Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

29 Januari 2011

FILE 205 : Wasiat Nabawi dalam Pendidikan Anak

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
……

Wasiat Nabawi

yang Penting bagi Anak-Anak

Oleh: 
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullaah
.
Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Aku berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari. Beliau berkata kepadaku, “Wahai anak, sesungguhnya aku akan ajari engkau beberapa kalimat:

1.   اِحْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ
Jagalah Allah niscaya Allah menjagamu

Yaitu dengan melaksanakan perintah-perintah Allah serta menjauhi larangan-larangan-Nya, Allah akan menjaga dunia dan akhiratmu.

2.  اِحْفَظِ اللَّهَ تَجِدُهُ تُجَاهَك
Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu

Jagalah batasan-batasan dan hak-hak Allah. Engkau akan mendapati Allah memberikan taufiq kepadamu serta membantumu.

3.  إِذَا سَأَلْتَ فَسْأَلِ اللَّهَ ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau meminta bantuan, minta bantuanlah kepada Allah”.

Maksudnya, jika engkau meminta bantuan dalam perkara dunia maupun akhirat, maka mintalah kepada Allah. Lebih-lebih dalam perkara yang tidak dimampui melainkan hanya oleh Allah saja, seperti menyembuhkan orang sakit, meminta rizki, maka ini adalah perkara yang khusus bagi Allah saja.

(Hal ini telah disebutkan oleh An-Nawawi dan Al-Haitami)

4.   وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ
وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ
Ketahuilah, meskipun seluruh umat berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah. Dan jika mereka berkumpul untuk memudharatkanmu dengan sesuatu, maka mereka tidak dapat memudharatkanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tentukan

Maksudnya adalah beriman kepada takdir yang telah Allah tulis terhadap manusia, baik maupun jeleknya.

5.  رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ
Pena-pena telah diangkat dan lembar-lembar telah kering

(HR. At-Tirmidzi, dan beliau berkata hadits ini hasan shahih).

Maksudnya, tawakkal kepada Allah disertai dengan mengambil sebab, karena Rasulullah bersabda kepada pemilik unta, “Ikatlah untamu kemudian bertawakkallah”. (Hadits hasan, riwayat At-Tirmidzi).

Pada riwayat selain At-Tirmidzi:

6.Kenalilah Allah di masa lapang, maka Allah akan mengenalmu di masa sulit”.

Tunaikanlah hak-hak Allah dan hak-hak manusia di kala lapang, maka Allah akan menyelamatkanmu di waktu kesempitan.

7.Ketahuilah bahwa apa yang (ditakdirkan) luput darimu tidak akan menimpamu dan apa yang (ditakdirkan) menimpamu tidak akan luput darimu

Jika Allah menahan sesuatu darimu, maka tidak akan sampai padamu. Dan apabila Allah memberimu sesuatu, maka tidak akan ada yang bisa menahannya.

8. Ketahuilah bahwa pertolongan menyertai kesabaran

Pertolongan untuk menghadapi musuh dan terhadap diri sendiri itu sesuai dengan kesabaran.

9.Sesungguhnya ada kelapangan bersama kesusahan

Kesusahan yang menimpa seorang yang beriman akan disusul oleh kelapangan setelahnya.

10.Dan sesungguhnya bersama dengan kesulitan itu ada kemudahan

(Dihasankan oleh pentahqiq Kitab Jami’ul Ushul dengan penguat-penguat hadits tersebut).

Kesukaran yang dirasakan oleh seorang muslim, maka akan datang setelahnya satu atau dua kemudahan.

فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا . إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرً۬ا

"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan." (QS. Al Insyirah [94]: 5-6)

Faedah Hadits

1. Cintanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada anak-anak. Beliau memboncengkan Ibnu Abbas di belakang beliau. Beliau juga memanggil Ibnu Abbas dengan ucapan, “Wahai anak” agar Ibnu Abbas memperhatikan apa yang beliau ucapkan.

2. Memerintahkan anak-anak untuk taat kepada Allah dan menjauh dari maksiat kepada-Nya serta membawa kebahagiaan kepada mereka di dunia dan akhirat.

3. Allah akan memenangkan orang yang beriman di saat sempit jika mereka menunaikan hak Allah dan manusia di masa lapang, sehat dan kaya.

4. Menanamkan kepada jiwa anak-anak aqidah tauhid dengan meminta dan beristi’anah (meminta bantuan-pent) kepada Allah ta’ala semata. Ini merupakan kewajiban orang tua dan pendidik.

5. Menanamkan kepada anak aqidah iman kepada taqdir, yang baik maupun yang jelek dan ini merupakan rukun iman.

6. Mendidik anak agar optimis dalam menghadapi hidup mereka dengan keberanian dan penuh harapan supaya mereka menjadi sosok-sosok yang bermanfaat bagi umat.

“Ketahuilah bahwa pertolongan menyertai kesabaran, sesungguhnya ada kelapangan bersama kesusahan dan sesungguhnya bersama dengan kesulitan itu ada kemudahan”

(Dinukil untuk http://ulamasunnah.wordpress.com dari buku Bagaimana Mendidik Putra-Putri Kita karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, penerjemah: Abu Umar Al Bankawy, muroja’ah: Al Ustadz Ali Basuki, Lc)

******
.
Artikel Terkait:

 Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

22 Januari 2011

FILE 204 : Khutbah Jum'at dengan Selain Bahasa Arab

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
……

Hukum Khutbah Jum'at

dengan Selain Bahasa Arab

Disusun oleh: 
Muhammad Nur Ichwan Muslim
.
Kami memaparkan tema ini karena terdorong untuk mengetahui bagaimana pendapat para ulama terkait hukum khutbah Jum’at dengan menggunakan bahasa ‘ajam (non Arab). Faktor yang mendorong kami untuk melakukannya adalah sebuah diskusi ringan antara kami dengan seorang rekan kerja yang mengaku mengaji di Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), -hadaniyallahu wa iyyahu-.

Alhamdulillah, jawaban akan hal tersebut kami jumpai dalam kitab Syaikh Su’ud Asy Syuraim (imam dan khatib Masjid al-Haram) hafizhahullah, yang berjudul Asy Syamil fii Fiqh al Kitab wa al Khutbah. Artikel ini merupakan saduran dari subbab dalam kitab tersebut yang berjudul Al Khutbah bighairi al ‘Arabiyah au Tarjamatiha lighairi al ‘Arabiyah. Berikut ini kami menyajikannya ke hadapan anda. Semoga bermanfaat bagi kami dan kaum muslimin seluruhnya.

Hukum Khutbah Jum’at dengan Selain Bahasa Arab

Tidak terdapat riwayat dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan mempersyaratkan khutbah Jum”at harus disampaikan dengan bahasa Arab sebagaimana tidak terdapat riwayat yang menunjukkan nabi atau salah seorang sahabat menyampaikan khutbah Jum’at dengan bahasa selain bahasa Arab padahal orang-orang Islam yang ‘ajam (non Arab) ada dan tersebar di negeri kaum muslimin setelah terjadi ekspansi yang dilakukan kaum muslimin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan generasi setelahnya hanya berkhutbah dengan bahasa Arab karena itulah bahasa nasional mereka.

Ulama saling berbeda pendapat dalam membolehkan berkhutbah dengan selain bahasa Arab atau terjemahannya.

Al Qadhi Al Baghdadi al Maliki rahimahullah mengatakan, “Ibnu Al Qasim mengatakan, “Tidak sah –di dalam khutbah-, kecuali harus disampaikan dengan bahasa Arab.”[1]

Abu Al Husain Al ‘Imrani Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Ketika menyampaikan khutbah dipersyaratkan menggunakan bahasa Arab, karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafa' Ar Rasyidin sesudahnya berkhutbah dengan menggunakan bahasa Arab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melaksanakan shalat.” Apabila di tengah-tengah suatu kaum tidak dijumpai seorang pun yang menguasai bahasa Arab, maka memungkinkan untuk menyampaikan khutbah dengan bahasa selain Arab. Salah seorang dari mereka wajib untuk mempelajari khutbah dengan berbahasa Arab sebagaimana pendapat yang telah kami kemukakan dalam pembahasan Takbiratul Ihram.”[2]

An Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat yang mempersyaratkan penggunaan bahasa Arab dalam berkhutbah sebagaimana hal itu diwajibkan dalam tasyahud dan takbiratul ihram berdasarkan sabda nabi “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melaksanakan shalat”. Demikian pula nabi hanya berkhutbah dengan bahasa Arab. Hal ini merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Asy Syafi’i.[3]

Al Marwadi Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Tidak sah khutbah Jum’at dengan bahasa selain Arab apabila mampu melakukannya berdasarkan pendapat yang shahih dalam madzhab (Hambali). Ada pendapat yang menyatakan hal tersebut diperbolehkan (sah) apabila tidak memiliki kemampuan berbahasa Arab.”[4]

Syaikh Abdullah bin Baz rahimahullah memberikan kesimpulan mengenai permasalahan ini, “Pendapat yang tepat, -wal ‘ilmu ‘indallah-, dalam merinci permasalahan ini. Apabila mayoritas jama’ah masjid merupakan non Arab yang tidak memahami bahasa Arab, maka tidak mengapa menyampaikan khutbah dengan selain bahasa Arab atau disampaikan dengan bahasa Arab kemudian diterjemahkan.

Apabila mayoritas jama’ah yang hadir di masjid adalah mereka yang mampu memahami bahasa Arab dan mengetahui maknanya, maka yang lebih utama adalah tetap menyampaikan khutbah dengan bahasa Arab dan tidak menyelisihi petunjuk nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terlebih para salaf berkhutbah di berbagai masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang non-Arab, tidak terdapat riwayat yang menyatakan bahwa mereka menerjemahkan khutbah yang mereka sampaikan dengan bahasa Arab, karena kemuliaan itu untuk Islam dan kepemimpinan untuk bahasa Arab.

Dalil yang menunjukkan diperbolehkan menyampaikan khutbah Jum’at dengan selain bahasa Arab ketika dibutuhkan adalah karena hal tersebut merupakan ketentuan pokok dalam syari’at kita yaitu firman Allah ta’ala,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (٤

“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (QS. Ibrahim [14]: 4).

Diantara dalil akan hal tersebut adalah realita para sahabat tatkala memerangi negeri ajam seperti Persia dan Romawi, mereka tidak memerangi kaum tersebut setelah mengajak mereka kepada Islam dengan perantaraan para penerjemah.[5]

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Apabila dia berkhutbah di negeri Arab, maka dia harus menyampaikannya dengan bahasa Arab.

Apabila dia berkhutbah di luar negeri Arab, maka sebagian ulama mengatakan bahwa sang khatib harus menyampaikannya dengan bahasa Arab barulah kemudian berkhutbah dengan menggunakan bahasa kaum setempat.

Sebagian ulama mengatakan (dalam kondisi tersebut) tidak dipersyaratkan khutbah disampaikan dengan bahasa Arab bahkan wajib menyampaikannya dengan bahasa kaum setempat. Inilah pendapat yang tepat berdasarkan firman Allah ta’ala,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (٤

“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (QS. Ibrahim [14]: 4).

Tidak mungkin menarik perhatian manusia untuk memperhatikan sebuah nasehat sedangkan mereka tidak memahami apa yang dikatakan oleh sang khatib? Dua khutbah yang terdapat dalam khutbah Jum’at, lafadznya tidaklah termasuk lafadz-lafadz yang digunakan sebagai media ibadah (seperti layaknya Al Quran), sehingga kita mengharuskan khutbah tersebut harus diucapkan dengan bahasa Arab. Akan tetapi, apabila melewati suatu ayat Al Quran, maka harus mengucapkannya dengan bahasa Arab, karena Al Quran tidak boleh dirubah dari bahasa Arab.”[6]

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa:
  1. Ulama saling berselisih pendapat dalam membolehkan seorang untuk berkhutbah Jum’at dengan menggunakan bahasa ‘ajam (non Arab).
  2. Berdasarkan penjelasan para ulama, pendapat yang tepat adalah penyampaian khutbah Jum’at diperinci sebagai berikut:
    • Apabila mayoritas jama’ah yang menghadiri khutbah mampu berbahasa Arab dan memahami maknanya, maka sang khotib selayaknya mengikuti tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyampaikan menggunakan bahasa Arab.
    • Apabila mayoritas jama’ah tidak memahami bahasa Arab, maka sebagian ulama berpendapat sang khotib tetap harus menyampaikan khutbah dengan bahasa Arab, kemudian baru menerjemahkannya dan sebagian yang lain mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah wajib dan khotib boleh atau bahkan wajib –berdasarkan keterangan Syaikh Al ‘Utsaimin- menyampaikan khutbah dengan bahasa kaum setempat berdasarkan firman Allah ta’ala di dalam Al-Qur'an surat Ibrahim ayat 4.
Waffaqaniyallahu wa iyyakum.
Buaran Indah, Tangerang, 25 Jumadi Ats Tsaniyah 1431 H.

Footnote:
[1] Al Ma’unah 1/306.
[2] Al Bayan 2/573
[3] Al Majmu’ 4/391
[4] Al Inshaf 5/219
[5] Fatawa Asy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz 12/372
[6] Asy Syarh al Mumti’ 5/78

******
.
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

15 Januari 2011

FILE 203 : Memperlama Sujud Terakhir

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
……

Adakah Anjuran Memperlama Sujud Terakhir 

untuk Berdo'a ?

Disusun oleh: 
Muhammad Abduh Tuasikal
.
Segala puji bagi Allah, pemberi segala nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Kita ketahui bersama bahwa do’a ketika sujud adalah waktu terbaik untuk berdo’a. Seperti disebutkan dalam hadits,

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

Yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah do’a ketika itu.” (HR. Muslim no. 482, dari Abu Hurairah)

Namun seringkali kita lihat di lapangan, sebagian orang malah seringnya memperlama sujud terakhir ketika shalat, tujuannya adalah agar memperbanyak do’a ketika itu. Apakah benar bahwa saat sujud terakhir mesti demikian? Semoga sajian singkat ini bermanfaat.

*****

Al Baro’ bin ‘Azib mengatakan,


كَانَ رُكُوعُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَسُجُودُهُ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ وَبَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ قَرِيبًا مِنَ السَّوَاءِ

Ruku’, sujud, bangkit dari ruku’ (i’tidal), dan duduk antara dua sujud yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya hampir sama (lama dan thuma’ninahnya).” (HR. Bukhari no. 801 dan Muslim no. 471)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya,

“Apakah diperkenankan memperpanjang sujud terakhir dari rukun shalat lainnya, di dalamnya seseorang memperbanyak do’a dan istighfar? Apakah shalat menjadi cacat jika seseorang memperlama sujud terakhir?”

Beliau rahimahullah menjawab,

“Memperpanjang sujud terakhir ketika shalat bukanlah termasuk sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena yang disunnahkan  adalah seseorang melakukan shalat antara ruku’, bangkit dari ruku’ (i’tidal), sujud dan duduk antara dua sujud itu hampir sama lamanya.

Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits Baro’ bin ‘Azib, ia berkata, “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendapati bahwa berdiri, ruku’, sujud, duduk beliau sebelum salam dan berpaling, semuanya hampir sama (lamanya). ”

Inilah yang afdhol. Akan tetapi ada tempat do’a selain sujud yaitu setelah tasyahud (sebelum salam). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan ‘Abdullah bin Mas’ud tasyahud, beliau bersabda, “Kemudian setelah tasyahud, terserah padamu berdo’a dengan doa apa saja”. Maka berdo’alah ketika itu sedikit atau pun lama setelah tasyahud akhir sebelum salam. (Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, kaset no. 376, side B)

Dalam Fatawa Al Islamiyah (1/258), Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui adanya dalil yang menyebutkan untuk memperlama sujud terakhir dalam shalat. Yang disebutkan dalam berbagai hadits, rukun shalat atau keadaan lainnya itu hampir sama lamanya.”

Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin rahimahullah juga menjelaskan, “Aku tidak mengetahui adanya dalil yang menganjurkan untuk memperlama sujud terakhir dalam shalat. Akan tetapi, memang sebagian imam melakukan seperti ini sebagai isyarat pada makmum bahwa ketika itu adalah raka’at terakhir atau ketika itu adalah amalan terkahir dalam shalat. Karenanya, mereka pun memperpanjang sujud ketika itu. Dari sinilah, mereka maksudkan agar para jama’ah tahu bahwa setelah itu adalah duduk terakhir yaitu duduk tasyahud akhir. Namun alasan semacam ini tidaklah menjadi sebab dianjurkan memperpanjang sujud terakhir ketika itu.” (Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, Ahkam Qoth’ush Sholah, Fatawa no. 2046 dari website beliau)

Dari penjelasan singkat ini, nampaklah bahwa tidak ada anjuran untuk memperlama sujud terakhir ketika shalat agar bisa memperbanyak do’a ketika itu. Yang tepat, hendaklah gerakan rukun yang ada sama atau hampir sama lamanya dan thuma’ninahnya. Silakan membaca do’a ketika sujud terakhir, namun hendaknya lamanya hampir sama dengan sujud sebelumnya atau sama dengan rukun lainnya. Apalagi jika imam sudah selesai dari sujud terakhir dan sedang tasyahud, maka selaku makmum hendaklah mengikuti imam ketika itu. Karena imam tentu saja diangkat untuk diikuti. Nabi shallallahu ‘alaihi  wa sallam bersabda,


إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ

Imam itu diangkat untuk diikuti, maka janganlah diselisihi.” (HR. Bukhari no. 722, dari Abu Hurairah)

Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi: Website Syaikh Sholih Al Munajid – Al Islam Sual wa Jawab (http://islamqa.com/ar/ref/111889/ )

******
Sumber: muslim.or.id

.
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

08 Januari 2011

FILE 202 : Mu'amalah Sukses dengan Akhlaq Mulia

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…… 



Kunci Sukses Bermuamalah
Oleh: Ust. Abu Ihsan
.

Dalam hidup ini, setiap insan pasti berhubungan dengan orang lain. Ia hidup dikelilingi tetangga kanan dan kiri, muka dan belakangnya, dengan berbagai macam corak ragam, tingkah laku dan latar belakangnya. Ada yang muslim, dan barangkali ada pula yang non muslim. Ada yang multazim, dan ada pula yang fasik. Ada yang terpelajar dan ada yang awam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kepada kita pentingnya menjaga hak-hak tetangga ini. Tetangga memiliki kedudukan yang agung dalam kehidupan beliau. Beliau bersabda:

مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِي بِالجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

Malaikat Jibril senantiasa mewasiatkan agar aku berbuat baik kepada tetangga, sehingga aku mengira ia (Jibril) akan memberikan hak waris (bagi mereka)”. [Muttafaqun 'alaihi].

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu :

يَا أَبَا ذَرٍّ, إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاؤُهَا وَ تَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ

Wahai, Abu Dzar. Jika engkau memasak makanan, perbanyaklah kuahnya, janganlah engkau lupa membagikannya kepada tetanggamu” [HR Muslim]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan dari bahaya mengganggu tetangga.

لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

Tidak akan masuk surga, seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya” [HR Muslim]

Dengan akhlak seperti ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berhasil menguasai hati, perasaan dan pikiran manusia. Sehingga, dalam bermu’amalah kepada manusia, kita harus mengedepankan akhlak yang terpuji.

Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadaku :


اتَّقِ اللهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.

Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, dan iringilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik, niscaya akan menghapusnya, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang mulia” [HR at Tirmidzi, dan ia berkata,"Hadits hasan shahih". Juga dishahihkan oleh al Albani di dalam kitab Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 2516]

Demikian pula dalam bermu’amalah dengan manusia, seharusnya bersikap santun, memilih kata-kata yang dapat menyejukkan hati. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi Musa dan Harun Alaihissalam untuk berkata lemah-lembut kepada orang yang paling keras kekafirannya, yaitu Fir’aun :

Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” [Thaha (20):44].

Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadaku :

لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِيْقٍ

Janganlah engkau menganggap remeh suatu kebaikan, walaupun sekedar bermanis muka ketika engkau bertemu dengan saudaramu” [Diriwayatkan oleh Muslim]

Diriwayatkan dari ‘Adiy bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Jagalah dirimu dari neraka, meskipun dengan memberikan sebutir kurma. Jika kamu tidak mendapatinya, maka dengan mengucapkan kata-kata yang baik” [Muttafaq ‘alaihi]

Begitu pula, seharusnya menghindari sikap keras dalam bermu’amalah dan kata-kata yang kasar dalam berbicara. Allah Subhanhu wa Ta’ala berfirman, yang artinya :

Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” [Ali Imran (3): 159]

Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ لاَ يَرْحَمِ النَّاسَ لاَ يَرْحَمْهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
Barangsiapa yang tidak menyayangi sesama manusia, maka Allah Azza wa Jalla pun tidak akan menyayanginya” [Muttafaqun 'alaihi]

Secara tabiat, manusia tidak suka dikasari. Sulaiman bin Mihran berkata, “Tidaklah engkau membuat marah seseorang, lalu ia mau mendengarkan kata-katamu.”

Oleh karena itu, sikap kasar dan berlagak dalam berbicara merupakan perkara yang dibenci oleh Nabi. Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا. وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ: قَالَ: الْمُتَكَبِّرُونَ

“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku pada hari kiamat kelak, yaitu orang yang terbaik akhlaknya. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh kedudukannya dariku pada hari kiamat kelak, yaitu tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun”. Sahabat bertanya : “Ya, Rasulullah. Kami sudah mengetahui arti tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa arti mutafaihiqun?” Beliau menjawab,”Orang yang sombong.” [HR at Tirmidzi, ia berkata: "Hadits ini hasan". Hadits ini dishahihkan oleh al Albani dalam kitab Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 2018]

الثَّرْثَارُونَ (tsartsarun), banyak omong dengan pembicaraan yang menyimpang dari kebenaran.

الْمُتَشَدِّقُونَ (mutasyaddiqun), kata-kata yang meremehkan orang lain dan berbicara dengan suara lagak untuk menunjukkan kefasihannya dan bangga dengan perkataannya sendiri.

الْمُتَفَيْهِقُونَ (mutafaihiqun), berasal dari kata al fahq, yang berarti penuh. Maksudnya, seseorang yang berbicara keras panjang lebar, disertai dengan perasaan sombong dan pongah, serta menggunakan kata-kata asing untuk menunjukkan, seolah dirinya lebih hebat dari yang lainnya.

At Tirmidzi juga meriwayatkan dari ‘Abdullah bin al Mubarak rahimahullah mengenai maksud akhlak yang mulia. Ia berkata,”Yaitu bersikap ramah, memberikan kebaikan kepada orang lain, serta tidak mengganggunya.”

Apalagi menghadapi kebanyakan orang, kita harus banyak bersabar. Jika menolak terhadap perbuatan mereka yang kasar, lakukanlah dengan cara yang terbaik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya :

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan, melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan, melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar” [Fushshilat (41) : 34-35].

Hal seperti ini telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam sebuah kisah disebutkan, dari Mu’awiyah bin al Hakam as Sulami , ia berkata :

Ketika aku mengerjakan shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seseorang yang bersin. Aku (pun) berkata : “Yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu).”

Orang-orang memandang ke arahku. Aku berkata: “Malangnya ibuku! Mengapa kalian memandangku seperti itu?” Merekapun menepukkan tangan ke paha. Setelah mengerti, bahwa mereka menyuruhku diam, maka akupun diam.

Setelah Rasulullah menyelesaikan shalat, maka demi Allah, tidak pernah aku melihat seorang pendidik sebelum maupun sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah, beliau tidak membentakku, tidak memukulku dan tidak mencelaku.

Beliau hanya berkata:

إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

“Sesungguhnya ibadah shalat tidak boleh dicampuri percakapan manusia. Ibadah shalat hanya boleh diisi dengan ucapan tasbih, takbir dan bacaan al Qur`an”.

(Atau sebagaimana yang dikatakan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Aku berkata,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku baru saja masuk Islam. Allah telah menurunkan dinul Islam kepada kami. Sesungguhnya di antara kami masih ada yang mendatangi dukun.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali: “Jangan datangi dukun!”

“Di antara kami masih ada yang suka ber-tathayyur,” lanjutku.

[Tathayyur adalah anggapan sial karena melihat atau mendengar sesuatu. Misalnya, melihat burung tertentu atau mendengar suara binatang tertentu, kemudian beranggapan akan terjadi suatu musibah (Pen)]

Rasulullah menjawab,”Itu hanyalah sesuatu yang terlintas dalam hati, maka jangan sampai mereka menangguhkan niat karenanya.”

Kemudian aku lanjutkan: “Sesungguhnya di antara kami masih ada yang mempraktekkan ilmu ramal”.

Rasulullah menjawab,”Dahulu ada nabi yang menggunakan ilmu ramal. Apabila yang terjadi sesuai dengan ramalannya, maka itu hanyalah kebetulan saja.”

Mu’awiyah bin al Hakam as Sulami melanjutkan ceritanya :

“Aku memiliki beberapa ekor kambing yang digembalakan oleh salah seorang budak wanitaku di antara gunung Uhud dan bukit Jawwaniyah. Pada suatu hari, aku datang memeriksa kambing-kambingku. Ternyata seekor serigala telah membawa lari seekor kambingku. Sebagaimana lumrahnya seorang manusia, akupun marah lalu kutampar budak wanita itu. Lalu aku datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengadukan peristiwa tersebut. Beliau menganggap perbuatanku itu sangat keterlaluan.

Maka kukatakan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai, Rasulullah. Tidakkah lebih baik jika kubebaskan saja budak wanita itu?”

Rasulullah menjawab,”Panggilah ia kemari!” Akupun memanggil budak wanita itu. Rasulullah bertanya kepadanya :

أَيْنَ اللهُ ؟

“Dimana Allah?”

“Di langit,” jawabnya.

“Siapakah aku?” tanya Rasulullah lagi.

“Engkau adalah utusan Allah,” jawabnya. Maka Rasulullah pun berkata:


أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

“Merdekakan ia, karena ia seorang wanita mukminah”. [HR Muslim]

Coba lihat, bagaimana terjadi dialog yang panjang antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Mu’awiyah bin al Hakam, yang waktu itu ia baru saja memeluk Islam. Dengan sikap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang santun, Mu’awiyah tergerak untuk berdialog dengan beliau. Ia mendengarkan kata-kata beliau dan mengadukan masalah-masalah yang ia hadapi kepada beliau.
 
Coba lihat penuturannya:

“Demi Allah. Tidak pernah aku melihat seorang mu’allim (pendidik) sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah, beliau tidak membentakku, tidak memukulku dan tidak mencelaku. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berkata:

 ‘Sesungguhnya ibadah shalat tidak boleh dicampuri percakapan manusia. Ibadah shalat hanya boleh diisi dengan ucapan tasbih, takbir dan bacaan al Qur`an.”

‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha menuturkan, setiap kali disampaikan kepada beliau sesuatu yang kurang berkenan dari seeorang, beliau tidak berkata “apa diinginkan ‘fulan’ (menyebut nama) berkata demikian”, namun beliau mengatakan “apa yang diinginkan ‘mereka’ berkata demikian”. [HR Tirmidzi].

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu menceritakan, pernah, suatu kali seorang lelaki datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bekas celupan berwarna kuning pada pakaiannya (bekas za’faran). Biasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat jarang menegur sesuatu yang dibencinya pada seseorang di hadapannya langsung. Setelah lelaki itu pergi, beliau pun berkata:
Alangkah elok bila engkau suruh lelaki itu supaya menghilangkan bekas za’faran dari bajunya”. [HR Abu Dawud dan Ahmad].

‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ حُرِّمَ عَلَى النَّارِ أَوْ تُحْرَمُ عَلَيْهِ النَّارُ ؟ تُحْرَمُ عَلَى كُلِّ قَرِيْبٍ هَيِّنٍ لَيِّنٍ سَهْلٍ

Inginkah aku kabarkan kepadamu orang yang diselamatkan dari api neraka, atau dijauhkan api neraka darinya? Yaitu setiap orang yang ramah, lemah-lembut dan murah hati”. [HR Tirmidzi]

‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata (yang artinya):

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah seorang yang keji, dan (ia) tidak suka berkata keji. Beliau bukan seorang yang suka berteriak-teriak di pasar dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan sebaliknya, beliau suka memaafkan dan merelakan” [HR Ahmad].

Demikianlah akhlak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selaku Nabi dengan penuh kasih sayang selalu memberi petunjuk dan memberi nasihat. Semoga shalawat dan salam tercurah atas beliau.

“Al Husain, menuturkan keluhuran budi pekerti beliau. Ia berkata : Aku bertanya kepada ayahku tentang adab dan etika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau.
Ayahku mengatakan,  

beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa tersenyum, berbudi pekerti luhur lagi rendah hati.

Beliau bukan seorang yang kasar, tidak suka berteriak-teriak, bukan tukang mencela, tidak suka mencela makanan yang tidak disukainya.

Siapa saja yang mengharapkannya, pasti tidak akan kecewa. Dan siapa saja yang memenuhi undangannya, pasti akan senantiasa puas.

Beliau meninggalkan tiga perkara, (yaitu) riya, berbangga-bangga diri, dan dari yang tidak bermanfaat.

Dan beliau menghindarkan diri dari manusia karena tiga perkara, (yaitu): beliau tidak suka mencela atau memaki orang lain, beliau tidak suka mencari-cari aib orang lain, dan beliau hanya berbicara untuk suatu maslahat yang bernilai pahala.

Jika berbicara, pembicaraan beliau membuat teman-teman duduknya tertegun, seakan-akan kepala mereka dihinggapi burung (karena khusyuknya). Jika beliau diam, barulah mereka berbicara. Mereka tidak pernah membantah sabda beliau. 

Bila ada yang berbicara di hadapan beliau, mereka diam memperhatikannya sampai ia selesai bicara. Pembicaraan mereka di sisi beliau hanyalah pembicaraan yang bermanfaat saja.

Beliau tertawa bila mereka tertawa. Beliau takjub bila mereka takjub, dan beliau bersabar menghadapi orang asing yang kasar ketika berbicara atau ketika bertanya sesuatu kepada beliau, sehingga para sahabat selalu mengharapkan kedatangan orang asing seperti itu, guna mengambil manfaat.

Beliau bersabda,”Bila engkau melihat seseorang yang sedang mencari kebutuhannya, maka bantulah dia.”

Beliau tidak mau menerima pujian orang kecuali menurut yang selayaknya. Beliau juga tidak mau memutuskan pembicaraan seseorang, kecuali orang itu melanggar batas. Beliau segera menghentikan pembicaraan tersebut dengan melarangnya, atau berdiri meninggalkan majelis” [HR at Timidzi].

Tak hilang dari ingatan kita, yaitu kisah seorang Arab Badui yang buang air kecil di dalam masjid, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Sesungguhnya masjid ini bukan untuk kencing atau membuang kotoran lainnya. Sesungguhnya masjid ini untuk dzikrullah dan bacaan al Qur`an.”

Rasulullah berkata kepada para sahabat : “Biarkanlah dia, dan siramlah kencingnya dengan seember air. Atau segayung air. Sesungguhnya aku diutus untuk memudahkan, bukan untuk menyusahkan”.

Saking gembiranya orang Arab Badui itu, sehingga ia berdoa: “Ya Allah ampunilah aku dan Muhammad, dan jangan ampuni selain kami berdua.”

Sikap-sikap seperti ini yang diterapkan dalam bermu’amalah di antara sesama manusia. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencontohkannya kepada kita. Demikian pula para ulama, mereka adalah pewaris Nabi. Mereka juga telah mencontohkan sikap-sikap seperti ini dalam bermu’amalah kepada manusia. Tidak bersikap mentang-mentang dan semau gue.

Sebagai misal, coba lihatlah akhlak yang dicontohkan Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin dalam bermu’amalah kepada orang lain. Beliau rahimahullah mempunyai sifat ulama rabbani yang rendah hati, juga rajin membantu keluarga. Sebagaimana dikisahkan oleh Abdul Karim bin Shalih al Muqrin dalam kitab 14 ‘Aaman Ma’a Samahatul ‘Allamah Muhammad bin Shalih bin ‘Utsaimin.

Pada suatu hari, saat kami sedang merekam program Nurun ‘Ala Darb pada waktu dhuha. Tiba-tiba pintu diketuk seorang tukang pipa yang sudah berjanji dengan syaikh untuk memperbaiki pipa air. Maka beliau memberikan isyarat kepadaku agar menghentikan rekaman. Lalu beliau mempersilakan tukang pipa tersebut masuk. Kemudian beliau mendatangiku sambil tersenyum dan berkata: “Maaf  ya Abu Khalid, kami memotong waktu Anda setengah jam untuk menperbaiki pipa air yang ada di halaman.”

Kukatakan: “Tidak mengapa ya Syaikh,” kemudian tukang pipa itu memulai pekerjaannya memperbaiki pipa, dan syaikh membantunya untuk memegang beberapa perkakas tukang pipa tersebut hingga ia selesai memperbaikinya.

Untuk memanfaatkan waktu senggang tersebut aku membaca kembali soal-soal yang akan ditanyakan kepada Syaikh. Setelah tukang pipa itu selesai memperbaiki pipa air, ia pun keluar. Lalu Syaikh mendatangiku dengan tersenyum.

Kisah yang lain yaitu, ketika rekaman sedang berlangsung lebih kurang jam sepuluh pagi, tiba-tiba ada dua orang yang mengetuk pintu, lalu Syaikh membukakan pintu dan memberikan salam. Beliau melihat, bahwa orang ini nampaknya datang dari jauh, kemudian beliau mempersilahkan untuk masuk dan mengabarkan kepada mereka, bahwa beliau sedang merekam untuk acara radio. Kemudian beliau menanyakan keperluan mereka.

Salah seorang mereka berkata: “Kami datang dari salah satu kota di negara ini yang akan menanyakan tentang masalah perceraian”. Karena salah seorang mereka telah menceraikan istrinya dan ingin rujuk. Mereka juga membawa surat pengantar dari perwakilan dakwah yang ada di kota mereka yang ditujukan kepada Syaikh, dan di dalamnya terdapat keterangan yang rinci tentang duduk permasalahannya.

Setelah beliau menanyakan beberapa permasalahan tentang perceraian tersebut, beliau menuliskan jawaban permasalahan ini kepada kantor dakwah dan irsyad yang ada di kota mereka. Orang tersebut kelihatannya mempunyai beberapa kekurangan dalam melaksanakan syari’at. Ia memakai baju yang melebihi mata kaki, dan hal lain yang menyalahi syar’i. Adapun temannya, kelihatannya seorang yang taat.

Satu jam lamanya syaikh melayani keperluan orang ini. Setelah beliau selesai memberikan fatwa kepada orang ini, Syaikh mengingatkannya agar memperbaiki pakaiannya, dan memberi nasihat agar mereka berusaha melakukan amalan-amalan kebaikan, serta menghindari hal-hal yang dilarang syar’i. Kemudian syaikh pergi ke dalam untuk menghidangkan teh, kopi dan kurma. Kami duduk bersama beliau sambil menikmati teh dan kopi tersebut.

Di tengah pembicaraan kami, orang yang mempunyai permasalahan tersebut berkata: “Ya Fadhilatusy- Syaikh. Aku banyak mempunyai kekurangan dalam menjalankan syari’at. Namun setelah Anda menasihatiku, melepaskan dari kesulitan yang menimpaku, dan setelah aku rujuk kepada istriku, aku berjanji kepada Allah kemudian kepadamu, untuk istiqamah dan melakukan amal kebaikan serta mentaati Rabb-ku.”

Mendengar hal itu, Syaikh merasa gembira dan wajahnya berbinar-binar. Kemudian kedua orang itu pamit dan mencium kening Syaikh serta berdoa untuk beliau. Kemudian, sekitar pukul setengah dua belas kami meneruskan rekaman. Kisah ini masih segar di ingatanku. Syaikh berkata: “Tahukah engkau, ya Abdul Karim betapa banyak pahala yang kita peroleh jika orang itu bertaubat, melaksanakan kebaikan dan melakukan amal shalih,” lalu beliau tersenyum dan memuji Allah, kemudian kami meneruskan rekaman.

Juga terdapat kisah lainnya.

Kami bertugas di bagian perekaman. Ketika kami merekam beberapa pertemuan untuk program siaran Nurun ‘Ala Darb, pada saat yang sama terdengar suara pekerja bangunan yang sedang bekerja di dekat rumah beliau, yaitu tetangga beliau. Kelihatannya ia sedang membetulkan sesuatu pada mesin, dan suara tersebut masuk ke dalam rekaman. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berdiri mendatangi mereka, meminta agar mereka menghentikan pekerjaan tersebut. Ketika sampai di pintu ruangan, beliau kembali dan bertanya: “Wahai Abdul Karim, siapa yang mulai terlebih dahulu?”

“Mereka, ya Syaikh,” jawabku.

Karena kewara’an dan kekhawatirannya, beliau membiarkan mereka bekerja, beliau berkata: “Kalau begitu, kita tunda dulu rekaman ini sampai mereka menyelesaikan pekerjaan tersebut”.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau dengan rahmat yang luas.” [Selesai]

Walau bagaimanapun keadaan saudara-saudara kita sesama muslim yang awam itu, mereka ibarat tambang emas dan perak. Jikalau Allah membuka hati mereka untuk menerima kebenaran, maka akan menjadi asset yang berguna bagi Islam. Bahkan kadang kala, mereka rela berkorban demi membela agama ini.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

النَّاسُ مَعَادِنُ كَمَعَادِنِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي اْلإِسْلاَمِ إِذَا فَقُهُوا وَالْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ

Manusia ibarat barang tambang berharga seperti tambang emas dan perak. Orang yang mulia pada masa jahiliyah, akan menjadi orang yang mulia juga dalam Islam apabila ia berilmu. Ruh ibarat pasukan yang dikumpulkan, ia akan bersatu jika serasi dan akan berselisih jika tidak serasi” [HR Muslim].

Setiap orang pasti mempunyai kekurangan dan kelebihan. Tidak ada manusia yang sempurna. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan, semua anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang cepat-cepat bertaubat. Ini merupakan asas yang paling agung. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meletakkan asas tersebut dalam bermu’amalah terhadap manusia.

Jika kita membangun hubungan mu’amalah kita dan sikap kita terhadap manusia atas dasar akhlak-akhlak yang terpuji, niscaya kita melihat sambutan yang hangat dari mereka. Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Tidak beriman salah seorang dari kamu, hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. [Muttafaqun 'alaihi]

Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa ash-habihi wa sallam.

Maraji’:

1. Al Qur`anul-Karim.

2. 14 ‘Aaman Ma’a Samahatul-Allamah Muhammad bin Shalih bin ‘Utsaimin, Penyusun: Abdul Karim bin Shalih al Muqrin.

3. Ad-Durruts-Tsamin min Riyadhish-Shalihin, Abdul ‘Aziz Sa’ad al ‘Utaibi.

4. Mausu’ah Adab Islami, ‘Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nidaa.

5. Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhush-Shalihin, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali.

6. Tafsir al Qur`anul-’Azhim, Ibnu Katsir.

7. Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari, Ibnu Hajar al Asqalani.

8. Tuhfatul Ahwadzi Syarah Jami’ at-Tirmidzi, al Mubarakfuri.

9. Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi.

10. Shahih Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albani.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
*****
.
Sumber : abuihsan.com
.
Baca Juga:

Subhanakallohumma wa bihamdihi, 
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

01 Januari 2011

FILE 201 : Life is A Style ?

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Life is A Style ?

Oleh: Ust. DR. Muhammad Arifin bin Baderi, M.A.

.

Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senan­tiasa dilim­pahkan kepada Nabi Muham­mad, keluarga dan shahabat­nya. Amiin.

Saudaraku, Anda per­nah men­dengar motto: “Life is a style? Atau mung­kin Anda ter­masuk yang ter­ins­pirasi oleh motto ini? Kalau Anda adalah orang Jawa, saya yakin Anda diajari motto: “ajining rogo soko busono” (harga diri ter­cer­min dari pakaian).”

Saudaraku! Coba Anda bayangkan, apa per­asaan Anda ketika sedang ber­penam­pilan per­lente, semer­bak wangi, pakaian, sepatu, jam tangan, tas dan lain seba­gainya serba ber­merek, dengan harga selangit.

Bahkan, tidak jarang dari saudara kita yang ber­ang­gapan bahwa agar penam­pilan­nya lebih sem­purna, ia masih perlu untuk menyisipkan sebatang rokok putih di bibirnya.

Kereen, waah, dan penuh per­caya diri. Kira-kira begitulah per­asaan yang ber­gemuruh dalam jiwa Anda kala itu. Bukankan demikian saudaraku?

Sebalik­nya: Bayangkan Anda sedang ber­penam­pilan gem­bel, baju compang-camping, san­dal jepit, ber­jalan di salah satu pusat belanja ter­sohor di kota Anda. Bagaimana per­asaan Anda saat itu? Mung­kin­kah saat itu Anda bisa tam­pil dengan per­caya diri dan tetap menegakkan kepala, apalagi mem­busungkan dada?

Saudaraku! Anda per­nah ber­kun­jung ke Cibaduyut-Bandung? Betapa banyak produk dalam negeri dengan mutu eks­por seret di pasaran dalam negeri. Program cinta produk dalam negeri senan­tiasa kan­das, dan hanya sebatas isapan jem­pol sesaat, dan segera sirna.

Sebalik­nya, ber­ba­gai produk dalam negri setelah diberi lebel oleh per­usahaan asing, begitu laku di pasar, dan ten­tunya dengan harga yang ber­lipat ganda.

Saudaraku! Mari kita merenung sejenak, dan ber­tanya: Sejatinya, harga diri saya ter­letak di mana? Mung­kin­kah harga diri saya ter­letak pada pakaian, sepatu, jam, dan ber­ba­gai produk lainnya?.

Bila jawaban­nya tidak, lalu meng­apa ketika ber­belanja Anda memilih barang dengan merek-merek ter­kenal yang har­ganya selangit? Padahal banyak merek lain, produk dalam negeri, mutu yang sama dan ten­tunya dengan harga yang jauh lebih murah tidak masuk dalam nominasi daf­tar belanja Anda?

Saudaraku! Atau mung­kin­kah keper­cayaan diri Anda ter­letak pada sepun­tung rokok yang tidak lama lagi akan Anda injak dengan sepatu Anda?

Betapa seng­saranya diri Anda bila Anda ber­ang­gapan bahwa harga diri dan keper­cayaan Anda hanya tum­buh bila Anda meleng­kapi diri Anda dengan ber­ba­gai produk orang lain. Sehingga, bila pada suatu saat Anda tidak dileng­kapi dengan ber­ba­gai aksesoris, Anda merasa kurang per­caya diri atau bahkan ren­dah diri.

Bahkan, kalaupun Anda dileng­kapi dengan ber­ba­gai aksesoris mewah yang Anda miliki, maka Anda akan kem­bali merasakan ren­dah diri tat­kala ber­hadapan dengan orang yang meng­enakan aksesoris lebih wah diban­ding yang Anda kenakan.

Dan sudah barang tentu, bila harga diri Anda ter­letak pada aksesoris yang melekat pada diri Anda, maka tidak lama lagi harga diri Anda akan keting­galan zaman alias expire date.

Ketahuilah saudaraku, sejatinya harga diri Anda ter­letak pada jiwa Anda. Harga diri Anda ter­pan­car dari iman dan ketakwaan Anda kepada Allah. Bila Anda adalah orang yang ber­jiwa besar, benar memiliki harga diri, maka Anda tetap per­caya diri, walau tidak dileng­kapi oleh ber­ba­gai aksesoris mewah dan ber­merek. Harga diri Anda ter­letak pada iman dan kedekatan Anda kepada Allah Ta’ala.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesung­guh­nya Kami men­cip­takan kamu dari seorang laki-laki dan seorang per­em­puan dan men­jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesung­guh­nya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling ber­taqwa di antara kamu. Sesung­guh­nya Allah Maha Meng­etahui lagi Maha Meng­enal.” (QS. Al-Hujurat: 13).

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam men­jalankan Haji Wada’ ber­sama umat Islam yang kala itu kira-kira ber­jum­lah 100.000 jamaah haji, beliau menegaskan hal ini dengan berkata,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلاَ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِىٍّ عَلَى أَعْجَمِىٍّ وَلاَ لِعَجَمِىٍّ عَلَى عَرَبِىٍّ وَلاَ لأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى. رواه أحمد

Wahai umat manusia, sesung­guh­nya Tuhan kalian adalah Maha Esa, dan ayah kalian satu (yaitu Nabi Adam). Ketahuilah, bahwa tidak ada kelebihan bagi orang Arab diban­ding non-arab, tidak pula bagi non-Arab atas orang Arab, tidak pula bagi yang ber­kulit putih kemerahan diban­ding yang ber­kulit hitam, tidak pula sebalik­nya bagi yang ber­kulit putih atas yang ber­kulit putih kemerahan, kecuali dengan kataqwaan. (Hadits riwayat Ahmad).

Pada suatu hari, sahabat Umar bin Al-Khatthab menangis, karena menyak­sikan pung­gung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bergaris-garis setelah ber­baring di atas tikar daun kurma. Ia ber­kata, “Wahai Rasulullah, sesung­guh­nya Raja Per­sia dan Romawi ber­gelimang dalam kemewahan, sedangkan eng­kau adalah utusan Allah demikian ini hal­nya.” Men­dengar ucapan sahabat­nya ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ لَهُمَا الدُّنْيَا وَلَكَ الآخِرَةُ. متفق عليه

Tidak­kah eng­kau merasa puas bila mereka men­dapatkan kenik­matan dunia, sedangkan eng­kau men­dapatkan kenik­matan di akhirat?” (Mut­tafaqun ‘alaih).

Jawaban ini begitu mem­bekas pada jiwa sahabat Umar bin Al-Khaththab, sehingga beliau benar-benar menerap­kan­nya dalam kehidupan. Sam­paipun setelah beliau men­jadi khalifah, dan ber­hasil menun­dukkan kerajaan Per­sia dan Romawi yang dahulu ia begitu kagum dengan kekayaannya, setelah umat Islam ber­hasil meng­uasai Baitul Maqdis, khalifah Umar bin Khat­thab radhiallahu ‘anhu datang ke sana guna menan­datangani surat per­jan­jian dengan para pemuka pen­duduk setem­pat, sekaligus menerima kunci pintu Baitul Maqdis. Beliau datang dengan meng­enakan sarung, sepatu kulit, dan imamah. Pada saat beliau hen­dak menyeberangi sebuah parit yang penuh dengan air meng­alir, beliau turun dari unta dan tanpa rasa sungkan sedikitpun beliau menun­tun tung­gangan­nya tersebut.

Melihat penam­pilan beliau yang demikian itu, sebagian pasukan mus­limin yang ikut serta men­jem­put kehadiran beliau ber­kata, “Wahai Amirul Muk­minin, eng­kau akan disam­but oleh pasukan dan para pen­deta Syam, sedang penam­pilanmu semacam ini?” Beliau men­jawab, “Sesung­guh­nya, hanya dengan Islam­lah Allah memuliakan kita, karenanya kita tidak akan men­cari kemuliaan dengan jalan selain­nya.” Riwayat Ibnu Abi Syaibah. Dan pada riwayat Al-Hakim bahwasanya sahabat Umar pernah berkata,

إِنَّا كُنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ فَأَعَزَّنَا اللهُ بِالإِسْلاَمِ فَمَهْمَا نَطْلُبُ الْعِزَّ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللهُ بِهِ أَذَلَّنَا اللهُ

Sesung­guh­nya, kita dahulu adalah kaum yang paling hina, kemudian Allah memuliakan kita dengan agama Islam, maka setiap kali kita ber­usaha men­cari kehormatan/ kemuliaan dengan selain agama Islam, pasti Allah akan menim­pakan kehinaan kepada kita.”

Demikianlah hal­nya bila seseorang telah menemukan harga dirinya dalam jiwanya. Ia tidak merasa ber­kurang harga dirinya, karena kurang­nya aksesoris yang melekat pada dirinya, dan ia juga tidak ber­tam­bah per­caya diri karena ber­ba­gai aksesoris yang ter­semat pada dirinya.

Pada peperangan Qadisiyah, pasukan umat Islam yang ber­jum­lah 30.000 per­sonal, di bawah komando sahabat Sa’ad bin Abi Waqqas, meng­hadapi pasukan Per­sia yang ber­jum­lah 200.000 per­sonal. Sebelum peperangan dimulai, panglima per­ang Per­sia meminta agar umat Islam meng­utus seorang juru run­ding guna ber­un­ding dengan­nya. Memenuhi per­min­taan ini, sahabat Sa’ad bin Abi Waqqas meng­utus Rib’i bin ‘Amir.

Setibanya Rib’i di per­ten­daan Panglima Per­sia yang ber­nama Rus­tum, ia men­dapatkan tenda Rus­tum telah dihiasi dengan per­madani ber­hiaskan emas, sutra, per­mata, intan ber­lian dan hiasan indah lainnya.

Sedangkan Rus­tum dengan meng­enakan mah­kota dan ber­ba­gai aksesoris mewah lain­nya, telah duduk menung­gunya di atas kursi yang ter­buat dari emas. Sedangkan Ribi’i datang dengan meng­enakan pakaian yang kedodoran karena kebesaran, menen­teng sebilah pedang, sebatang tom­bak, per­isai, dan menung­gangi kuda yang pen­dek. Ribi’i terus ber­jalan sam­bil menung­gangi kudanya, hingga kudanya meng­in­jak ujung per­madani tenda Rus­tum. Selan­jut­nya, ia turun dan menam­batkan kudanya di beberapa ban­tal san­daran yang ada di tenda Rus­tum. Ia maju meng­hadap ke Rus­tum dengan tetap menen­teng pedang­nya, meng­enakan baju dan topi besinya.

Menyak­sikan ulah Ribi’i ini, sebagian pengawal Rus­tum meng­hardik­nya dengan ber­kata, “Letakkan sen­jatamu!” Tanpa gen­tar, Rabi’i menang­gapi hardikan itu dengan ber­kata, “Bukan aku yang ber­inisiatif untuk datang ke tem­pat kalian, akan tetapi kalian yang meng­un­dangku untuk datang. Bila kalian tidak suka dengan caraku ini, maka aku akan kem­bali.” Men­dengar per­debatan ini, Rus­tum ber­kata, “Biakan ia masuk.”

Tat­kala Rib’i dizinkan masuk, tidak diduga, ia meng­hun­jamkan tom­bak­nya ke setiap ban­tal san­daran sutra yang ia lalui. Setiba dihadapan Rus­tum, ia ber­tanya kepada Ribi’i, “Apa tujuan kalian datang kemari?” Ribi’i segera men­jawab dengan tegas, “Kami datang untuk mem­bebaskan umat manusia dari per­budakan kepada sesama manusia, menuju kepada per­ibadatan kepada Allah, dari him­pitan hidup dunia kepada kelapangan hidup di akhirat, dari penin­dasan tokoh-tokoh agama, ke dalam naungan keadilan agama Islam. Allah meng­utus kami untuk menyebarkan agama-Nya kepada seluruh umat manusia. Barang­siapa yang menerima seruan kami, maka kami menerima keputusan­nya itu dan kamipun segera kem­bali ke negeri kami. Sedangkan orang yang enggan menerima seruan kami, maka kami akan memeranginya, hingga kita ber­hasil meng­gapai janji Allah.”

Spontan Rus­tum dan pasukan­nya kem­bali ber­tanya, “Apa janji Allah untuk kalian?” Ribi’i men­jawab, “Orang yang gugur dalam per­juangan ini men­dapatkan Surga dan kejayaan bagi yang selamat.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah oleh Ibnu Katsir, 7/46–47).

Demikianlah, bila harga diri seseorang ter­tanam kuat dalam jiwanya. Ia tidak men­jadi gen­tar atau ren­dah diri walaupun penam­pilan­nya serba pas-pasan, sedangkan lawan bicaranya leng­kap dengan ber­ba­gai aksesoris yang menyilaukan mata.

Saudaraku! Anda bisa bayangkan, andai Anda dengan per­leng­kapan yang ditugaskan untuk menemui panglima per­ang Per­sia dengan per­leng­kapan yang demikian itu, kira-kira bagaimana per­asaan dan sikap Anda?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُبَّ أَشْعَثَ مَدْفُوعٍ بِالأَبْوَابِ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ. رواه مسلم

Bisa saja seseorang ber­penam­pilan kumuh, selalu diusir orang karena diang­gap remeh, akan tetapi bila ia ber­sum­pah memohon kepada Allah, maka Allah pasti memenuhi per­mohonan­nya.” (Hadits riwayat Muslim).

Sebalik­nya! Walaupun ber­ba­gai aksesoris yang ber­kilau, indah nan mahal har­ganya telah melekat pada diri Anda, akan tetapi Anda jauh dari Allah, ber­gelimang dalam kemak­siatan, maka kehinaan akan melekat selalu di kening Anda.

Al-Hasan Al-Bashri berkata,

إِنَّهُم ـ يعني أَهْلَ المَعَاصِي وَالذُّنُوبِ ـ وَإِنْ هَمْلَجَتْ بِهِمُ البَرَاذِيْنُ وَطَقْطَقَتْ بِهِمُ البِغَالُ ، إنَّ ذُلَّ المَعْصِيَةِ لَفِي قُلُوبِهِمْ، أَبَى اللهُ إِلاَّ أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ

Sesung­guh­nya, mereka –para pelaku kemak­siatan dan dosa– walaupun menung­gangi kuda yang gagah, dibuat melenggak-lenggok oleh keledai yang mereka tung­gangi, akan tetapi kehinaan akibat amal kemak­siatan senan­tiasa melekat di hatinya. Allah tidak akan menim­pakan kepada orang yang ber­mak­siat kepanya-Nya kecuali kehinaan.”

Haram­kah Anda Ber­pakaian Bagus?

Saudaraku! Mung­kin Anda ber­tanya: bila demikian, apa itu artinya umat Islam harus ber­penam­pilan kumuh, kusut, tidak rapi dan mening­galkan segala kein­dahan dunia?

Tidak demikian saudaraku! Besarkan hati Anda, tidak perlu kawatir, anda tetap dibenarkan untuk men­cicipi ber­ba­gai kein­dahan dunia. Dan bahkan sebalik­nya, ber­bang­galah men­jadi umat Islam, karena Allah Ta’ala men­cip­takan segala isi dunia tiada lain kecuali untuk kepen­tingan Anda.

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً

Dialah Allah yang men­jadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah: 29).

Pada ayat lain Allah berfirman,

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللّهِ الَّتِيَ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالْطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِي لِلَّذِينَ آمَنُواْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Katakanlah, ‘Siapakah yang meng­haramkan per­hiasan dari Allah yang telah di keluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang meng­haramkan) rezeki yang baik.’ Katakanlah, ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang ber­iman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari Kiamat.’ Demikianlah Kami men­jelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang meng­etahui.(QS. Al-A’raf : 32).

Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ. قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ: إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ. رواه مسلم

Tidak masuk Surga orang yang di hatinya ter­dapat sebesar debu dari kesom­bongan.” Spontan salah seorang sahabat Nabi ter­kejut dan ber­tanya, “Sesung­guh­nya ada orang yang suka bila ber­pakaian bagus, dan meng­enakan sen­dal yang bagus pula.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menang­gapi per­tanyan ini dengan ber­sabda, “Sesung­guh­nya Allah Mahain­dah, men­cin­tai kein­dahan. Kesom­bongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (Hadits riwayat Muslim).

Pen­dek kata: Harga diri Anda hanya ada di dalam jiwa Anda. Bila Anda ber­jiwa besar karena dekat dengan Allah Yang Mahabesar dan Agung, sum­ber segala kebesaran, maka tanpa aksesoris yang macam-macampun Anda tetap per­caya diri. Sebalik­nya, bila jiwa Anda kerdil karena jauh dari Allah Yang Mahabesar dan Agung, maka apapun aksesoris yang Anda sematkan pada diri Anda, maka tidak akan dapat meng­ang­kat derajat Anda. Per­cayalah saudaraku!

Di antara aplikasi nyata keyakinan ini Anda akan selalau mem­beli segala kebutuhan Anda tepat guna dengan harga yang tepat pula dan tidak per­nah mem­beli produk hanya karena per­tim­bangan merek­nya. Seba­gaimana Anda tidak men­jadi latah dengan tren yang sedang ber­kem­bang di masyarakat. Anda tetap per­caya diri walaupun aksesoris yang Anda kenakan telah expire date, karena Anda per­caya bahwa harga diri Anda ter­letak pada iman dan takwa Anda yang tidak per­nah kadaluwarsa.

Akhir­nya, saya mohon maaf bila ada kata-kata saya yang kurang ber­kenan, semoga Allah Ta’ala melim­pahkan kemurahan-Nya kepada kita semua, sehingga kita men­jadi hamba-Nya yang besar karena besar­nya iman yang melekat di dada.

Wallahu a’alam bis­shawab.

******

Sumber: stdiis.ac.id

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin