Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

10 Maret 2010

FILE 156 : Waspada Anak [Hasil] Zina ..

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……
ANAK ZINA, ANAK HARAM ?
Oleh: Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf

A. Pengantar

Masyarakat kadang-kadang dholim dalam bersikap terhadap anak yang dilahirkan tanpa bapak yang sah alias anak zina. Anak haram, anak jadah atau sebutan lainnya mungkin sering kita dengar untuk menyebut mereka. Padahal kita semua tahu bahwa mereka tidak ingin dilahirkan tanpa ayah dan mereka juga tidak ikut menanggung dosa zina kedua orang yang menyebabkannya lahir ke alam dunia ini.

Alloh Ta’ala berfirman :

Dan seseorang itu tidak akan menanggung dosa orang lain.”

(QS. Al An’am : 164)

Namun sebelum beranjak lebih jauh, terlebih dahulu saya katakan bahwa saya tidak akan membahas semua permasalahan yang berhubungan dengan anak zina, karena pembahasan itu sangat luas, namun yang akan saya bahas disini adalah hukum anak zina dalam hubungannya dengan fiqh islam seperti menjadi imam sholat, warisan, nasab dan lainnya.

Wallahul Musta’an

B. Bolehkah Anak Zina Menjadi Imam Sholat Berjamaah ?

Jumhur ulama’ di antaranya Imam Ahmad, Atho’, Hasan Al Bashri, Tsauri dan lainnya memperbolehkannya tanpa di makruhkan. Dan ini adalah madzhab yang rajih insya Alloh. Berdasarkan beberapa dalil diantaranya :

1.Mereka tidak menanggung dosa orang tuanya. Sebagaimana firman Alloh :

Dan seseorang itu tidak menanggung dosa orang lain.” (QS. Al An’am 164)

2.Keumuman sabda Rosululloh :

يؤم القوم أقرؤكم لكتاب الله

Yang menjadi imam bagi kalian adalah orang yang paling faham terhadap kitabulloh.” (HR. Muslim 290, Abu Dawud 282, Turmudzi 235)

(Lihat Al Mughni Imam Ibnu Qudamah 3/72, Asy Syarhul Mumti’ Syaikh Utsaimin 4/355, Al Majmu’ Imam Nawawi 4/249)

  • Hanya saja Imam Syafi’i dan Abu Hanifah membenci imam dari anak zina,
  • sedangkan Imam Malik bin Anas hanya membenci anak zina jadi imam rowatib. Namun tidak ada dalil kuat yang menunjukkan akan dimakruhkannya keimamahan anak zina. (Lihat Al Umm Imam Syafi’i 1/166, Syarah Fathul Qodir Imam Ibnul Humam 1/247, Al Mudawwanah Imam Malik 1/86)

C. Nasab Anak Zina

Para ulama’ sepakat bahwa anak zina dinasabkan pada ibunya, bukan pada ayahnya, sebagaimana anak yang di li’an [1] oleh bapaknya. (Lihat Bada’i Ash shona’i Imam Al Kasani 5/363, Al Majmu’ Imam Nawawi 19/48, Al Muhalla Imam Ibnu Hazm 10/323, Al Istidlkar Imam Ibnu Abdil Bar 22/177, Zadul Ma’ad 5/368)

Dalil tentang hal ini :

1.Hadits Ibnu Umar berkata :

Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang meli’an istrinya pada zaman Rosululloh dan menafikan anaknya, maka Rosululloh memisahkan antara keduanya dan menasabkan anak tersebut pada ibunya.” (HR. Bukhori 2/525, Muslim 2/1133)

2.Hadits Aisyah berkata :

“Sa’ad bin Abi Waqqosh dan Abd bin Zam’ah bertengkar mengenai seorang anak. Sa’ad berkata : “Wahai Rosululloh, ini adalah anak saudaraku Utbah bin Abi Waqqosh, dia memesan padaku bahwa dia adalah anaknya, lihatnya pada kemiripan antara keduanya.” Maka Abd bin Zam’ah berkata : “Wahai Rosululloh, ini adalah saudaraku, dia terlahir di firasy bapakku dari budak wanitanya.” Maka Rosululloh memandangnya, dan beliau melihat ada kemiripan yang sangat jelas dengan Utbah bin Abi Waqqosh. Maka Rosululloh bersabda :

هو لك يا عبد بن زمعة الولد للفراش و للعاهر الحجر

Dia untukmu, wahai Abd bin Zam’ah anak itu milik yang memiliki firasy [2] dan bagi pezina hanyalah kerugian.” (HR. Bukhori 6750, Muslim 2/180)

  • Letak pengambilan dalil dari hadits ini bahwasanya Rosululloh tidak menjadikan bagi pezina laki-laki kecuali kerugian, oleh karena itu si anak dinasabkan pada ibunya karena tidak ada firasy. Adapun si wanita pezina, dinasabkannya anak itu padanya karena memang dia yang melahirkan, sama saja apakah kelahiran itu karena nikah ataukah zina. (Lihat Fathul Bari 10/36, Zadul Ma’ad 5/368, Al Majmu’ Imam Nawawi 19/38)

Namun para ulama’ berselisih tentang apabila sang pezina laki-laki mengakunya sebagai anak, dan tidak ada firasy (suami dari istri atau tuan bagi budak wanita) yang menentangnya, apakah bisa dinasabkan padanya ataukah tidak?

  • Imam madzhab empat dan Ibnu Hazm mengatakan bahwa anak zina tidak bisa dinasabkan pada bapaknya secara muthlak, meskipun tidak ada firasy yang menentangnya.
  • Dalil mereka adalah hadits Aisyah di atas. Di situ Rosululloh bersabda : “Anak itu milik yang punya firasy dan bagi pezina cuma kerugian.”
  • Hadits ini menunjukkan bahwa anak milik yang punya firasy, dan firasy tidak bisa dicapai kecuali dengan dua cara :
  1. Akad nikah yang shohih atau yang bathil dan sudah terjadi jima’ syubhah [3]
  2. Memiliki budak wanita

seandainya kita nasabkan anak pada pezina laki-laki itu berarti kita menjadikan anak pada selain firasy. Dan ini jelas bertentangan dengan sabda Rosululloh tersebut.

(Lihat At Tamhid Imam Ibnu Abdil Bar 7/183, Al Inshof Imam Al Mardawi 9/269, Roudlotut Tholibin Imam Nawawi 6/44, Al Muhalla 5/363)

  • Beberapa ulama’, diantaranya Atho’, Amr bin Dinar, Hasan, Ishaq bin Rohawaih. Mereka berkata apabila tidak ada pemilik firasy lalu anak zina itu ada yang mengakuinya, bahwa dia berzina dengan ibunya, maka dia dinasabkan pada yang mengakuinya tersebut.
  • Mereka menta’wilkan hadits yang dijadikan dasar oleh jumhur dengan bahwasannya anak itu milik firasy kalau ada, namun kalau tidak ada firasy dan ada yang mengaku berzina dengan ibunya maka dia dinasabkan padanya. (Lihat Al Istidlkar Imam Ibnu Abdil Bar 22/177, Tsubutun Nasab oleh Yasin Mahmud Al Khothib hal : 395)
  • Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Ibnul Qoyyim, beliau berkata :

“Qiyas yang shohih menunjukkan akan hal ini, karena bapaknya adalah salah satu yang berzina. Maka apabila anak tersebut dinasabkan pada ibunya dan bisa mewarisinya, juga adanya hubungan nasab antara ia dengan kerabat ibunya, padahal ibunya pun berzina dengan bapaknya, si anak itu pun dilahirkan dari air mani keduanya, maka apa yang menghalangi untuk di nasabkan pada bapaknya jika tidak ada yang menentangnya ? Juga pernah Juraij berkata kepada anak yang ibunya berzina dengan seorang penggembala [4] : “Siapakah bapakmu ?” maka si anak menjawab : “Fulan si penggembala.” Ini adalah pembicaraan atas bimbingan Alloh yang tidak mungkin berbohong.” (Lihat Zadul Ma’ad 5/381)

  • Madzhab ini juga dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana disebutkan oleh Imam Al Mardawi dalam Al Inshof 9/269. Wallahu A’lam

D. Hukum Menikah dengan Putrinya yang Dilahirkan karena perzinaan.

Apabila seseorang berzina berzina dengan wanita, lalu wanita tersebut hamil dan melahirkan anak wanita, apakah boleh bagi laki-laki tersebut untuk menikah dengan putri yang dilahirkan itu ?

Ada sedikit perbedaan pendapat dari para ulama’ mengenai hal ini :

Imam Malik dan Syafi’i dalam madzhab yang masyhur dari beliau [5] bahwa boleh baginya untuk menikah dengan anak putri tersebut. (Lihat Al Majmu’ Imam Nawawi 17/386, At Tamhid Imam Ibnu Abdil Bar 8/1910)

Dalil mereka adalah :

Bahwasanya anak wanita itu bukan putrinya secara syar’i, dengan bukti bahwa keduanya tidak saling mewarisi, dan tidak wajib memberi nafkah, tidak boleh menjadi wali dalam pernikahannya juga tidak dikenai hukum nasab lainnya. Dan kalau dia bukan merupakan anaknya secara syar’i maka tidak masuk dalam keumuman firman Alloh Ta’ala :

Di haramkan bagi kalian (untuk menikahi) ibu-ibu kalian, anak perempuan kalian,…” (QS. An Nisa’ : 23)

namun masuknya dalam keumuman wanita yang halal dinikahi, sebagaimana firman Alloh Ta’ala

Dan dihalalkan (menikah) dengan wanita selain mereka.” (QS. An Nisa’ : 24)

Akan tetapi jumhur ulama’, di antaranya Imam Abu Hanifah dan Ahmad mengatakan bahwa haram menikah dengan wanita hasil perbuatan zinanya. (Lihat Al Mughni 9/529, Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 32/134, Bada’i Ash Shona’i 3/1358)

Mereka berdalil dengan keumuman firman Alloh Ta’ala :

Diharamkan atas kalian (menikah) dengan ibu-ibu kalian dan anak-anak perempuan kalian …” (QS. An Nisa’ : 23)

Lafadz Banatikum (anak-anak peremuan kalian) mencakup semua anak wanita, baik secara hakikat maupun majaz. Dan memang anak ini adalah anaknya yang tercipta dari air maninya, sama saja apakah ada hak saling mewarisi ataukah tidak.

  • Pendapat yang rajihWallahu A’lam- adalah pendapat jumhur. Adapun mengenai dalil yang dipakai oleh madzhab yang membolehkannya, maka kita katakan bahwa tidak adanya sebagian hukum nasab yaitu tidak saling mewarisi, tidak boleh menjadi wali dan lainnya tidak menafikan bahwa dia itu memang anaknya, sebagaimana juga tidak bisa saling mewaris karena sebab salah satu menjadi budak atau berbeda agama. (Lihat Al Mughni 9/530)

Demikian juga keumuman ayat tahrim (ayat yang menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi yaitu An Nisa’ : 23,24) bukan seperti keumuman ayat warisan (An Nisa’ 11,12,176) dari tiga segi :

1.Ayat tahrim mencakup anak wanita, putri anak laki-laki, putri anak wanita, sebagaimana lafadl bibi juga mencakup bibinya bapak, bibinya ibu serta bibinya kakek, demikian juga anak wanita dari saudara wanita dan anak wanita dari keponakan. Keumuman seperti ini tidak terdapat dalam ayat warisan maupun ayat lainnya yang ada hubungannya dengan bab nasab.

2.Sesungguhnya diharamkannya menikah itu bisa cuma dengan sekedar adanya sebab susuan, sebagaimana disabdakan oleh Rosululloh :

يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب

Diharamkan dari sebab persusuan sebagaimana diharamkan karena sebab nasab.”

(HR. Bukhori 3/222, Muslim 2/1068)

Alloh Ta’ala mengharamkan seorang wanita untuk menikah dengan anak yang disusukannya, atau menikah dengan anak keturunannya, begitu juga haram atas ibu maupun bibinya. Bahkan diharamkan bagi anak wanita untuk menikah dengan suami ibu susunya, karena dialah yang yang menjadi sebab adanya air susu tersebut. Oleh karena itu kalau memang seseorang dilarang menikah dengan anak wanita susuannya, padahal tidak ada hukum nasab apapun selain keharaman menikah dan yang semisalnya, lalu bagaimana mungkin dihalalkan menikah dengan anak wanita yang terlahir dari air maninya ? ini lebih jelas lagi keharamannya berdasarkan keumuman khithob dan qiyas aulawi (hukum yang diqiyaskan lebih dari asalnya)

3.Alloh Ta’ala berfirman :

dan istri-istri anak kandung yang dari tulang rusuk kalian..” (QS. An Nisa’ : 23)

Lafadl “ashlabikum” (anak kandung yang dari tukang rusuk kalian) untuk mengeluarkan anak angkat, sebagimana firman Nya :

Supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (menikah) dengan istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari mereka.” (QS. Al Ahzab : 37)

Padahal telah diketahui bersama bahwa orang-orang pada zaman jahiliyah mengaku anak dari hasil zina itu lebih berat dari pada menjadikan anak angkat. Maka apabila Alloh mengkhususkan menantu hanya dari anak kandung, maka lafadl “Banat” yang umum mencakup semua yang termasuk anak perempuan. (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 32/135 dengan sedikit perubahan)

E. Hukum Warisan Anak Zina

Anak zina tidak saling mewarisi antara dia dengan bapak zinanya, karena tidak ada hubungan nasab antara keduanya sama sekali, juga tidak saling mewarisi antara dia dengan keluarga bapak zinanya. Berdasarkan hadits riwayar Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya bahwasanya Rosululloh bersabda :

أيما رجل عاهر بحرة أو أمة فالولد ولد الزنا لا يرث و لا يورث

Siapa saja lelaki yang berzina baik dengan wanita merdeka ataupun budak, maka anaknya anak zina tidak mewrisi dan tidak diwarisi.” (Shohih, lihat Shohih Turmudzi 2113 dan Tahqiq Misykah 3054)

Adapun antara dia dengan ibunya, maka keduanya saling mewarisi dengan kesepakatan para ulama’ (Lihat Al Mughni 9/114, Al Muhalla 9/302, Al Majmu’ 17/245)

Tentang cara mewarisi antara keduanya, untuk warisan anak dari ibunya maka sebagaimana hukum anak lainnya. Namun untuk warisan ibu dari anak zinanya, ada perbedaan pendapat yang cukup tajam di antara para ulama’.

I. Imam Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, Said bin Musayyib, Umar bin Abdul Aziz dan lainnya mengatakan bahwa anak zina apabila meninggal dunia , maka hartanya diwarisi oleh ibunya dan saudara-saudaranya seibu sebagaimana yang disebutkan oleh Alloh dalam Al Qur’an lalu sisanya diberikan pada baitul mal ummat islam.

Dalil mereka adalah :

Bahwasannya hak mewarisi itu telah ditetapkan dengan nash, sedang tidak ditemukan nash yang memberikan bagian ibu di atas sepertiga, juga saudara seibu tidak lebih dari seperenam. Adapun bapaknya ibu serta kerabat ibu lainnya tidak ada bagian warisnya.

II. Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, Sya’bi, An Nakho’i, Ats Tsauri, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar mengatakan bahwa harta warisan anak zina milik ibunya secara ashobah, kalau ibunya tidak ada maka diberikan pada ashobah [6] ibunya

Dalil mereka adalah :

1.Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya berkata : “Sesungguhnya Rosululloh menjadikan warisan anak yang di li’an untuk ibunya kemudian untuk ahli waris ibunya setelahnya.” (HR. Abu Dawud 2/112, Darimi 2/364 dengan sanad shohih, lihat Shohih Abu Dawud 2/220/2907)

letak pengambilan dalil bahwa ibunya mewarisi dengan cara ashobah, bahwa dalam kaedah ilmu faraidl orang yang jadi penyambung ahli waris yang ashobah maka dia mesti ashobah juga. Maka kalau keluarga dari jalur ibu ashobah berarti ibunya pun ashobah. (Lihat Tashilul faraidl hal : 48)

2.Karena ibu bagi anak zina adalah semacam ibu bapaknya dalam hal nasab, maka diapun mengambil semua sisa warisannya sebagaimana seorang bapak. (Lihat Al Mughni 9/118)

III. Sementara Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Ibnu Sirin dan Ahmad dalam riwayat lainnya mengatakan bahwa harta anak zina diwarisi oleh ibunya sesuai dengan ketentuan Al Qur’an. (mungkin 1/3 atau 1/6) lalu sisanya untuk ashobah ibunya.

Dalil mereka adalah :

1.Sabda Rosululloh :

ألحقوا الفرائض بأهلها فما بقي فلأولى رجل ذكر

Berikanlah bagian warisan pada yang berhak, lalu sisanya berikan pada laki-laki yang paling dekat.” (HR.Bukhori 8/187, Muslim 3/1233)

Dan laki-laki yang paling dekat hubungan kekeluargaan dengan anak zina adalah kerabat ibunya yang laki-laki.

2.Beberapa atsar dari sahabat, misal Ali bin Abi Tholib tatkala merajam wanita yang berzina, beliau mengatakan pada wali wanita tersebut : “anak ini (anak yang dihasilkan dari zina) adalah anak kalian, kalian mewarisinya dan diapun mewarisi kalian.”

3.Seandainya sang ibu mendapat ashobah seperti bapak, pasti akan menghalangi bagian saudaranya. Dan hal ini tidak ada seorangpun yang mengatakannya. (Lihat Al Mughni 9/118)

Pengaruh khilaf ini pada praktek pembagian warisan :

Seandainya ada anak zina meninggal yang meninggalkan ibu dan paman dari jalur ibu. Dalam madzhab pertama ibunya mendapatkan sepertiga lalu sisanya diberikan pada baitul mal. Dalam madzhab kedua ibu mendapatkan seluruh harta sedang paman tidak mendapatkan apa-apa. Dan dalam madzhab ketiga ibu mendapatkan sepertiga dan sisanya untuk paman. (Lihat Al Majmu’ Imam Nawawi 17/247, Al Mughni 9/118)

Yang rajih diantara ketiga madzhab ini –wallohu a’lam- adalah madzhab kedua karena keshohihan dan kejelasan dalil mereka, adapun dalil madzhab pertama dan ketiga adalah umum yang bisa dikhususkan. Ini adalah yang dikuatkan oleh Syaikhul islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Utsaimin. (Lihat Tashilul Fara’idl hal : 48)

Adapun warisan saudara anak zina, maka sebagai berikut :

  1. Antara dia dengan saudara sebapak tidak saling mewarisi, karena tidak ada hubungan antara keduanya disebabkan hubungan dari jalur bapak terputus.
  2. Saudara seibu mewarisi bagiannya, sebagaimana dijelaskan oleh Alloh Ta’ala dalam surat An Nisa’ : 12
  3. Saudara kandung tidak mewarisi dengan bagian saudara kandung, namun mewarisi dengan bagian saudara seibu. Walaupun kalau anak zina lahir kembar, tetap warisannya dengan bagian saudara seibu, karena keduanya tidak memiliki bapak. (Lihat Roudlotut Tholibin oleh Imam Nawawi 6/44)

Faedah :

Khilaf yang ada ini dengan catatan kalau anak zina tersebut tidak mempunyai ashobah sendiri seperti anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki dan keturunan mereka. Adapun kalau dia mempunyai ashobah sendiri maka masalahnya menjadi jelas bahwa ibu mendapatkan bagian sebagaimana yang tertera pada An Nisa : 12 dan sisanya untuk ashobahnya.

Wallahu a’lam


1 Li’an adalah seorang suami menuduh istrinya berzina tapi tidak bisa mendatangkan empat saksi dan istrinya pun tidak mau mengaku, maka keduanya di suruh bersumpah empat kali di hadapan qodli dan yang kelima laknat atau kemarahan Alloh ditimpakan bagi yang berbohong. Dan setelah itu dipisahkan antara keduanya selamanya dan anak yang dili’an dinasabkan pada ibunya.

2 Firasy adalah istri atau budak wanita, maka seorang anak yang dilahirkan oleh seorang wanita yang saat itu menjadi istri atau budak lelaki tertentu maka anak itu adalah anaknya. bagaimanapun bentuk dan keadaannya. Bisa seorang ayah mengingkarinya dengan jalan li’an (Lihat Al Majmu’ Imam Nawawi 19/47)

3 Jima’syubhah adalah jima’ yang terjadi karena kesalahan yang tidak sengaja. Mungkin antara suami istri yang dinikahkan dengan pernikahan yang bathil dan keduanya tidak tahu kalau pernikahannya bathil atau laki-laki yang menjima’i wanita yang disangkanya istrinya padahal bukan.

4 Imam Ibnul Qoyyim mengisyaratkan pada hadits Juraij dengan ibunya yang masyhur riwayat Bukhori 2482 dan Muslim 2550

5 Imam Ibnu Qoyyim, diikuti oleh Syaikh Al Albani, mengingkari bahwa hal ini pernah diucapkan oleh Imam Syafi’i (Lihat I’lamul Muwaqi’in 1/47, Tahdzirus Sajid hal : 53)

6 Ashobah adalah keluarga dari jalur laki-laki, misal anak laki-laki serta keturunan mereka yang laki-laki, bapak serta bapaknya keatas, saudara kandung atau sebapak serta anak keturunan mereka kebawah yang laki-laki, paman dari jalur bapak serta anak keturunan mereka yang laki-laki.

Sumber: ahmadsabiq.com

Artikel Terkait:

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

06 Maret 2010

FILE 155 : Memahami Takdir

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki

Muroja’ah: M. A. Tuasikal

.

Keimanan seorang mukmin yang benar harus mencakup enam rukun. Yang terakhir adalah beriman terhadap takdir Allah, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk. Salah memahami keimanan terhadap takdir dapat berakibat fatal, menyebabkan batalnya keimanan seseorang. Terdapat beberapa permasalahan yang harus dipahami oleh setiap muslim terkait masalah takdir ini. Semoga paparan ringkas ini dapat membantu kita untuk memahami keimanan yang benar terhadap takdir Allah. Wallahul musta’an.

Antara Qodho’ dan Qodar

Dalam pembahasan takdir, kita sering mendengar istilah qodho’ dan qodar. Dua istilah yang serupa tapi tak sama. Mempunyai makna yang sama jika disebut salah satunya, namun memiliki makna yang berbeda tatkala disebutkan bersamaan.[1] Jika disebutkan qodho’ saja maka mencakup makna qodar, demikian pula sebaliknya. Namun jika disebutkan bersamaan, maka qodho’ maknanya adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan, maupun perubahan terhadap sesuatu. Sedangkan qodar maknanya adalah sesuatu yang telah ditentukan Allah sejak zaman azali. Dengan demikian qodar ada lebih dulu kemudian disusul dengan qodho’.[2]

Empat Prinsip Keimanan kepada Takdir

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah. Perlu kita ketahui bahwa keimanan terhadap takdir harus mencakup empat prinsip. Keempat prinsip ini harus diimani oleh setiap muslim.

Pertama: Mengimani bahwa Allah Ta’ala mengetahui dengan ilmunya yang azali dan abadi tentang segala sesuatu yang terjadi baik perkara yang kecil maupun yang besar, yang nyata maupun yang tersembunyi, baik itu perbuatan yang dilakukan oleh Allah maupun perbuatan makhluknya. Semuanya terjadi dalam pengilmuan Allah Ta’ala.

Kedua: Mengimani bahwa Allah Ta’ala telah menulis dalam lauhul mahfudz catatan takdir segala sesuatu sampai hari kiamat. Tidak ada sesuatupun yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi kecuali telah tercatat.

Dalil kedua prinsip di atas terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَافِي السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {70}

Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS. Al Hajj:70).

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَافِي الْبَرِّوَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ يَعْلَمُهَا وَلاَحَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَرَطْبٍ وَلاَيَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مًّبِينٍ {59}

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”” (QS. Al An’am:59).

Sedangkan dalil dari As Sunnah, di antaranya adalah sabda Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa salam,

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi[3]

Ketiga: Mengimani bahwa kehendak Allah meliputi segala sesuatu, baik yang terjadi maupun yang tidak terjadi, baik perkara besar maupun kecil, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang terjadi di langit maupun di bumi. Semuanya terjadi atas kehendak Allah Ta’ala, baik itu perbuatan Allah sendiri maupun perbuatan makhluknya.

Keempat: Mengimani dengan penciptaan Allah. Allah Ta’ala menciptakan segala sesuatu baik yang besar maupun kecil, yang nyata dan tersembunyi. Ciptaan Allah mencakup segala sesuatu dari bagian makhluk beserta sifat-sifatnya. Perkataan dan perbuatan makhluk pun termasuk ciptaan Allah.

Dalil kedua prinsip di atas adalah firman Allah Ta’ala,

اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ وَكِيلٌ {62} لَّهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِئَايَاتِ اللهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ {63}63

“.Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.”(QS. Az Zumar 62-63)

وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَاتَعْمَلُونَ {96}

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu“.” (QS. As Shafat:96).[4]

Antara Kehendak Makhluk dan Kehendak-Nya

Beriman dengan benar terhadap takdir bukan berarti meniadakan kehendak dan kemampuan manusia untuk berbuat. Hal ini karena dalil syariat dan realita yang ada menunjukkan bahwa manusia masih memiliki kehendak untuk melakukan sesuatu.

Dalil dari syariat, Allah Ta’ala telah berfirman tentang kehendak makhluk,

ذَلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَن شَآءَ اتَّخَذَ إِلىَ رَبِّهِ مَئَابًا {39}

“Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.” (QS. An Nabaa’:39)

نِسَآؤُكُمْ حَرْثُ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ… {223}

“Isteri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. …”(Al Baqoroh:223)

Adapun tentang kemampuan makhluk Allah menjelaskan,

فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ {16}

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu . Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At Taghobun :16)

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ رَبَّنَا …{286}

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya….” (QS. Al Baqoroh:286)

Sedangkan realita yang ada menunjukkan bahwa setiap manusia mengetahui bahwa dirinya memiliki kehendak dan kemampuan. Dengan kehendak dan kemampuannya, dia melakukan atau meninggalkan sesuatu. Ia juga bisa membedakan antara sesuatu yang terjadi dengan kehendaknya (seperti berjalan), dengan sesuatu yang terjadi tanpa kehendaknya, (seperti gemetar atau bernapas). Namun, kehendak maupun kemampuan makhluk itu terjadi dengan kehendak dan kemampuan Allah Ta’la karena Allah berfirman,

لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28} وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}

“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwiir:28-29).

Dan karena semuanya adalah milik Allah maka tidak ada satu pun dari milik-Nya itu yang tidak diketahui dan tidak dikehendaki oleh-Nya.[5]

Macam-Macam Takdir

Pembaca yang dirahmati Allah, perlu kita ketahui bahwa takdir ada beberapa macam:

[1] Takdir Azali. Yakni ketetapan Allah sebelum penciptaan langit dan bumi ketika Allah Ta’ala menciptakan qolam (pena). Allah berfirman,

قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلاَّ مَاكَتَبَ اللهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ {51}

Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At Taubah:51)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi[6]

[2] Takdir Kitaabah. Yakni pencatatan perjanjian ketika manusia ditanya oleh Allah:”Bukankah Aku Tuhan kalian?”.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَآ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ {172} أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ ءَابَآؤُنَا مِن قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَةً مِّن بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنًا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ {173}

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata-kan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu ?” (QS. Al A’raaf 172-173).

[3] Takdir ‘Umri. Yakni ketetapan Allah ketika penciptaan nutfah di dalam rahim, telah ditentukan jenis kelaminnya, ajal, amal, susah senangnya, dan rizkinya. Semuanya telah ditetapkan, tidak akan bertambah dan tidak berkurang. Allah Ta’ala berfirman,

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِناَّ خَلَقْنَاكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن مُضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي اْلأَرْحَامِ مَانَشَآءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلاً ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أُشُدَّكُمْ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّى وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلاَ يَعْلَمَ مِن بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى اْلأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَآ أَنزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَآءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنبَتَتْ مِن كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ {5}

Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (QS. Al Hajj:5)

[5] Takdir Hauli. Yakni takdir yang Allah tetapkan pada malam lailatul qadar, Allah menetapkan segala sesuatu yang terjadi dalam satu tahun. Allah berfirman,

حم {1} وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ {2} إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ {3} فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ {4} أَمْرًا مِّنْ عِندِنَآ إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ {5}

Haa miim . Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah , (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul” (QS. Ad Dukhaan:1-5)

[5] Takdir Yaumi. Yakni penentuan terjadinya takdir pada waktu yang telah ditakdirkan sbelumnya. Allah berfirman,

يَسْئَلُهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ {29}

Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan . “ (QS. Ar Rahmaan: 29). Ibnu Jarir meriwayatkan dari Munib bin Abdillah bin Munib Al Azdiy dari bapaknya berkata, “Rasulullah membaca firman Allah “ Setiap waktu Dia dalam kesibukan”, maka kami bertanya: Wahai Rasulullah apakah kesibukan yang dimaksud?. Rasulullah bersabda :” Allah mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan meninggikan suara serta merendahkan suara yang lain[7]

Sikap Pertengahan Dalam Memahami Takdir

Diantara prinsip ahlus sunnah adalah bersikap pertengahan dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah, tidak sebagaimana sikap ahlul bid’ah. Ahlus sunnah beriman bahwa Allah telah menetapkan seluruh taqdir sejak azali, dan Allah mengetahui takdir yang akan terjadi pada waktunya dan bagaimana bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi sesuai dengan takdir yang telah Allah tetapkan.

Adapun orang-orang yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah, mereka bersikap berlebih-lebihan. Yang satu terlalu meremehkan dan yang lain melampaui batas.

Kelompok Qodariyyah, mereka mengingkari adanya takdir. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menakdirkan perbuatan hamba. Menurut mereka perbuatan hamba bukan makhluk Allah, namun hamba sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Mereka mengingkari penciptaan Allah terhadap amal hamba.

Kelompok yang lain adalah yang terlalu melampaui batas dalam menetapkan takdir. Mereka dikenal dengan kelompok Jabariyyah. Mereka berlebihan dalam menetapkan takdir dan menafikan adanya kehendak hamba dalam perbuatannya. Mereka mengingkari adanya perbuatan hamba dan menisbatkan semua perbuatan hamba kepada Allah. Jadi seolah-olah hamba dipaksa dalam perbuatannya.[8]

Kedua kelompok di atas telah salah dalam memahai takdir sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya firman Allah ‘Azza wa Jalla,

لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28} وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}

“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”(QS. At Takwiir:28-29)

Pada ayat (yang artinya), “ (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk Jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi hamba. Hal ini bertentangan dengan keyakinan mereka yang mengatakan bahwa hamba dipaksa tanpa memiliki kehendak. Kemudian Allah berfirman (yang artinya), “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” Dalam ayat ini terdapat bantahan untuk Qodariyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh hamba tanpa sesuai dengan kehendak Allah karena Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.[9]

Takdir Baik dan Takdir Buruk

Takdir terkadang disifati dengan takdir baik dan takdir buruk. Takdir yang baik sudah jelas maksudnya. Lalu apa yang dimaksud dengan takdir yang buruk? Apakah berarti Allah berbuat sesuatu yang buruk? Dalam hal ini kita perlu memahami antara takdir yang merupakan perbuatan Allah dan dampak/hasil dari perbuatan tersebut. Jika takdir disifati buruk, maka yang dimaksud adalah buruknnya sesuatu yang ditakdirkan tersebut, bukan takdir yang merupakan perbuatan Allah, karena tidak ada satu pun perbuatan Allah yang buruk. Seluruh perbuatan Allah mengandung kebaikan dan hikmah. Jadi keburukan yang dimaksud ditinjau dari sesuatu yang ditakdirkan/hasil perbuatan, bukan ditinjau dari perbuatan Allah. Untuk lebih jelasnya bisa kita contohkan sebagai berikut.

Seseorang yang terkena kanker tulang ganas pada kaki misalnya, terkadang membutuhkan tindakan amputasi (pemotongan bagian tubuh) untuk mencegah penyebaran kanker tersebut. Kita sepakat bahwa terpotongnya kaki adalah sesuatu yang buruk. Namun pada kasus ini, tindakan melakukan amputasi (pemotongan kaki) adalah perbuatan yang baik. Walaupun hasil perbuatannya buruk (yakni terpotongnya kaki), namun tindakan amputasi adalah perbuatan yang baik. Demikian pula dalam kita memahami takdir yang Allah tetapkan. Semua perbuatan Allah adalah baik, walaupun terkadang hasilnya adalah sesuatu yang tidak baik bagi hambanya.

Namun yang perlu diperhatikan, bahwa hasil takdir yang buruk terkadang di satu sisi buruk, akan tetapi mengandung kebaikan di sisi yang lain. Allah Ta’ala berfirman :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ {41}

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Ruum:41).

Kerusakan yang terjadi pada akhirnya menimbulkan kebaikan. Oleh karena itu, keburukan yang terjadi dalam takdir bukanlah keburukan yang hakiki, karena terkadang akan menimbulkan hasil akhir berupa kebaikan.[10]

Bersemangatlah, Jangan Hanya Bersandar Pada Takdir

Sebagian orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami takdir. Mereka hanya pasrah terhadap takdir tanpa melakukan usaha sama sekali. Sunngguh, ini adalah kesalahan yang nyata. Bukankah Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita dari bersikap malas? Apabila kita sudah mengambil sebab dan mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, maka kita tidak boleh sedih dan berputus asa karena semuanya sudah merupakan ketetapan Allah. Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.”[11] [12]

Faedah Penting

Keimanan yang benar terhadap takdir akan membuahkan hal-hal penting, di antaranya sebagai berikut :

Pertama: Hanya bersandar kepada Allah ketika melakukan berbagai sebab, dan tidak bersandar kepada sebab itu sendiri. Karena segala sesuatu tergantung pada takdir Allah.

Kedua: Seseorang tidak sombong terhadap dirinya sendiri ketika tercapai tujuannya, karena keberhasilan yang ia dapatkan merupakan nikmat dari Allah, berupa sebab-sebab kebaikan dan keberhasilan yang memang telah ditakdirkan oleh Allah. Kekaguman terhadap dirinya sendiri akan melupakan dirinya untuk mensyukuri nikmat tersebut.

Ketiga: Munculnya ketenangan dalam hati terhadap takdir Allah yang menimpa dirinya, sehingga dia tidak bersedih atas hilangnya sesuatu yang dicintainya atau ketika mendapatkan sesuatu yang dibencinya. Sebab semuanya itu terjadi dengan ketentuan Allah. Allah berfirman,

مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَفِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {22} لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَافَاتَكُمْ وَلاَتَفْرَحُوا بِمَآ ءَاتَاكُمْ …{23}

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu…” (QS. Al Hadiid:22-23).[13]

Demikian paparan ringkas seputar keimanan terhadap takdir. Semoga bermanfaat.

Alhamdulillahiladzi bi ni’matihi tatimmush shaalihat.


[1] Kata qodho dan qadar ini serupa dengan kata iman dan islam, fakir dan miskin. Jika keduanya disebut bersamaan, maka makna keduanya berbeda dan jika disebut secara bersendirian, maka makna keduanya sama. [ed]

[2] Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah hal 551. Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Dalam kitab Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah. Kumpulan Ulama. Penerbit Daarul Ibnul Jauzi

[3] HR. Muslim 2653.

[4] Taqriib Tadmuriyah hal 86-87, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Bashiiroh.

[5] Lihat Syarh Ushuulil Iman hal 53-54. Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Qasim. Cetakan pertama 1419 H

[6] HR. Muslim

[7] Diringkas dari Ma’aarijul Qobuul hal 503-509. Syaihk Hafidz bin Ahmad Hakami. Penerbit Darul Kutub ‘Ilmiyah. Cetakan pertama 1424 H/2004 M

[8] Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 49-51. Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi. Penerbit Daar Adwaus Salaf. Cetakan pertama 1428/2007

[9] Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqad hal 243-244. Syaikh Sholih Al Fauzan. Penerbit Maktabah Salsabiil Cetakan pertama tahun 2006.

[10] Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah hal 45, Syaikh ‘Utsaimin.

[11] HR. Muslim 2664

[12] Lihat Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqad hal 245-246.

[13] Syarh Ushuulil Iman hal 57-58.

*****

Sumber: muslim.or.id

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 154 : Asuransi dalam Tinjauan Islam

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
……

Menyoal Asuransi Dalam Islam


Disusun oleh :
Ustadz Muslim Atsari
 
Asuransi adalah perjanjian jaminan dari pihak pemberi jaminan (yaitu perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah secara rutin atau ganti barang yang lain, kepada pihak yang diberi jaminan (yaitu nasabah asuransi), pada waktu terjadi musibah atau kepastian bahaya, yang dijelaskan dengan perjanjian, hal itu sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan oleh nasabah kepada perusahaan.

Dari penjelasan ini nyata bahwa di dalam perjanjian asuransi itu ada unsur:

1. Bentuk dan jumlah jaminan yang akan diberikan pihak perusahaan asuransi;
2. Bahaya atau musibah yang terjadi;
3. Angsuran atau pembayaran yang dibayar oleh nasabah.


SEJARAH ASURANSI 

Asuransi pertama kali muncul dalam bentuk asuransi perjalanan di lautan yang muncul pada abad 14 Masehi. Namun asuransi ini memiliki akar sejarah semenjak sebelum Masehi. Yaitu bahwa seseorang meminjamkan sejumlah harta riba untuk kapal yang akan berlayar, jika kapal itu hancur, maka pinjaman itu hilang. Jika kapal selamat, maka pinjaman itu dikembalikan dengan riba (tambahan) yang disepakati. Kapal itu digadaikan sementara sebagai jaminan pengembalian hutang dan ribanya.

Demikianlah asal muasal perusahaan asuransi merupakan perjanjian yang bersifat riba, berdasarkan unsur perjudian dan menghadang bahaya. Dan asuransi tetap seperti ini sebagaimana muncul pertama kali.

Kemudian muncul asuransi di daratan di kalangan bangsa Inggris pada abad 17 Masehi. Bentuk asuransi yang pertama kali muncul adalah asuransi kebakaran. Hal ini muncul setelah kejadian kebakaran hebat di kota London pada tahun 1666 Masehi. Lebih dari 13 ribu rumah dan sekitar 100 gereja menjadi korban kebakaran. Kemudian asuransi kebakaran ini menyebar di banyak negara di luar Inggris pada abad 18 Masehi, khususnya di Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat. Kemudian asuransi semakin menyebar dan bertambah jenis-jenisnya, khususnya pada abad 20 Masehi.


JENIS-JENIS ASURANSI

Dilihat dari bentuk dan tujuannya, asuransi ada dua jenis:

1) At-Ta’miin at-Tijaariy.
Asuransi yang bertujuan mencari keuntungan, atau asuransi yang dijadikan usaha, asuransi yang memiliki angsuran yang pasti. Angsuran ini otomatis menjadi milik perusahaan asuransi sebagai ganti dari pembayaran yang dia tanggung jika terjadi musibah -atau apa yang disepakati. Jika jumlah pembayaran dari perusahaan lebih besar dari uang angsuran, maka itu ditanggung oleh perusahaan, dan merupakan kerugiannya. Jika tidak terjadi musibah, maka angsuran itu menjadi milik perusahaan tanpa ganti apapun. Dan ini merupakan keuntungannya. Inilah asuransi yang dibacarakan di sini. Dan ini terlarang karena bersifat spekulasi yang merugikan salah satu fihak.

2) At-Ta’miin at-Ta’aawuniy.
Atau juga disebut at-Ta’miin at-Tabaaduliy atau at-Ta’miin al-Islamiy. Yaitu asuransi gotong-royong atau asuransi yang sesuai dengan agama Islam. Ini tidak bertujuan mencari keuntungan, namun hanyalah bentuk tolong menolong di dalam menanggung kesusahan. Contohnya: sekelompok orang bersama-sama mengumpulkan uang, dengan uang ini mereka membantu orang yang terkena musibah. Perusahaan asuransi islam ini, tidak otomatis memiliki uang angsuran dari nasabah. Demikian juga uang yang dibayarkan ketika terjadi musibah bukan milik perusahaan, namun milik bersama. Perusahaan ini hanyalah menyimpan, mengembangkan, dan memberikan bantuan.

Selain itu ada jenis asuransi yang lain, yaitu:

3) At-Ta’miin al-Ijtima’iy (jaminan keamanan sosial).
Hal ini juga tidak mencari keuntungan, dan bukan asuransi khusus pada seseorang yang khawatir musibah tertentu. Tetapi ini bertujuan untuk membantu orang banyak, yang kemungkinan bisa berjumlah jutaan orang. Seperti yang dilakukan oleh negara-negara terhadap para pegawainya, yang dikenal dengan istilah peraturan pensiun. Yaitu dengan cara memotong gaji bulanan dengan prosentase tertentu, dan ketika telah sampai masa pensiun, uang tersebut diberikannya dalam bentuk gaji pensiun bulanan, atau uang pesangon yang diberikan sekaligus untuk membantu kehidupannya. Bahkan jenis ini sebenarnya tidaklah termasuk asuransi. Hal ini tidak mengapa, asalkan tidak disimpan di bank yang menjalankan riba.


MACAM-MACAM ASURANSI TIJARI

At-Ta’miin at-Tijaariy, asuransi yang bertujuan mencari keuntungan sangat banyak macamnya, antara lain:

1) Asuransi Kecelakaan.
Asuransi jenis ini dilakukan pada harta-harta yang dimiliki, seperti asuransi pencurian, asuransi kebakaran, dan semacamnya. Juga dilakukan pada pertanggungan jawab nasabah, seperti asuransi kecelakaan kendaraan, asuransi kecelakaan kerja, dan semacamnya.

2) Asuransi Pribadi.
Yaitu asuransi dari bahaya-bahaya yang berhubungan dengan manusia itu sendiri, di sisi kehidupannya, kesehatannya, atau keselamatannya. Hal ini meliputi asuransi jiwa dan asuransi dari musibah-musibah yang menimpa badan.

Asuransi jiwa
yaitu perjanjian yang mengharuskan perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada nasabah atau kepada orang ke tiga, sebagai ganti angsuran-angsuran yang diberikan, ketika matinya nasabah, atau tetap hidupnya nasabah sampai umur tertentu. 

Hal ini ada beberapa macam:

1. Asuransi untuk keadaan kematian. Yaitu diberikan sejumlah uang pada saat kematian nasabah. Ini ada 3 macam:

a) Asuransi selama hidup.  
Yaitu perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada orang yang diansuransikan pada saat kematian orang yang membayar asuransi (nasabah). Jika asuransi untuk jangka tertentu, seperti 20 tahun misalnya, dan nasabah itu mati sebelum lewat 20 tahun, maka angsurannya gugur, dan orang yang diasuransikan berhak mendapatkan jumlah uang asuransi secara penuh. Ini berarti kerugian bagi perusahaan. Dan jika nasabah itu masih hidup lewat 20 tahun, maka angsurannya berhenti, tetapi uang asuransi tidaklah diberikan kepada orang yang diansuransikan kecuali setelah kematian nasabah.

b) Asuransi selama waktu tertentu.  
Yaitu nasabah membayar angsuran asuransi, dan perusahaan akan membayar sejumlah uang asuransi untuk orang yang diasuransikan jika nasabah mati di dalam jarak waktu asuransi. Jika nasabah masih hidup melewati jarak waktu asuransi, maka angsuran yang telah dia bayar hilang, dan perusahaan mengambil uang tersebut dengan tanpa imbalan apa-apa. Asuransi jenis ini sangat jelas unsur perjudiannya.

c) Asuransi selama hidupnya orang yang diasuransikan.
Yaitu perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada orang yang diansuransikan, jika dia tetap hidup setelah kematian orang yang membayar asuransi (nasabah). Tetapi jika orang yang diansuransikan mati sebelum orang yang membayar asuransi (nasabah), maka asuransi berhenti, dan harta yang telah disetorkan oleh nasabah itu hilang. Asuransi jenis ini juga sangat jelas unsur perjudiannya.

2. Asuransi untuk keadaan tetap hidup.
Yaitu tetap hidupnya nasabah, ini kebalikan dari bentuk 1. a. Yaitu nasabah asuransi membayar sejumlah uang tertentu kepada perusahaan asuransi, dan perusahaan juga akan membayar sejumlah uang tertentu juga -yang lebih banyak- pada waktu yang ditentukan, jika nasabah itu tetap hidup sampai waktu tersebut. Tetapi jika nasabah mati sebelum waktu yang ditetapkan, maka asuransi berhenti, dan harta yang telah disetorkan oleh nasabah itu hilang. Dan ahli warisnya tidak dapat memanfaatkannya. Asuransi jenis ini juga sangat jelas unsur perjudiannya.

3. Asuransi Kombinasi.
Yaitu penggabungan dua jenis asuransi di atas. Perusahaan asuransi menjamin pembayaran sejumlah uang asuransi kepada orang yang diasuransikan, jika nasabah mati pada selang waktu tertentu, atau membayarkan kepada nasabah jika dia masih hidup setelah selesainya waktu asuransi. Oleh karena itu angsuran angsuransi jenis ini lebih besar dari dua jenis sebelumnya.

Asuransi dari musibah-musibah yang menimpa badan
Yaitu perusahaan asuransi menjamin pembayaran sejumlah uang asuransi kepada orang yang diasuransikan, jika nasabah tertimpa musibah yang berkaitan dengan badannya, selama masa asuransi. Atau diberikan kepada orang tertentu, jika nasabah yang mengikuti asuransi itu mati. Asuransi kesehatan termasuk jenis ini, dan terkadang asuransi kesehatan mencakup seluruh jenis penyakit, atau penyakit tubuh yang tertentu, atau tindakan operasi penyakit, atau sebagian penyakit. Dan dokumen transaksi asuransi menentukan jenis bahaya yang diasuransikan dan itu yang mendapatkan jaminan asuransi dari perusahaan


HUKUM ASURANSI

Asuransi tijari (yang merupakan usaha untuk mencari keuntungan) dengan semua jenisnya hukumnya haram, karena:

1. Perjanjian asuransi merupakan perjanjian penggantian harta yang mengandung ketidak pastian dan memuat bahaya yang sangat banyak.

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang jual beli dengan kerikil dan jual beli gharar.” (HR. Muslim, no. 1513)

Jual beli dengan kerikil, seperti seorang penjual mengatakan ”Aku menjual kain yang terkena kerikil yang aku lemparkan”. Atau ”Aku menjual tanah ini mulai sini sampai jarak kerikil yang aku lemparkan”. Atau semacamnya yang tidak ada kejelasan.

Sedang jual beli gharar yaitu jual beli yang mengandung ketidak jelasan, tipu-daya, dan tidak mampu menyerahkan barang, seperti menjual ikan di dalam kolam, menjual burung yang terbang di udara, dan semacamnya. (Lihat Syarh Muslim karya Imam Nawawi)

2. Asuransi termasuk jenis perjudian

Karena padanya terdapat bahaya kerugian di dalam pertukaran harta, kerugian dengan tanpa berbuat kejahatan atau penyebabnya, dan keuntungan dengan tanpa imbalan atau dengan imbalan yang tidak sepadan. Karena nasabah asuransi terkadang baru menyetor sekali angsuran, lalu terjadi kecelakaan, sehingga perusahaan asuransi menderita kerugian sejumlah uang asuransi. Atau tidak terjadi kecelakaan, sehingga perusahaan asuransi mendapatkan keuntungan angsuran-angsuran asuransi dengan tanpa imbalan. Dengan demikian asuransi masuk di dalam larangan perjudian di dalam firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah/5: 90)

3. Perjanjian asuransi mengandung riba

Karena keuntungan yang didapati oleh perusahaan adalah tanpa imbalan, sedangkan keuntungan nasabah merupakan tambahan dari harta pokoknya yang tidak ada imbalannya. Dan larangan riba sangat keras di dalam Islam. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah/2: 278-279)

4. Asuransi merupakan perlombaan yang hukumnya haram, karena mengandung ketidak jelasan, bahaya kerugian, dan perjudian

Dan syari’at Islam tidak memperbolehkan perlombaan yang pemenangnya mengambil harta kecuali yang padanya terdapat pembelaan dan kemenangan terhadap Islam untuk meninggikan Islam dengan hujjah atau dengan senjata. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam telah membatasi perlombaan yang pemenangnya mengambil upah dengan tiga macam:

لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ فِي حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ

“Tidak boleh mengambil hadiah harta perlombaan kecuali pada onta, kuda, atau anak panah”. (HR. Abu Dawud, no. 2574; Tirmidzi, no. 1700)

Yaitu tidak boleh mengambil harta dengan perlombaan kecuali pada salah satu dari tiga perkara di atas. Karena ketiganya -dan yang semaknanya- termasuk persiapan peperangan dan kekuatan berjihad memerangi musuh. Dan memberikan hadiah padanya merupakan dorongan kepada jihad. (Lihat Tuhfatul Ahawadzi)

5. Perjanjian asuransi, di dalamnya mengandung pengambilan harta orang lain dengan tanpa imbalan, ini merupakan kebatilan. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (QS. An-Nisa’/4: 29).

6. Perjanjian asuransi mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Syari’at

Karena perusahaan asuransi tidak membuat kecelakaan dan tidak melakukan perkara yang menyebabkan kecelakaan, namun ia wajib membayar klaim. Hal itu karena perjanjian dengan nasabah untuk menjamin bahaya jika terjadi dengan imbalan setoran angsuran nasabah.
Berdasarkan keterangan ini, maka banyak sekali fatwa para ulama yang mengharamkan asuransi tijari dengan segala jenisnya.

Dari penjelasan ini nampak bahwa asuransi yang banyak beredar, yang dilakukan sebagai usaha untuk meraih keuntungan termasuk perkara yang dilarang di dalam Syari’at. Adapun asuransi yang dibolehkan adalah At-Ta’miin at Ta’aawuniy (asuransi gotong royong) sebagaimana di atas.  
Wallahu a’lam.

[Makalah ini diringkas dari kitab Mausuu'ah Al-Qadhaayaa Al-Fiqhiyyah Al-Mu'aashirah Wal Iqtishaad Al-Islami, karya Syaikh Prof. Dr. Ali Ahmad As-Saaluus, ustadz fiqh dan ushuul di kuliyah Syari'at Univ. Qathar, hlm; 363-395, penerbit: Dar Ats-Tsaqafah Qathar; dan beberapa tambahan dari rujukan lain]

Sumber : ustadzkholid.com

********

 

Perbedaan Asuransi Islami Dengan Asuransi Konvensional

Penulis:
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Bahaya, kerusakan dan kerugian adalah kenyataan yang harus dihadapi manusia di dunia ini. Sehingga kemungkinan terjadi resiko dalam kehidupan, khususnya kehidupan ekonomi sangat besar. Tentu saja ini membutuhkan persiapan sejumlah dana tertentu sejak dini.

Oleh karena itu banyak orang mengambil cara dan sistem untuk dapat menghindari resiko kerugian dan bahaya tersebut. Diantaranya dengan asuransi yang merupakan sebuah sistem untuk merendahkan kehilangan finansial dengan menyalurkan resiko kehilangan dari seseorang atau badan ke lainnya.

Sistem ini sudah berkembang luas di negara Indonesia secara khusus dan dunia secara umumnya. Sehingga memerlukan penjelasan permasalahan ini dalam tinjauan syari’at islam.


Asuransi secara umum

Kata asuransi ini dalam bahasa inggris disebut Insurance dan dalam bahasa prancis disebut Assurance. Sedangkan dalam bahasa arabnya disebut at-Ta’mien. Asuransi ini didefinisikan dalam kamus umum bahasa Indonesia sebagai perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu akan membayar uang kepada pihak yang lain, bila terjadi kecelakaan dan sebagainya, sedang pihak yang lain itu akan membayar iuran.[1]

Demikian juga telah didefinisikan dalam perundang-undangan negara Indonesia sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[2]

Sedangkan sebagian ulama syari’at dan ahli fikih memberikan definisi yang beragam, diantaranya:

1. Pendapat pertama, asuransi adalah perjanjian jaminan dari fihak pemberi jaminan (yaitu perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah secara rutin atau ganti barang yang lain, kepada fihak yang diberi jaminan (yaitu nasabah asuransi), pada waktu terjadi musibah atau kepastian bahaya, yang dijelaskan dengan perjanjian, hal itu sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan oleh nasabah kepada perusahaan.[3]

2. Pendapat kedua, asuransi adalah Perjanjian yang mengikat diri penanggung sesuai tuntutan perjanjian untuk membayar kepada pihak tertanggung atau nasabah yang memberikan syarat tanggungan untuk kemaslahatannya sejumlah uang atau upah rutin atau ganti harta lainnya pada waktu terjadinya musibah atau terwujudnya resiko yang telah dijelaskan dalam perjanjian. Hal tersebut diberikan sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan tertanggung kepada penanggung (pihak asuransi).[4]

3. Pendapat ketiga, asuransi adalah pengikatan diri pihak pertama kepada pihak kedua dengan memberikan ganti berupa uang yang diserahkan kepada pihak kedua atau orang yang ditunjuknya ketika terjadi resiko kerugian yang telah dijelaskan dalam akad. Itu sebagai imbalan dari yang diserahkan pihak kedua berupa sejumlah uang tertentu dalam bentuk angsuran atau yang lainnya.[5]

Dari definisi yang beraneka ragam tersebut terdapat kata sepakat dalam beberapa hal berikut ini:
  1. Adanya ijab dan qabul dari pihak penanggung (al-Mu’ammin) dan tertanggung (al-Mu’ammin lahu).
  2. Adanya obyek yang menjadi arahan asuransi.
  3. Tertanggung menyerahkan kepada penanggung (pengelola asuransi) sejumlah uang baik dengan tunai atau angsuran sesuai kesepakatan kedua belah pihak, yang dinamakan premi.
  4. Penanggung memberikan ganti kerugian kepada tertanggung apabila terjadi kerusakan seluruhnya atau sebagiannya.
Inilah asuransi yang umumnya berlaku dan ini dinamakan asuransi konvensional (al-Ta’mien al-Tijaari) yang dilarang mayoritas ulama dan peneliti masalah kontemporer dewasa ini. Juga menjadi ketetapan majlis Hai’ah kibar Ulama (majlis ulama besar Saudi Arabia) no. 55 tanggal 4/4/1397 H dan ketetapan no 9 dari Majlis Majma’ al-Fiqh dibawah Munazhomah al-Mu’tamar al-Islami (OKI).[6]

Demikian juga diharamkan dalam keputusan al-Mu’tamar al-’Alami al-Awal Lil Iqtishad al-Islami di Makkah tahun 1396H.[7]

Kemudian para ulama memberikan solusi dalam masalah ini dengan merumuskan satu jenis asuransi syari’at yang didasarkan kepada akad tabarru’at [8] yang dinamakan at-Ta’mien at-Ta’awuni (asuransi ta’awun) atau at-Ta’mien at-Tabaaduli.


Pengertian Asuransi Ta’awun (at-Ta’mien at-Ta’awuni)

Para ulama kontemporer mendefinisikan at-Ta’mien at-Ta’awuni dengan beberapa definisi, diantaranya:

1. Pendapat pertama, asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang yang memiliki resiko bahaya tertentu. 

Hal itu dengan cara mereka mengumpulkan sejumlah uang secara berserikat. Sejumlah uang ini dikhususkan untuk mengganti kerugian yang sepantasnya kepada orang yang tertimpa kerugian diantara mereka. Apabila premi yang terkumpulkan tidak cukup untuk itu, maka anggota diminta mengumpulkan tambahan untuk menutupi kekurangan tersebut. Apabila lebih dari yang dikeluarkan dari ganti rugi tersebut maka setiap anggota berhak meminta kembali kelebihan tersebut. Setiap anggota dari asuransi ini adalah penanggung dan tertanggung sekaligus. Asuransi ini dikelola oleh sebagian anggotanya. 

Akan jelas gambaran jenis asuransi ini adalah seperti bentuk usaha kerjasama dan solidaritas yang tidak bertujuan mencari keuntungan (bisnis) dan tujuannya hanyalah mengganti kerugian yang menimpa sebagian anggotanya dengan kesepakatan mereka membaginya diantara mereka sesuai dengan tata cara yang dijelaskan.[9]

2. Pendapat kedua, asuransi ta’awun adalah kerjasama sejumlah orang yang memiliki kesamaan resiko bahaya tertentu untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari mereka dengan cara mengumpulkan sejumlah uang untuk kemudian menunaikan ganti rugi ketika terjadi resiko bahaya yang sudah ditetapkan.[10]

3. Pendapat ketiga, asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang membuat shunduq (tempat mengumpulkan dana) yang mereka danai dengan angsuran tertentu yang dibayar setiap dari mereka. Setiap mereka mengambil dari shunduq tersebut bagian tertentu apabila tertimpa kerugian (bahaya) tertentu.

4. Pendapat keempat, asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang yang menanggung resiko bahaya serupa dan setiap mereka memiliki bagian tertentu yang dikhususkan untuk menunaikan ganti rugi yang pantas bagi yang terkena bahaya. Apabila bagian yang terkumpul (secara syarikat) tersebut melebihi yang harus dikeluarkan sebagai ganti rugi maka anggota memiliki hak untuk meminta kembali. Apabila kurang maka para anggota diminta untuk membayar iuran tambahan untuk menutupi kekurangannya atau dikurangi ganti rugi yang seharusnya sesuai ketidak mampuan tersebut. 

Anggota asuransi ta’awun ini tidak berusaha merealisasikan keuntungan namun hanya berusaha mengurangi kerugian yang dihadapi sebagian anggotanya, sehingga mereka melakukan akad transaksi untuk saling membantu menanggung musibah yang menimpa sebagian mereka.[11]

Sehingga dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa asuransi ta’awun adalah bergeraknya sejumlah orang yang masing-masing sepakat untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari mereka sebagai akibat resiko bahaya tertentu dan itu diambil dari kumpulan iuran yang setiap dari mereka telah bersepakat membayarnya. Ini adalah akad tabarru’ yang bertujuan saling membantu dan tidak bertujuan perniagaan dan cari keuntungan. Sebagaimana juga akad ini tidak terkandung riba, spekulasi terlarang, gharar dan perjudian. (Tentang gharar, baca juga artikel “Mengenal Jual-Beli Gharar“)

Gambaran paling gampangnya adalah misalnya ada satu keluarga atau sejumlah orang membuat shunduq lalu mereka menyerahkan sejumlah uang yang nantinya dari kumpulan uang tersebut digunakan untuk ganti rugi kepada anggotanya yang mendapatkan musibah (bahaya). Apabila uang yang terkumpul tersebut tidak menutupinya, maka mereka menutupi kekurangannya. Apabila berlebih setelah penunaian ganti rugi tersebut maka dikembalikan kepada mereka atau dijadikan modal untuk masa yang akan datang.

Hal ini mungkin dapat diperluas menjadi satu lembaga atau yayasan yang memiliki petugas yang khusus mengelolanya untuk mendapatkan dan menyimpan uang-uang tersebut serta mengeluarkannya. Lembaga ini boleh juga memiliki pengelola yang merencanakan rencana kerja dan managementnya. Semua pekerja dan petugas berikut pengelolanya mendapatkan gaji tertentu atau mereka melakukannya dengan sukarela. Namun semua harus dibangun untuk tidak cari keuntungan (bisnis) dan seluruh sisinya bertujuan untuk ta’awun (saling tolong menolong).[12]

Dari sini dapat dijelaskan karekteristik asuransi ta’awun sebagai berikut:
  1. Tujuan dari asuransi ta’awun adalah murni takaful dan ta’awun (saling tolong menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah.
  2. Akad asuransi ta’awun adalah akad tabarru’. Hal ini tampak tergambarkan dalam hubungan antara nasabah (anggotanya), di mana bila kurang mereka menambah dan bila lebih mereka punya hak minta dikembalikan sisanya.
  3. Dasar fikroh asuransi ta’awun ditegakkan pada pembagian kerugian bahaya tertentu atas sejumlah orang, dimana setiap orang memberikan saham dalam membantu menutupi kerugian tersebut diantara mereka. Sehingga orang yang ikut serta dalam asuransi ini saling bertukar dalam menanggung resiko bahaya diantara mereka
  4. Pada umumnya asuransi ta’awun ini berkembang pada kelompok yang punya ikatan khusus dan telah lama, seperti kekerabatan atau satu pekerjaan (profesi).
  5. Penggantian ganti rugi atas resiko bahaya yang ada diambil dari yang ada di shunduq (simpanan) asuransi, apabila tidak mencukupi maka terkadang diminta tambahan dari anggota atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja.[13]

Perbedaan antara asuransi ta’awun dan konvensional. [14]

Dari karekteristik diatas dan definisi yang disampaikan para ulama kontemporer tentang asuransi ta’awun dapat dijelaskan perbedaan antara asuransi ini dengan yang konvensional. Diantaranya:
  • Asuransi ta’awun termasuk akad tabarru yang bermaksud murni takaful dan ta’awun (saling tolong menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah. Sehingga premi dari anggotanya bersifat hibah (tabarru’). Berbeda dengan asuransi konvensional yang bermaksud mencari keuntungan berdasarkan akad al-Mu’awwadhoh al-Ihtimaliyah (bisnis oriented yang berspekulasi yang dalam bahasa Prancis Contrats aleatoirs).
  • Penggantian ganti rugi atas resiko bahaya dalam asuransi ta’awun diambil dari jumlah premi yang ada di shunduq (simpanan) asuransi. Apabila tidak mencukupi maka adakalanya minta tambahan dari anggota atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja. Sehingga tidak ada keharusan menutupi seluruh kerugian yang ada bila anggota tidak sepakat menutupi seluruhnya. Berbeda dengan asuransi konvensional yang mengikat diri untuk menutupi seluruh kerugian yang ada (sesuai kesepakatan) sebagai ganti premi asuransi yang dibayar tertanggung. Hal ini menyebabkan perusahaan asuransi mengikat diri untuk menanggung semua resiko sendiri tanpa adanya bantuan dari nasabah lainnya. Oleh karena itu tujuan akadnya adalah cari keuntungan, namun keuntungannya tidak bias untuk kedua belah pihak. Bahkan apabila perusahaan asuransi tersebut untung maka nasabah (tertanggung) merugi dan bila nasabah (tertanggung) untung maka perusahaan tersebut merugi. Dan ini merupakan memakan harta dengan batil karena berisi keuntungan satu pihak diatas kerugian pihak yang lainnya.
  • Dalam asuransi konvensional bisa jadi perusahaan asuransi tidak mampu membayar ganti rugi kepada nasabahnya apabila melewati batas ukuran yang telah ditetapkan perusahaan untuk dirinya. Sedangkan dalam asuransi ta’awun, seluruh nasabah tolong menolong dalam menunaikan ganti rugi yang harus dikeluarkan dan pembayaran ganti rugi sesuai dengan yang ada dari peran para anggotanya.
  • Asuransi ta’awun tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan dari selisih premi yang dibayar dari ganti rugi yang dikeluarkan. Bahkan bila ada selisih (sisa) dari pembayaran klaim maka dikembalikan kepada anggota (tertanggung). Sedangkan sisa dalam perusahaan asuransi konvensional dimiliki perusahaan.
  • Penanggung (al-Mu’ammin) dalam asuransi ta’awun adalah tertanggung (al-Mu’ammin lahu) sendiri. Sedangkan dalam asuransi konvensional, penanggung (al-Mu’ammin) adalah pihak luar.
  • Premi yang dibayarkan tertanggung dalam asuransi ta’awun digunakan untuk kebaikan mereka seluruhnya. Karena tujuannya tidak untuk berbisnis dengan usaha tersebut, namun dimaksudkan untuk menutupi ganti kerugian dan biaya operasinal perusahaan saja Sedangkan dalam system konvensional premi tersebut digunakan untuk kemaslahatan perusahaan dan keuntungannya semata Karena tujuannya adalah berbisnis dengan usaha asuransi tersenut untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pembayaran premi para nasabahnya.
  • Asuransi ta’awun bebas dari riba, spekulasi dan perjudian serta gharar yang terlarang. Sedangkan asuransi konvensional tidak lepas dari hal-hal tersebut.
  • Dalam asuransi ta’awun, hubungan antara nasabah dengan perusahaan asuransi ta’awun ada pada asas berikut ini:
  1. Pengelola perusahaan melaksanakan managemen operasional asuransi berupa menyiapkan surat tanda keanggotaan (watsiqah), mengumpulkan premi, mengeluarkan klaim (ganti rugi) dan selainnya dari pengelolaannya dengan mendapatkan gaji tertentu yang jelas. Itu karena mereka menjadi pengelola operasional asuransi dan ditulis secara jelas jumlah fee (gaji) tersebut.
  2. Pengelola perusahaan melakukan pengembangan modal yang ada untuk mendapatkan izin membentuk perusahaan dan juga memiliki kebolehan mengembangkan harta asuransi yang diserahkan para nasabahnya. Dengan ketentuan mereka berhak mendapatkan bagian keuntungan dari pengembangan harta asuransi sebagai Mudhoorib (pengelola pengembangan modal dengan mudhorabah).
  3. Perusahaan memiliki dua hitungan yang terpisah. Pertama untuk pengembangan modal perusahaan dan kedua hitungan harta asuransi dan sisa harta asuransi murni milik nasabah (pembayar premi).
  4. Pengelola perusahaan bertanggung jawab apa yang menjadi tanggung jawab al-Mudhoorib dari aktivitas pengelolaan yang berhubungan dengan pengembangan modal sebagai imbalan bagian keuntungan mudhorabah, sebagaimana juga bertanggung jawab pada semua pengeluaran kantor asuransi sebagai imbalan fee (gaji) pengelolaan yang menjadi hak mereka.[15]
Sedangkan hubungan antara nasabah dengan perusahan asuransi dalam asuransi konvensional adalah semua premi yang dibayar nasabah (tertanggung) menjadi harta milik perusahaan yang dicampur dengan modal perusahaan sebagai imbalan pembayaran klaim asuransi. Sehingga tidak ada dua hitungan yang terpisah.
  • Nasabah dalam perusahaan asuransi ta’awun dianggap anggota syarikat yang memiliki hak terhadap keuntungan yang dihasilkan dari usaha pengembangan modal mereka. Sedangkan dalam asuransi konvensional, para nasabah tidak dianggap syarikat, sehingga tidak berhak sama sekali dari keuntungan pengembangan modal mereka bahkan perusahan sendirilah yang mengambil seluruh keuntungan yang ada.
  • Perusahaan asuransi ta’awun tidak mengembangkan hartanya pada hal-hal yang diharamkan. Sedangkan asuransi konvensional tidak memperdulikan hal dan haram dalam pengembangan hartanya.
Demikianlah beberapa perbedaan yang ada. Mudah-mudahan semakin memperjelas permasalahan asuransi ta’awun ini.

Wabillahittaufiq. 

Referensi
  1. Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnah ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta)
  2. Al-’Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah , Dirasat fiqhiyah ta’shiliyah wa tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani, cetakan pertama tahun 2006M, Dar Kunuuz Isybiliyaa, KSA
  3. al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA
  4. Fiqhu an-Nawaazil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat, DR. Muhammad bin Husein al-Jiezaani, cetakan pertama tahun 1426H, dar Ibnu al-Juazi.
  5. Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudul Ru’yat Syar’iyah Fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2. (lihat aldoijy@awalnet.net.sa atau www.saaid.net )

Footnote:
[1] Kamus umum bahasa Indonesia, susunan W.J.S Purwodarminto, cetakan ke-8 tahun 1984, Balai Pustaka, hal 63.
[2] Lihat Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian.
[3] Lihat pembahasan tentang asuransi oleh Ustadz Muslim Atsary pada artikel “Menyoal Asuransi Dalam Islam
[4] Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnah ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta) Saudi Arabiya, 4/36.
[5] At-Ta’mien wa Ahkamuhu oleh al-Tsanayaan hal 40, dinukil dari kitab Al-’Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah , Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah Wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani, cetakan pertama tahun 2006M, Dar Kunuuz Isybiliyaa, KSA hal. 288.
[6] Lihat al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA hal. 255.
[7] Fiqhu an-Nawaazil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat, DR. Muhammad bin Husein al-Jiezaani, cetakan pertama tahun 1426H, dar Ibnu al-Juazi, 3/267.
[8] Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial, lihat Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
[9] Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnahu ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta) Saudi Arabiya, 4/38.
[10] Nidzom at-Ta’mien, Musthofa al-Zarqa’ hal. 42 dinukil dari kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah , Dirasat fiqhiyah ta’shiliyah wa tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal. 289.
[11] Al-Ghoror Wa Atsaruhu Fi al-’Uquud, DR. al-Dhoriir, cetakan kedua dari Mathbu’aat Majmu’ah Dalah al-Barokah, hlm 638 dinukil dari Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudul Ru’yat Syar’iyah Fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2. (lihat aldoijy@awalnet.net.sa atau www.saaid.net )
[12] Lihat tentang hal ini dalam pembahasan at-Ta’mien at-Ta’awuni al-Murakkab dalam kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah , Dirasat fiqhiyah ta’shiliyah wa tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal. 291-311.
[13] Kelima karekteristik ini diambil dari kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah , Dirasat fiqhiyah ta’shiliyah wa tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal 290-291
[14] kami ringkas dari dua sumber yaitu Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudul Ru’yat Syar’iyah Fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2-3 dan al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah , Dirasat fiqhiyah ta’shiliyah wa tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal 290-291 serta al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa hlm 255-256
[15] Sebagaimana menjadi hasil keputusan dari Nadwah (Simposium) al-Barkah ke 12 untuk ekonomi islam, ketetapan dan anjuran nadwah al-Barkah lil Iqtishad al-Islami hal. 212.

*****

Sumber: ustadzkholid.com

Link Terkait:
.
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin