Adz Dzahiri, Asyhab, At Tirmidzi, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Ibrahim bin Rahuyah, Ibnu Abi Syaibah, Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, ‘Atha, Ibrahim An Nakha’i, Makhul, Ayub As Sakhtiyani, Tsabit Al Bunani, Qatadah, Al Hasan Al Bashri, Anas bin Malik dan Ibnu Mas’ud.

Namun terdapat riwayat yang berbeda dalam penisbatan pendapat ini kepada beberapa ulama, seperti: Ibnu Mas’ud dan Anas bin Malik, Al Hasan Al Bashri, Ayub As Sakhtiyani, Ahmad bin Hanbal dan Ibrahim An Nakha’i.

Yang rajih dari mereka ialah riwayat yang menyatakan, bahwa mereka termasuk orang yang berpendapat dengan pendapat pertama, yaitu larangan membuat jama’ah kedua dalam satu masjid yang memiliki imam tetap (rawatib) [24].

Mereka (yang berpendapat dengan pendapat kedua) berdalil dengan dalil nash dan akal. Adapun dalil nash, mereka mengambil hadits dan atsar para sahabat, diantaranya [25]:
  • Keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Shalat jama’ah lebih baik dari shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.
[HR Bukhari]

Dalam riwayat lain.

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِخَمْسٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Shalat jama’ah lebih baik dari shalat sendirian dua puluh lima derajat.
[HR Bukhari].

Hadits ini menunjukkan keumuman shalat jama’ah, baik jama’ah pertama atau kedua atau yang lainnya.
  • Hadits Abu Sa’id Al Khudri:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ رَجُلًا يُصَلِّي وَحْدَهُ فَقَالَ أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seseorang shalat sendirian, lalu berkata,“Adakah orang yang mau bershadaqah kepada orang ini, lalu sholat bersamanya ? 
[HR Abu Daud dan Ahmad].

Dalam riwayat lainnya:

جَاءَ رَجُلٌ وَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّكُمْ يَتَّجِرُ عَلَى هَذَا فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلَّى مَعَهُ

Datang seseorang setelah Rasulullah usai shalat, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Adakah orang yang ingin mengambil keuntungan darinya ?” Lalu ada seorang yang bangkit dan shalat bersamanya
[HR At Tirmidzi dan Ahmad]. [26]

Al Hakim menyatakan, hadits ini sebagai dasar dibolehkannya dilakukan dua kali jama’ah dalam satu masjid. [27]

Hadits ini menunjukkan bolehnya mendirikan jama’ah kedua setelah selesai jama’ah pertama, walaupun di masjid yang memiliki imam rawatib (tetap). Sebab pada waktu itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan imam tetap di masjid tersebut. Sehingga Imam Al Baghawi menyatakan, hadits ini menunjukkan bolehnya bagi orang yang berjama’ah untuk mengerjakan jama’ah kedua setelah yang pertama. Juga menunjukkan bolehnya diadakan dua kali jama’ah dalam satu masjid. Inilah pendapat banyak sahabat dan tabi’in. [28]

Demikian juga Imam Muhammad Adzim Abadi, penulis kitab Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Daud menyatakan,“Hadits ini menunjukkan dibolehkannya mengerjakan shalat berjama’ah pada masjid yang telah selesai shalat jama’ah (pertama)nya.” [29]

Syaikh Shalih As Sadlan menjadikan hadits ini sebagai dalil dalam merajihkan pendapat ini. Beliau menyatakan,“Pendapat yang rajih ialah pendapat kedua, yaitu dibolehkannya secara mutlak, tanpa membedakan antara masjid tiga (Masjid Al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al Aqsha) dengan yang lainnya, karena keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Adakah orang yang mau bershadaqah kepada orang ini, lalu shalat bersamanya ?” Jelaslah, ini dilakukan di masjid Nabawi. Juga secara makna menunjukkan, bahwa keutamaan shalat jama’ah didapatkan padanya sebagaimana didapatkan pada yang lainnya.” [30]
  • Atsar dari Sahabat Anas bin Malik yang diriwayatkan Imam Bukhari secara muallaq [31] dalam Shahih-nya yang berbunyi:
جَاءَ أَنَسُ إِلَى مَسْجِدٍ قَدْ صُلِّيَ فِيْهِ فَأَذَّنَ وَأَقَامَ وَصَلَّى جمَاعَةً

Anas datang ke satu masjid yang telah selesai shalat, lalu beliau adzan dan iqamat serta shalat berjama’ah.[32]

Hadits ini diriwayatkan secara bersambung melalui jalan periwayatan Imam Bukhari dalam kitab Taghliq Ta’liq, karya Ibnu Hajar [33] , lalu Al Hafidz Ibnu Hajar menyatakan,“Sanadnya ini shahih namun mauquf.”[34]
  • Sedangkan dalil akal, mereka menyatakan, “Orang yang mampu berjama’ah disunnahkan berjama’ah, sebagaimana ada di masjid yang dijadikan sebagai tempat shalat orang yang lewat. [35]
Pendapat ini dirajihkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, ketika beliau ditanya, bagaimana hukum mengerjakan jama’ah kedua pada masjid yang terdapat imam tetapnya?

Beliau menjawab : Mengerjakan jama’ah kedua pada masjid yang memiliki imam rawatib (tetap), jika dilakukan terus-menerus, maka ini menjadi satu kebid’ahan. Namun, bila itu hanya kadang-kadang (dilakukan), misalnya oleh sekelompok orang yang datang ke masjid dan mendapatkan orang-orang telah selesai shalat. Disini mereka dibolehkan dan tidak mengapa mengerjakan shalat berjama’ah (kedua). Adapun pendapat yang menyatakan, hal ini sebagai satu kebid’ahan, maka pendapat ini lemah, karena dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam duduk bersama para sahabatnya, lalu masuk seseorang yang belum shalat. Rasululloh bersabda:
c
أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلَّى مَعَهُ

"Adakah orang yang mau bershadaqah kepada orang ini, lalu shalat bersamanya ?" Lalu ada seseorang yang bangkit dan shalat bersamanya.

Disini ditegakkan jama’ah shalat setelah jama’ah (pertama), padahal salah seorang dari keduanya shalat sunnah yang tidak wajib baginya. Apakah masuk akal Rasulullah Shallaahu 'alayhi wa sallam melarang dua orang yang tertinggal shalat (jama’ah pertama) mengerjakan shalat berjama’ah dan memerintahkan seseorang yang telah shalat untuk ikut shalat berjama’ah kembali bersama orang tersebut? Ini tidak masuk akal. Oleh karena itu, kelirulah seseorang yang menganggap salah kepada orang yang mengerjakan shalat berjama’ah (kedua) dan menganggap sunnah orang yang melakukan shalat sendirian, jika tertinggal jama’ah (pertama).
  • Adapun atsar Ibnu Mas’ud, bahwa beliau masuk (masjid) lalu mendapatkan orang-orang telah selesai shalat berjama’ah. Kemudian beliau pulang dan shalat di rumahnya. Atsar ini bertentangan dengan atsar yang disampaikan penulis kitab Al Mughni dari Ibnu Mas’ud sendiri. Beliau menyatakan bolehnya menegakkan shalat jama’ah kedua setelah selesai shalat jama’ah pertama.
Jika atsar Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan dalam Al Mughni benar, maka beliau memiliki dua riwayat. Jika tidak benar, maka pendapat pertama (yaitu tidak bolehnya) adalah pendapat Ibnu Mas’ud, namun ini semata satu kejadian saja.

Ada kemungkinan pulangnya Ibnu Mas’ud ke rumah untuk shalat berjama’ah terjadi karena khawatir ditiru orang, sehingga mereka meremehkan masalah shalat ini. Mungkin juga bisa menyakiti hati imam pertama tadi, lalu imam tersebut berkata, ‘Abdullah bin Mas’ud memperlambat shalat, agar tidak shalat bersama saya ……’ atau yang sejenisnya, yang tidak kita ketahui, karena ini hanya semata satu kejadian.

Namun kita memiliki sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau memerintahkan seseorang yang telah shalat untuk ikut shalat sunnah mendampingi orang yang baru masuk masjid (tertinggal jama’ah) shalat berjama’ah. Tentunya dua orang yang terkena kewajiban jama’ah, bila tertinggal jama’ah pertama lebih boleh dan lebih pantas.”.[36]


BANTAHAN PENDAPAT KEDUA TERHADAP DALIL PENDAPAT YANG PERTAMA

Pendapat kedua berusaha memperkuat dalil dan hujjah, dengan membantah dalil pendapat pertama. Bantahan ini dapat diringkas menjadi beberapa hal, diantaranya:

Pertama : Hadits Abu Bakrah Radhiyallahu 'anhu memiliki seorang perawi yang dicela para ulama, yaitu Muawiyah bin Abi Yahya. Sebagaimana disampaikan oleh Al Kasymiri,“Pada sanadnya ada Mu’awiyah bin Abi Yahya. Dia termasuk perawi yang disebut dalam At Tahdzib dan ia dipermasalahkan.” [37]

Kedua. Apabila hadits ini shahih, belum juga menunjukkan larangan mengerjakan jama’ah kedua, karena masih ada kemungkinan beliau shalat berjama’ah di masjid. Sedangkan pulangnya beliau ke rumah bertujuan mengumpulkan keluarganya, bukan bermaksud shalat berjama’ah di rumahnya.

Seandainya kita menerima, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memang shalat berjama’ah bersama keluarganya di rumah, tidak juga menunjukkan ketidakbolehan mengadakan jama’ah kedua dalam satu masjid. Hal ini karena hadits ini hanya menunjukkan dibolehkannya orang yang tertinggal jama’ah dengan imam tetap untuk tidak shalat di masjid. Dia boleh keluar dan pulang ke rumahnya, lalu berjama’ah bersama keluarganya. Jadi, hadits ini sama sekali tidak menunjukkan larangan melakukan jama’ah kedua dalam satu masjid yang terdapat imam tetapnya.

Lagipula bila benar, tidak shalatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di masjid menjadi dalil larangan berjama’ah, maka tentunya juga dilarang shalat sendirian di masjid tersebut, karena beliau tidak shalat sendirian dan tidak pula berjama’ah disana. Bahkan beliau pulang ke rumah dan shalat di rumahnya.

Kesimpulannya, berdalil dengan hadits Abu Bakrah tersebut untuk larangan dan sunahnya shalat sendirian, tidaklah benar.

Ketiga. Adapun atsar Anas bin Malik, para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika masuk masjid dan mendapatkan imam telah shalat, maka mereka shalat sendiri-sendiri [38], bukanlah dalil yang kuat dalam larangan ini, karena Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu sendiri menjelaskan hal itu karena takut dengan penguasa (Sulthan). Hal ini dijelaskan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah [39] dan Abdurrazaq Ash Shan’ani [40] dalam kitab Al Mushannaf [41].

Demikian bantahan pendapat kedua terhadap dalil pendapat pertama.


BANTAHAN PENDAPAT PERTAMA TERHADAP DALIL PENDAPAT KEDUA

Ulama yang berpendapat dengan pendapat pertama (tidak bolehnya mendirikan jama’ah kedua dalam satu masjid), memberikan bantahan atas dalil dan argumentasi pendapat kedua. Bantahan ini dapat diringkas sebagai berikut:

Pertama : Berdalil dengan hadits Abu Sa’id tersebut tidaklah benar, karena hanya menunjukkan berulangnya shalat jama’ah, namun sekedar dalam bentuknya saja, bukan shalat jama’ah sesungguhnya. Hal ini, karena seseorang yang beliau Shallaahu 'alayhi wa sallam perintahkan untuk menemaninya telah melakukan shalat berjama’ah fardhu, sehingga yang berjama’ah kepada orang tersebut hanyalah shalat sunnah semata. Adapun jama’ah yang hakiki, ialah bila imam dan makmum shalat berjama’ah fardhu. Sehingga analogi jama’ah kedua shalat fardhu dengan bentuk jama’ah dalam hadits ini merupakan analogi yang tidak tepat (qiyas ma’al fariq) [42].

Kedua : Adapun atsar Anas bin Malik yang digunakan sebagai dalil pendapat kedua, mereka membantahnya dengan menyatakan, Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu tidak melakukannya di masjid tempat tinggalnya. Beliau mendatangi masjid Bani Tsa’labah atau Bani Rifa’ah atau masjid Ashhabus Saaj atau masjid Bani Zuraiq, lalu melakukan shalat berjama’ah disana. Ini, tentunya diluar permasalahan mengerjakan jama’ah kedua yang dimaksud.

At Tahawuni berkata,“Ada kemungkinan masjid tersebut adalah masjid di pinggir jalan (tempat persinggahan orang) atau sejenisnya, yang diperbolehkan melakukan jama’ah kedua padanya. Kemungkinan ini diperkuat dengan adanya pengulangan adzan dan iqamah yang tidak diperbolehkan oleh orang yang berpendapat bolehnya mengulang jama’ah shalat.” [43]

Ketiga. Semua keutamaan dan anjuran yang ada untuk shalat berjama’ah hanya berlaku untuk jama’ah pertama.


PENYEBAB KHILAF DAN PENDAPAT YANG RAJIH DALAM PERMASALAHAN INI

Setelah melihat dan meneliti perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini, dapat disimpulkan penyebab perselisihan mereka ada dua:

Pertama. Apakah anjuran dan pelipat-gandaan pahala khusus untuk shalat jama’ah di masjid bersama imam tetap atau juga meliputi lainnya?
Kedua. Apakah berjama’ah termasuk sebagai syarat keabsahan shalat atau tidak?

Ulama yang berpendapat, anjuran dan pelipat-gandaan pahala hanya untuk yang mengerjakan shalat berjama’ah di masjid bersama imam tetap, mereka melarang pengulangan jama’ah di masjid yang memiliki imam tetap. Sedangkan yang tidak demikian, maka membolehkan pengulangan shalat berjama’ah tersebut. [44]

Yang rajih ialah pendapat pertama jika penyebab larangan tersebut ada, yaitu menimbulkan perpecahan atau kemalasan untuk menghadiri jama’ah pertama. Penyebab ini tidak akan terjadi, kecuali pada masjid yang memiliki imam dan muadzin tetap. Demikian yang dirajihkan oleh Syaikh Masyhur Hasan Ali Salman [45] dengan dalil-dalil sebagai berikut:

  1. Melihat dalil pendapat pertama yang ada.
  2. Tidak adanya perintah melakukan jama’ah yang berulang-ulang dalam shalat khauf, padahal sangat dibutuhkan. Demikian juga, tidak terdapat dalil yang shahih adanya jama’ah kedua setelah jama’ah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang pertama. Juga riwayat para sahabat dan tabi’in, jika tertinggal shalat jama’ah, mereka melakukan shalat secara sendirian di masjid atau berjamaah di rumah.
  3. Meninggalkan jama’ah pertama yang disebabkan karena rasa malas mengikuti jama’ah dengan imam tetap, tentunya dicela. Padahal sesuatu yang menyebabkan terjadinya perkara tercela, dianggap sebagai sesuatu yang tercela.
  4. Apabila seseorang tertinggal shalat berjama’ah bersama imam tetap karena udzur, maka ia memperoleh pahala jama’ah tersebut, walaupun shalat secara sendirian.

Demikianlah sebagian dalil yang menguatkan pendapat pertama. Dan inilah pendapat yang rajih, Insya Allahu Ta’ala. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04 dan 05/Tahun VII/1424H/2003M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8, Selokaton, Gondangrejo, Solo 57183. Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote:
[1]. Lihat pendapat Syaikh Shalih Sadlan dalam Shalatul Jama’ah, Hukmuha Wa Ahkamuha, hal. 100.
[2]. Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab, 4/222.
[3]. Lihat I’lamul ‘Abid Fi Hukmi Tikraril Jama’ah Fil Masjidil Wahid, karya Syaikh Masyhur Salman, hal. 11.
[4]. Dinukil oleh Syaikh Masyhur dalam I’lamul Abid, hal. 12 dari kitab Fathul ‘Ali Al Malik Fil Fatawa ‘Ala Madzhab Imam Malik 1/92-94.
[5]. I’lamul ‘Abid, hal. 13.
[6]. Lihat Shalatul Jama’ah Hukmuha Wa Ahkamuha, hal. 102
[7]. Al Umm 1/180.
[8]. Ibid.
[9]. I’lamul ‘Anid, hal. 32-33
[10]. Syaikh Al Albani menyatakan dalam Tamamul Minnah, hal. 155, hadits ini hasan. Imam Al Haitsami (2/45) menyatakan,“Hadits ini diriwayatkan At Thabrani dalam Al Kabir dan Al Ausath. Semua perawinya tsiqat.” Sedangkan Syaikh Masyhur Hasan menambahkan, bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil, 6/2398. Lihat I’lamul ‘Abid, hal. 36.
[11]. Lihat Al Mabsuth, 1/135 dan Tuhfatul Ahwadzi Syarah Jami’ At Tirmidzi, 2/10.
[12]. Dinukil dari I’lamul ‘Abid, hal. 36-37.
[13]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Adzan, Bab Wujub Shalatil Jama’ah, no. 644 dan Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Masajid Wa Mawadhi’ush Shalat, Bab Fadhlu Jama’ah Wa Tasydid Fi Takhaluf 'Anha, no.651.
[14]. Dinukil oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 156.
[15]. Al Umm, 139.
[16]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, 2/223 dan dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 157.
[17]. Mushannaf 2/409 no. 3883. Atsar ini dihasankan Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 155.
[18]. Al Mudawanah 1/89 dengan para perawi yang tsiqat.
[19]. Diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Mawaqit Ash Shalat, Bab Fadhlu Ash Shalat Liwaqtiha, no. 527 dan Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Iman, Bab Bayani Kaunil Iman Billahi Afdhalul A’mal 1/89.
[20]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Al Masajid Wal Jama’ah, Bab Taghklidz Fit Takhalif ‘Anil Jama’ah 1/260 no.793, dan dishahihkan Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 2/336-339 no. 551.
[21]. I’lamul ‘Abid, hal 45 menukil dari Al Mabsuth 1/135-136.
[22]. Aridhatul Ahwadzi 2/21.
[23]. Tamamul Minnah hal 158.
[24]. Lihat tarjihnya dalam kitab I’lamul ‘Abid Fi Hukmi Tikraril Jama’ah Fil Masjidil Wahid, karya Syaikh Masyhur Salman, hal. 68-75.
[25]. Lihat kitab Al Mughni, karya Ibnu Qudamah, 3/11.
[26]. Ibid.
[27]. Al Mustadrak karya beliau 1/209.
[28]. Syarhu Sunnah 3/437.
[29]. Aunul Ma’bud 1/225.
[30]. Shalatul Jama’ah Hukmuha Wa Ahkamuha, hal. 101.
[31]. Muallaq adalah hadits yang terputus sanadnya satu perawi atau lebih di awal sanad.
[32]. Shahih Bukhari, kitab Al Adzan, Bab Fadhlu Shalatil Jama’ah. Lihat Fathul Bari 2/131.
[33]. Taghliq At Ta’liq 2/276-277.
[34]. Mauquf adalah perkatan, perbuatan atau persetujuan yang disandarkan kepada para sahabat.
[35]. Al Mughni, 3/11.
[36]. I’lamul ‘Abid, hal. 79-80 menukil dari kaset rekaman beliau berjudul Masail Tahumu Al Muslim.
[37]. I’lamul ‘Abid, hal. 83-84, menukil dari Al Urfusy Syadzi ‘Ala Jami’ At Tirmidzi, hal. 118.
[38]. Diriwayatakan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 2/223 dan dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 157. Lihat dalil pendapat pertama dalam majalah As Sunnah, edisi 04/VII/1424 H/2003 M. hal. 41.
[39]. Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah 2/322
[40]. Mushannaf, Abdirrazaq 2/293 no. 3422.
[41]. Apabila ingin lebih panjang lagi, silahkan melihat kepada kitab I’lamul 'Abid hal. 85-87.
[42]. Lihat pernyataan Syaikh Al Albani dalam majalah As Sunnah edisi 04/ VII/1424 H/2003 M. hal. 42.
[43]. I’lamul 'Abid, hal. 91, menukil dari I’lamus Sunan 4/248.
[44]. Hal ini disampaikan oleh Syaikh Masyhur Hasan Ali Salman dalam ………?
[45]. I’lamul 'Abid, hal. 94.

*****

Sumber: almanhaj.or.id

Baca Juga:

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin