Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

24 Juli 2010

FILE 175 : Serikat Dagang dalam Mu'amalah

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Selayang Pandang Serikat Dagang dalam Islam

Penulis:

Dr. Muhammad Arifin Badri, MA.

.

Pendahuluan

Alhamdulillah, salawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, dan sahabatnya.

Saudaraku, mungkin saat ini Anda memiliki segudang keahlian dan pengalaman. Akan tetapi, hingga saat ini Anda masih juga belum mampu mengoptimalkan potensi diri Anda. Kondisi ini menyebabkan Anda hanya bisa menikmati sebagian kecil dari potensi Anda. Mungkin pada suatu hari, Anda pernah berpikir, "Andai aku memiliki cukup modal, aku bisa lebih banyak menikmati hasil tetesan peluhku."

Tidak perlu berkecil hati, Saudaraku. Banyak pintu yang dapat Anda tembus guna merubah garis hidup Anda. Di antaranya ialah dengan berserikat dengan sebagian dari saudara-saudara Anda yang senasib dengan diri Anda. Dengan memilih opsi ini, pintu sukses semakin terbuka lebar di hadapan Anda, karena semakin besar unit usaha yang Anda rintis bersama saudara Anda, maka tetesan peluh Anda akan semakin bernilai. Tidakkah Anda mendambakan yang demikian, Saudaraku?

Melalui tulisan sederhana ini, saya berkeinginan untuk memberikan gambaran singkat tentang seluk-beluk hukum serikat dagang yang dalam syariat Islam. Harapan saya, langkah Anda dalam merintis sukses di dunia usaha akan semakin mantap dan selaras dengan syariat Allah Ta'ala.

Hukum Berserikat dalam Perdagangan

Ibnu Qudamah al-Hambali menyatakan, "Secara garis besar, ulama telah bersepakat bahwa hukum serikat dagang adalah boleh. Hanya saja, mereka berselisih pendapat pada sebagian perinciannya." (Al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah, 7/109)

Berikut ini adalah sebagian dalil yang mendasari kesepakatan ulama di atas:

"Abu Minhal mengisahkan bahwa al-Bara' bin 'Azib dan Zaid bin Arqam adalah dua orang yang saling berserikat. Pada suatu hari, keduanya membeli sejumlah perak. Sebagian pembayaran dilakukan dengan tunai dan sisanya terutang. Selanjutnya, perihal pembelian ini terdengar oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau segera memerintahkan keduanya agar melanjutkan pembelian yang pembayarannya tunai, dan membatalkan pembelian yang pembayarannya terutang." (Hr. Bukhari)

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu mengisahkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah telah berfirman, 'Aku senantiasa menyertai dua orang yang berserikat, selama tidak ada dari keduanya yang mengkhianati sahabatnya. Bila ada dari mereka yang berbuat khianat, maka Aku meninggalkan mereka berdua.'" (Hr. Abu Daud, ad-Daraquthni, dan oleh al-Albani dinyatakan sebagai hadits yang dha'if)

Dengan Siapa Anda Berserikat Dagang?

Setelah mengetahui hukum serikat dagang dalam Islam, mungkin pertanyaan pertama yang terbetik dalam pikiran Anda adalah, "Dengan siapa saya harus berserikat dagang?"

Terlebih-lebih di zaman ini, betapa sulitnya mendapatkan orang yang benar-benar layak untuk menerima kepercayaan sebagai sekutu Anda dalam berniaga. Atau mungkinkah Anda rela berspekulasi dan bersekutu dengan siapa saja, tanpa peduli dengan tingkat kredibilitasnya? Saya yakin Anda pasti bersikap selektif dan berusaha untuk memilih partner yang benar-benar bagus dan banyak memiliki kelebihan.

Akan tetapi, pernahkah Anda berpikir bahwa di antara kriteria seorang partner yang baik ialah tingkat kepatuhannya terhadap berbagai hukum syariat?

Mengapa demikian? Karena setiap partner niaga bertindak bukan hanya atas nama pribadinya, namun mewakili seluruh pemilik saham perusahaan. Dengan demikian, setiap pemilik saham bertanggung jawab atas setiap keputusan dan perbuatan yang dilakukan oleh perusahaan.

Penjelasan ini sebagai wujud nyata dari asas perserikatan dagang dalam islam, yaitu al-wakalah (perwakilan) dan amanah. Masing-masing pemegang saham berperan mewakili dan memangku amanah (kepercayaan) dari pemegang saham lainnya.

Tidak heran bila para ulama menganjurkan Anda untuk tidak berserikat dagang dengan orang yang berseberangan agama dengan Anda.

Imran bin Abi Atha` bertanya kepada Ibnu 'Abbas, "Sesungguhnya ada seorang pedagang kambing, dia bersekutu dengan seorang Yahudi dan seorang Nasrani." Ibnu 'Abbas menjawab, "Janganlah engkau bersekutu dengan seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi." Aku pun kembali bertanya, "Mengapa?" Ibnu 'Abbas kembali menjawab, "Karena mereka terbiasa bertransaksi riba, dan riba tidak halal." (Hr. Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi)

Dari pernyataan Ibnu 'Abbas ini dapat dipahami bahwa boleh bersekutu dengan orang Yahudi atau Nasrani selama mereka tidak menangani langsung bisnis di lapangan, atau selama mereka berkomitmen untuk tidak melanggar hukum syariat. Karenanya, murid-murid Ibnu 'Abbas, di antaranya 'Atha', Thawus, dan Mujahid menyatakan, "Bersekutu dengan seorang Yahudi dan Nasrani itu dimakruhkan, kecuali bila yang menjalankan perniagaan di lapangan adalah partner yang beragama Islam." (Hr. Ibnu Abi Syaibah)

Penjelasan ini juga berdasarkan pada praktik Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang mempercayakan pengelolaan ladang milik umat Islam di negeri Khaibar kepada orang-orang Yahudi setempat, dan beliau memberikan persyaratan kepada mereka, "Umat Islam berwewenang penuh untuk memutuskan hubungan kerjasama ini kapan pun mereka menghendakinya." (Hr. Bukhari dan Muslim)

Modal Perserikatan

Para ulama telah menyepakati bahwa modal perserikatan dapat diwujudkan dalam bentuk uang yang berlaku untuk alat transaksi. Hanya saja, mereka berselisih pendapat: apakah harta kekayaan selain uang dapat pula dijadikan sebagai modal dalam perserikatan?

Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini ialah pendapat yang membolehkan harta kekayaan selain uang sebagai modal perserikatan. Pendapat ini berdasarkan kepada beberapa alasan berikut:

  1. Hukum asal dalam setiap urusan duniawi, termasuk perserikatan dagang, adalah boleh.
  2. Analogi/qiyas dengan akad musaqah (penggarapan ladang), karena berbagai hukum yang berlaku pada akad musaqah berlaku pula pada akad serikat dagang.
  3. Tujuan serikat dagang ialah mencari keuntungan, sedangkan keuntungan dapat diperoleh dengan pengelolaan barang, sebagaimana halnya dengan mata uang.

Hanya saja, bila modal serikat dagang berbentuk barang, perlu dicatatkan bahwa yang dihitung sebagai modal ialah harga jual barang tersebut pada hari penandatanganan akad serikat dagang. Hal ini bertujuan untuk menghindari perselisihan tentang kadar kepemilikan masing-masing sekutu terhadap badan usaha mereka. (Baca: Nihayatul Mathlab oleh al-Juwaini: 7/23; al-Mughni oleh Ibnu Qudamah: 7/124)

Kejelasan dalam Modal Usaha

Di antara ketentuan penting yang sepantasnya Anda indahkan pada awal pembentukan serikat dagang ialah kejelasan modal masing-masing sekutu. Bila modal berupa uang, maka nominalnya jelas, dan bila berupa barang atau hak atas kekayaan intelektual (HKI), maka nilai jual barang atau hak tersebut disepakati pada awal pendirian badan usaha. Selanjutnya, semuanya dituliskan dengan cara-cara yang benar, sehingga memiliki kekuatan hukum.

Ketentuan ini bertujuan untuk menghindari perselisihan di kemudian hari. Karena biasanya, pada awal perserikatan, masing-masing pihak memiliki toleransi tinggi. Akan tetapi, bersama berjalannya perserikatan, terlebih-lebih setelah menjadi besar, toleransi telah terkikis, sedangkan ambisi untuk mendapatkan keuntungan sebesar mungkin semakin berkobar.

وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ

"Dan sesungguhnya pada kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu, sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih, dan amat sedikitlah mereka ini." (Qs. Shad: 24)

Saham Kosong

Di antara hal yang biasa terjadi di berbagai perusahaan ialah adanya pemberian saham kosong kepada beberapa pihak yang dianggap atau diharapkan berjasa pada perusahan. Para penerima saham kosong ini berhak mendapatkan bagian dari keuntungan sebesar persentase saham tersebut. Namun, saham ini memiliki berbagai perbedaan dari saham biasa. Berikut ini beberapa perbedaan tersebut:

  1. Saham kosong tidak memiliki nilai nominal yang tertulis pada lembar saham, sehingga haknya hanya sebatas mendapatkan bagian dari keuntungan (dividen).
  2. Pemegang saham kosong tidak dihitung dari anggota pemegang saham yang berhak mengahadiri RUPS (rapat umum pemegang saham), dan juga tidak memiliki wewenang untuk campur tangan dalam kebijaksanaan dan arah perusahaan.
  3. Saham kosong bisa dihapuskan, baik secara keseluruhan atau sebagian saja.

Disebabkan oleh karakter saham kosong yang demikian ini, maka kebanyakan ulama kontemporer mengharamkan saham kosong, dengan alasan sebagai berikut:

Alasan pertama. Saham kosong, sejatinya, adalah salah satu bentuk jual-beli jasa, sehingga nominal nilai jualnya haruslah diketahui dan tidak dalam hitungan persentase dari keuntungan yang tidak menentu jumlahnya. Dengan demikian, saham kosong ini tercakup oleh keumuman hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berikut, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual-beli yang mengandung gharar (unsur ketidakjelasan)." (HR. Muslim)

Alasan kedua. Saham kosong sering kali membahayakan masa depan perusahaan dan merugikan para pemegang saham.

Alasan ketiga. Biasanya, saham kosong adalah pintu lebar buat terjadinya praktik manipulasi, suap, dan tindakan-tindakan tercela lainnya. (Suq al-Auraq al-Maliyah, oleh Dr. Khursyid Asyraf Iqbal, hlm. 320--321)

Ruang Gerak Perusahaan

Tidak diragukan bahwa ruang gerak dan unit usaha setiap perusahaan yang dibangun oleh seorang muslim atau dibangun di negeri Islam dibatasi oleh hukum-hukum Allah Ta'ala. Karenanya, tidak dibenarkan bagi siapa pun untuk menjalankan suatu unit usaha yang memproduksi atau memasarkan barang atau jasa yang diharamkan dalam Islam.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menggariskan hal ini dengan bersabda, "Sesungguhnya, bila Allah mengharamkan suatu hal, pasti Ia mengharamkan pula hasil penjualannya." (HR. Ahmad, Abu Daud, dan ad-Daraquthni)

Asas Hubungan antara Pemilik Saham

Mengetahui asas yang mendasari setiap hubungan yang Anda jalin menjadikan Anda memahami hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terkait. Karenanya, sejak dahulu kala, para ulama ahli fikih memberikan perhatian khusus tentang hal ini.

Ibnu Qudamah berkata, "Serikat dagang biasanya didasari oleh perwakilan dan amanah, karena masing-masing sekutu, mempercayakan pengelolaan modalnya kepada partnernya dan pada waktu yang sama ia mengizinkannya partnernya untuk mewakili dirinya." (Al-Mughni: 7/128; baca pula: Nihayatul Mathlab: 7/24 dan Bidayatul Mujtahid: 2/256)

Bila demikian adanya, maka masing-masing sekutu berkewajiban untuk berusaha mendatangkan keuntungan sebesar mungkin. Karenanya, as-Suyuthi menjelaskan bahwa setiap orang yang bertindak untuk orang lain wajib melakukan yang terbaik bagi pihak yang memberinya kepercayaan. (Al-Asybah wa an-Nazhair: 49)

Di antara aplikasi nyata asas ini, masing-masing sekutu tidak dibenarkan untuk membelanjakan harta perusahaan kecuali pada pos-pos yang mendatangkan keuntungan untuk perusahaan. (Bidayatul Mujtahid: 2/256 dan Raudhatuth Thalibin: 3/515)

Karakter Akad Serikat Dagang

Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa serikat dagang adalah salah satu akad yang tidak mengikat. Dengan demikian, masing-masing sekutu berhak menghentikan perserikatan kapan pun ia suka, asalkan tidak menimbulkan kerugian pada partnernya.

Sebagaimana akad serikat menjadi terhenti bila salah satu dari sekutu meninggal dunia, kecuali bila ahli warisnya menghendaki agar perserikatan dilanjutkan dan mereka menunjuk pengganti sekutu yang meninggal tersebut. (Baca: Al-Mughni: 7/131, Raudhatuth Thalibin: 3/515-516, dan Bidayatul Mujtahid: 2/225--256)

Hak dan Tanggung Jawab Masing-masing Sekutu

Saudaraku, untuk urusan hak, saya yakin Anda pasti mengetahui bahwa hak utama masing-masing sekutu dagang ialah mendapatkan bagian dari keuntungan usaha. Pendapat yang paling kuat dalam hal pembagian keuntungan ialah pendapat yang membolehkan pembagian keuntungan, sesuai dengan kesepakatan, walaupun tidak berbanding lurus dengan nomimal modal masing-masing.

Alasannya adalah karena keuntungan dalam usaha dihasilkan bukan hanya dari modal, tetapi juga dari kerja dan keahlian seluruh pihak terkait. Bila demikian adanya, bisa saja kerja dan peranan sebagian sekutu lebih dominan dalam mendatangkan keuntungan dibanding lainnya. Sehingga, wajar bila sekutu yang paling berperan dalam mendatangkan keuntungan mendapatkan deviden lebih besar dari yang diberikan kepada lainnya. Pendapat inilah yang dianut dalam Mazhab Hanafi dan Hambali. (Al-Mughni: 7/138 dan Badai'i ash-Shanai'i: 6/62)

Sebagaimana setiap sekutu memiliki hak untuk turut menentukan arah kebijaksanaan dan gerak perusahaan, masing-masing sebesar persentase modal yang ia miliki. Hanya saja, pada praktik perserikatan dagang yang berlaku saat ini, telah dikenal sesuatu yang disebut dengan saham preferen. Pemilik saham ini memiliki bebeberapa kelebihan dibanding pemilik saham biasa, di antaranya:

  1. Mendapatkan dividen yang terjamin, dalam jumlah tetap dan dalam persentase tertentu dari total saham yang dimiliki, tanpa ada bedanya apakah perusahaan merugi atau untung.
  2. Memiliki hak untuk mendapatkan deviden lebih dahulu.
  3. Memiliki hak suara lebih tinggi dibanding pemilik saham biasa.

Untuk mengetahui hukum saham preferen, Anda perlu mengetahui dua hal berikut:

  1. Para ulama telah bersepakat bahwa kerugian harus berbanding sejajar dengan jumlah saham yang dimiliki, karena arti dari kerugian usaha ialah modal usaha menjadi berkurang. Dengan demikian, kewajiban masing-masing sekutu atas segala kerugian dan risiko perusahaan hanyalah sebesar persentase saham yang ia miliki dari total saham perusahaan.
  2. Masing-masing sekutu dagang hanya berhak mendapatkan deviden bila perusahaan benar-benar membukukan keuntungan. Sehingga, bila perusahaan tidak berhasil membukukan keuntungan, mereka tidak berhak mendapatkan deviden.
  3. Besar atau kecilnya deviden yang diperoleh setiap sekutu berbanding lurus dengan besar atau kecilnya keuntungan yang berhasil dibukukan perusahaan. Sehingga, deviden setiap sekutu, bersifat fluktuatif, dan tidak tetap.

Dengan memahami ketiga hal ini, dapat disimpulkan bahwa saham preferen mengandung unsur riba, sehingga hukumnya pun haram.

Penutup

Penjelasan yang saya paparkan di atas hanyalah gambaran singkat tentang berbagai hukum perserikatan dagang dalam syariat Islam. Perlu saya tekankan, pintu terjadinya kesalahan pun senantiasa terbuka. Karenanya, saran dan kritik sangat berharga bagi kita semua. Harapan saya, tulisan ini memotivasi Anda untuk semakin gigih dalam mempelajari syariat agama yang kita cintai ini. Sehingga, dengan semakin bertambahnya umur, Anda semakin dekat dengan Allah Ta'ala.

Wallahu Ta'ala a'lam bish-shawab.

***

Sumber : pengusahamuslim.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 174 : Menyoroti Penerapan Sistim Denda

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Denda dalam Kacamata Syariah

Penulis:

Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.

.

Di tengah-tengah masyarakat sering kita jumpai berbagai bentuk denda berkaitan dengan transaksi muamalah. Seorang karyawan yang tidak masuk kerja tanpa izin akan diberikan sanksi berupa pemotongan gaji. Telat membayar angsuran kredit motor juga akan mendapatkan denda setiap hari, dengan nominal rupiah tertentu. Seorang penerjemah buku juga akan didenda dengan nominal tertentu setiap harinya oleh penerbit, jika buku ternyata belum selesai diterjemahkan sampai batas waktu yang telah disepakati. Percetakan yang tidak tepat waktu juga dituntut untuk membayar denda dengan jumlah tertentu. Bayar listrik sesudah tanggal 20 juga akan dikenai denda oleh pihak PLN.

Bagaimanakah hukum dari berbagai jenis denda di atas, apakah diperbolehkan secara mutlak, ataukah terlarang secara mutlak, ataukah perlu rincian? Inilah tema bahasan kita pada edisi ini. Persyaratan denda sebagaimana di atas diistilahkan oleh para ulama dengan nama syarth jaza’i.

Hukum persyaratan semisal ini berkaitan erat dengan hukum syarat dalam transaksi dalam pandangan para ulama. Ulama tidak memiliki titik pandang yang sama terkait dengan hukum asal berbagai bentuk transaksi dan persyaratan di dalamnya, ada dua pendapat.

Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum asalnya adalah terlarang, kecuali persyaratan-persyaratan yang dibolehkan oleh syariat. Adapun pendapat kedua menegaskan bahwa hukum asal dalam masalah ini adalah sah dan boleh, tidak haram dan tidak pula batal, kecuali terdapat dalil dari syariat yang menunjukkan haram dan batalnya.

Singkat kata, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat yang kedua, dengan alasan sebagai berikut:

a. Dalam banyak ayat dan hadits, kita dapatkan perintah untuk memenuhi perjanjian, transaksi, dan persyaratan, serta menunaikan amanah. Jika memenuhi dan memperhatikan perjanjian secara umum adalah perkara yang diperintahkan, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa hukum asal transaksi dan persyaratan adalah sah. Makna dari sahnya transaksi adalah maksud diadakannya transaksi itu terwujud, sedangkan maksud pokok dari transaksi adalah dijalankan.

b. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kaum muslimin itu berkewajiban melaksanakan persyaratan yang telah mereka sepakati.” (Hr. Abu Daud dan Tirmidzi)

Makna kandungan hadits ini didukung oleh berbagai dalil dari al-Quran dan as-Sunnah. Maksud dari persyaratan adalah mewajibkan sesuatu yang pada asalnya tidak wajib, tidak pula haram. Segala sesuatu yang hukumnya mubah akan berubah menjadi wajib jika terdapat persyaratan.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim. Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Segala syarat yang tidak menyelisihi syariat adalah sah, dalam semua bentuk transaksi. Semisal penjual yang diberi syarat agar melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu dalam transaksi jual-beli, baik maksud pokoknya adalah penjual ataupun barang yang diperdagangkan. Syarat dan transaksi jual-belinya adalah sah.”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Kaidah yang sesuai dengan syariat adalah segala syarat yang menyelisihi hukum Allah dan kitab-Nya adalah syarat yang dinilai tidak ada (batil). Adapun syarat yang tidak demikian adalah tergolong syarat yang harus dilaksanakan, karena kaum muslimin berkewajiban memenuhi persyaratan yang telah disepakati bersama, kecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Inilah pendapat yang dipilih oleh guru kami, Ibnu Taimiyyah.”

Berdasar keterangan di atas, maka syarth jaza’i adalah diperbolehkan, asalkan hakikat transaksi tersebut bukanlah transaksi utang-piutang dan nominal dendanya wajar, sesuai dengan besarnya kerugian secara riil.

Berikut ini adalah kutipan dua fatwa para ulama:

Yang pertama adalah keputusan Majma’ Fikih Islami yang bernaung di bawah Munazhamah Mu’tamar Islami, yang merupakan hasil pertemuan mereka yang ke-12 di Riyadh, Arab Saudi, yang berlangsung dari tgl 23–28 September 2000. Hasil keputusannya adalah sebagai berikut:

Keputusan pertama. Syarth jaza’i adalah kesepakatan antara dua orang yang mengadakan transaksi untuk menetapkan kompensasi materi yang berhak didapatkan oleh pihak yang membuat persyaratan, disebabkan kerugian yang diterima karena pihak kedua tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.

Keputusan kedua. Adanya syarth jaza’i (denda) yang disebabkan oleh keterlambatan penyerahan barang dalam transaksi salam tidak dibolehkan, karena hakikat transaksi salam adalah utang, sedangkan persyaratan adanya denda dalam utang-piutang dikarenakan faktor keterlambatan adalah suatu hal yang terlarang. Sebaliknya, adanya kesepakatan denda sesuai kesepakatan kedua belah pihak dalam transaksi istishna’ adalah hal yang dibolehkan, selama tidak ada kondisi tak terduga.

Istishna’ adalah kesepakatan bahwa salah satu pihak akan membuatkan benda tertentu untuk pihak kedua, sesuai dengan pesanan yang diminta. Namun bila pembeli dalam transaksi ba’i bit-taqshith (jual-beli kredit) terlambat menyerahkan cicilan dari waktu yang telah ditetapkan, maka dia tidak boleh dipaksa untuk membayar tambahan (denda) apa pun, baik dengan adanya perjanjian sebelumnya ataupun tanpa perjanjian, karena hal tersebut adalah riba yang haram.

[Sedikit penjelasan: Salam = pesanan dengan pembayaran di muka, kebalikan jual-beli kredit; Istishna' = pesanan tanpa uang muka (order) -Sa'ad]

Keputusan ketiga. Perjanjian denda ini boleh diadakan bersamaan dengan transaksi asli, boleh pula dibuat kesepakatan menyusul, sebelum terjadinya kerugian.

Keputusan keempat. Persyaratan denda ini dibolehkan untuk semua bentuk transaksi finansial, selain transaksi-transaksi yang hakikatnya adalah transaksi utang-piutang, karena persyaratan denda dalam transaksi utang adalah riba senyatanya.

Berdasarkan hal ini, maka persyaratan ini dibolehkan dalam transaksi muqawalah bagi muqawil (orang yang berjanji untuk melakukan hal tertentu untuk melengkapi syarat tertentu, semisal membangun rumah atau memperbaiki jalan raya).

Muqawalah adalah kesepakatan antara dua belah pihak, pihak pertama berjanji melakukan hal tertentu untuk kepentingan pihak kedua dengan jumlah upah tertentu dan dalam jangka waktu yang tertentu pula. Demikian pula, persyaratan denda dalam transaksi taurid (ekspor impor) adalah syarat yang dibolehkan, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak pengekspor.

Demikian juga dalam transaksi istishna’, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak produsen, jika pihak-pihak tersebut tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.

Akan tetapi, tidak boleh diadakan persyaratan denda dalam jual-beli kredit sebagai akibat pembeli yang terlambat untuk melunasi sisa cicilan, baik karena faktor kesulitan ekonomi ataupun keengganan. Demikian pula dalam transaksi istishna’ untuk pihak pemesan barang, jika dia terlambat menunaikan kewajibannya.

Keputusan kelima. Kerugian yang boleh dikompensasikan adalah kerugian finansial yang riil atau lepasnya keuntungan yang bisa dipastikan. Jadi, tidak mencakup kerugian etika atau kerugian yang bersifat abstrak.

Keputusan keenam. Persyaratan denda ini tidak berlaku, jika terbukti bahwa inkonsistensi terhadap transaksi itu disebabkan oleh faktor yang tidak diinginkan, atau terbukti tidak ada kerugian apa pun disebabkan adanya pihak yang inkonsisten dengan transaksi.

Keputusan ketujuh. Berdasarkan permintaan salah satu pihak pengadilan, dibolehkan untuk merevisi nominal denda jika ada alasan yang bisa dibenarkan dalam hal ini, atau disebabkan jumlah nominal tersebut sangat tidak wajar.

Yang kedua adalah fatwa Haiah Kibar Ulama Saudi. Secara ringkas, keputusan mereka adalah sebagai berikut, “Syarth Jaza’i yang terdapat dalam berbagai transaksi adalah syarat yang benar dan diakui sehingga wajib dijalankan, selama tidak ada alasan pembenar untuk inkonsistensi dengan perjanjian yang sudah disepakati.

Jika ada alasan yang diakui secara syar’i, maka alasan tersebut mengugurkan kewajiban membayar denda sampai alasan tersebut berakhir.

Jika nominal denda terlalu berlebihan menurut konsesus masyarakat setempat, sehingga tujuan pokoknya adalah ancaman dengan denda, dan nominal tersebut jauh dari tuntutan kaidah syariat, maka denda tersebut wajib dikembalikan kepada jumlah nominal yang adil, sesuai dengan besarnya keuntungan yang hilang atau besarnya kerugian yang terjadi.

Jika nilai nominal tidak kunjung disepakati, maka denda dikembalikan kepada keputusan pengadilan, setelah mendengarkan saran dari pakar dalam bidangnya, dalam rangka melaksanakan firman Allah, yaitu surat an-Nisa’: 58.” (Taudhih al-Ahkam: 4/253–255)

Jadi, anggapan sebagian orang bahwa syarth jaza’i secara mutlak itu mengandung unsur riba nasi’ah adalah anggapan yang tidak benar. Anggapan ini tidaklah salah jika ditujukan untuk transaksi-transaksi yang pada asalnya adalah utang-piutang, semisal jual-beli kredit dan transaksi salam.

***

Sumber : ekonomisyariat.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 173 : Gadai dalam Islam

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Gadai dalam Islam

Penulis: .

Ustadz Kholid Syamhudi .

.

Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam ibadah maupun muamalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang membutuhkan interaksi dengan orang lain untuk saling menutupi kebutuhan dan tolong-menolong di antara mereka.

Karena itulah, kita sangat perlu mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, di antaranya tentang interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan perpindahan harta dari satu tangan ke tangan yang lain.

Utang-piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak muncul fenomena ketidakpercayaan di antara manusia, khususnya di zaman kiwari ini. Sehingga. orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.

Realita yang ada tidak dapat dipungkiri, suburnya usaha-usaha pegadaian, baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya kegiatan gadai ini. Ironisnya, banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil dalam Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya, terjadi kezaliman dan saling memakan harta saudaranya dengan batil.

Dalam rubrik fikih kali ini kita angkat permasalahan gadai (rahn) dalam tinjauan syariat Islam.

Definisi ar-Rahn

Rahn, dalam bahasa Arab, memiliki pengertian “tetap dan kontinyu”. [1] Dalam bahasa Arab dikatakan: المَاءُ الرَّاهِنُ apabila tidak mengalir, dan kata نِعْمَةٌ رَاهِنَةٌ bermakna nikmat yang tidak putus. Ada yang menyatakan, kata “rahn” bermakna “tertahan”, dengan dasar firman Allah,

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas perbuatan yang telah dikerjakannya.” (Qs. Al-Muddatstsir: 38)

Pada ayat tersebut, kata “rahinah” bermakna “tertahan”. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama, karena yang tertahan itu tetap ditempatnya. [2]

Ibnu Faris menyatakan, “Huruf ra`, ha`, dan nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini terbentuk kata ‘ar-rahn’, yaitu sesuatu yang digadaikan.” [3]

Adapun definisi rahn dalam istilah syariat, dijelaskan para ulama dengan ungkapan, “Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, agar utang bisa dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.” [4]

“Atau harta benda yang dijadikan jaminan utang untuk melunasi (utang tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut, apabila si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.” [5]

“Memberikan harta sebagai jaminan utang agar digunakan sebagai pelunasan utang dengan harta atau nilai harta tersebut, bila pihak berutang tidak mampu melunasinya.” [6]

Sedangkan Syekh al-Basaam mendefinisikan ar-rahn sebagai jaminan utang dengan barang yang memungkinkan pelunasan utang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya. [7]

Hukum ar-Rahn

Utang-piutang dengan sistem gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar al-Quran, as-Sunnah, dan ijma’ kaum muslimin.

Dalil al-Quran adalah firman Allah,

وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Baqarah: 283)

Walaupun terdapat pernyataan “dalam perjalanan” namun ayat ini tetap berlaku secara umum, baik ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim (menetap), karena kata “dalam perjalanan” dalam ayat ini hanya menunjukkan keadaan yang biasanya memerlukan sistem ini (ar-rahn).

Hal ini pun dipertegas dengan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melakukan pegadaian, sebagaimana dikisahkan Ummul Mukminin Aisyah dalam pernyataan beliau,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ

“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besinya.” (HR. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603)

Demikian juga, para ulama bersepakat menyatakan tentang disyariatkannya ar-rahn ini dalam keadaan safar (melakukan perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam al-Qurthubi menyatakan, “Tidak ada seorang pun yang melarang ar-rahn pada keadaan tidak safar kecuali Mujahid, ad-Dhahak, dan Daud (az-Zahiri). [8] Demikian juga Ibnu Hazm.

Ibnu Qudamah menyatakan, “Ar-rahn diperbolehkan dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian).

Ibnul Mundzir menyatakan, “Kami tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid. Ia menyatakan, ‘Ar-rahn itu tidak ada, kecuali dalam keadaan safar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ

“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”

Akan tetapi, yang benar dalam permasalahan ini adalah pendapat mayoritas ulama, dengan adanya dalil perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (HR. Al-Bukhari no. 2512). Wallahu A’lam. [9]

Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah, al-Hafidz Ibnu Hajar [10], dan Muhammad al-Amin asy-Syinqithi. [11]

Setelah jelas tentang pensyariatan ar-rahn dalam keadaan safar (perjalanan), maka bagaimanakah hukum ar-rahn pada keadaan yang berbeda? Apakah hukumnya wajib dalam safar dan mukim, tidak wajib pada keseluruhannya, atau wajib dalam keadaan safar saja? Dalam hal ini, para ulama berselisih dalam dua pendapat.

Pendapat pertama, tidak wajib, baik dalam perjalanan atau keadaan mukim. Inilah pendapat Mazhab empat imam (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah).

Ibnu Qudamah berkata, “Penyerahan ar-rahn (barang gadai) itu tidak wajib. Kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya, karena ia adalah jaminan atas utang sehingga tidak wajib untuk diberikan, seperti dhiman (jaminan pertanggungjawaban).” [12]

Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan ar-rahn dalam keadaan mukim di atas yang tidak menunjukkan adanya perintah, sehingga menunjukkan tidak wajibnya penyerahan ar-rahn (barang gadai).

Demikian juga, karena ar-rahn adalah jaminan utang, sehingga tidak wajib untuk diserahkan, seperti dhiman (jaminan pertanggungjawaban) dan kitabah (penulisan perjanjian utang). Selain itu, karena rahn itu ada ketika penulisan perjanjian utang sulit untuk dilakukan. Bila penulisan perjanjian utang tidak wajib untuk dilakukan, maka demikian juga dengan penggantinya (yaitu ar-rahn).

Pendapat kedua, wajib dalam keadaan safar. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah,

وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ

“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”

Mereka menyatakan bahwa kalimat “maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)” adalah berita yang bermakna perintah.

Juga dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

“Semua syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah, maka dia batil walaupun ada seratus syarat.” (HR. Al-Bukhari)

Mereka menyatakan, “Pensyaratan ar-rahn dalam keadaan safar terdapat dalam al-Quran dan merupakan perkara yang diperintahkan, sehingga wajib untuk mengamalkannya. Serta tidak ada pensyaratan bahwa ar-rahn hanya dalam keadaan mukim, sehingga dia tertolak.”

Pendapat ini dibantah dengan argumentasi bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud sebagai bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya,

فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ

“Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya).” (Qs. Al-Baqarah: 283)

Demikian juga, hukum asal dalam transaksi muamalah adalah boleh (mubah) hingga ada larangannya, dan di dalam permasalahan ini tidak ada larangannya.” [13]

Yang rajih adalah pendapat pertama. Wallahu a’lam.

Hikmah Pensyariatannya

Keadaan setiap orang berbeda, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu, terkadang di suatu waktu, seseorang sangat membutuhkan uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Namun dalam keadaan itu, dia pun tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya.

Hingga ia mendatangi orang lain untuk membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara berutang, sebagaimana yang disepakati kedua belah pihak. Bisa jadi pula, dia meminjam darinya, dengan ketentuan, dia memberikan barang gadai sebagai jaminan yang disimpan pada pihak pemberi utang hingga ia melunasi utangnya.

Oleh karena itu, Allah mensyariatkan ar-rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (rahin), pemberi utangan (murtahin), dan masyarakat.

Untuk rahin, ia mendapatkan keuntungan berupa dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya bisa menyelamatkannya dari krisis, menghilangkan kegundahan di hatinya, serta terkadang ia bisa berdagang dengan modal tersebut, yang dengan itu menjadi sebab ia menjadi kaya.

Adapun murtahin (pihak pemberi utang), dia akan menjadi tenang serta merasa aman atas haknya, dan dia pun mendapatkan keuntungan syar’i. Bila ia berniat baik, maka dia mendapatkan pahala dari Allah.

Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaan dan kasih sayang di antara manusia, karena ini termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Terdapat manfaat yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan, dan melapangkan penguasa. [14]

Rukun ar-Rahn (Gadai)

Mayoritas ulama memandang bahwa rukun ar-rahn (gadai) ada empat, yaitu:

  1. Ar-rahn atau al-marhun (barang yang digadaikan).
  2. Al-marhun bih (utang).
  3. Shighah. [15]
  4. Dua pihak yang bertransaksi, yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan murtahin (pemberi utang).

Sedangkan Mazhab Hanafiyah memandang ar-rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah, karena pada hakikatnya dia adalah transaksi. [16]

Syarat ar-Rahn

Dalam ar-Rahn terdapat persyaratan sebagai berikut:

1. Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi), yaitu orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal, dan rusyd (memiliki kemampuan mengatur). [17]

2. Syarat yang berhubungan dengan al-marhun (barang gadai), yaitu:

  • Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi utangnya, baik barang atau nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya. [18]
  • Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai. [19]
  • Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena ar-rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini. [20]

3. Syarat yang berhubungan dengan al-marhun bih (utang) adalah utang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib. [21]

Kapan ar-Rahn (Gadai) Menjadi Keharusan?

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ar-rahn, dalam hal apakah menjadi keharusan untuk diserahkan langsung ketika transaksi ataukah setelah serah terima barang gadainya. Terdapat dua pendapat dalam hal ini:

Pendapat pertama, serah terima adalah syarat keharusan terjadinya ar-rahn. Ini pendapat Mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam Mazhab Ahmad bin Hambal, serta Mazhab Zahiriyah.

Dasar pendapat ini adalah firman Allah “فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ”. Dalam ayat ini, Allah mensifatkannya dengan “dipegang” (serah terima), dan ar-rahn adalah transaksi penyerta yang butuh kepada penerimaan, sehingga membutuhkan serah-terima (al-qabdh) seperti utang. Juga karena hal itu adalah rahn (gadai) yang belum diserahterimakan, sehingga tidak diharuskan untuk menyerahkannya, sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia. [22]

Pendapat kedua, ar-rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian, bila pihak yang menggadaikan menolak untuk menyerahkan barang gadainya, maka dia dipaksa untuk menyerahkannya. Ini pendapat Mazhab Malikiyah dan riwayat dalam Mazhab Hambaliyah.

Dasar pendapat ini adalah firman Allah “فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ“. Dalam ayat ini, Allah menetapkannya sebagai ar-rahn sebelum dipegang (serahterimakan). Selain itu, ar-rahn juga merupakan akad transaksi yang mengharuskan adanya serah-terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti jual beli. Demikian juga menurut Imam Malik, serah terima hanyalah menjadi penyempurna ar-rahn dan bukan syarat sahnya.

Syekh Abdurrahman bin Hasan menyatakan, “Adapun firman Allah ‘فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ’ adalah sifat keumumannya, namun kebutuhan menuntut (keharusannya) tidak dengan serah-terima (al-qabdh). [23]

Prof. Dr. Abdullah ath-Thayyar menyatakan bahwa yang rajih adalah ar-rahn menjadi harus diserahterimakan melalui akad transaksi, karena hal itu dapat merealisasikan faidah ar-rahn, berupa pelunasan utang dengan barang gadai tersebut atau dengan nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya. Ayat al-Quran pun hanya menjelaskan sifat mayoritas dan kebutuhan dalam transaksi yang menuntut adanya jaminan walaupun belum sempurna serah terimanya karena ada kemungkinan mendapatkannya. [24]

Kapan Serah Terima ar-Rahn Dianggap Sah?

Adakalanya barang gadai itu berupa barang yang tidak dapat dipindahkan, seperti rumah dan tanah, sehingga serah terimanya disepakati dengan cara mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.

Ada kalanya pula, barang gadai itu berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati bahwa serah terimanya adalah dengan ditakar pada takaran. Adapun bila barang timbangan maka disepakati bahwa serah terimanya adalah dengan ditimbang, dihitung bila barangnya dapat dihitung, serta diukur bila barangnya berupa barang yang diukur.

Namun bila berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan, maka terjadi perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya: ada yang berpendapat bahwa serahterimanya adalah dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak oleh yang menggadaikannya dan murtahin dapat mengambilnya.

Hukum-hukum Setelah Serah Terima

Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah-terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai, pemanfaatan, serta jaminan pertanggungjawaban bila barang gadai rusak atau hilang, di antaranya:

Pertama, pemegang barang gadai.

Barang gadai tersebut berada ditangan murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah,

وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانُُ مَّقْبُوضَةُُ

“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (Qs. Al-Baqarah: 283)

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (HR. Tirmidzi; hadits shahih)

Kedua, pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai.

Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin), dan murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka murtahin boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut). Tentunya, pemanfaatannya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (HR. Tirmidzi; hadits shahih)

Syekh al-Basam menyatakan, “Menurut kesepakatan ulama, biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.”

Demikian juga, pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya, kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas, pen). [25]

Penulis kitab al-Fiqh al-Muyassar menyatakan, “Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Orang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi utang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan utang gadainya dihasilkan dari peminjaman, maka yang demikian itu tidak boleh dilakukan, karena itu adalah peminjaman utang yang menghasilkan manfaat.

Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah yang dia berikan kepada barang gadai tersebut, tanpa izin dari penggadai, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (HR. Al-Bukhari, no. 2512).

Ini adalah pendapat Mazhab Hanabilah. Adapun mayoritas ulama fikih dari Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpandangan tentang tidak bolehnya murtahin mengambil manfaat barang gadai, dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai, dengan dalil sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ

“Dia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya menanggung biaya pemeliharaannya.” (Hr. Ad-Daruquthni dan al-Hakim)

Tidak ada ulama yang mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya kecuali Ahmad, dan inilah pendapat yang rajih -insya Allah- karena dalil hadits shahih tersebut. [26]

Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan, “Hadits ini serta kaidah dan ushul syariat menunjukkan bahwa hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan utang) memiliki hak jaminan padanya.

Bila barang gadai tersebut berada di tangan murtahin lalu dia tidak ditunggangi dan tidak diperas susunya, maka tentu akan hilanglah kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga, berdasarkan tuntutan keadilan, analogi (qiyas), serta untuk kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin), dan hewan tersebut, maka murtahin mengambil manfaat, yaitu mengendarai dan memeras susunya, serta dan menggantikan semua manfaat itu dengan cara menafkahi (hewan tersebut).

Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.” [27]

Ketiga, pertumbuhan barang gadai.

Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah dia digadaikan, adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung, seperti (bertambah) gemuk, maka ia termasuk dalam barang gadai, dengan kesepakatan ulama. Adapun bila dia terpisah, maka terjadi perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.

Abu Hanifah dan Imam Ahmad, serta yang menyepakatinya, berpandangan bahwa pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai berada di tangan murtahin akan diikut sertakan kepada barang gadai tersebut.

Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm, serta yang menyepakatinya, berpandangan bahwa hal pertambahan atau pertumbuhan barang gadai tidak ikut serta bersama barang gadai, namun menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja, Ibnu hazm berbeda pendapat dengan Syafi’i dalam hal kendaraan dan hewan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat bahwa dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) menjadi milik orang yang menafkahinya. [28]

Keempat, perpindahan kepemilikan dan pelunasan utang dengan barang gadai.

Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (rahin) dan dia tidak mampu melunasi utangnya.

Pada zaman jahiliyah dahulu, apabila pembayaran utang telah jatuh tempo, sedangkan orang yang menggadaikan belum melunasi utangnya, maka pihak yang memberi pinjaman uang akan menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya (si peminjam uang).

Kemudian, Islam membatalkan cara yang zalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya yang berada di tangan pihak yang memberi pinjaman. Karenanya, pihak pemberi pinjaman tidak boleh memaksa orang yang menggadaikan barang tersebut untuk menjualnya, kecuali si peminjam tidak mampu melunasi utangnya tersebut.

Bila dia tidak mampu melunasi utangnya saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apabila ternyata hasil penjualan tersebut masih ada sisanya, maka sisa penjualan tersebut menjadi milik pemilik barang gadai (orang yang menggadaikan barang tersebut). Bila hasil penjualan barang gadai tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya. [29]

Demikianlah, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila pembayaran utang telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada murtahin (pemilik piutang) untuk menyelesaikan permasalahan utangnya, karena itu adalah utang yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi seperti utang tanpa gadai.

Bila ia dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya, maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (rahin) untuk menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin, dan murtahin didahulukan atas pemilik piutang lainnya dalam pembayaran utang tersebut.

Apabila penggadai tersebut enggan melunasi utangnya dan menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang gadainya tersebut.

Apabila dia tidak juga menjualnya, maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi utang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat Mazhab Syafi’iyah dan Hambaliyah.

Malikiyah berpandangan bahwa pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya, serta boleh melunasi utang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah berpandangan bahwa murtahin boleh menagih pelunasan utang kepada penggadai, serta meminta pemerintah untuk memenjarakannya bila dia tampak tidak mau melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya. Pemerintah hanya boleh memenjarakannya saja, sampai ia menjual barang gadainya, dalam rangka meniadakan kezaliman. [30]

Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi utangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan si penggadai, karena tujuannya adalah membayar utang dan itu telah terealisasikan dengan penjualan barang gadai. Selain itu, juga akan timbul dampak sosial yang negatif di masyarakat jika si penggadai (yang merupakan pihak peminjam uang) dipenjarakan.

Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh utangnya maka selesailah utang tersebut, dan bila tidak dapat menutupinya maka penggadai tersebut tetap memiliki utang, yang merupakan selisih antara nilai barang gadainya yang telah dijual dan nilai utangnya. Dia wajib melunasi sisa utang tersebut.

Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai, tidak seperti realita yang banyak berlaku, yaitu pemilik piutang menyita barang gadai yang ada padanya, walaupun nilainya lebih besar dari utang si pemilik barang gadai, bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas merupakan perbuatan jahiliyah dan sebuah bentuk kezaliman yang harus dihilangkan.

Wallahul Muwaffiq.

Referensi:

1. Kitab al-Fiqh al-Muyassarah, Qismul Muamalah, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Alu Musa, cetakan pertama, tahun 1425 H, Madar al-Wathani lin Nasyr, Riyadh, KSA.

2. Abhaats Hai’at Kibar al-Ulama bil Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah, disusun oleh al-Amanah al-’Amah li Hai’at Kibar al-Ulama, cetakan pertama, tahun 1422 H.

3. Kitab Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah al-Bassam, cetakan kelima, tahun 1423 H, Maktabah al-Asadi, Makkah, KSA.

4. Mughni, Ibnu Qudamah, tahqiq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki dan Abdul Fatah Muhammad al-Hulwu, cetakan kedua, tahun 1412 H, Penerbit Hajar, Kairo, Mesir.

5. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, Imam Nawawi, dengan penyempurnaan Muhamma Najib al-Muthi’i, cetakan tahun 1419 H, Dar Ihya at-Turats al-’Arabi, Beirut.

===

Catatan kaki:

[1] Lihat: Kitab Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah Al Bassam, cetakan kelima, tahun 1423, Maktabah al-Asadi, Makkah, KSA, 4/460.

[2] Lisan al-Arab, karya Ibnu Mandzur pada kata “rahana”, dinukil dari kitab Al-Fiqh al-Muyassar, Qismul Mu’amalah, Prof. Dr Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Alu Musa, cetakan pertama, tahun 1425H, Madar al-Wathani lin Nasyr, Riyadh, KSA, hlm. 115.

[3] Mu’jam Maqayis al-Lughah: 2/452, dinukil dari Abhats Hai’at Kibar al-Ulama bil Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah, disusun oleh al-Amanah al-’Amah Lihai’at Kibar al-Ulama, cetakan pertama, tahun 1422 H, 6/102.

[4] Lihat: Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, Imam Nawawi, dengan penyempurnaan Muhamma Najieb al-Muthi’i, cetakan tahun 1419 H, Dar Ihya at-Turats al-’Arabi, Beirut, 12/299—300.

[5] Lihat: Mughni, Ibnu Qudamah, tahqiq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki dan Abdul Fatah Muhammad al-Hulwu, cetakan kedua, tahun 1412 H, penerbit Hajar, Kairo, Mesir, 6/443.

[6] Lihat: Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab al-‘Aziz.

[7] Taudhih al-Ahkam Syarah Bulugh al-Maram : 4/460.

[8] Abhats Hai’at Kibar Ulama: 6/107.

[9] Lihat: Al-Mughni: 6/444 dan Taudhih al-Ahkam: 4/460.

[10]Fathul Bari: 5/140.

[11]Adhwa’ al-Bayan: 1/228.

[12]Al-Mughni: 6/444.

[13]Abhats Hai’at Kibar Ulama: 6/112—112.

[14] Abhats Hai’at Kibar Ulama: 6/112.

[15]Shighah adalah sesuatu yang menjadikan kedua transaktor dapat mengungkapkan keridhaannya dalam transaksi, baik berupa perkataan yaitu ijab qabul, atau berupa perbuatan.

[16]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 116.

[17]Lihat: Al Majmu’ Syarhul Muhadzab: 12/302, al-Fiqh al-Muyassar hlm. 116, dan Taudhih al-Ahkam: 4/460.

[18]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 116.

[19]Taudhih al-Ahkam: 4/460 dan al-Fiqh al-Muyassar hlm. 116.

[20]Taudhih al-Ahkam: 4/460.

[21]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 116.

[22]Al-Mughni: 6/446.

[23]Taudhih al-Ahkam: 4/464.

[24]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 117.

[25]Lihat pembahasannya dalam Taudhih al-Ahkam: 4/462–477.

[26]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 117.

[27]Dinukil dari Taudhih al-Ahkam: 4/462.

[28]Abhats Hai’at Kibar Ulama 6/134-135

[29]Taudhih al-Ahkam: 4/467.

[30]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 119.

***

Sumber : ekonomisyariat.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

20 Juli 2010

FILE 172 : Merubah Niat dalam Sholat

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Merubah Niat di Tengah Shalat

Penulis: Ummu Fatimah Umi Farikhah

Murojaah: Ust. Aris Munandar hafidzahullah

.

Seringkali setelah takbiratul ihram kita teringat ternyata masih ada shalat wajib yang belum dikerjakan atau timbul keinginan menunaikan shalat sunnah rawatib dahulu atau bahkan diawal shalat ia berniat menjadi makmum lalu ditengah shalat ia menjadi imam. Bagaimana sebenarnya hukum merubah niat setelah takbiratul ihram?

Pengertian Shalat Muthlaq dan Mu’ayyan

Seseorang yang sedang meniatkan shalat tertentu maka dalam shalat tersebut terdapat dua unsur niat: niat Muthlaq dan niat Mu’ayyan. Jika batal niat Mu’ayyan maka yang tersisa niat Muthlaq-nya. (Asy-Syarh Al-Mumti’, II/298) [Muthlaq => tidak dibatasi/ditentukan; Mu'ayyan => tertentu, dibatasi -Sa'ad]

Sebagai contoh seorang yang hendak menunaikan shalat dzuhur maka maka dalam shalat tersebut tersebut terdapat dua unsur niat. Dzuhur sebagai niat Mu’ayyan sementara shalat sebagai niat Muthlaq.

Merubah Niat Ditengah Shalat

  • Dari shalat fardhu ke shalat sunnah Muthlaq, hukumnya terlarang. Contohnya ada seseorang sedang menunaikan shalat dzuhur sendirian kemudian ia melihat sejumlah orang yang mendirikan shalat dzuhur berjamaah. Ia bermaksud merubah niat shalat dzuhur yang ia kerjakan menjadi shalat sunnah Muthlaq dan ingin menunaikan shalat dzuhur berjamaah maka hukumnya tidak boleh.
  • Dari shalat fardhu ke shalat fardhu jenis lainnya, hukumnya terlarang. Kedua shalat tersebut menjadi batal. Shalat yang pertama batal karena diputus niatnya sementara shalat yang kedua batal karena orang tersebut tidak berniat sejak awal (sebelum takbiratul ihram). Contohnya ada seseorang yang sedang shalat ‘asar, ditengah-tengah shalat tiba-tiba ia teringat dirinya belum mengerjakan shalat dzuhur lalu ia bermaksud merubah niat shalat asar yang ia kerjakan menjadi shalat dzuhur maka hal ini tidak boleh.
  • Dari shalat sunnah ke shalat fardhu, hukumnya terlarang. Beralasan sebagaimana pada poin kedua diatas. Sebagai contoh ada orang melakukan shalat sunnah subuh dua raka’at (sunnah qabliyyah) kemudian ia ingin merubahnya menjadi shalat subuh (shalat fardhu) maka hal ini hukumnya tidak boleh. Bahkan jika ia benar-benar merubah niatnya maka kedua shalat tersebut batal.
  • Dari shalat sunnah Mu’ayyan ke shalat sunnah Muthlaq, hukumnya boleh. Hal ini dikarenakan dalam shalat sunnah Mu’ayyan terdapat unsur shalat sunnah Muthlaq (sebagaimana pengertian yang kami berikan diawal tulisan ini). Contohnya, seseorang berniat shalat sunnah dzuhur 4 rakaat, ditengah shalat ia mendengar iqamah sudah dikumandangkan kemudian ia merubah niat shalat sunnah 4 raka’at menjadi 2 raka’at karena ingin bersegera shalat dzuhur berjamaah maka hukumnya boleh.
  • Dari shalat sunnah Mu’ayyan ke shalat sunnah Mu’ayyan lainnya, hukumnya terlarang. Sebagai contoh seseorang yang sedang mengerjakan shalat sunnah tahiyyatul masjid kemudian ia hendak merubah niatnya menjadi shalat sunnah subuh maka hal ini tidak boleh. Jika ia memang benar-benar melakukannya maka kedua shalatnya batal sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
  • Dari shalat sunnah Muthlaq ke shalat sunnah Mu’ayyan, hukumnya terlarang. Sebagai contoh seseorang yang sedang mengerjakan shalat sunnah Muthlaq dua rakaat tanpa niat Mu’ayyan (seperti halnya shalat sunnah dua rakaat sesudah wudhu) kemudian ditengah shalat ia ingin merubah niatnya menjadi shalat sunnah subuh (sunnah Mu’ayyan) maka hal ini tidak boleh beralasan sebagaimana yang telah lalu.
  • Dari niat imam menjadi makmum, hukumnya boleh. Berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha, tentang kisah Abu Bakar mengimami para sahabat. Dalam hadits tersebut beliau menyebutkan, “Ketika ia (Abu Bakar) melihat Rasulullah datang, ia mundur. Nabi shallallahu alaihi wassalam memberi isyarat kepadanya seraya bersabda, “Tetaplah ditempatmu”. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan duduk di samping Abu Bakar. Maka Abu Bakar salat berdiri bermakmum kepada Rasulullah shallallahu alaihi wassalam sementara para sahabat lainnya mengikuti Abu Bakar radhiyallahu’anhu“. (HR. Bukhari dan Muslim)
  • Berniat makmum dibelakang seorang imam kemudian pindah ke imam yang lain, hukumnya boleh. Sebagai contoh seseorang yang berada dibelakang imam yang sedang sakit kemudian ditengah shalat imam tersebut tidak kuat melanjutkan shalatnya dan diganti dengan imam lain maka shalat makmum yang dibelakanganya tetap sah. Berdalil dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha di atas ketika para sahabat bermakmum di belakang Abu Bakar radhiyallahu’anhu kemudian berpindah ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan juga kisah terbunuhnya Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu saat mengimami para sahabat kemudian datanglah Abdurrahman bin Auf radhiallahu’anhu menggantikan beliau sebagai imam.
  • Niat makmum menjadi imam, hukumnya boleh. Ketika imam memiliki udzur meninggalkan shalat seperti karena sakit atau yang lainnya lalu ia menunjuk seorang makmum menggantikan dirinya. Berdasarkan kisah terbunuhnya Umar radhiyallahu’anhu diatas.
  • Berniat shalat sendiri kemudian menjadi imam, hukumnya boleh. Seperti seseorang shalat sendirian kemudian orang lain datang bermakmum dibelakangnya. Berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Aku pernah bermalam dirumah bibiku. Saat Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam shalat malam akupun menyusul beliau. Aku berdiri disebelah kiri lalu beliau memegang kepalaku dan menariknya disebelah kanan. “(HR. Bukhari dan Muslim). Meskipun hadits ini berkisah tentang shalat sunnah namun yang benar tidak ada perbedaan antara shalat sunnah dengan shalat fardhu.
  • Berniat imam kemudian menjadi shalat sendirian, hukumnya terlarang kecuali jika ada udzur. Seperti makmum mendapatkan udzur meninggalkan shalat jamaah hingga imam shalat sendirian maka hukumnya boleh dan shalatnya tetap sah.
  • Berniat menjadi makmum kemudian menjadi shalat sendirian, hukumnya boleh jika ada udzur. Seperti bacaan imam yang terlalu panjang hingga melebihi tuntunan yang diajarkan maka makmum diperbolehkan meninggalkan jamaah dan shalat sendirian. (Shahih Fiqh Sunnah, I/308 dengan sedikit tambahan)

Washallahu’ala nabiyyina Muhammad wa’ala alihi washahbihi wattabi’in.

Maraji’

1. Asy Syarhul Mumti’ ‘ala Zaad al Mustaqni‘, Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Muassasah Asam, Riyadh KSA.

2. Shahih Fiqh As Sunnah, Abu Malik Kamal, Maktabah Taufiqiyyah.

***

Sumber : muslimah.or.id

.

Artikel Terkait:

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

17 Juli 2010

FILE 171 : Cara Turun Sujud dalam Sholat

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

TURUN SUJUD, TANGAN ATAU LUTUT DAHULU?

.

Pertanyaan

Surat Pertama:

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sholawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para shahabatnya dan semua pengikut beliau sampai akhir zaman.

Melalui surat ini saya ingin menanyakan beberapa masalah:

1. Bagaimana yang sebenarnya menurut Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam posisi tangan di waktu I’tidal, bersedekap atau irsal (tangan lurus)?

2. Bagaimana yang sebenarnya menurut Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu akan sujud, tangan lebih dulu atau lutut lebih dahulu?

Hal tersebut kami tanyakan berkenaan saya mendapat teguran/nasehat dari salah seorang ikhwan dari salah satu organisasi yang berpusat di Bandung yang singkat kata ia berkata: “Yang perintah Rasul tidak dilaksanakan, yang dilarang Rasul dilaksanakan”. (kami I’tidal bersedekap, kami sujud tangan lebih dulu). Dan perlu diketahui, bahwa kami bukan anggota organisasi tersebut, tetapi saya ingin beragama berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah/Salafush Shalih, tidak taklid/jumud kepada salah satu organisasi/partai.

Demikian pertanyaan kami, dan kami mohon secepatnya dijawab dengan tegas, jelas dan terperinci, serta dimuat di Majalah As-Sunnah agar kami bisa mengetahuinya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Shabirin, Citeureup, Bogor 16810

.

====

Kami dapatkan juga surat senada, yaitu:

.

Surat Kedua:

“Ada hadits: Dari Abi Hurairah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

Apabila seorang dari kamu sujud, maka janganlah ia duduk seperti duduknya (berlututnya) onta, tetapi hendaklah ia meletakkan dua tangannya itu lebih dulu daripada dua lututnya”.

- Dalam Sifat Shalat Nabi karangan Muhammad Nashiruddin Al-Albani, beliau menjelaskan bahwa sujud itu dengan mendahulukan tangan (mendahulukan)kepada kedua tangan berdasarkan hadits di atas.

- Sedang dalam kitab (Tarjamah-Red) Bulughul Maram karya A. Hasan dalam keterangannya menjelaskan bahwa hadits di atas terbalik. Yang sebenarnya “hendaklah ia meletakkan dua lututnya lebih dahulu daripada dua tangannya”.

Menurut As-Sunnah yang shahih keterangan yang mana?

Ihwan H, Kampung Buaran,

Harapan Mulya, Bekasi, Jabar.

.

====

Surat Ketiga:

“Dalam Shifatu Shalatin Nabiyyi SAW, Al-Albani berpendapat bahwasanya kedua tangan diletakkan terlebih dahulu daripada kedua lutut, ketika turun untuk sujud.(HR. Ibnu Khuzaimah (I/76/1), Ad-Daruquthny dan Al-Hakim, dishahihkan oleh Adz-Dzhabi) dan Al-Marwazi (dalam Al-Masa-il ) telah meriwayatkan pula hal demikian dengan sanad yang shahih. Demikian pula pendapat Al-Auza’i, Malik, Ibnu Hazm serta Hasan Al-Bashri. Kata Abu Daud: “Itulah pendapat Ash-habul Hadits”.

Sedangkan menurut Prof. Hasby Ash Shiddiqy (Pedoman Shalat), Jumhur Ulama menyukai supaya kita meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan. Demikian pula pendapat Imam Syafi’i (Al-Umm [I/98]), Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim (Zaadul Ma’ad), Syeikh Abdurrahman Al-Jibrin (Shifatus Shalah) dan Syeikh Bin Baz (Fatawa Muhimmat Tata’alaq fi As-Shalati) dan Syeikh Hasan ‘Ali As-Saqqaf (Shahih Shifah Shalah an-Nabi). Kata Ibnu Mundzir: “Demikian fatwaku”.

Akan tetapi Syeikh Abul Hasan Mustafa bin Isma’il As-Sulaimani Al-Ma’ribi menyatakan: “Mengingat tidak adanya riwayat yang shahih dalam masalah ini, maka ada kelapangan dalam permasalahan ini, yaitu bisa turun dengan tangan terlebih dahulu atau lutut dahulu”. (Al Fatawa Asy-Syar’iyyah). Wallahu A’lam.

Dari berbagai pendapat yang berbeda ini, manakah pendapat yang bisa kita pakai dan sesuai dengan syari’at yang shahih, mengingat beliau-beliau itu adalah para ahli hadits dan fiqh yang tidak diragukan lagi keilmuannya? Benarkah HR. Abu Dawud dan Ahmad dari Abu Hurairah (...hendaklah meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya) matannya. Bahkan Syeikh Hasan ‘Ali As-Saqqaf menyatakan bahwa tambahan pada riwayat Abu Hurairah tersebut sanadnya dha’if bahkan batilah, karena tambahan tersebut hanya diriwayatkan oleh Abd Al-Aziz bin Muhammad Al-Darawardy yang dianggap lemah oleh Imam Ahmad, An-Nasa’y dan Abu Hatim. Mohon dijelaskan !

Herwin Kistiandoko

JL. Asrama Ampel V/08 Ujung

SURABAYA- 60155

.

Jawaban

1. Tentang posisi tangan di waktu I’tidal, bersedekap atau irsal (tangan lurus), kami telah menjawab pertanyaan ini dan memuat masalah ini di dalam Majalah As-Sunnah pada nomor-nomor terdahulu.

Silahkan lihat:

  • Edisi 03/Tahun IV/Rubrik: Soal-Jawab/hal:4-5.
  • Edisi 11/Tahun IV/Rubrik: Fiqih/hal:32-36.

Di dalam edisi 03 tersebut juga kami telah menukilkan perkataan para ulama bahwa perselisihan masalah posisi tangan sewaktu I’tidal adalah ijtihadi, yakni tidak nash yang tegas dalam masalah ini. Kami juga telah menukilkan sikap di dalam menghadapi perselisihan ijtihadi ini, yaitu: harus berlapang dada; tidak ada pengingkaran padanya, tetapi hendaklah ditunjukkan dalilnya, dan dipilih -dengan ikhlas- pendapat yang rajih (lebih kuat); tidak boleh dijadikan sebab permusuhan atau celaan kepada orang yang tidak sependapat.

2. Tentang meletakkan tangan lebih dulu atau lutut lebih dahulu sewaktu akan sujud.

Para ulama telah berselisih tentang masalah ini, tetapi yang rajih lagi shahih adalah meletakkan kedua tangan lebih dahulu, karena dalilnya shahih, dan maknanya jelas !

.

DALIL MELETAKKAN TANGAN LEBIH DAHULU SEWAKTU AKAN SUJUD[1]

1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

"Jika salah seorang dari kamu (berkehendak) sujud, maka janganlah dia menderum sebagaimana menderumnya onta, maka hendaklah dia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya"..

Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Ahmad (II/381), Abu Dawud (‘Aunul Ma’bud [III/70]), An-Nasa-i (II/207), Ad-Darimi (I/245), Al-Bukhari di dalam At-Tarikhul Kabir (I/1/139), Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar (I/245), Al-Hazimi di dalam Al-I’tibarAl-Muhalla (IV/128-129), Al-Baghawi di dalam Syarhus Sunnah (III/134-135), dari jalan Ad-Darawurdi, dia berkata: Muhammad bin Abdillah Al-Hasan bercerita kepada kami, dari Abuz Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (hal:158-159), Ad-Daruquthni (I/344-345), Al-Baihaqi (II/99-100), Ibnu Hazm di dalam

Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini berkata: “Isnadnya shahih, tidak ada kesamaran. Tetapi Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya yang istimewa, Zadul Ma’ad, menyebutkan beberapa cacatnya, tetapi berdasarkan penelitian tidak-lah demikian" [2]

2. Hadits Abu Hurairah yang shahih di atas dikuatkan lagi oleh hadits Ibnu ‘Umar:

قَالَ نَافِعٌ كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ وَ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ يَفْعَلُ ذَلِكَ

"Nafi’ berkata: “Kebiasaan Ibnu ‘Umar meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. Dan Ibnu 'Umar berkata, 'Beginilah Nabi Shollallohu 'alayhi wa sallam dulu melakukannya' "..

Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam Shahihnya secara ta’liq (tanpa menyebutkan sanadnya-Red), dan disambungkan sanadnya oleh Ibnu Khuzaimah (I/318-319), Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar (I/254), Ad-Daruquthni (I/344), Al-Hakim (I/226), Al-Baihaqi (II/100), Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal:160), dari jalan Ad-Darawurdi, dari ‘Ubaidillah bin ‘Umar, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar.

Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini menyatakan bahwa Al-Hakim berkata: "Shahih berdasarkan syarat Muslim” dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan hadits itu memang sebagaimana yang dikatakan oleh keduanya".[3]

3. Al-Mawarzi menyebutkan di dalam “Masail”-nya dengan sanad yang shahih dari Al-Auza’i, bahwa dia mengatakan: “Aku mendapati orang-orang meletakkan tangan mereka sebelum lutut mereka”.

Riwayat ini disebutkan oleh Al-Albani di dalam Shifatush Shalat, dan beliau menyatakan: “Ibnu Sayyidinnas berkata: “Hadits-hadits yang mendahulukan kedua tangan lebih kuat”.

Ibnu Hazm berkata: “Kewajiban bagi setiap orang yang shalat jika bersujud, untuk meletakkan kedua tangannya ke tanah sebelum kedua lututnya, dan itu harus”. (Al-Muhalla [IV/129])

.

DALIL MELETAKKAN LUTUT LEBIH DAHULU SEWAKTU AKAN SUJUD DAN BANTAHANNYA

1. Dari Wail bin Hujr, dia berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau bersujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan jika beliau bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya”..

Hadits Dha’if. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (‘Aunul Ma’bud [III/68-74]), An-Nasa-i (II/206-207), Ibnu Majah (I/287), Ad-Darimi (I/245), Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar (I/255), Ad-Daruquthni (I/345), Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak (I/226), Ibnu Hibban (487), Al-Baihaqi (II/98), Al-Baghawi di dalam Syarhus Sunnah (III/133), Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal:160-161) dari jalan Syarik An-Nakha’i, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari bapaknya, dari Wail bin Hujr.

Tirmidzi berkata: “Ini hadits Hasan Gharib. Kami tidak mengetahui seorangpun meriwayatkan seperti ini dari Syarik”.

Al-Baghawi dan Al-Hazimi mengikutinya, dan berkata: “Hadits Hasan”.

Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Muslim” dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.

Tetapi pernyataan di atas terhadap hadits ini tertolak, dengan penjelasan sebagai berikut:

  • Ad-Daruquthni berkata: “Yazid bin Harun meriwayatkan sendirian dari Syarik, dan tidak ada yang menceritakan dari ‘Ashim bin Kulaib kecuali Syarik. Sedangkan Syarik tidaklah begitu kuat jika dia meriwayatkan sendirian”.
  • Al-Baihaqi (II/101)berkata: “Isnadnya dha’if”. Dia juga berkata: “Hadits ini dihitung sebagai hadits-hadits yang hanya diriwayatkan oleh Syarik Al-Qadhi, dan dia hanyalah diikuti oleh Hammam dari jalan ini, tetapi secara mursal (hanya sampai sahabat, tidak dari Nabi-Red), inilah yang disebutkan oleh Al-Bukhari dan para hafizh terdahulu lainnya rahimahumullah”.
  • Ibrahim bin Sa’id Al-jauhari berkata: “Syarik telah keliru di dalam 400 hadits”.
  • An-Nasa-i berkata: “Dia tidaklah kuat”.
  • Yahya bin Sai’d juga sangat melemahkannya.
  • Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini menyatakan: “Perkataan dari para mereka inilah yang menentramkan jiwa seorang yang adil. Karena sesungguhnya tidaklah diketahui yang mengikuti Syarik kecuali Hammam, itupun Hammam menyelisihinya dalam isnadnya. [4]. Sedangkan Syarik adalah perawi yang buruk hafalannya, dan perawi yang buruk hafalannya tidaklah dipakai sebagai hujjah jika dia bersendirian, apalagi jika dia menyelisihi !”
  • Beliau juga menyatakan: “Dengan demikian perkataan Tirmidzi bahwa hadits itu Hasan, tidak-lah hasan (baik), lebih berat lagi perkataan Al-Hakim bahwa hadits itu: “Shahih berdasarkan syarat Muslim”, walaupun disepakati oleh Adz-Dzahabi ! Karena imam Muslim hanyalah menggunakan Syarik sebagai mutaba’ah (penguat), tidak menjadikannya sebagai hujjah, maka bagaimana dia ternasuk syarat imam Muslim. Hal itu juga sudah dinyatakan dengan terang-terangan oleh Adz-Dzahabi sendiri di dalam Al-Mizan, tetapi seolah-olah dia terlupa darinya, maka Maha Suci Allah yang tidak pernah lupa”[5].

2. Sama dengan hadits di atas, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Baihaqi, namun dari jalan Hammam, dia berkata: “Muhammad bin Juhadah telah menceritakan kepada kami dari ‘Abdul Jabbar bin Wail bin Hujr, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tetapi hadits ini lemah, karena Abdul Jabbar tidak mendengar dari bapaknya, sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh di dalam At-Talkhish I/254, sehingga Al-Hafizh Al-Hazimi tidak menganggap jalan ini sama sekali. Dia berkata (hal:161): “Yang mursal itulah yang lebih kuat”.

Dengan demikian jelaslah bahwa hadits Wail di atas memiliki dua cacat:

(i). Kelemahan Syarik.

(ii). Penyelisihan Hammam.

3. Hadits Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beilau bersabda:

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِرُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَلاَ يَبْرُكْ كَبُرُوْكِ الْفَحْلِ

Apabila salah seorang dari kamu bersujud, maka hendaklah dia memulai dengan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan janganlah dia mendekam sebagaimana mendekamnya binatang jantan”..

Dalam lafazh lain dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَنَّهُ كَانَ إِذَا سَجَدَ بَدَأَ بِرُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ

"Bahwa apabila bersujud, beliau memulai dengan kedua lututnya sebelum tangannya"..

Hadits Dha'if. Kedua hadits ini asalnya satu, riwayat Ibnu Abi Syaibah (I/263); Ath-Thahawi (I/255); Al-Baihaqi (II/100); dari jalan Muhammad bin Fudhail, dari Abdullah bin Sa’id, dari kakeknya, dari Abu Hurairah, secara marfu’ (dari Nabi). Hadits ini memiliki cacat, yaitu Abdullah bin Sa’id ini telah dinyatakan dusta oleh Yahya Al-Qaththan.

Ahmad berkata: “Haditsnya munkar dan ditinggalkan”. Ibnu ‘Adi berkata: “Kebanyakan yang dia riwayatkan kelemahannya nyata”. Al-Hakim Abu Ahmad berkata: “Orang yang haditsnya pergi (lemah)”. Al-Hafizh berkata di dalam Fathul Bari (II/291): “Isnadnya dha’if. [6]

4. Hadits Anas bin Malik, dia berkata:

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهَ انْحَطَّ بِالتَّكْبِيْرِ فَسَبَقَتْ رُكْبَتَاهُ يَدَيْهِ

"Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dengan bertakbir, kedua lututnya mendahului kedua tangannya"..

Hadits Dha’if. Riwayat Ad-Daruquthni (I/345); Al-Hakim (I/226); Al-Baihaqi (II/…); Ibnu Hazm di dalam Al-Muhalla (IV/129); Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal: 159); dari jalan Al-‘Ala’ bin Isma’il Al-‘Aththar, dia berkata: Hafsh bin Ghayyats telah bercerita kepada kami, dari ‘Ashim Al-Ahwal, dari Anas.

Ad-Daruquthni, juga diikuti Al-Baihaqi, berkata: “Al-‘Ala’ bin Isma’il bersendirian (meriwayatkan) dari Hafsh di dalam isnad ini “.

Al-Hafizh berkata di dalam At-Talkhish (I/254): “Al-Baihaqi berkata di dalam Al-Ma’rifah: Al-‘Ala’ bin Ismail (meriwayatkan) sendirian, sedangkan dia itu majhul (tidak dikenal)”. Ibnul Qayyim menyetujuinya.

Setelah diketahui cacat hadits ini, maka tertolaklah perkataan Al-Hakim bahwa hadits ini: “Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”, walaupun disepakati oleh Adz-Dzahabi !

Ibnu Abi Hatim menukilkan tentang hadits ini dari bapaknya di dalam Al-‘Ilal (I/188): “Hadits Munkar”. Ibnul Qayyim menyetujuinya.

Cacat lain hadits ini adalah, bahwa ‘Umar bin Hafsh, perawi yang paling terpercaya yang meriwayatkan dari bapaknya (Hafsh bin Ghayyats), telah menyelisihi Al-‘Ala’ (perawi hadits di atas). Yaitu dia meriwayatkan dari bapaknya bahwa Umar bin Khaththab-lah yang meletakkan dua tangannya itu lebih dulu sebelum dua lututnya.

Umar bin Hafsh bin Ghayyats berkata: bapakku telah bercerita kepada kami, dia berkata: A’masy telah bercerita kepada kami, dia berkata: Ibrahim telah bercerita kepada kami, dari para sahabat Abdullah, yaitu: ‘Alqamah dan Al-Aswad, keduanya berkata:

حَفِظْنَا عَنْ عُمَرَ فِيْ صَلاَتِهِ أَنَّهُ خَرَّ بَعْدَ رُكُوْعِهِ عَلَي يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

"Kami menghafal dari Umar (bin Al-Khathtahb) di dalam shalatnya, bahwa dia turun setelah ruku’nya di atas kedua tangannya sebelum kedua lututnya"..

Dan cacat ini telah diakui oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Al-Lisan, dia berkata: “Umar bin Hafsh bin Ghayyats telah menyelisihi-nya (Al-‘Ala’), sedangkan dia adalah manusia yang paling terpercaya yang meriwayatkan dari bapaknya, dia meriwayatkan dari bapaknya, dari A’masy, dari Ibrahim, dari‘Alqamah, dan lainnya, dari Umar (bin Al-Khaththab) secara mauquf (hanya sampai sahabat Umar), inilah yang mahfuzh (lebih terjaga)”.

Dikatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah, seandainya hadits ini shahih, tetap tidak dapat menjadi hujjah, karena dua perkara:

a. Di dalam hadits Anas ini tidak ada keterangan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, karena yang disebutkan hanyalah kedua lutut dan kedua tangan saja. Bisa jadi yang mendahului itu adalah gerakan keduanya, bukan di dalam meletakkannya. Dengan demikian kedua riwayat itu sesuai.

b. Jika di dalam hadits itu ada dalil meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan, maka itu menunjukkan asal perbuatan itu boleh. Tetapi hadits Abu Hurairah menambah syari’at baru –tanpa keraguan- yaitu menghilangkan kebolehan tersebut, melarangnya –dengan yakin- , maka tidak boleh meninggalkan yang yakin karena persangkaan yang dusta !”

5. Hadits Sa’ad bin Abi Waqqas, dia berkata:.

كُنَّا نَضَعُ الْيَدَيْنِ قَبْلَ الْرُكْبَتَيْنِ فَأُمِرْنَا بِوَضْعِ الْرُكْبَتَيْنِ قَبْلَ الْيَدَيْنِ

"Kami dahulu meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut, kemudian kami diperintahkan untuk meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan"..

Hadits Dha’if. Riwayat Ibnu Khuzaimah (I/319) dan Al-Baihaqi (I/100), dari jalan Ibrahim bin Isma’il bin Yahya Ibnu Salamah bin Kumail, dia berkata: bapakku telah menceritakan kepadaku, dari bapaknya, dari Salamah, dari Mush’ab Ibnu Sa’ad bin Abi Waqqash, dari bapaknya.

Sebagian ulama (seperti: Al-Khaththabi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnul Qayyim) menyatakan bahwa hadits ini menasakh (menghapuskan) hadits yang melarang meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan. Tetapi pendapat mereka tertolak, karena hadits ini dha’if, sedangkan yang dinasakh (dihapuskan) adalah hadits yang shahih! Bagaimana bisa diterima hadits dha’if menasakh (menghapuskan) hadits shahih?

Hadits ini memiliki dua cacat: [7]

a. Tentang Ibrahim bin Isma’il ini, Ibnu Hibban dan Ibnu Numair berkata: “Di dalam riwayatnya dari bapaknya terdapat sebagian hal-hal yang mungkar”. Dan Al-‘Uqaili menyatakan: “Ibrahim tidaklah menegakkan hadits itu”.

b. Bapaknya, yaitu Isma’il bin Yahya, perawi matruk (yang ditinggalkan), sebagaimana dikatakan oleh Al-Azdi dan Ad-Daruquthni. Dan Ibnu Hajar juga telah mengisyaratkan hal itu di dalam Fathul Bari: “Ibnu Khuzaimah menyangka adanya naskh (penghapusan hukum), seandainya hadits yang menghapuskan itu shahih, niscaya hal itu telah menyelesaikan perselisihan. Tetapi hadits itu termasuk hadits-hadits yang hanya diriwayatkan oleh Ibrahim bin Isma’il bin Yahya Ibnu Salamah bin Kumail dari bapaknya, sedangkan keduanya lemah”.

Syeikh Al-Albani ketika membantah pernyataan Al-Khaththabi tentang naskh (penghapusan hukum) tersebut, menyatakan: “ Hafizh Al-Hazimi berkata: “Persangkaan Al-Khaththabi tentang naskh (penghapusan hukum) ini jauh dari kebenaran, karena dua sisi:

a. Bahwa hadits Abu Hurairah (yang dihapuskan) isnadnya shahih, sedangkan hadits Wail dha’if.

b. Bahwa hadits Abu Hurairah (yang dihapuskan) merupakan perkataan, sedangkan hadits Wail perbuatan. Sedangkan perkataan didahulukan dari pada perbuatan pada saat adanya pertentangan. Ada lagi sisi ketiga, yaitu bahwa hadits Abu Hurairah memiliki penguat dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mengambil perbuatan beliau yang sesuai dengan perkataannya lebih utama daripada mengambil perbuatan beliau yang menyelisihi perkataannya. Ini adalah jelas, tidak akan tersembunyi, insya Allah. Dan itulah pendapat Malik, dan Ahmad, sebagaimana disebutkan di dalam At-Tahqiq karya Ibnul Jauzi”. (Al-Misykah [I/282])

6. Hadits Wail bin Hujr, dia berkata:

صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ ثُمَّ سَجَدَ فَكَانَ أَوَّلَ مَا وَصَلَ إِلَي اْلأَرْضِ رُكْبَتَاهُ

"Aku shalat di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian belaiu bersujud, maka yang pertama kali sampai ke bumi adalah kedua lututnya"..

Hadits Dha’if. Riwayat Al-Baihaqi (II/99), dari jalan Muhammad bin Hujr, dia berkata: Sa’id bin Abdul Jabar bin Wail telah menceritakan kepada kami, dari ibunya, dari Wail bin Hujr. Hadits ini memiliki dua cacat:

a. Muhammad bin Hujr ini, Al-Bukhari berkata: “Padanya ada beberapa pandangan”. Adz-Dzahabi berkata: “Dia memiliki riwayat-riwayat yang mungkar”.

b. Sa’id bin Abdul Jabar, Nasai berkata: “Dia tidaklah kuat”. Dan dia bukanlah Sa’id bin Abdul Jabar Al-Qurasyi, karena perawi ini termasuk guru imam Muslim.[8]

7. "Bahwa Abdullah bin Mas’ud biasa meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya".

Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi (I/256), dari jalan Hammad bin Salamah dari Al-Hajjaj bin Artha-ah, Ibrahim An-Nakha’i berkata: “Dihafal dari Abdullah bin Mas’ud bahwa kedua lututnya turun ke tanah sebelum kedua tangannya”.

Tetapi isnadnya dha’if, lemah, selain juga mauquf (hanya sampai sahabat). Al-Hajjaj bin Artha adalah perawi lemah dan mudalis (perawi yang suka menyamarkan hadits), dan dia telah menggunakan perkataan yang menunjukkan tadlis (penyamaran). Kemudian bahwa Ibrahim An-Nakha’i tidak bertemu Abdullah bin Mas’ud. Seandainya shahih-pun, maka riwayat ini bukanlah hujjah, karena riwayatnya mauquf, sedangkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah dipertentangkan dengan perbuatan sahabat.[9]

.

SYUBHAT-SYUBHAT DAN BANTAHANNYA

Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam Zadul Ma’ad, menyebutkan beberapa cacat hadits Abu Hurairah (hadits no: 1), yang kemudian hal itu diikuti oleh orang-orang lain setelah beliau ! Tetapi berdasarkan penelitian tidaklah demikian, inilah secara ringkas bantahan terhadap hal tersebut: [10]

1. "Bahwa hadits Wail (meletakkan lutut dahulu) lebih kuat dari pada hadits Abu Hurairah (meletakkan tangan lebih dahulu)".

Bantahan : Penjelasan kami di atas telah menunjukkan bahwa hadits Wail adalah hadits dha’if, sedangkan hadits Abu Hurairah adalah hadits shahih.

2. Bahwa hadits Abu Hurairah kemungkinan matannya (teksnya) terbalik dari sebagian perawi, karena awal perkataan menyelisihi akhir perkataan. Kemungkinan yang benar: “Hendaklah ia meletakkan dua lututnya lebih dahulu daripada dua tangannya”. Sebagaimana diriwayatkan pada hadits lain.

Bantahan: Bahwa hadits Abu Hurairah (meletakkan tangan lebih dahulu) adalah shahih, dan seluruh hadits yang bertentangan dengan ini adalah dha’if, sehingga tidak dapat diterima membikin kemungkinan-kemungkinan berdasarkan hadits yang dha’if.

3. Bahwa jika hadits Abu Hurairah shahih, maka hadits itu mansukh (dihapuskan hukumnya).

Bantahan : Hadits-hadits yang dikatakan memansukh (menghapuskan) semuanya dha’if sebagaimana di atas, sehingga pernyataan itu tidak dapat diterima.

4. Hadits Abu Hurairah matannya (teksnya) mudh-tharib (goncang), sehingga termasuk lemah.

Bantahan : Hadits mudh-tharib (goncang) adalah hadits yang diriwayatkan dengan teks yang berbeda-beda, yang hampir sama. Lalu perbedaan itu mungkin dari satu perawi, yaitu seorang perawi meriwayatkan dengan teks yang berbeda-beda, atau dari banyak perawi yang setiap perawi meriwayatkan teks yang berbeda-beda dari perawi yang lain. Mudh-tharib (kegoncangan) ini menunjukkan lemahnya hadits.

Tetapi jika salah satu dari riwayat, atau beberapa riwayat dapat dinyatakan lebih kuat daripada yang lain, dengan kekuatan hafalan perawinya, atau lama bergaulnya, atau lain-lain bentuk tarjih (penguatan), maka yang dipegangi adalah yang lebih kuat, dan hadits itu bukan menjadi hadits mudh-tharib. Inilah kaedah yang telah dibuat oleh para pendahulu kita tentang hadits yang diperselisihkan dalam masalah hadits mudh-tharib.

Jika hal ini telah diketahui, maka hadits Abu Hurairah ini tidak termasuk hadits mudh-tharib, karena telah diketahui mana yang lebih kuat di antara riwayat yang diperselisihkan.

5. Bahwa perawi hadits Abu Hurairah ada pembicaraan. Al-Bukhari berkata: “Aku tidak mengetahui apakah Muhammad bin Abdillah Al-Hasan mendengar dari Abuz Zinad atau tidak..."

Bantahan : Perkataan imam Al-Bukhari ini bukanlah celaan sama sekali, karena syarat Al-Bukhari telah ma’ruf, sedangkan mayoritas ulama menyelisihinya, yaitu mereka berpendapat perawi dapat diterima dengan hidup semasa dengan yang diambil riwayatnya dan aman dari tadlis (penyamaran).

Ibnu Turkumani berkata di dalam Al-Jauhar An-Naqi: “Muhammad bin Abdillah Al-Hasan dinyatakan terpercaya oleh Nasa-i, sedangkan perkataan Al-Bukhari bahwa dia (Muhammad) tidak diikuti haditsnya bukanlah celaan yang nyata, sehingga tidak bertentangan dengan pernyataan terpercaya oleh Nasa-i (terhadap : “Muhammad bin Abdillah Al-Hasan)”.

Al-Mubarakfuri berkata di dalam Tuhfatul Ahwadzi (II/135): “Sedangkan perkataan Al-Bukhari bahwa dia (Muhammad) tidak diikuti haditsnya, maka tidaklah mengapa, karena Muhammad bin Abdillah Al-Hasan adalah perawi yang terpercaya, dan haditsnya memiliki penguat dari hadits Ibnu Umar”.

Juga Asy-Syaukani telah menyatakan demikian di dalam Nailul Authar (II/284).

Syeikh muhaddits Abul Asybal Ahmad bin Muhammad Syakir berkata di dalam komentarnya terhadap Al-Muhalla IV/128-130, setelah membawakan hadits Abu Hurairah: “Isnad hadits ini shahih, Muhammad bin Abdillah Al-Hasan, adalah nafsu zakiyah (ini gelarnya, yang artinya jiwa yang suci-Red), dia seorang yang terpercaya”. Al-Bukhari telah menyatakan cacat hadits itu bahwa dia tidak mengetahui apakah Muhammad bin Abdillah Al-Hasan mendengar dari Abuz Zinad atau tidak, tetapi ini bukanlah cacat yang (merusakkan), karena syarat Al-Bukhari telah ma’ruf tidak diikuti oleh seorangpun, sedangkan Abuz Zinad wafat di Madinah th 130 H, dan Muhammad adalah orang Madinah juga, menguasai Madinah, lalu terbunuh th 145 H, dengan umur 53 th, sehingga telah bertemu lama dengan Abuz Zinad”.

6. Ad-Daruquthni menyatakan bahwa “Ad-Darawurdi sendirian menceritakan dari Muhammad bin Abdillah Al-Hasan. Juga Ash-bagh bin Al-Faraj sendirian menceritakan dari Ad-Darawurdi”.

Bantahan:

a. Ad-Darawurdi perawi terpercaya, sehingga meriwayatkan sendirian tidak membahayakan.

b. Sebenarnya dia tidak bersendirian , bahkan telah diikuti oleh Abdullah bin Nafi’ dari Muhammad bin Abdullah, Pada riwayat Abu Dawud (841), Nasa-i (II/208), Tirmidzi (II/57-58) [Syakir]. Perkataan Ad-Daruquthni itu telah dibantah oleh Al-Hafizh Al-Mundziri dengan pernyatan seperti itu. Dan Asy-Syaukani berkata: “Tidak mengapa bersendiriannya Ad-Darawurdi, karena imam Muslim telah mengeluarkan riwayatnya dan berhujjuh dengannya di dalam Shahih Muslim, demikian juga imam Bukhari mengeluarkan riwayatnya dan berhujjuh dengannya”.

Dan hal ini diakui oleh Al-Mubarakfuri penulis Tuhfatul Ahwadzi.

7. Bahwa hadits Wail (meletakkan lutut dahulu) memiliki riwayat-rawayat lain yang menguatkan, sedangkan hadits Abu Hurairah (meletakkan tangan lebih dahulu) tidak.

Bantahan: Sesungguhnya hadits Abu Hurairah adalah shahih, dan memiliki riwayat-rawayat shahih lain yang menguatkan. Sedangkan hadits Wail adalah hadits lemah, dan seluruh riwayat-rawayat lain yang menguatkan juga lemah, sebagaimana telah dipaparkan di atas. [11]

8. Syaikhul Islam Ibnul Qayyim berkata: “Lutut onta tidaklah pada tangannya, dan jika mereka mengistilahkan dua tangan itu dengan dua lutut, maka itu hanyalah secara umum! Dan bahwa pendapat lutut onta pada tangannya itu tidak dikenal oleh ahli bahasa”.

Bantahan: “Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini berkata: “Perkataan ini perlu diperiksa, lutut onta adalah pada tangannya, itulah yang dinyatakan oleh ahli bahasa, walaupun diingkari oleh Syaikhul Islam (Ibnul Qayyim).

Ibnul Mandzur berkata di dalam Lisanul ‘Arab (XIV/236): “Dan lutut onta pada tangannya”.

Al-Azhari berkata di dalam Tahdzibul Lughah (X/216): “Dan lutut onta pada tangannya”.

Ibnul Sayyidah berkata di dalam Al-Muhkam wal Muhith (VII/16): “Dan setiap yang memiliki empat kaki dua lututnya pada kedua tangannya”.

Ibnu Hazm berkata di dalam Al-Muhalla (IV/129): “Dan kedua lutut onta adalah pada lengan (tangan) nya”.

Mengomentari perkataan Abu Hurairah dengan sanad yang shahih: “Janganlah salah seorang dari kamu menderum seperti menderumnya onta lari”, As-Saraqasbithi berkata di dalam Gharibul Hadits (II/70): “Ini adalah di dalam sujud, yaitu janganlah seseorang menjatuhkan dirinya sama sekali sebagaimana dilakukan onta lari yang tidak tenang terus menerus, tetapi hendaklah dia turun dengan tenang meletakkan kedua tangannya lalu kedua lututnya”. (Sifat Shalat Nabi, Al-Albani)

Demikian juga hal itu dikuatkan oleh kisah Suraqah bin Malik riwayat Bukhari (VII/239) dan Ahmad (IV/176):

"...Dan terbenamlah kedua tangan onta kudaku ke dalam tanah sampai mencapai lututnya”.

Ini menunjukkan bahwa lutut onta pada tangannya. Sehingga Syaikhul Islam Ibnul Qayyim tidak memiliki pegangan dalam hal ini. Al-hamdulillah atas seluruh taufik Allah.

Dan tempat bergantung pembahasan ini adalah adalah masalah lutut onta, dan bahwa jika telah pasti onta mendekam dengan kedua lututnya, maka wajib bagi orang yang shalat untuk tidak bersujud dengan meletakkan lututnya (dahulu sebelum tangannya). Dengan ini mudah-mudahan kemusykilan menjadi hilang, al-hamdulillah Yang Maha Tingi”. [12]

.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun V/1422H/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Footnote:

[1]. Kami ringkaskan dari kitab Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini yang berjudul “Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II, Th:1412 H/1992

[2]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, hal:28. Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II, Th:1412 H/1992

[3]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, hal:41. Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II, Th:1412 H/1992

[4]. Yakni Hammam meriwayatkan secara mursal (dari sahabat), sedangkan Syarik secara marfu’ (dari Nabi)-Red

[5]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, hal:31-32. Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II, Th:1412 H/1992

[6]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah, hal:34-35

[7]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, hal:35-37

[8]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”,hal: 44

[9]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”,hal: 44-45

[10]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II, Th:1412 H/1992

[11]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah” hal:40

[12]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, 46-47

***

Sumber : almanhaj.or.id

.

Baca Juga :

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin