Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
….
Jangan Merasa Benar Sendiri
Disusun Oleh:
Ust. Abu Yahya Badrussalam
Banyak orang ketika anda tegur kesalahan yang ia lakukan berkilah
dengan mengatakan : "
sudahlah, jangan merasa benar sendiri !". Sehingga
menjadi pertanyaan pada benak banyak orang, apakah perkataan tersebut
berasal dari wahyu ataukah hanya sebatas kilah yang tak beralaskan
pada dalil ?
Tentunya hal ini harus kita cermati secara seksama dengan
hati yang dingin apakah ada ayat atau hadits atau pendapat para ulama
yang mengatakan dengan perkataan tersebut.
Cobalah kita buka surat An-Nisaa [4]: 59
"Artinya :
Jika kamu berbeda pendapat tentang suatu perkara maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rosul (assunnah) jika kamu
beriman kepada Allah dan hari kemudian.."
Ayat ini dengan tegas mengatakan bahwa setiap perselisihan wajib
dikembalikan kepada Allah dan RosulNya, Allah
tidak mengatakan :
"
Jika kamu berselisih janganlah kamu merasa benar sendiri, atau
kembalikan pada pendapat masing-masing".
Akan tetapi Allah menyuruh untuk
mengembalikannya kepada Al Qur'an dan Sunnah, ini menunjukkan bahwa
yang benar hanyalah yang berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah.
Para sahabat senantiasa menyalahkan orang-orang yang mereka pandang
salah dan tidak pernah di antara mereka yang mengatakan, " Jangan merasa
benar sendiri !"
Seperti dalam suatu kisah yang diriwayatkan oleh Al-Lalikai dalam
kitab
Syarah I'tiqod Ahlissunnah dengan sanad yang shohih dan Ad Darimi
dalam
Sunan-nya bahwa Ibnu Mas'ud mendatangi suatu kaum yang berdzikir
berjama'ah dengan memakai kerikil dan berkata:
"Celaka kamu Umat
Muhammad betapa cepatnya kebinasaan kalian ! Apakah kamu merasa di atas
millah Muhammad ataukah kamu hendak membuka pintu kesesatan ?"
Kemudian mereka berkata : "Sesungguhnya kami menginginkan kebaikan" .
Beliau berkata : "
Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi ia
tidak mendapatkannya (karena caranya salah, pen)".
Dalam kisah tersebut
tidak dikatakan : Jangan kamu merasa benar sendiri.
Demikian pula para Tabi'in. Disebutkan dalam kisah yang diriwayatkan
oleh Al Baihaqi dalam
Sunan-nya, Abdurrozaq, Ad Darimi dan Ibnu Nashr
bahwa Sa'id bin Musayyib melihat seorang laki-laki sholat setelah terbit
fajar lebih dari dua roka'at lalu Sa'id melarangnya, kemudian orang itu
berkata :
"Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengadzab saya
gara-gara sholat ?
Beliau (Sa'id bin Al Musayyib) menjawab "Tidak, tapi Allah akan mengadzabmu
karena menyalahi sunnah".
Tidak pula dikatakan padanya : Jangan merasa
benar sendiri.
Demikian pula Tabi'ut Tabi'in dan para ulama setelahnya. Senantiasa
mereka membantah pendapat yang mereka pandang lemah atau salah tapi
tidak ada satupun dari mereka yang mengatakan "Jangan merasa benar
sendiri".
Disebutkan dalam kisah yang shohih bahwa Imam Asy Syafi'i
mendebat Imam Ahmad dalam masalah hukum orang yang meninggalkan sholat,
dimana Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang meninggalkan sholat
kafir murtad dari agama Islam sedangkan Imam Asy Syafi'i tidak
mengkafirkannya, tapi Imam Asy Syafi'i tidak pernah mengatakan : "Jangan merasa benar sendiri"
Tapi yang dikatakan oleh Imam Asy
Syafi'i adalah : "
Tidaklah aku berdialog dengan seorangpun kecuali aku
berkata : Ya Allah alirkanlah kebenaran pada lisan dan hatinya, jika
kebenaran itu bersamaku,ia mau mengikutiku dan jika kebenaran itu ada
padanya, aku akan mengikutinya".
Mereka juga menulis kitab-kitab bantahan terhadap bid'ah dan
kesesatan, Imam Ahmad menulis kitab
Ar Rodd alal Jahmiyyah (bantahan
terhadap Jahmiyyah), Abu Dawud punya kitab
Ar Rodd 'alal Qodariyyah
(bantahan terhadap Al Qodariyyah), Ad Darimi menulis kitab
Roddu Utsman
Ad Darimi 'ala Bisyir Al Marisi Adl Dlooll (bantahan Utsman Ad Darimi
terhadap Bisyir Al Marisi yang sesat) dan banyak lagi kitab-kitab
bantahan lainnya.
Tidak ada satupun diantara mereka yang berkata :
"Jangan merasa benar sendiri".
Coba anda renungkan perkataan Abu
Isma'il Abdullah bin Muhammad Al Anshori "
Pedang dihadapkan kepadaku
sebanyak lima kali bukan untuk menyuruhku agar keluar dari keyakinanku,
akan tetapi dikatakan kepadaku : "Diamlah dari orang yang menyelisihimu
!!" Aku tetap menjawab "Aku tidak akan pernah diam .."
Merasa benar adalah fitrah manusia, buktinya jika engkau bertanya
kepada orang yang mengatakan "Jangan merasa benar sendiri" : "
Apakah
anda merasa benar dengan perkataan tersebut ?" tentu ia akan berkata : "Ya".
Dia sendiri merasa benar sendiri dengan pendapat tersebut lalu ia
melarang orang lain merasa benar sendiri, jelas ini kontradiktif yang
fatal.
Meluruskan Pemahaman
Sebagian orang ada yang berdalil dengan
sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim bahwa Nabi
shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "
Janganlah kamu sholat kecuali
di Bani Quroidzoh". Kemudian di tengah jalan masuk waktu 'Ashar, maka
sebagian mereka berkata "Kita sholat disana". Sebagian lagi berkata :
"Kita sholat di jalan, beliau tidak bermaksud demikian". Lalu disebutkan
hal itu kepada Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam tapi beliau tidak
mencela seorangpun dari mereka.
Al Hafidz Ibnu Hajar dalam
Fathul Bari (7/409-410) berkata,
"
Berdalil dengan kisah ini untuk mengatakan bahwa setiap mujtahid itu
benar adalah pendalilan yang tidak jelas. Hadist ini hanya menunjukkan
bahwa beliau tidak mencela orang yang memberikan kesungguhan untuk
berijtihad".
Hal ini menunjukkan kepada dua perkara:
Pertama : Pendapat yang mengatakan bahwa setiap mujtahid itu benar
adalah pendapat yang bathil, karena Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam
dalam hadist ijtihad (yaitu hadits: "
Apabila Hakim berijtihad kemudian
benar maka ia mendapat dua pahala dan apabila salah maka ia mendapatkan
satu pahala"). Beliau shalallahu 'alaihi wa sallam hanya menyebutkan benar atau salah
tidak mengatakan bahwa dua-duanya benar.
Kedua : Bahwa perkara ini khusus para mujtahid, adapun bila telah
nyata bahwa mujtahid itu salah dalam ijtihadnya maka haram kita
mengikuti kesalahannya tersebut.
Sebagian lagi ada yang berhujjah dengan hadits : "
Perselisihan umatku adalah rahmat".
Padahal hadist ini dinyatakan oleh para ahli hadits sebagai hadits
yang tidak ada asal usulnya. lihat
Silsilah Dlo'ifah (I/76-85). Ibnu Hazm
berkata : "
Ini adalah perkataan yang sangat rusak, sebab jika
perselisihan itu rahmat berarti persatuannya adalah adzab. Jelas ini tidak
akan di katakan oleh seorang muslim pun, karena tidak ada kecuali
berselisih atau bersatu." (
Al Ihkamul fi Ushulil Fiqih 4/64).
Bahkan secara akal pun pernyataan bahwa
ikhtilaf (perselisihan) adalah
rahmat adalah bathil. Ssebab kita semua tahu bahwa tujuan musyawarah
adalah untuk mencari mufakat. Bila perselisihan itu rahmat, maka
seharusnya musyawarah tujuannya adalah supaya berselisih karena ia adalah rahmat. Dan ini jelas batil bagi orang yang berakal.
Sebagian lagi ada yang berkata :"Sudahlah selama itu masih di
perselisihkan oleh para ulama tidak perlu kita merasa benar sendiri".
Sehingga perselisihan ulama dijadikan hujjah untuk membolehkan
pendapatnya. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala menyuruh kita untuk mencari
pendapat yang lebih dekat kepada Al Qur'an dan As sunnah.
Pendapat ini
telah disanggah oleh para ulama di antaranya adalah Imam Ibnu Abdil
Barr, beliau berkata "
Perselisihan ulama bukan hujjah menurut seluruh
para ulama yang kami ketahui" (
Jami'ul Bayan 2/229)
Al Khaththabi berkata : "
Ikhtilaf ulama bukan hujjah tapi menjelaskan
sunnah adalah hujjah dari zaman dahulu sampai sekarang". (
A'lamul
Hadits 3/2092).
Ibnu Taimiyah berkata, "
Tidak boleh seorang pun berhujjah dengan
pendapat seseorang dalam perkara yang masih diperselisihkan, karena
hujjah itu hanyalah nash, ijma' dan dalil yang diambil dari keduanya,
bukan diambil dari pendapat ulama. Karena pendapat ulama dijadikan hujjah
bila sesuai dengan dalil syari'at dan tidak boleh dijadikan hujjah
untuk menolak dalil syari'at". (
Majmu' Fatawa 26/202-203).
Demikian pula para ulama ushul fiqih telah membahas suatu bab ilmu
ushul fiqih yang bernama
Bab Tarjih yaitu tata cara memilih pendapat
yang paling kuat. Bila sebatas perselisihan ulama dapat dijadikan alasan
tentulah pembahasan masalah tarjih tidak akan ada manfaatnya.
Bahkan berhujjah dengan perselisihan para ulama pada zaman sekarang
digunakan oleh aliran sesat yang bernama JIL (Jaringan Islam Liberal)
dimana mereka selalu membawakan pendapat ulama yang sesuai dengan
seleranya. Hal ini menunjukkan bahwa berhujjah dengan perselisihan
ulama adalah
membuka pintu bagi orang-orang sesat untuk berkilah dan
membenarkan pendapatnya.
Sungguh benar perkataan seorang ulama salaf : "
Barang siapa yang mencari-cari rukhsoh para ulama ia akan menjadi
zindiq".
Jadi merasa benar dengan pendapatnya yang jelas dalilnya, lebih-lebih
bila didukung oleh ijma' ulama,
adalah sebuah keharusan. Sedangkan merasa
benar dengan kesesatan adalah kesalahan fatal. Adapun dalam perkara
ijtihadi
yang tidak ada dalilnya yang gamblang maka kita ikuti yang
paling kuat dalilnya tanpa menyesatkan yang lainnya.
Wallahu alam.
Rujukan:
- Zajrul Matahawin
- Ilmu Ushul Bida',
- Majmu Fatawa dll.
*****
Sumber: muslim.multiply.com
Link Terkait:
.
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin