Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

28 September 2009

FILE 131 : Zakat Fitri dengan Uang

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Zakat Fitri Menggunakan Uang?

.

Penulis:

Ammi Nur Baits

.

Masalah ini termasuk di antara kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di beberapa kalangan dan kelompok yang memiliki semangat dalam dunia Islam. Tak heran, jika kemudian pembahasan ini meninggalkan perbedaan pendapat.

Sebagian melarang pembayaran zakat menggunakan uang secara mutlak, sebagian membolehkan dengan bersyarat, dan sebagian membolehkan tanpa syarat. Yang menjadi masalah adalah sikap yang dilakukan orang awam. Umumnya pemilihan pendapat yang paling kuat menurut mereka, lebih banyak didasari logika sederhana dan jauh dari ketundukan terhadap dalil. Jauhnya seseorang dari ilmu agama menyebabkan dirinya begitu mudah mengambil keputusan dalam peribadatan yang mereka lakukan. Seringnya orang terjerumus ke dalam qiyas (analogi) padahal sudah ada dalil yang tegas.

Tulisan ini bukanlah dalam rangka menghakimi dan memberi kata putus untuk perselisihan pendapat tersebut. Namun, tulisan ini tidak lebih dari sebatas bentuk upaya untuk mewujudkan kecemburuan terhadap sunnah Nabi dan dalam rangka menerapkan firman Allah, yang artinya:

“Jika kalian berselisih pendapat dalam masalah apapun maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (Qs. An Nisa’: 59)

Allah menegaskan bahwa siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah dan hari kiamat maka setiap ada masalah dia wajib mengembalikan permasalahan tersebut kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Siapa yang tidak bersikap demikian berarti ada masalah terhadap imannya kepada Allah dan hari akhir.

Pada kajian ini, terlebih dahulu akan disebutkan peraselisihan pendapat ulama, kemudian ditarjih (dipilih pendapat yang lebih kuat). Pada kesempatan ini, penulis akan lebih banyak mengambil faedah dari risalah Ahkam Zakat Fitri karya Nida’ Abu Ahmad.

Perselisihan Ulama

Terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini. Pertama membolehkan pembayaran zakat fitri menggunakan mata uang, kedua melarang pembayaran zakat fitri menggunakan mata uang. Permasalahannya kembali pada status zakat fitri. Apakah status zakat fitri itu sebagaimana zakat harta ataukah statusnya sebagai zakat badan? Jika statusnya sebagaimana zakat harta maka prosedur pembayarannya sebagaimana zakat harta perdagangan. Pembayaran zakat perdagangan, tidak menggunakan benda yang diperdagangkan. Namun menggunakan uang yang senilai dengan zakat yang dibayarkan. Sebagaimana juga zakat emas dan perak. Pembayarannya tidak harus menggunakan emas atau perak, namun boleh menggunakan mata uang yang senilai.

Sebaliknya, jika status zakat fitri ini sebagaimana zakat badan, maka prosedur pembayarannya mengikuti prosedur pembayaran Kaffarah untuk semua jenis pelanggaran. Dimana sebab adanya Kaffarah ini adalah adanya pelanggaran yang dilakukan oleh badan dan bukan kewajiban karena harta. Pembayaran Kaffarah harus menggunakan apa yang telah ditetapkan, dan tidak boleh menggunakan selain yang ditetapkan. Jika seseorang membayar Kaffarah dengan selain yang ditetapkan maka kewajibannya untuk membayar Kaffarah belum gugur dan harus diulangi. Misalnya, seseorang melakukan pelanggaran berupa hubungan suami istri di siang hari bulan Ramadhan tanpa alasan yang dibenarkan. Kaffarah untuk pelanggaran ini adalah membebaskan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin, dengan urutan sebagaimana yang disebutkan. Seseorang tidak boleh membayar Kaffarah dengan menyedekahkan uang seharga budak, karena tidak menemukan budak. Demikian pula, tidak boleh berpuasa tiga bulan namun putus-putus (tidak berturut-turut). Juga tidak boleh memberi uang Rp 5000; kepada 60 fakir miskin. Karena Kaffarah harus dibayarkan persis sebagaimana yang ditetapkan.

Di manakah posisi zakat fitri?

Sebagaimana yang dijelaskan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwasanya zakat fitri itu mengikuti prosedur Kaffarah. Karena zakat fitri adalah zakat badan dan bukan harta. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa zakat fitri adalah zakat badan dan bukan harta adalah pernyataan Ibn Abbas dan Ibn Umar radhiallahu ‘anhuma tentang zakat fitri:

  1. Ibn Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, …. bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa. …” (HR. Al Bukhari & Muslim)
  2. Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, sebagai penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa & perbuatan atau ucapan jorok….” (HR. Abu Daud & dihasankan Syaikh Al Albani)

Dua riwayat ini menunjukkan bahwasanya zakat fitri statusnya adalah zakat badan dan bukan zakat harta. Berikut adalah beberapa alasannya:

  1. Adanya kewajiban zakat bagi anak-anak, budak, dan wanita. Padahal mereka adalah orang-orang yang umumnya tidak memiliki harta. Terutama budak, jasad dan hartanya semuanya adalah milik tuannya. Jika zakat fitri merupakan kewajiban karena harta maka tidak mungkin orang yang sama sekali tidak memiliki harta diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya.
  2. Salah satu fungsi zakat adalah penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa & perbuatan atau ucapan jorok. Fungsi ini menunjukkan bahwa zakat fitri statusnya sebagaimana Kaffarah untuk kekurangan puasa seseorang.

Apa konsekuensi hukum jika zakat fitri statusnya sebagaimana Kaffarah?

Ada dua konsekuensi hukum ketika status zakat fitri itu sebagaimana Kaffarah:

  1. Harus dibayarkan dengan sesuatu yang telah ditetapkan yaitu bahan makanan.
  2. Harus diberikan kepada orang yang membutuhkan untuk menutupi hajat hidup mereka, yaitu fakir miskin. Sehingga tidak boleh diberikan kepada amil, muallaf, budak, masjid dan golongan yang lainnya. (lih. Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam 25/73)

Sebagai tambahan wacana berikut kami sebutkan perselisihan ulama dalam masalah ini:

Pendapat yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang

Ulama yang berpendapat demikian adalah Umar bin Abdul Aziz, Al Hasan Al Bashri, Atha’, Ats Tsauri, dan Abu Hanifah.

Diriwayatkan dari Al Hasan Al Bashri bahwasanya beliau mengatakan: “Tidak mengapa memberikan zakat fitri dengan dirham.”

Diriwayatkan dari Abu Ishaq, beliau mengatakan: “Aku menjumpai mereka (Al Hasan dan Umar bin Abdul Aziz) sementara mereka menunaikan zakat Ramadhan (zakat fitri) dengan beberapa dirham yang senilai bahan makanan.”

Diriwayatkan dari Atha’ bin Abi Rabah, bahwasanya beliau menunaikan zakat fitri dengan waraq (dirham dari perak).

Pendapat yang melarang pembayaran zakat fitri dengan uang

Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama. Mereka mewajibkan pembayaran zakat fitri menggunakan bahan makanan dan melarang membayar zakat dengan mata uang. Di antara ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah Imam Malik, Imam As Syafi’i, dan Imam Ahmad. Bahkan Imam Malik & Imam Ahmad secara tegas menganggap tidak sah membayar zakat fitri mengunakan mata uang. Berikut nukilan perkataan mereka:

Perkataan Imam Malik Imam Malik mengatakan: “Tidak sah seseorang yang membayar zakat fitri dengan mata uang apapun. Tidak demikian yang diperintahkan Nabi.” (Al Mudawwanah Syahnun)

Imam Malik juga mengatakan: “Wajib menunaikan zakat fitri satu sha’ bahan makanan yang umum di negeri tersebut pada tahun itu (tahun pembayaran zakat fitri).” (Ad Din Al Khas)

Perkataan Imam Asy Syafi’i Imam Asy Syafi’i mengatakan: “Wajib dalam zakat fitri dengan satu sha’ dari umumnya bahan makanan di negeri tersebut pada tahun tersebut.” (Ad Din Al Khas)

Perkataan Imam Ahmad Al Khiraqi mengatakan: “Siapa yang menunaikan zakat menggunakan mata uang maka zakatnya tidak sah.” (Al Mughni Ibn Qudamah)

Abu Daud mengatakan: “Imam Ahmad ditanya tentang pembayaran zakat mengunakan dirham, beliau menjawab: “Aku khawatir zakatnya tidak diterima, karena menyelisihi sunnah Rasulullah.” (Masail Abdullah bin Imam Ahmad, dinukil dalam Al Mughni 2/671).

Dari Abu Thalib, bahwasanya Imam Ahmad kepadaku: “Tidak boleh memberikan zakat fitri dengan nilai mata uang.” Kemudian ada orang berkomentar kepada Imam Ahmad: “Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz membayar zakat menggunakan mata uang.” Imam Ahmad marah dengan mengatakan: “Mereka meninggalkan hadis Nabi dan berpendapat dengan perkataan fulan. Padahal Abdullah bin Umar mengatakan: “Rasulullah mewajibkan zakat fitri satu sha’ kurma, atau satu sha’ gandum.” Allah juga berfirman: “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul.” Ada beberapa orang yang menolak sunnah dan mengatakan: fulan ini berkata demikian, fulan itu berkata demikian.” (Al Mughni Ibn Qudamah 2/671)

Dlahir madzhab Imam Ahmad bahwasanya beliau berpendapat tidak sah-nya membayar zakat fitri dengan nilai mata uang.

Beberapa perkataan ulama lainnya:

- Syaikhul Islam Ibn Taimiyah mengatakan: “Allah mewajibkan pembayaran zakat fitri dengan bahan makanan sebagaimana Allah mewajibkan pembayaran Kaffarah dengan bahan makanan.” (Majmu’ Fatawa)

- Taqiyuddin Al Husaini As Syafi’i, Penulis kitab Kifayatul Akhyar (kitab fiqh madzhab Syafi’i) mengatakan: “Syarat sah-nya pembayaran zakat fitri harus berupa biji (bahan makanan). Tidak sah menggunakan mata uang, tanpa ada perselisihan dalam masalah ini.” (Kifayatul Akhyar 1/195)

- An Nawawi mengatakan: “Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat tidak boleh membayar zakat fitri menggunakan uang kecuali dalam keadaan darurat.” (Al Majmu’)

- An Nawawi mengatakan: “Tidak sah membayar zakat fitri dengan mata uang menurut madzhab kami. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Malik, Ahmad dan Ibnul Mundzir.” (Al Majmu’)

- As Syaerazi As Syafi’i mengatakan: “Tidak boleh menggunakan nilai mata uang untuk zakat. Karena kebenaran adalah milik Allah. Dan Allah telah mengkaitkan zakat sebagaimana yang Dia tegaskan (dalam firmannya), maka tidak boleh mengganti hal itu dengan selainnya. Sebagaimana berqurban, ketika Allah kaitkan hal ini dengan binatang ternak maka tidak boleh menggantinya dengan selain binatang ternak.” (Al Majmu’)

- Ibn Hazm mengatakan: “Tidak boleh menggunakan uang yang senilai (dengan zakat) sama sekali. Juga, tidak boleh mengeluarkan satu sha’ campuran dari beberapa bahan makanan, sebagian gandum dan sebagian kurma. Tidak sah membayar dengan nilai mata uang sama sekali. Karena semua itu tidak diwajibkan (diajarkan) Rasulullah” (Al Muhalla bi Al Atsar 3/860)

- As Syaukani berpendapat tidak bolehnya menggunakan mata uang kecuali jika tidak memungkinkan membayar zakat dengan bahan makanan.” (As Sailul Jarar 2/86)

Di antara ulama abad ini yang mewajibkan membayar dengan bahan makanan adalah Syaikh Ibn Baz, Syaikh Ibn Al Utsaimin, Syaikh Abu Bakr Al Jazairi dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa zakat fitri tidak boleh dibayarkan dengan selain makanan dan tidak boleh menggantinya dengan mata uang, kecuali dalam keadaan darurat. Karena tidak terdapat riwayat bahwa Nabi mengganti bahan makanan dengan mata uang. Bahkan tidak dinukil dari seorang pun sahabat bahwa mereka membayar zakat fitri dengan mata uang. (Minhajul Muslim 251)

Dalil-dalil masing-masing pihak

Dalil ulama yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang.

Dalil riwayat yang disampaikan adalah pendapat Umar bin Abdul Aziz dan Al Hasan Al Bashri. Sebagian ulama menegaskan bahwa mereka tidak memiliki dalil nash (al Qur’an, Al Hadis, atau perkataan sahabat) dalam masalah ini.

Istihsan (menganggap lebih baik) Mereka menganggap mata uang itu lebih baik dan lebih bermanfaat untuk orang miskin dari pada bahan makanan.

Dalil dan alasan ulama yang melarang pembayaran zakat dengan mata uang.

Pertama, riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa zakat fitri harus dengan bahan makanan.

1. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, berupa satu sha’ kurma kering atau gandum kering…” (HR. Al Bukhari & Muslim)

2. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, ……sebagai makanan bagi orang miskin…” (HR. Abu Daud & dihasankan Syaikh Al Albani)

3. Dari Abu Said Al Khudzri radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan: “Dulu kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan, atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ keju atau stu sha’ anggur kering.” (HR. Al Bukhari & Muslim)

4. Abu Sa’id Al Khudzri radhiallahu ‘anhu mengatakan: “Dulu, di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan.” Kemudian Abu Sa’id mengatakan: “Dan makanan kami dulu adalah gandum, anggur kering (zabib), keju (Aqith), dan kurma.” (HR. Al Bukhari 1439)

5. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskanku untuk menjaga zakat Ramadhan (zakat fitri). Kemudian datanglah seseorang mencuri makanan, lalu aku berhasil menangkapnya….dst.” (HR. Al Bukhari 2311)

Kedua, alasan para ulama yang melarang pembayaran zakat dengan mata uang.

1. Zakat fitri adalah ibadah yang telah ditetapkan ketentuannya.

Termasuk yang telah ditetapkan dalam masalah zakat fitri adalah jenis, takaran, waktu pelaksanaan, dan tata cara pelaksanaan. Seseorang tidak boleh mengeluarkan zakat fitri selain jenis yang telah ditetapkan, sebagaimana tidak sah membayar zakat di luar waktu yang ditetapkan.

Imam Al Haramain Al Juwaini As Syafi’i mengatakan: “Bagi Madzhab kami, sandaran yang dipahami bersama dalam masalah dalil, bahwa zakat termasuk bentuk ibadah kepada Allah. Dan semua yang merupakan bentuk ibadah maka pelaksanaannya adalah mengikuti perintah Allah.” Kemudian beliau membuat permisalan: “Andaikan ada orang yang mengatakan kepada utusannya (wakilnya): “‘Beli pakaian!’ sementara utusan ini tahu bahwa tujuan majikannya adalah berdagang, kemudian utusan ini melihat ada barang yang lebih manfaat bagi majikannya (dari pada pakaian), maka sang utusan ini tidak berhak menyelisihi perintah majikannya. Meskipun dia melihat hal itu lebih manfaat dari pada apa yang diperintahkan. (jika dalam masalah semacam ini saja wajib ditunaikan sebagaimana amanah yang diberikan, pen.) maka apa yang Allah wajibkan melalui perintahNya lebih layak untuk diikuti.”

Harta yang ada di tangan kita semuanya adalah harta Allah. Posisi manusia hanyalah sebagaimana wakil. Sementara wakil tidak berhak untuk bertindak diluar yang diperintahkan. Jika Allah memerintahkan kita untuk memberikan makanan kepada fakir miskin, namun kita selaku wakil justru memberikan selain makanan, maka sikap ini termasuk di antara bentuk pelanggaran yang layak untuk mendapatkan hukuman. Dalam masalah ibadah, termasuk zakat, selayaknya kita kembalikan sepenuhnya kepada aturan Allah. Jangan sekali-sekali melibatkan campur tangan akal dalam masalah ibadah. Karena kewajiban kita adalah taat sepenuhnya.

Oleh karena itu, membayar zakat fitri dengan uang berarti menyelisihi ajaran Allah dan RasulNya. Dan sebagaimana telah diketahui bersama, menunaikan ibadah yang tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan RasulNya adalah ibadah yang tertolak.

2. Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat radhiallahu ‘anhum sudah ada mata uang dinar dan dirham.

Namun yang beliau praktekan bersama para sahabat adalah membayarkan zakat fitri menggunakan bahan makanan dan bukan menggunakan dinar atau dirham. Padahal beliau adalah orang yang paling paham akan kebutuhan umatnya, dan paling kasih sayang terhadap fakir miskin, bahkan paling kasih sayang kepada seluruh umatnya. Allah berfirman tentang beliau, yang artinya:

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Qs. At Taubah: 128)

Siapakah yang lebih memahami cara untuk mewujudkan belas kasihan melebihi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Siapakah yang lebih paham tentang kebutuhan umat yang dicintainya melebihi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sebut saja misalnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu perasaan orang lain. Tapi, bukankah Allah maha tahu? Maka sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui wahyu Allah ta’ala adalah bukti akan kasih sayang dan ilmu Allah kepada hambaNya.

3. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa jenis bahan makanan, beliau tidak memberi kesimpulan: “…atau yang senilai dengan itu semua itu…” Jika dibolehkan mengganti bahan makanan dengan uang tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya. Karena beliau adalah orang yang sangat pemurah terhadap ilmu agama. Tidak mungkin hal itu akan beliau diamkan sementara ini adalah perkara agama yang penting.

Dalam masalah ini terdapat satu kaidah fiqh yang patut untuk diperhatikan:

السكوت في مقام البيان يفيد الحصر

Tidak ada penjelasan (didiamkan) untuk masalah yang harusnya diberi keterangan menunjukkan makna pembatasan.”

kaidah ini disebutkan oleh Shidddiq Hasan Khan dalam Ar Raoudlah An Nadiyah. Berdasarkan kaidah ini, seringkali Ibn Hazm ketika menyebutkan sesuatu yang tidak ada dalilnya, beliau mengutip ayat Allah:

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

“Tidaklah Tuhanmu pernah lupa.” (Qs. Maryam: 64)

Maka diamnya Allah ta’ala atau diamnya Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga tidak menyebutkan bolehnya membayar zakat menggunakan uang, tidaklah karena Allah atau RasulNya itu lupa. Maha Suci Allah dari sifat lupa. Namun ini menunjukkan bahwa hukum tersebut dibatasi dengan apa yang Allah jelaskan. Sedangkan, selain apa yang telah Allah dan RasulNya jelaskan tidak termasuk dalam ajaran yang Allah tetapkan.

Oleh karena itu, jika telah diketahui bahwasanya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ada dinar dan dirham, sementara beliau tidak pernah menggunakan mata uang tersebut untuk membayar zakat fitri beliau, demikian pula, beliau tidak pernah memerintahkan atau mengajarkan para sahabat untuk membayar zakat fitri dengan mata uang, maka ini menunjukkan tidak bolehnya membayar zakat fitri menggunakan mata uang. Karena mata uang untuk pembayaran zakat fitri tidak pernah dijelaskan oleh Allah dan RasulNya. Dan sekali lagi, Allah dan RasulNya tidaklah lupa.

4. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa jenis bahan makanan dengan ukuran satu sha’ untuk pembayaran zakat fitri.

Sementara telah dipahami bersama bahwa harga masing-masing berbeda. Satu sha’ gandum jelas berbeda harganya dengan satu sha’ kurma. Demikian pula, satu sha’ anggur kering jelas berbeda harganya dengan satu sha’ keju (aqith). Padahal, jenis-jenis bahan makanan itulah yang digunakan oleh sahabat untuk membayar zakat fitri.

Lantas, dengan bahan makanan yang manakah yang bisa dijadikan acuan untuk menentukan nilai mata uang?

An Nawawi mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa bahan makanan yang harganya berbeda. Sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan pembayaran zakat fitri untuk semua jenis makanan sebanyak satu sha’. Maka ini menunjukkan bahwa yang dijadikan acuan adalah ukuran sha’ bahan makanan dan tidak melihat harganya.” (Syarh Muslim)

Ibnul Qashar mengatakan: “Menggunakan mata uang adalah satu hal yang tidak memiliki alasan. Karena harga kurma dan harga gandum itu berbeda.” (Syarh Shahih Al Bukhari Ibn Batthal)

Mari kita perhatikan perkataan Abu Sa’id Al Khudzri radhiallahu ‘anhu: “Dulu, di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan.” Kemudian Abu Sa’id mengatakan: “Dan makanan kami dulu adalah gandum, anggur kering (zabib), keju (aqith), dan kurma.” (HR. Al Bukhari 1439)

Penegasan Abu Sa’id: “Dulu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam….” menunjukkan hukum dan ajaran yang disampaikan Abu Said statusnya sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kerena kejadian yang dilakukan para sahabat radhiallahu ‘anhu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lebih-lebih dalam masalah ibadah seperti zakat, dapat dipastikan bahwa hal itu terjadi di bawah pengawasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan persetujuan beliau. Demikian yang dijelaskan oleh Al Hafidz Ibn Hajar.

Kemudian Al Hafidz Ibn Hajar memberikan keterangan untuk perkataan Abu Said Al Khudzri tersebut: “Semua bahan makanan yang disebutkan dalam hadis Abu Said Al Khudzri, ketika cara membayarnya menggunakan ukuran yang sama (yaitu semuanya satu sha’, pen.), sementara harga masing-masing berbeda, ini menunjukkan bahwasanya yang menjadi prosedur zakat adalah membayarkan seukuran tersebut (satu sha’) dari bahan makanan apapun.” (Fathul Bari 3/437)

Ringkasnya, tidak mungkin nilai uang untuk pembayaran zakat bisa ditetapkan. Tidak ada yang bisa dijadikan sebagai ukuran standar. Karena jenis bahan makanan yang ditetapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermacam-macam, padahal harganya berbeda-beda, sementara ukurannya sama, yaitu satu sha’. Benarlah apa yang dikatakan Ibnul Qosim Al Maliki: “Masing-masing penduduk negri mengeluarkan zakatnya menggunakan bahan makanan yang umumnya digunakan. Kurma adalah bahan makanan penduduk madinah, penduduk Mesir tidak mengeluarkan zakat kecuali bur (gandum), sampai harga bur mahal kemudian bahan makanan yang umum mereka pakai menjadi sya’ir (gandum kasar), dan boleh (untuk dijadikan zakat) bagi mereka.” (Dinukil oleh Ibnu Batthal dalam Syarh Shahih Al Bukhari, yang diambil dari kitab Al Mudawwanah)

Catatan dan kesimpulan

Jika masih ada sebagian orang yang belum menerima sepenuhnya zakat fitri dengan makanan, karena beralasan bahwa uang itu lebih bermanfaat, maka mari kita analogikan kasus zakat fitri ini dengan kasus qurban. Apa yang bisa anda bayangkan ketika daging membludak di hampir semua daerah. Bahkan sampai ada yang busuk, atau ada yang muntah dan enek ketika melihat daging. Bukankah uang seharga daging lebih mereka butuhkan? Lebih-lebih bagi mereka yang tidak doyan daging. Akankah kita katakan: “Dibolehkan berqurban dengan uang seharga daging, sebagai antisipasi untuk orang yang tidak doyan daging?”

Orang yang berpendapat demikian bisa kita pastikan adalah orang yang terlalu jauh dari pemahaman agama yang benar.

Oleh karena itu, setelah dipahami pembayaran zakat fitri hanya dengan bahan makanan, maka kita tidak boleh menggantinya dengan mata uang selama bahan makanan masih ada. Karena terdapat kaidah dalam ilmu fiqh:

لا ينتقل إلى البدل إلا عند فقد المبدل عنه

Tidak boleh berpindah kepada ‘pengganti’ kecuali jika yang ‘asli’ tidak ada.”

Yang “asli” adalah bahan makanan (beras), sedangkan “pengganti” segala sesuatu selain beras.

Semoga bermanfaat…

*****

Sumber :muslim.or id

.

Artikel Terkait :

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

13 September 2009

FILE 130 : Permasalahan Niat

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Kedudukan Niat dalam Amal

Oleh :

Syaikh Sholih bin Abdul Aziz Alu Syaikh

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين، نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُوْلُ: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسْولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُّنيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهٍجُرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .

.

Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang berhijrah karena mencari dunia atau karena ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia tuju.” (HR. Bukhari no. 1, Muslim no. 155, 1907).

Kedudukan Hadits

Hadits ini begitu agung hingga sebagian ulama salaf mengatakan, “Hendaknya hadits ini dicantumkan di permulaan kitab-kitab yang membahas ilmu syar’i.” Oleh karena itu Imam Al Bukhari memulai kitab Shahih-nya dengan mencantumkan hadits ini. Imam Ahmad berkata, “Poros agama Islam terletak pada 3 hadits, yaitu hadits Umar

إنما الأعمال بالنيات,

hadits ‘Aisyah

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد,

dan hadits An Nu’man bin Basyir

الحلال بين والحرام بين.”

Perkataan beliau ini memiliki maksud, yaitu bahwasanya amalan seorang mukallaf berkisar antara melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Dua hal ini termasuk dalam perkara halal atau haram, selain itu terdapat jenis ketiga yaitu perkara syubhat yang belum diketahui secara jelas hukumnya, dan ketiga perkara ini terdapat dalam hadits An Nu’man bin Basyir.

Dan telah diketahui bersama, seorang yang hendak mengamalkan sesuatu, baik melaksanakan suatu perintah atau meninggalkan larangan harus dilandasi dengan niat agar amalan tersebut benar. Maka nilai suatu amal bergantung kepada adanya niat yang menentukan amalan tersebut apakah termasuk amalan shalih dan diterima.

Kemudian segala perkara yang diwajibkan atau dianjurkan Allah ‘azza wa jalla, secara lahiriah harus diukur dengan timbangan (standar) sehingga amalan itu sah dan yang menjadi standar dalam hal ini adalah hadits ‘Aisyah (1).

Oleh karena itu, hadits ini senantiasa dibutuhkan di setiap perkara, di saat melaksanakan perintah, meninggalkan larangan dan ketika berhadapan dengan perkara syubhat. Berdasarkan hal itu, kedudukan hadits ini begitu agung, karena seorang mukallaf senantiasa membutuhkan niat, baik dalam melaksanakan perintah dan meninggalkan perkara yang haram atau syubhat. Semua perbuatan tersebut itu tidak akan bernilai kecuali diniatkan untuk mencari wajah Allah jalla wa ‘alaa.

Tafsiran Ulama Mengenai “Sesungguhnya Seluruh Amalan Itu Bergantung Pada Niatnya

Terdapat beberapa lafadz dalam sabda beliau

إنما الأعمال بالنيات

terkadang lafadz النية dan العمل disebutkan dalam bentuk tunggal atau jamak walaupun demikian kedua bentuk tersebut memiliki makna yang sama, karena lafadz العمل dan النية dalam bentuk tunggal mencakup seluruh jenis amalan dan niat.

Di dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] terkandung pembatasan. Karena lafadz “innama” merupakan salah satu lafadz pembatas seperti yang dijelaskan oleh ahli bahasa. Pembatasan tersebut mengharuskan setiap amalan dilandasi dengan niat,

Terdapat beberapa pendapat mengenai maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات.

Pendapat pertama, mengatakan sesungguhnya maksud dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات yaitu keabsahan dan diterimanya suatu amalan adalah karena niat yang melandasinya, sehingga sabda beliau ini berkaitan dengan keabsahan suatu amalan dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya وإنما لكل امرئ ما نوى maksudnya adalah seseorang akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia kerjakan sesuai dengan niat yang melandasi amalnya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات menerangkan bahwa sebab terjadi suatu amalan adalah dengan niat, karena segala amalan yang dilakukan seseorang mesti dilandasi dengan keinginan dan maksud untuk beramal, dan itulah niat. Maka faktor pendorong terwujudnya suatu amalan, baik amalan yang baik maupun yang buruk adalah keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut.

Apabila hati ingin melakukan suatu amalan dan kemampuan untuk melakukannya ada, maka amalan tersebut akan terlaksana. Sehingga maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات adalah amalan akan terwujud dan terlaksana dengan sebab adanya niat, yaitu keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut.

Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam وإنما لكل امرئ ما نوى memiliki kandungan bahwa ganjaran pahala akan diperoleh oleh seseorang apabila niatnya benar, apabila niatnya benar maka amalan tersebut merupakan amalan yang shalih.

Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, karena niat berfungsi mengesahkan suatu amalan dan sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] merupakan penjelas terhadap perkara-perkara yang dituntut oleh syari’at bukan sebagai penjelas terhadap seluruh perkara yang terjadi.

Kesimpulannya, pendapat terkuat dari dua tafsiran ulama di atas mengenai maksud dari sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] adalah keabsahan amalan ditentukan oleh niat dan setiap orang mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan apa yang diniatkan.

Definisi Amal

الأعمال adalah bentuk jamak dari العمل, yaitu segala sesuatu yang dilakukan seorang mukallaf dan ucapan termasuk dalam definisi ini. Yang perlu diperhatikan maksud amal dalam hadits tersebut tidak terbatas pada ucapan, perbuatan atau keyakinan semata, namun lafadz الأعمال dalam hadits di atas adalah segala sesuatu yang dilakukan mukallaf berupa perkataan, perbuatan, ucapan hati, amalan hati, perkataan lisan dan amalan anggota tubuh. Maka seluruh perkara yang berkaitan dengan iman termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] karena iman terdiri dari ucapan (baik ucapan lisan maupun ucapan hati) dan amalan (baik amalan hati dan amalan anggota tubuh). Maka seluruh perbuatan mukallaf tercakup dalam sabda beliau di atas.

Namun keumuman lafadz الأعمال dalam hadits ini tidaklah mutlak, karena yang dimaksud dalam hadits tersebut hanya sebagian amal saja, tidak mutlak walaupun lafadznya umum. Hal ini dapat diketahui bagi mereka yang telah mempelajari ilmu ushul. Karena segala amalan yang tidak dipersyaratkan niat dalam pelaksanaannya tidaklah termasuk dalam sabda beliau إنما الأعمال بالنيات contohnya seperti meninggalkan keharaman, mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi, menghilangkan najis dan yang semisalnya.

Permasalahan Niat

Jika niat adalah keinginan dan kehendak hati, maka niat tidak boleh diucapkan dengan lisan karena tempatnya adalah di hati (2); karena seseorang berkeinginan atau berkehendak di dalam hatinya untuk melakukan sesuatu. Maka amalan yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan yang dilandasi dengan keinginan dan kehendak hati, atau dengan kata lain amalan yang disertai pengharapan untuk mendapatkan wajah Allah. Oleh karena itu makna niat ditunjukkan dengan lafadz yang berbeda-beda. Terkadang dengan lafadz الإرادة dan terkadang dengan lafadz الابتغاء atau lafadz lain yang semisalnya.

Seperti firman Allah,

لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang (berniat) mencari wajah Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung.” (QS. Ar Ruum: 38)

وَلا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِنْ شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ

Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki (berniat mendapatkan) wajah-Nya.” (QS. Al An’am: 52)

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap (berniat mendapatkan) wajah-Nya.” (QS. Al Kahfi: 28)

Atau firman Allah yang semisal dengan itu seperti,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu baginya.” (QS. Asy Syuura: 20)

Atau dengan lafadz الابتغاء seperti firman Allah,

إِلا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الأعْلَى

Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi.” (QS. Al Lail: 20)

لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (١١٤)

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An Nisaa’: 114)

Sehingga lafadz niat dalam nash-nash Al Quran dan Sunnah terkadang ditunjukkan dengan lafadz الإرادة, lafadz الإبتغاء atau lafadz الإسلام yang bermakna ketundukan hati dan wajah kepada Allah.

Makna Niat

Lafadz niat yang tercantum dalam firman Allah ‘azza wa jalla atau yang digunakan dalam syariat mengandung dua makna.

Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri dan yang kedua bermakna niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan). Maka niat itu ada dua jenis:

Jenis Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri. Niat dengan pengertian semacam ini sering digunakan ahli fikih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu ketika mereka menyebutkan syarat-syarat suatu ibadah, semisal perkataan mereka “Syarat pertama dari ibadah ini adalah adanya niat” Niat dalam perkataan mereka tersebut adalah niat dengan makna yang pertama, yaitu niat yang berkaitan dengan zat ibadah itu sendiri sehingga mampu dibedakan dengan ibadah yang lain.

Jenis yang kedua, adalah niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan) atau sering dinamakan dengan الإخلاص yaitu memurnikan hati, niat dan amal hanya kepada Allah ‘azza wa jalla.

Jadi kedua makna niat di atas tercakup dalam hadits ini. Sehingga makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات adalah sesungguhnya keabsahan suatu ibadah ditentukan oleh niat, yaitu niat yang berfungsi untuk membedakan ibadah yang satu dengan ibadah yang lain dan niat yang bermakna mengikhlaskan peribadatan hanya kepada Allah. Sehingga tidak tepat pendapat yang mengatakan bahwa niat yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah niat yang bermakna ikhlas saja atau pendapat yang mengatakan ikhlas tidak termasuk dalam perkataan ahli fikih ketika membahas permasalahan niat.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ((وإنما لكل امرئ ما نوى))

Di dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam وإنما لكل امرئ ما نوى [setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] terkandung pembatasan, yakni setiap orang hanya akan mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan niat yang melandasi amalannya.

Jika niatnya ditujukan untuk Allah dan meraih kampung akhirat maka amalannya adalah amalan yang shalih, dan sebaliknya apabila niatnya hanyalah untuk meraih dunia maka amalan yang dia lakukan adalah amalan yang jelek lagi rusak. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5).

Maksudnya adalah agama yang dilandasi niat ikhlas dan bebas dari syirik sebagaimana firman-Nya,

أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az Zumar: 3)

Pembahasan ikhlas pun dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti sabda beliau dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya,

أنا أغنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملًا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه

Aku tidak butuh kepada sekutu. Barang siapa yang melakukan suatu amalan dan menyekutukan-Ku dalam amalan tersebut, aku tinggalkan dia bersama sekutunya.” (HR. Muslim nomor 5300).

Dalil ini menunjukkan wajibnya memurnikan amalan ibadah bagi Allah semata, sehingga amalan tersebut dapat diterima dan diberi pahala. Maka konsekuensi logisnya adalah seseorang yang mengerjakan suatu amalan dan tercampur niatan selain Allah dalam amal tersebut maka amalannya batal dan rusak.

Namun hal ini masih menyisakan pertanyaan. Bagaimana hukumnya jika niatan untuk selain Allah itu terletak di awal ibadah, pertengahan, di akhir ibadah atau terjadi di suatu rukun namun tidak terjadi di rukun yang lain? Permasalahan ini memiliki 3 kondisi sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama’.

Pertama, seseorang yang memulai amalannya dengan niat riya’ atau sum’ah kepada makhluk. Maka amalannya batal dan dia adalah seorang musyrik kafir sebagaimana disebutkan dalam hadits,

من صلى يرائي فقد أشرك، ومن صام يرائي فقد أشرك، ومن تصدق يرائي فقد أشرك

Barang siapa yang shalat, berpuasa dan bersedekah dengan tujuan riya’ maka dia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad nomor 16517)

Yang patut diperhatikan adalah riya’ dalam seluruh amalan seorang muslim tidak mungkin terjadi, namun riya’ hanyalah terjadi di sebagian amalan seorang muslim, terkadang di permulaan ibadah atau di pertengahan ibadah, tidak seluruhnya! Riya’ model itu hanyalah dilakukan oleh kaum kafir dan munafik sebagaimana firman Allah ketika menyifati orang-orang munafik,

يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلا قَلِيلا

Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An NIsaa’: 142)

Dan firman-Nya ketika menyifati orang-orang kafir,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al Baqarah: 264)

Oleh karenanya apabila niat awal seseorang ketika melakukan shalat, berpuasa atau bersedekah adalah kepada selain Allah (seperti riya’ atau sum’ah) maka seluruh amalan tersebut rusak dan batal.

Kedua, niatan kepada selain Allah itu terjadi ketika sedang melaksanakan ibadah. Terdapat dua kondisi untuk permasalahan ini:

Kondisi pertama, orang tersebut membatalkan niatnya yang semula ikhlas dan digantikan dengan niatan kepada selain Allah, maka hukumnya seperti permasalahan pertama di atas, karena dia telah membatalkan niatnya yang semula ikhlas kemudian memperuntukkan ibadah tersebut kepada makhluk selain Allah.

Kondisi kedua, seseorang memulai ibadahnya dengan ikhlas kemudian memperindah ibadahnya seperti memperpanjang shalatnya karena orang lain melihatnya, atau memperpanjang rukuknya di luar kebiasaannya karena seseorang melihatnya. Maka hal ini tidak merusak pokok amalannya yang terletak di permulaan ibadah karena dia melakukannya dengan ikhlas, namun yang rusak adalah amalan yang tercampur dengan riya’ dan dia adalah seorang musyrik yang melakukan syirik ashghar (syirik kecil)-wal ‘iyadzu billah.

Ketiga, seseorang yang merasa senang dengan pujian orang lain setelah dia melakukan ibadah kepada Allah Ta’ala dengan ikhlas seperti seseorang yang shalat, menghafal Al Quran, berpuasa ikhlas kepada Allah ta’ala kemudian orang lain memujinya dan dia merasa senang dengan hal tersebut. Dalam kondisi ini, hal tersebut tidaklah membatalkan pokok amalannya karena dia melakukan amalan tersebut dengan niat ikhlas kepada Allah dan niatnya tidak berubah ketika sedang melaksanakannya namun rasa senang tersebut muncul setelah dia selesai mengerjakan amalan tersebut. Hal ini adalah kabar gembira baginya sebagaimana disebutkan dalam hadits,

تلك عاجل بشرى المؤمن

Hal tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin, yaitu dia mendengar pujian manusia kepadanya karena ibadah yang dilakukannya padahal dia tidak menginginkannya.” (HR. Muslim nomor 4780; HR. Ahmad nomor 20416, 20432, 20503; HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman nomor 6745, 6746, 6747)

Pembagian Amal

Amalan juga terbagi dua, apabila ditinjau dari sisi niat yang mengiringinya. Pertama, amalan yang hanya boleh diniatkan untuk memperoleh wajah Allah dan tidak boleh diiringi dengan niat untuk memperoleh ganjaran di dunia. Jenis ini terdapat di sebagian besar perkara ibadah.

Kedua, perkara ibadah yang didorong oleh Allah untuk dilakukan dengan menyebutkan ganjarannya di dunia, seperti menyambung kekerabatan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya dia menyambung kekerabatan.” (HR. Bukhari nomor 1925, 5526)

Atau seperti sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من قتل قتيلا فله سلبه

Barang siapa yang membunuh musuh dalam peperangan, maka harta orang tersebut menjadi miliknya.” (HR. Malik 3/339; Tirmidzi 6/66; Ath Thabrani 6/392-394; Ad Darimi 7/436; Ibnu Hibban 14/119, 20/199)

Maka di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk berjihad disertai penyebutan ganjaran di dunia. Maka dalam amalan model ini, boleh bagi seseorang mengharapkan ganjaran di dunia (di samping mengharapkan niat mencari wajah Allah -pent), karena tidak mungkin hal tersebut disebutkan kecuali Dia mengizinkan hal tersebut. Oleh karenanya, boleh bagi seseorang menyambung kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah, namun di samping itu dirinya berharap mendapatkan ganjaran di dunia seperti kelapangan rezeki dan umur yang panjang. Atau seseorang berjihad untuk mendapatkan ghanimah (rampasan perang) dan niatnya ikhlas kepada Allah, maka hal ini diperbolehkan dan niatnya tersebut tidak termasuk sebagai syirik dalam niat karena Allah telah mengizinkan hal tersebut dengan menyebutkan ganjarannya di dunia apabila dilakukan.

Sehingga amalan itu terbagi menjadi dua, yakni ibadah yang disebutkan ganjarannya di dunia oleh Allah ‘azza wa jalla dan ibadah yang tidak disebutkan ganjarannya di dunia oleh Allah ‘azza wa jalla. Hal ini disebutkan dalam firman Allah ‘azza wa jalla,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ

Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.” (QS. Huud: 15)

Namun yang perlu diperhatikan bahwa derajat seseorang yang menyambung kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah lebih tinggi dan lebih besar pahalanya daripada seseorang yang menyambung kekerabatan untuk mendapatkan dunia di samping niat ikhlas kepada Allah. Oleh karena itu, para ulama salaf di antaranya adalah Imam Ahmad ketika ditanya mengenai hal ini, maka beliau menjawab, “Pahalanya sesuai dengan kadar niatnya.”

Niat untuk mendapatkan dunia ini tidaklah membatalkan pokok amalnya akan tetapi pahalanya berkurang sesuai kadar niatnya terhadap dunia. Sehingga semakin ikhlas kepada Allah dalam amalan model ini, maka semakin besar pula pahalanya dan begitu pula sebaliknya.

Sekelumit Tentang Hijrah

Huruf fa’ (الفاء) dalam sabda beliau فمن كانت هجرته berfungsi untuk merinci jenis amalan yang terkadang ditujukan kepada Allah atau ditujukan kepada selain Allah dan dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan dengan hijrah.

Hijrah (الهجرة) bermakna (الترك) meninggalkan. Pada dasarnya, tujuan berhijrah adalah berhijrah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan ikhlas dan mengharapkan pahala yang ada di sisi-Nya dan juga berhijrah kepada rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan mengikuti dan tunduk kepada ajaran yang beliau bawa.

Terdapat dua golongan dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه

Pertama, golongan yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya dengan niat ikhlas sehingga mendapatkan ganjaran dan pahala dari hijrah yang dilakukakannya. Salah satu contoh dalam masalah ini adalah seseorang yang berhijrah dari negeri syirik dan kufur menuju negeri Islam atau seseorang yang berhijrah dari daerah yang penuh kebid’ahan dan kemungkaran menuju daerah yang menegakkan sunnah dan minim kemungkaran. Adapun hukumnya dibahas dalam kitab-kitab fiqih secara terperinci.

Kedua, golongan yang berhijrah dikarenakan motivasi duniawi sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه

Golongan ini seperti seorang pedagang yang berhijrah untuk mendapatkan harta atau seorang yang berhijrah untuk menikahi wanita yang dipujanya, maka hijrah yang dilakukannya tidaklah mendatangkan pahala dan terkadang dirinya memperoleh dosa.

و صلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه أجمعين

Selesai diterjemahkan oleh Muh Nur Ikhwan Muslim di Pogung Baru, 8 Shafar 1428 H

Sumber: wahonot.wordpress.com

.

FOOTNOTE [Tambahan Sa’ad]:

(1) Perhatian: tidak semua amalan ibadah yang didasari niat baik diterima oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Berikut ini beberapa contoh amalan ibadah yang ikhlas dalam niatnya dan bertujuan baik, akan tetapi diingkari oleh para ‘ulama’ salaf karena tidak sesuai dengan sunnah/tuntunan Nabi Muhammad Shollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallam:

a. 'Abdullah bin Mas’ud Rodliyallohu ‘anhu [Shahabat Nabi Muhammad Shollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallam, wafat tahun 32 H]

Dari Amru bin Salamah, beliau berkata : Kami duduk-duduk di depan rumah 'Abdullah bin Mas'ud sebelum Shubuh lalu jika beliau keluar kami akan berjalan bersamanya ke masjid, lalu datanglah Abu Musa Al-Asy’ari dan berkata : "Apakah Abu 'Abdurrahman (kunyah 'Abdullah bin Mas'ud) telah menemui kalian ?" Kami jawab : “Belum.”

Lalu beliau duduk bersama kami sampai 'Abdullah bin Mas'ud keluar. Ketika beliau keluar kami semua menemuinya. Kemudian berkata Abu Musa kepadanya : "Wahai Abu 'Abdurrahman saya telah melihat di masjid tadi satu hal yang saya anggap mungkar dan saya tidak memandangnya -Alhamdulillah-kecuali kebaikan.

Beliau bertanya : "Apa itu ?"

Dijawab : "Jika engkau hidup niscaya akan melihatnya, aku telah melihat di masjid suatu kaum berhalaqah, duduk-duduk menanti shalat pada setiap halaqah ada seorang yang memimpin dan ditangan-tangan mereka ada batu kerikil, lalu berkata (yang memimpin) : ‘Bertakbirlah seratus kali’ dan mereka bertakbir seratus kali dan berkata ‘Bertasbihlah seratus kali’ dan mereka bertasbih seratus kali."

Berkata 'Abdullah bin Mas'ud : "Apa yang engkau katakan kepada mereka ?"

Abu Musa menjawab : "Saya tidak mengatakan sesuatupun pada mereka menunggu perintahmu."

Berkata 'Abdullah bin Mas'ud : "Mengapa tidak kamu perintahkan mereka untuk menghitung kejelekan mereka dan aku menjamin mereka tidak ada kebaikan mereka yang disia-siakan".

Kemudian beliau berjalan dan kami berjalan bersamanya sampai beliau mendatangi satu halaqah dari pada halaqah-halaqah tersebut dan menghadap mereka lalu berkata : "Apa ini yang kalian lakukan ?!"

Mereka menjawab : "Wahai Abu 'Abdirrahman, batu kerikil yang kami pakai untuk menghitung tahlil dan tasbih".

Berkata Ibnu Mas'ud : "Aku menjamin tidak akan ada satupun kebaikan kalian yang tersia-siakan. Celakalah kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian. Mereka sahabat-sahabat nabi masih banyak hidup dan ini pakaiannya belum rusak dan bejananya belum hancur. Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya, sesungguhnya kalian berada di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad atau kalian adalah pembuka pintu kesesatan".

Mereka berkata : "Demi Allah wahai Abu 'Abdurrahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan.”

Lalu beliau berkata : "Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya ada kaum yang membaca Al-Qur'an tidak melebihi tenggorokannya.’ dan demi Allah saya rasa tampaknya kebanyakan mereka adalah dari kalian.”

Kemudian beliau meninggalkan mereka. Amru bin Salamah berkata : "Aku telah melihat mayoritas halaqah-halaqah tersebut memerangi kami pada perang Nahrawan bersama Khawarij"

[HR. ad-Darimi dalam Sunannya Juz 1 hal. 68 – 69 No. 206, Bahsyal dalam Tarikh Wasith hal. 198 – 199, Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shohiihah oleh Syaikh Al-Albani no. hadits 2005, juga Ilmu Ushul al- Bida’ oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabi hal. 92. Lihat juga pembahasan ilmiah beserta takhrij hadits di atas secara lebih lengkap di Majalah Al-Furqon edisi I Tahun IV rubrik Hadits "Gema Dzikir Bersama" oleh Ust. Abu Ubaidah hafidhahulloh. Bisa juga dilihat pada blog Abul Jauzaa' di sini]

b. Sa’id bin al-Musayyib Rohimahulloh [Tabi’in, wafat tahun 94 H]

Dari Sa’id bin al-Musayyib rohimahulloh, bahwasanya beliau pernah melihat seseorang yang shalat sunnah fajar lebih dari dua rakaat dan memperbanyak ruku’ dan sujudnya. Maka beliau kemudian melarangnya.

Akan tetapi orang tersebut tidak terima dan berkata,”Wahai Abu Muhammad (kun-yah Sa’id bin al-Musayyib –Sa’ad), apakah Allah akan mengadzabku karena sholat ?”

Sa’id bin al-Musayyib menjawab,”Tidak, tetapi Allah akan mengadzabmu dengan sebab menyelisihi Sunnah (dalam sholat sunnah fajar –Sa’ad).”

[Riwayat al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra, ad-Darimi, dll. Dengan sanad yang shohih; sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabi dalam kitab Ilmu Ushul al-Bida’ hal. 71]

(2) Imam Syafi’i rohimahulloh sendiri pernah berkata: Berbisik – bisik dalam niat sholat dan thoharoh (bersuci –Sa’ad) sebabnya adalah kebodohan terhadap syariat, atau adanya kerusakan pada akal.

Catatan Penting

Telah tersebar luas di tengah kaum muslimin, bahwa pendapat yang menyatakan wajibnya melafazhkan niat adalah pendapat Imam Syafi’i rohimahulloh. Kabar ini menyelisihi ucapan Imam Syafi’i rohimahulloh di atas. Dan semua itu disebabkan oleh kesalahpahaman seorang dari ulama yang bermadzhab Syafi’i yang bernama az-Zubairi kemudian diikuti orang – orang belakangan- terhadap ungkapan Imam Syafi’i rohimahulloh ketika beliau mengatakan:

Apabila seorang niat haji atau umroh maka telah dianggap cukup walaupun tidak melafazhkannya, berbeda halnya dengan sholat yang tidak sah kecuali dengan ucapan.”

Ucapan Imam Syafi’i rohimahulloh ini sama sekali tidak menunjukkan disyariatkannya melafazhkan niat, dan hal ini telah dijelaskan sendiri oleh pembesar ulama madzhab Syafi’i , yaitu Imam an-Nawawi rohimahulloh. Beliau berkata –sebagaimana dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab- :

Orang yang mengucapkan ini (az-Zubairi –pen) telah berbuat fatal, karena yang dimaksud Imam Syafi’i rohimahulloh dengan ‘UCAPAN DALAM SHALAT’ bukan ini (niat –pen), akan tetapi yang dimaksudkan adalah takbir (takbiratul ihram).”

Dan Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rohimahulloh berkata: ”Tidak ada seorang pun dari Imam Empat, tidak Syafi’i dan tidak pula yang lainnya, yang mengatakan akan syarat melafazhkan, karena niat tempatnya adalah di hati menurut kesepakatan mereka, kecuali hanya ada sebagian ulama belakangan yang mewajibkan untuk melafazhkannya dan mengeluarkan satu bentuk pendapat dalam madzhab Syafi’i. Akan tetapi telah ditegaskan oleh an-Nawawi bahwa hal tersebut adalah kesalahan. Dan ini telah didahului oleh ijma’/kesepakatan.

[Footnote (1)b dan (2) diambil dari Majalah Adz-Dzakiirah, Vol. 6 No. 9 Edisi 41 – 1429 H, hal. 14, 17 - 18. Mengenai Catatan Penting, dapat dilihat file berikut di blog Abul Jauzaa' pada footnote nomor 5 ].

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin