Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

24 Mei 2009

FILE 114 : Was - Was Kencing Tak Tuntas

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

.

Terapi Dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasalam Bagi Orang Yang Terkena Penyakit Was-Was Percikan Kencing

.

............

وقال المروزى : وضأت أبا عبدالله بالعسكر فسترته من الناس لئلا يقولوا إنه لايحسن الوضوء لقلة صبه الماء وكان أحمد يتوضأ فلا يكاد يبل الثرى

Al-Marwazi berkata, "Aku membantu Abu Abdillah (Imam Ahmad) berwudhu saat bersama orang banyak, tetapi aku menutupinya dari orang-orang agar mereka tidak mengatakan, 'la tidak membaikkan wudhunya karena sedikitnya air yang dituangkan.' Dan jika Imam Ahmad berwudhu, hampir saja (air bekasnya) tidak sampai membasahi tanah."

.

Khawarij dan Sesuci

Khawarij dikenal dengan sifat berlebih-lebihan mereka dalam segala hal, diantaranya dalam masalah sesuci. Al-Hafizh Ibn Jauzi rahimahullahu dalam Talbis Iblis hal. 20 (cet Dar Fikr, 1421 H) mengisahkan segolongan Khawarij yang berlebih-lebihan dalam masalah sesuci, namanya Al-Makramiyah. Al-Hafizh berkata,

والمكرمية قالوا ليس لأحد أن يمس أحدا لأنه لا يعرف الطاهر من النجس

Dan Al-Makramiyah berkata, “Seseorang tidak boleh bersentuhan dengan orang lain, karena tidak diketahui siapa yang suci dan siapa yang najis”.

Ini Khawarij yang terdahulu, adapun kelompok Khawarij zaman sekarang bermacam-macam lagi perilaku mereka dalam menyerupai nenek moyangnya. Ada yang rela mengepel lantai, mencuci sajadah, pakaian dan sarungnya hanya karena terinjak atau digunakan selain kelompoknya, yang tidak diketahui apakah mereka sesuci ‘dengan gaya mereka’ atau tidak. Padahal kalau kebenaran itu sesuai metode mereka, maka seharusnya mereka cuci juga uang-uang dalam dompet-dompet mereka yang bahkan tidak diketahui dari tangan siapa uang itu sebelumnya?!!, ini suatu yang menggelikan.

Syubhat mereka dizaman ini adalah bahwa orang selain kelompoknya itu jahil (bodoh) dalam masalah sesuci. Padahal jika mereka mau membuka kembali kitab-kitab hadits, lalu memahaminya sebagaimana mestinya, niscaya akan diketahui siapa yang lebih bodoh. Akan tetapi, pada kesempatan ini kita tidak akan membahas masalah tersebut lebih dalam lagi, sebab yang akan kita bahas adalah masalah was-was yang sering menimpa mereka tatkala kencing.

Yaitu was-was : apakah tubuh mereka terkena percikan kencing atau tidak?! Sehingga haruslah mereka bersusah payah dengan menghabiskan berliter-liter air untuk membersihkan was-was mereka itu. Tidak diragukan ini berasal dari syetan, dan kaum muslimin diperintahkan agar menjauhkan diri dari hal semacam ini.

.

Menghilangkan was-was.

Ibnu Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/143 – cet Dar Al-Ma’rifah, 1395 H, tahqiq Muhammad Hamid Al-Faqi), berkata:

قال الشيخ أبو محمد: ويستحب للإنسان أن ينضج فَرْجَه وسراويله بالماء إذا بال، ليدفع عن نفسه الوسوسة، فمتى وجد بللاً قال: هذا من الماء الذي نضحته، لما روى أبو داود بإسناده عن سفيان بن الحكم الثقفي أوالحكم بن سفيان قال: "كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا بال توضأ وينضح"، وفي رواية: "رأيتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم بال ثم نضح فرجه"، وكان ابن عمر ينضح فرجه حتى يبل سراويله.وشكا إلى الإمام أحمد بعض أصحابه أنه يجد البلل بعد الوضوء، فأمره أن ينضح فرجه إذا بال، قال: ولا تجعل ذلك من همتك، والهُ عنه. وسئل الحسن أوغيره عن مثل هذا فقال: الهُ عنه؛ فأعاد عليه المسألة، فقال: أتستدره لا أب لك! الهُ عنه)

Syaikh Abu Muhammad (Menurut Syaikh Ali Hasan dalam Mawaridul Aman, yang dimaksud adalah Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi dalam kitabnya Dzammul Was-was, kitab ini telah dicetak pada tahun 1923 oleh Al-Mathba'atul Arabiyah, Kairo -pen) berkata, "Dianjurkan bagi setiap orang agar memercikkan air pada kelamin dan celananya saat ia kencing. Hal itu untuk menghindarkan was-was daripadanya, sehingga saat ia menemukan tempat basah (dari kainnya) ia akan berkata, 'Ini dari air yang saya percikkan'." Hal ini berdasarkan riwayat Abu Dawud ((1/43 no. 166, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (1/34) -pen), melalui sanad-nya dari Suryan bin Al-Hakam Ats-Tsaqafi atau Al-Hakam bin Sufyan ia berkata, "Bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam jika buang air kecil beliau berwudhu dan memercikkan air". Dalam riwayat lain disebutkan, "Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam buang air kecil, lalu beliau memercikkan air pada kemaluannya"..

Sedangkan Ibnu Umar Radhiyallahu anhu beliau memercikkan air pada kemaluannya sehingga membasahi celananya. Sebagian kawan Imam Ahmad mengadu kepada Imam Ahmad bahwa ia mendapatkan (kainnya) basah setelah wudhu, lalu beliau memerintahkan agar orang itu memercikkan air pada kemaluannya jika ia kencing, seraya berkata, "Dan jangan engkau jadikan hal itu sebagai pusat perhatianmu, lupakanlah hal itu". Al-Hasan dan lainnya ditanya tentang hal serupa, maka beliau menjawab, "Lupakanlah!" Kemudian masih pula ditanyakan padanya, lalu dia berkata, "Apakah engkau akan menumpahkan air banyak-banyak (untuk membasuh kencingmu)? Celaka kamu! Lupakanlah hal itu!".

Penulis berkata: Ini contoh kaum salaf, dan sebaik-baiknya salaf yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam. Barangsiapa merasa bahwa apa yang kaum salaf lakukan itu belum cukup, maka celakalah dia !!..

Ibn Mundzir dalam Al-Ausath berkata,

ذكر استحباب نضح الفرج بعد الوضوء ليدفع به وساوس الشيطان وينزع الشك به

Pembahasan tentang dianjurkannya memerciki kemaluan setelah wudhu agar terhindar dan terlindungi dengannya dari was-was setan dan kebimbangan.

Lalu beliau menyebutkan berbagai hadits dan atsar yang sebagian diantaranya telah disebutkan oleh Ibn Qayyim, dikutip pula perkataan Ibn Abbas, “…seandainya ia menemukan tempat basah (dari kainnya) ia akan berkata, 'Ini dari air yang saya percikkan'.".

Dan dari Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لا يبولن أحدكم فى مستحمه ثم يغتسل فيه ». قال أحمد « ثم يتوضأ فيه فإن عامة الوسواس منه.

Janganlah salah seorang diantara kamu kencing di tempat mandinya kemudian mandi (berkata Ahmad) atau wudhu di tempat tersebut, karena sesungguhnya umumnya gangguan was-was itu dari situ”..

Hadits riwayat Abu Daud no. 27 –ini lafazhnya, juga oleh Tirmidzi no. 21 dan Nasa’i no. 36, dishahihkan oleh Al-Albani.

.

Was-was setelah kencing

Ibn Qayyim dalam kitabnya Ighatsatul Lahfan [kutipan dari Mawaridul Aman] menyebutkan contoh-contoh was-was setelah kencing:.

“… Dan hal itu ada sepuluh macam: As-Saltu/An-Natru (السلت والنتر), An-Nahnahatu (النحنحة), Al-Masyyu (المشي), Al-Qafzu (القفز), Al-Hablu (الحبل), At-Tafaqqudu (التفقد), Al-Wajuru (الوجور), Al-Hasywu (الحشو), Al-Ishabatu (العصابة), Ad-Darjatu (الدرجة)”.

Adapun السلت yaitu ia menarik (mengurut) kemaluannya dari pangkal hingga ke kepalanya. Memang ada riwayat tentang hal tersebut, tetapi haditsnya gharib dan tidak diterima. Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibnu Majah dari Isa bin Yazdad dari ayahnya, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Jika salah seorang dari kamu buang air kecil, maka hendaklah ia menarik (mengurut) kemaluannya sebanyak tiga kali'." Mereka berkata, "Karena dengan as-saltu dan an-natru (keduanya bermakna menarik/mengurut, dalam hal ini mengurut kemaluan) maka akan bisa dikeluarkan sesuatu yang ditakutkan kembali lagi setelah bersuci." Mereka juga berkata, "Jika untuk itu memerlukan berjalan beberapa langkah, lalu ia lakukan, maka itu lebih baik.".

Adapun النحنحة (berdehem) dilakukan untuk mengeluarkan (air kencing) yang masih tersisa.

Demikian juga dengan القفز, yang berarti melompat di atas lantai kemudian duduk dengan cepat..

Sedangkan الحبل yaitu bergantung diatas tali hingga tinggi, lalu menukik daripadanya kemudian duduk.

التفقد yaitu memegang kemaluan, lalu melihat ke lubang kencing, apakah masih tersisa sesuatu di dalamnya atau sudah habis.

الوجور yaitu memegang kemaluan, lalu membuka lubang kencing seraya menuangkan air ke dalamnya.

الحشو yaitu orang tersebut membawa sebuah alat untuk memeriksa kedalaman luka yang dibalut dengan kapas (mungkin juga lidi atau sejenisnya yang dianggap aman), lalu lubang kencing itu ditutup dengan kapas tersebut, sebagaimana lubang bisul yang ditutup dengan kapas..

العصابة yaitu membalutnya dengan kain.

الدرجة yaitu naik ke tangga beberapa tingkat, lalu turun daripadanya dengan cepat..

المشي yaitu berjalan beberapa langkah, kemudian mengulangi bersuci lagi.

Syaikh kami (Ibn Taimiyah - pen) berkata, "Semua itu adalah was-was dan bid'ah." Saya (Ibn Qayyim -pen) kembali bertanya tentang menarik dan mengurut kemaluan (dari pangkal hingga ke kepala kelamin), tetapi beliau tetap tidak menyetujuinya seraya berkata, "Hadits tentang hal tersebut tidak shahih.".

Dan air kencing itu sejenis dengan air susu, jika engkau membiarkannya maka ia diam (tidak mengalir), dan jika engkau peras maka ia akan mengalir. Siapa yang membiasakan melakukannya maka ia akan diuji dengan hal tersebut, padahal orang yang tidak memperhatikannya akan dimaafkan karenanya. Dan seandainya hal ini Sunnah, tentu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam serta para sahabatnya lebih dahulu melakukannya. Sedangkan seorang Yahudi saja berkata kepada Salman, "Nabimu telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai dalam masalah khira'ah (buang air besar)." Salman menjawab, "Benar!" (Diriwayatkan Muslim). Lalu, adakah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mengajarkan hal-hal di atas kepada kita?.

.

Islam itu Mudah

Ibn Qayyim menyebutkan pula: Keterlaluannya orang yang senantiasa was-was termasuk tindakan berlebih-lebihan adalah melakukan sesuatu secara ekstrim (melampaui batas) padahal Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang diutus dengan agama yang mudah telah memberi kemudahan di dalamnya..

Di antara kemudahan itu adalah berjalan tanpa alas kaki di jalan-jalan, kemudian shalat tanpa membasuh kakinya terlebih dahulu.

Abdullah bin Mas'ud berkata, "Kami tidak berwudhu karena menginjak sesuatu.".

Dan dari Ali Radhiyallahu Anhu, bahwasanya ia menceburkan dirinya di lumpur hujan, kemudian masuk masjid dan shalat, tanpa membasuh kedua kakinya terlebih dahulu.

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu ditanya tentang seseorang yang menginjak kotoran manusia, beliau menjawab, "Jika kotoran itu kering maka tidak mengapa, tetapi jika basah maka ia harus membasuh tempat yang mengenainya.".

Abu Asy-Sya'sya' berkata, "Suatu ketika Ibnu Umar berjalan di Mina dan menginjak kotoran ternak serta darah kering dengan tanpa alas kaki, lalu beliau masuk masjid dan shalat, tanpa membasuh kedua telapak kakinya."

Ashim Al-Ahwal berkata, "Kami datang kepada Abul Aliyah, kemudian kami meminta air wudhu. Lalu beliau bertanya, 'Bukankah kalian masih dalam keadaan wudhu?' Kami menjawab, 'Benar! Tetapi kami melewati kotoran-kotoran.' Ia bertanya, 'Apakah kalian menginjak sesuatu yang basah dan menempel di kaki-kaki kalian?' Kami menjawab, Tidak!' Dia berkata, 'Bagaimana dengan kotoran-kotoran kering yang lebih berat dari ini, yang diterbangkan angin di rambut dan di jenggot kalian?"..

Ibn Qayyim menyebutkan pula: “Sesuatu yang menurut hati orang-orang yang terbiasa was-was tidak baik adalah shalat dengan memakai sandal, padahal ia merupakan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada para sahabatnya, beliau melakukan hal yang sama, juga memerintahkannya.

Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu meriwayatkan, bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam shalat dengan kedua sandalnya. (Muttafaq Alaih)..

Syaddad bin Aus berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Selisihilah orang Yahudi, sesungguhnya mereka tidak shalat dengan memakai khuf dan sandal mereka”.

Imam Ahmad ditanya, "Apakah seseorang shalat dengan memakai kedua sandalnya?" Beliau menjawab, "Ya, demi Allah.".

Sedangkan kita melihat orang-orang yang terbiasa was-was, jika ia shalat jenazah dengan memakai kedua sandalnya, maka ia akan berdiri di atas kedua tumitnya, seakan-akan berdiri di atas bara api, bahkan hingga tidak shalat dengan keduanya”.

.

Berlebihan menggunakan air

Ibnul Qayyim menyebutkan pula: Berlebih-lebihan dalam penggunaan air termasuk di dalamnya berlebih-lebihan dalam penggunaan air wudhu dan mandi..

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dengan sanad hasan, demikian seperti dijelaskan dalam Al-Muntaqa An-Nafis dari hadits Abdillah bin Amr, "Bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berlalu di samping Sa'd yang sedang berwudhu, maka beliau bersabda, 'Jangan berlebih-lebihan (dalam penggunaan air).' Ia bertanya, 'Wahai Rasulullah! Apakah berlebih-lebihan dalam (penggunaan) air (juga terlarang)?' Beliau menjawab, Ya, meskipun engkau berada di sungai yang mengalir'."

Dan dalam Al-Musnad serta As-Sunan dari hadits Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata, "Seorang Arab Badui datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya tentang wudhu. Lalu beliau memperlihatkan padanya tiga kali-tiga kali seraya bersabda, 'Inilah wudhu (yang sempurna) itu', maka siapa yang menambah lebih dari ini berarti ia telah melakukan yang buruk, melampaui batas dan aniaya.".

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya, dari Jabir ia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Telah cukup untuk mandi satu sha' air (-/+ 4 mud) dan untuk wudhu satu mud air (- 2 liter)”.

Dalam Shahih Muslim dari Aisyah Radhiyallahu Anha disebutkan, "Bahwasanya ia mandi bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari satu bejana yang berisi tiga mud (air) atau dekat dengan itu.".

Abdurrahman bin Atha' berkata, "Aku mendengar Sa'id bin Musayyib berkata, 'Saya memiliki rikwah (tempat air dari kulit) atau gelas, yang berisi setengah mud atau semisalnya, aku buang air kecil dan aku berwudhu daripadanya, serta masih aku sisakan sedikit daripadanya'."

Abdurrahman menambahkan, "Hal itu lalu kuberitahukan kepada Sulaiman bin Yasar, kemudian ia berkata, 'Ukuran yang sama juga cukup untukku'.".

Abdurrahman juga berkata, "Hal itu kuberitahukan pula kepada Abu Ubaidah bin Muhammad bin Amar bin Yasir, lalu ia berkata, 'Demikianlah yang kami dengar dari para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam'." (Diriwayatkan Al-Atsram dalam Sunannya).

Ibrahim An-Nakha'i berkata, "Mereka (para sahabat) sangat merasa cukup dalam hal air daripada kalian. Dan mereka berpendapat bahwa seperempat mud telah cukup untuk wudhu." Tetapi ucapan ini terlalu berlebihan, karena seperempat mud tidak sampai satu setengah uqiyah' Damaskus..

Dalam Shahihain disebutkan, Anas berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berwudhu dengan satu mud, dan mandi dengan satu sha' hingga dengan lima mud air."

Dan Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash-Shiddiq berwudhu dengan sekitar setengah mud atau lebih sedikit dari itu..

Muhammad bin Ijlan berkata,

الفقه في دين الله إسباغ الوضوء وقلة إهراق الماء

"Paham terhadap agama Allah (di antaranya ditandai dengan) menyempurnakan wudhu dan menyedikitkan penumpahan air.".

Imam Ahmad berkata, "Dikatakan, pemahaman seseorang (terhadap agama) dapat dilihat pada kecintaannya kepada air."

Al-Maimuni berkata, "Aku berwudhu dengan air yang banyak, lalu Imam Ahmad berkata kepadaku, Wahai Abul Hasan! Apakah kamu rela seperti ini?' Maka aku serta-merta meninggalkan (dari penggunaan air yang banyak)."

.

Akibat was-was.

Ibn Qayyim menyebutkan pula: Abu Daud meriwayatkan dalam Sunan-nya dari hadits Abdillah bin Mughaffal, ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Akan ada dalam umatku kaum yang berlebih-lebihan dalam soal bersuci dan berdoa."

Jika Anda membandingkan hadits diatas dengan firman Allah, "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Al-A'raaf: 55)..

Dan Anda mengetahui bahwa Allah mencintai hamba yang beribadah kepada-Nya, maka akan muncullah kesimpulan bahwa wudhunya orang yang was-was, tidaklah termasuk ibadah yang diterima Allah Ta'ala, meskipun hal itu telah menggugurkannya dari kewajiban tersebut, dan oleh sebab itu tidaklah akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan karena wudhunya agar ia bisa masuk darimana saja ia suka.

Di antara kejelekan lain dari was-was yaitu orang yang bersangkutan terbebani dengan tanggungan air yang lebih dari keperluannya, jika air itu milik orang lain, seperti air kamar mandi (umum). Ia keluar daripadanya dengan memiliki tanggungan atas apa yang lebih dari keperluannya. Lama-kelamaan hutangnya semakin menumpuk, sehingga membahayakan dirinya di Alam Barzah dan ketika Hari Kiamat. [akhir nukilan dari Mawaridul Aman].

*****

.

Sumber: rumahku-indah.blogspot.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

09 Mei 2009

FILE 113 : Jagalah Alloh

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Penjelasan Hadits Arba’in Nawawiyah Ke-19:

Menjaga Syariat Allah dan Iman Kepada Takdir

.

Penulis:

Ustadz Abdullah Taslim, Lc.

.

الحديث التاسع عشر: عن أبي العباس عبدالله بن عباس رضي الله عنهما قال: كنت خلف النبي صلى الله عليه وسلم يوماً، فقال لي: “يا غلام، إنّي أعلمك كلماتٍ: احفظ الله يحفظك، احفظ الله تجده تجاهك، إذا سألت فاسأل اللهَ، وإذا استعنت فاستعن بالله، واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك، وإن اجتمعوا على أن يضرّوك بشيء لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك، رفعت الأقلام وجفت الصحف”، رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح. وفي رواية غير الترمذي: “احفظ الله تجده أمامك، تعرّف إلى الله في الرخاء يعرفك في الشدة، واعلم أن ما أخطأك لم يكن ليصيبَك، وما أصابك لم يكن ليخطئَك، واعلم أن النصر مع الصبر، وأن الفَرَج مع الكرب، وأنّ مع العسر يسراً”

.

Dari Abul ‘Abbas ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata: “Suatu hari (ketika) saya (dibonceng Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) di belakang (hewan tunggangan) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Beliau bersabda kepadaku: “Wahai anak kecil, sungguh aku akan mengajarkan beberapa kalimat (nasehat penting) kepadamu, (maka dengarkanlah baik-baik!):

“Jagalah (batasan-batasan syariat) Allah, maka Allah akan menjagamu,

jagalah (batasan-batasan syariat) Allah, maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu (selalu bersamamu dan menolongmu),

jika kamu (ingin) meminta (sesuatu), maka mintalah (hanya) kepada Allah,

dan jika kamu (ingin) memohon pertolongan, maka mohon pertolonganlah (hanya) kepada Allah,

dan ketahuilah, bahwa seluruh makhluk (di dunia ini), seandainya pun mereka bersatu untuk memberikan manfaat (kebaikan) bagimu, maka mereka tidak mampu melakukannya, kecuali dengan suatu (kebaikan) yang telah Allah tuliskan (takdirkan) bagimu,

dan seandainya pun mereka bersatu untuk mencelakakanmu, maka mereka tidak mampu melakukannya, kecuali dengan suatu (keburukan) yang telah Allah tuliskan (takdirkan) akan menimpamu,

pena (penulisan takdir) telah diangkat dan lembaran-lembarannya telah kering.” HR At Tirmidzi (7/228-229 -Tuhfatul Ahwadzi), hadits no. 2516), disahihkan oleh Syaikh Al Albani), dan dia berkata: (hadits ini adalah) hadits hasan sahih.

Dan dalam riwayat lain selain At Tirmidzi (Diriwayatkan oleh ‘Abd bin Humaid dalam Musnadnya dan sanadnya lemah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Rajab (hal. 460), akan tetapi Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dalam Musnad beliau (1/307) dengan sanad lain yang sahih): “Jagalah Allah, maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu (selalu bersamamu dan menolongmu), kenalkanlah/dekatkanlah (dirimu) pada Allah disaat (kamu dalam keadaan) lapang (senang), supaya Allah mengenali (menolong)mu disaat (kamu dalam keadaan) susah (sempit), dan ketahuilah, bahwa segala sesuatu (yang telah Allah ta’ala tetapkan) tidak akan menimpamu, maka semua itu (pasti) tidak akan menimpamu, dan segala sesuatu (yang telah Allah ta’ala tetapkan) akan menimpamu, maka semua itu (pasti) akan menimpamu, dan ketahuilah, sesungguhnya pertolongan (dari Allah ta’ala) itu selalu menyertai kesabaran,dan jalan keluar (dari kesulitan) selalu menyertai kesulitan, dan kemudahan selalu menyertai kesusahan.”

Biografi Perawi Hadits

Sahabat yang meriwayatkan hadits ini adalah ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf, anak paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang lahir tiga tahun sebelum hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdo’a untuknya agar dipahamkan Al Qur’an dan ilmu agama, dan beliau digelari “Al bahr” (lautan) karena luasnya ilmu yang beliau miliki, beliau wafat di Thaif pada tahun 67 atau 68 H. (Lihat biografi beliau dalam Siyar Al A’lam An Nubala’, (4/409-428))

Kedudukan Hadits

Imam Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini mengandung nasihat-nasihat yang agung dan kaidah-kaidah (umum yang bersifat) menyeluruh dalam masalah-masalah terpenting dalam agama ini, sampai-sampai salah seorang ulama (yaitu Imam ‘Abdurrahman ibnul Jauzi dalam kitab beliau Shaidul Khatir) berkata: “(Ketika) aku merenungkan dan menghayati (makna) hadits ini, aku tercengang (terpesona) dan nyaris kehilangan akal, duhai, alangkah ruginya (seorang yang) tidak mengetahui hadits ini dan kurang memahami maknanya” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 462). Dan Imam Ibnu Rajab telah menyusun satu kitab khusus untuk menjelaskan kandungan dan makna hadits ini, yang berjudul: “Nurul iqtibas fii misykaati washiyyatin Nabiyyi shallallahu ‘alaihi wa sallam libni ‘Abbas”.

Beberapa Masalah Penting yang Terkandung Dalam Hadits Ini

1. Penjagaan dari Allah ta’ala bagi seorang hamba yang menjaga batasan-batasan syariat-Nya, yang dalam hal ini berlaku ketentuan dari Allah ta’ala yang disebut,

الجزاء من جنس العمل

Balasan yang sesuai dengan jenis perbuatan.”

seperti yang juga Allah ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:

فاذكروني أذكركم

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (QS. Al Baqarah: 152),

dan firman-Nya:

يا أيها الذين آمنوا إن تنصر الله ينصركم

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu.” (QS. Muhammad: 7). (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, 465)

2. Makna “Penjagaan hamba (terhadap batasan-batasan syariat Allah)” adalah menjaga hak-hak Allah dengan menunaikannya, menjaga batasan-batasan-Nya dengan tidak melanggarnya, dan menjaga perintah dan larangan-Nya dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Dan barang siapa yang melaksanakan hal-hal tersebut di atas, maka dia termasuk orang-orang yang menjaga batasan-batasan (syariat) Allah ta’ala yang dipuji oleh Allah ta’ala dalam Al Qur’an (dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), Allah ta’ala berfirman:

هَذَا مَاتُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ . مَّنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ وَجَآءَ بِقَلْبٍ مُّنِيبٍ

“Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) pada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi menjaga (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat.” (QS. Qaaf: 33)

Dan “Al hafiizh” dalam ayat ini ditafsirkan dengan orang yang menjaga perintah-perintah Allah, dan orang yang menjaga dosa-dosanya dengan (segara) bertaubat (kepada Allah ta’ala) dari dosa-dosa tersebut. (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, 462)

3. Adapun makna “penjagaan Allah ta’ala terhadap hamba (yang menjaga batasan-batasan syariat-Nya)”, maka hal ini meliputi dua macam penjagaan:

  1. Penjagaan Allah ta’ala terhadap hamba dalam urusan-urusan dunianya, seperti penjagaan Allah terhadap (kesehatan) badannya, juga terhadap istri, keturunan dan hartanya. Maka barangsiapa yang menjaga (batasan-batasan syariat)-Nya di masa kecilnya dan di kala (fisiknya masih) kuat, maka Allah ta’ala akan menjaganya di masa tuanya dan di kala (fisiknya telah) lemah, dan Allah akan menguatkan pendengaran, penglihatan, kesehatan dan akalnya. Salah seorang ulama salaf yang telah mencapai usia lebih dari seratus tahun, akan tetapi kondisi fisik dan akalnya tetap kuat, maka suatu hari dia melakukan suatu lompatan yang sangat kuat, sehingga orang-orang menegurnya, maka dia pun berkata: “(Seluruh) anggota badanku ini sejak kecil (selalu) aku jaga dari perbuatan maksiat, maka Allah ta’ala pun menjaganya ketika aku telah tua.”

Bahkan karena kesalehan seorang hamba Allah ta’ala akan menjaga keturunannya sepeninggalnya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah ta’ala: “sedang ayah mereka berdua adalah seorang yang saleh.” (Al Kahfi: 82), bahwa kedua anak yatim yang disebutkan dalam ayat ini dijaga (oleh Allah ta’ala) karena kesalehan ayah mereka berdua. Imam Sa’id bin Musayyib berkata kepada putranya: “Sungguh aku akan memperbanyak shalat (sunnah)ku karena kamu, dengan harapan (Allah ta’ala akan) menjagamu (sepeninggalku nanti)”, kemudian dia membaca ayat tersebut di atas. Dan Imam ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz berkata: “Tidak ada seorang mukmin pun yang meninggal dunia, kecuali Allah ta’ala akan menjaga keturunan dan anak cucunya.”

Dan barangsiapa yang menjaga (batasan-batasan syariat) Allah ta’ala, maka Allah ta’ala akan menjaganya dari semua gangguan, telah berkata salah seorang ulama salaf: “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah ta’ala, maka (berarti) dia telah menjaga dirinya, dan barangsiapa yang berpaling dari ketakwaan kepada Allah ta’ala, maka (berarti) dia telah menyia-nyiakan dirinya, dan Allah ta’ala tidak butuh kepadanya”.

  1. Penjagaan Allah ta’ala terhadap hamba dalam agama dan keimanannya, dan penjagaan ini adalah penjagaan yang paling utama. Allah ta’ala menjaga hamba ini dalam kehidupannya dari fitnah-fitnah syubhat (kerancuan dalam memahami agama/pengaburan yang benar dan yang batil) yang menyesatkan dan fitnah-fitnah syahwat (memperturutkan nafsu) yang diharamkan oleh Allah ta’ala, dan Allah ta’ala akan selalu menjaga dan meneguhkan imannya sampai di akhir hayatnya dan mewafatkannya dengan husnul khatimahta’ala (meninggal dunia di atas keimanan), semoga Allah menganugrahkan kepada kita semua penjagaan ini. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan firman Allah ta’ala:

واعلموا أن الله يحول بين المرء وقلبه

“Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah menghalangi (membatasi) antara manusia dan hatinya.” (QS. Al Anfaal: 24), beliau berkata: “Allah ta’ala menghalangi orang yang beriman dari perbuatan maksiat yang akan menjerumuskannya ke dalam neraka”, dan Allah ta’ala berfirman tentang Nabi Yusuf ‘alaihis salam:

كذلك لنصرف عنه السوء والفحشاء إنه من عبادنا المخلصين

“Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (QS. Yusuf: 24). (Jami’ul ‘ulum wal hikam (hal. 465-470), dengan ringkas dan sedikit perubahan)

4. Dan dipahami dari hadits ini, bahwa barangsiapa yang tidak menjaga (batasan-batasan syariat) Allah ta’ala, dengan tidak mengindahkan perintah-Nya dan melanggar larangan-Nya, maka Allah ta’ala pun akan menyia-nyiakannya dan menjadikannya lupa akan (kemaslahatan) dirinya sendiri, Allah ta’ala berfirman:

نسوا الله فنسيهم

“Mereka (orang-orang munafik) lupa kepada Allah, maka Allah pun melupakan mereka.” (QS. At Taubah: 67),

Dalam ayat lain Allah ta’ala berfirman:

فلما زاغوا أزاغ الله قلوبهم والله لا يهدي القوم الفاسقين

“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah pun memalingkan hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. Ash Shaff: 5).

Bahkan sampai-sampai Allah ta’ala menimpakan padanya gangguan dan perlakuan buruk melalui orang-orang yang dekat dengannya, dan yang seharusnya berbuat baik padanya, yaitu keluarga dan kerabatnya. Berkata salah seorang ulama salaf: “Sungguh (setelah) aku berbuat maksiat kepada Allah, maka aku mengenali (dampak buruk) perbuatan maksiat itu ada pada tingkah laku pelayan dan hewan tungganganku.” (Lihat Jami’ul ‘ulum, hal. 468 dan Ad Durarus saniyyah, hal. 78)

5. Makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “… Maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu…” adalah: Allah ta’ala akan selalu bersamamu dalam semua keadaan, Dia akan selalu melindungimu, menolongmu dan menjagamu, dan inilah (yang disebut dengan) “Al Ma’iyyah al khaashshah” (kebersamaan Allah ta’ala dengan hambanya yang bersifat khusus) yang mengandung arti pertolongan, dukungan, penjagaan dan perlindungan (dari Allah ta’ala bagi hambanya) (Lihat Bahjatun nazhirin, 1/135), sebagaimana firman Allah ta’ala:

إن الله مع الذين اتقوا والذين هم محسنون

“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An Nahl: 128),

Qotadah mengatakan: “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah ta’ala, maka Allah akan selalu bersamanya, dan barangsiapa yang Allah ta’ala selalu bersamanya, maka bersamanya ada kelompok yang tidak terkalahkan, penjaga yang tidak pernah tidur dan pemberi petunjuk yang tidak pernah menyesatkan.” (Jami’ul ‘ulum, hal. 471)

6. Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mentauhidkan (mengesakan) Allah ta’ala dalam meminta (berdoa) dan memohon pertolongan, dan untuk tidak meminta sesuatu pun kepada makhluk, yang ini sesuai dengan firman Allah ta’ala:

إياك نعبد وإياك نستعين

“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS. Al Faatihah: 5)

Dan dalam hal ini ada dua tingkatan:

- tingkatan yang wajib, yaitu Tauhid, dengan meminta dan memohon pertolongan kepada Allah ta’ala semata-semata dan tidak kepada selain-Nya dalam perkara-perkara yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah ta’ala. Dan inilah yang kita kenal dalam pelajaran Tauhid, bahwa memalingkan do’a dan isti’anah (memohon pertolongan) kepada selain Allah ta’ala adalah perbuatan syirik.

- tingkatan yang mustahabb (sunnah/anjuran), yaitu jika seseorang mampu untuk mengerjakan (sendiri) suatu pekerjaan, maka janganlah dia meminta (pertolongan) kepada siapapun, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengambil perjanjian dari beberapa orang Sahabat radhiyallahu ‘anhu agar mereka tidak meminta apapun kepada manusia, (sampai-sampai) perawi hadits ini berkata: “maka salah seorang dari mereka ketika cemetinya terjatuh (dari hewan tunggangannya), dia tidak meminta orang lain untuk mengambilkan cemeti tersebut untuknya (yaitu dia turun dari hewan tunggangannya dan mengambilnya sendiri) (HR. Muslim, no. 1043), dan dalam hal ini kemampuan masing-masing orang untuk menunaikan tingkatan ini berbeda-beda (sesuai dengan tingkat keimanan mereka) (Syarh Al Arba’in, Syaikh Shaleh Alu Asy Syaikh hal. 107).

Dan banyak hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan larangan meminta (sesuatu) kepada makhluk, di antaranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Senantiasa seseorang itu meminta (kepada makhluk) sampai dia bertemu Allah ta’ala (pada hari kiamat) dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun pada wajahnya.” (HR. Al Bukhari, 3/338- Fathul Bari dan Muslim, no. 1040). Hal ini disebabkan karena meminta kepada makhluk mengharuskan seseorang untuk menunjukkan rasa butuh dan menghinakan (menundukkan) diri di hadapan makhluk, padahal semua ini tidak pantas ditujukan kecuali kepada Allah ta’ala semata-mata. Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Meminta kepada makhluk padanya ada tiga keburukan, keburukan (karena) menunjukkan rasa butuh kepada selain Allah ta’ala dan ini termasuk satu jenis kesyirikan, keburukan (karena) menyakiti orang yang kita meminta kepadanya dan ini termasuk satu jenis kezaliman terhadap makhluk, dan (keburukan karena) menundukkan diri kepada selain Allah ta’ala dan ini termasuk satu jenis kezaliman terhadap diri sendiri.” (Kitabul Iman, hal. 66)

Akan tetapi jika seseorang benar-benar terpaksa meminta sesuatu yang mampu dilakukan oleh makhluk, maka (dalam kondisi ini) diperbolehkan baginya, dengan tetap berusaha menghindarkan diri dari keburukan-keburukan yang tersebut di atas (Lihat Ad Durarus Saniyyah, hal. 79).

7. Segala sesuatu yang menimpa seorang hamba dalam kehidupan di dunia, yang baik maupun yang buruk, telah ditakdirkan (ditetapkan) oleh Allah ta’ala, maka tidak mungkin akan menimpanya kecuali sesuatu yang telah tetapkan akan menimpanya, dan sesuatu yang telah Allah ta’ala tetapkan akan menimpanya tidak akan luput darinya, dan upaya keras semua makhluk untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah ta’ala tidak akan bermanfaat, maka ini semua seharusnya menjadikan seorang hamba senantiasa mentauhidkan (mengesakan) Allah ta’ala dalam meminta (berdo’a), memohon pertolongan, menghinakan dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala, dan mengesakan-Nya dalam beribadah dan melaksanakan ketaatan kepada-Nya, Allah ta’ala berfirman:

قل لن يصيبنا إلا ما كتب الله لنا هو مولانا وعلى الله فليتوكل المؤمنون

“Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal’.” (QS. At Taubah: 51). (Lihat Ad Durarus Saniyyah, hal. 80-81)

8. Barangsiapa yang mengenal Allah ta’ala sewaktu dalam keadaan lapang dan sehat, dengan bertakwa dalam melaksanakan ketaatan kepadanya, maka Allah ta’ala akan mengenal (menolong)nya sewaktu dia dalam keadaan susah, Allah ta’ala berfirman tentang Nabi Yunus ‘alaihis sallam:

فلو لا أنه كان من المسبحين، للبث في بطنه إلى يوم يبعثون

“Maka kalau sekiranya dia (sebelumnya) tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit (kiamat).” (QS. Ash Shaaffaat: 144).

Dan Allah ta’ala berfirman tentang Fir’aun:

وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَاءِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فَرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْيًا وَعَدْوًا حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ ءَامَنتُ أَنَّهُ لآأِلَهَ إِلاَّ الَّذِي ءَامَنَتْ بِهِ بَنُوا إِسْرَاءِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ . ءَآلْئَانَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ

“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga ketika Fir’aun telah hampir tenggelam dia berkata:”Saya percaya bahwa tidak ada Ilah (sembahan yang benar) melainkan (Allah) yang diimani oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah), Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sebelum ini sungguh kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Yunus: 90-91)

*****

Sumber: muslim.or.id

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 112 : Problematika Arah Kiblat

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Arah Kiblatku Tidak Pas

Disusun oleh :

Muhammad Abduh Tuasikal, ST

.

Kebingungan semacam ini muncul dari jama’ah di masjid kami, Masjid Siswa Graha, Pogung Kidul, Yogyakarta. Dan mungkin kasus semacam ini terjadi di masjid lainnya, arah kiblat kadang tidak tepat menghadap Ka’bah. Setelah kami mencari-cari, kami menemukan fatwa yang bisa menyelesaikan perkara ini. Selamat menyimak.

Dalam Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, hal. 551 (Darul Aqidah), seorang ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah pernah diajukan suatu pertanyaan,

“Jika telah jelas bahwa seorang yang shalat telah menyimpang (bergeser) dari (arah) qiblat, apakah dia harus mengulangi shalat?”

Beliau rahimahullah menjawab,

“Bergeser sedikit dari arah qiblat tidaklah mengapa kecuali jika seseorang berada di Masjidil Haram. Masjidil Haram adalah qiblat bagi orang yang shalat di sana yaitu langsung menghadap ke Ka’bah. Oleh karena itu, para ulama mengatakan: ‘Barangsiapa memungkinkan menyaksikan Ka’bah, maka wajib baginya untuk menghadap langsung ke Ka’bah. Dan apabila seseorang yang hendak shalat di Masjidil Haram hanya menghadap ke arah Ka’bah (misalnya ka’bah terletak di arah barat dia, lalu dia hanya menghadap ke arah barat, pen) dan tidak menghadap persis ke Ka’bah langsung maka dia wajib mengulangi shalatnya karena shalat yang dia lakukan tidak sah.

Hal ini berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla,

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah [2] : 144)

Namun, apabila seseorang berada jauh dari Ka’bah dan tidak mungkin dia melihat (menyaksikan) Ka’bah secara langsung walaupun dia masih berada di kota Mekkah, maka wajib baginya untuk menghadap ke arah Ka’bah dan tidak mengapa kalau bergeser sedikit.

Hal ini dapat dilihat pada sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk Madinah,

مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ

Arah antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan hadits ini shohih. Dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil dan Misykatul Mashobih bahwa hadits ini shohih)

Dikatakan demikian karena penduduk Madinah menghadap kiblat ke arah selatan. Maka setiap arah yang antara Barat dan Timur maka bagi mereka adalah kiblatnya. Begitu juga dikatakan kepada orang yang shalat menghadap ke Barat (seperti yang berada di Indonesia, pen) bahwa arah yang berada antara selatan dan utara adalah kiblat’. –Demikian fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin-

Pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin ini juga dipilih oleh Ash Shon’aniy, penulis kitab Subulus Salam yang merupakan kitab penjelas dari kitab Bulughul Marom yang terkenal. Di dalam kitab tersebut setelah membawakan hadits “arah antara timur dan barat adalah qiblat”, dikatakan bahwa hadits ini merupakan dalil di mana yang wajib adalah menghadap arah ka’bah saja, bukan menghadap persis ke Ka’bah. Hal ini berdasarkan ayat 144, Surat Al Baqarah di atas. Ayat tersebut menunjukkan cukup menghadap arahnya saja walaupun tidak persis ke arah ka’bah.

Beliau mengatakan pula bahwa jika dikatakan,”Kami akan mencari arah kiblat tersebut sehingga persis menghadap ka’bah”. Jawabannya : “Bersusah-susah seperti ini tidak ada dalil sama sekali dan tidak pernah dilakukan oleh sahabat padahal mereka adalah sebaik-baik generasi umat ini.”

Inilah pendapat Ash Shon’aniy dalam Subulus Salam dengan sedikit perubahan redaksi. Pendapat semacam ini juga dipilih oleh ulama Hanafiyyah, juga yang nampak dari Malikiyah dan Hanabilah dan ini juga pendapat Imam Syafi’iy. Sedangkan pendapat yang nampak pada ulama Syafi’yyah, pendapat Ibnul Qoshshor yang merupakan ulama Malikiyyah dan pendapat Abul Khoththob dari ulama Hanabilah bahwa wajib menghadap persis ke arah ka’bah (dan tidak cukup menghadap ke arahnya saja, pen) [Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 5/71, www.islam.gov.kw, Asy Syamilah]

Saatnya Menarik Kesimpulan

1) Jika seseorang berada di Masjidil Haram dan menyaksikan (melihat langsung) Ka’bah, maka dia wajib menghadap langsung ke Ka’bah.

2) Jika seseorang berada jauh dari Masjidil Haram dan berarti tidak bisa melihat Ka’bah secara langsung walaupun dia masih berada di Makkah, maka wajib bagi dia menghadap ke arah Ka’bah saja tanpa harus mencari-cari ke manakah arah kiblat yang persis.

Alasannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan kepada penduduk Madinah bahwa di antara dua arah yaitu Barat dan Timur adalah kiblat. Bagi orang Indonesia berarti kiblatnya berada di antara Utara dan Selatan yaitu arah barat. Setiap arah sebelah kiri antara Utara dan Selatan, maka itulah kiblat orang Indonesia.

Perbuatan semacam ini akan lebih memudahkan seseorang dan tidak mempersulit karena agama ini selalu memberikan kemudahan bagi umatnya. Pendapat inilah yang didukung dengan dalil yang kuat. Wallahu a’alam bish showab.

Diselesaikan di Gunung Kidul, 12 Shofar 1429 Hijriyah

(bertepatan dengan 23 Februari 2008)

*****

Sumber: rumaysho.wordpress.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 111 : Mengenal Ya'juj dan Ma'juj

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

.

Yajuj dan Ma’juj, Bangsa Perusak dan Kebinasaannya

.

Penulis:

Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

.

حَتَّى إِذَا فُتِحَتْ يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ. وَاقْتَرَبَ الْوَعْدُ الْحَقُّ فَإِذَا هِيَ شَاخِصَةٌ أَبْصَارُ الَّذِينَ كَفَرُوا يَاوَيْلَنَا قَدْ كُنَّا فِي غَفْلَةٍ مِنْ هَذَا بَلْ كُنَّا ظَالِمِينَ

Hingga apabila dibukakan (dinding) Ya`juj dan Ma`juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. Dan telah dekatlah kedatangan janji yang benar (hari berbangkit), maka tiba-tiba terbelalaklah mata orang-orang yang kafir. (Mereka berkata): ‘Aduhai, celakalah kami, sesungguhnya kami adalah dalam kelalaian tentang ini, bahkan kami adalah orang-orang yang zhalim’.” (Al-Anbiya`: 96-97)

.

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat.

فُتِحَتْ

Dibukakan.” Dibaca dengan takhfif tanpa tasydid. Sebagian membacanya dengan tasydid (فُتِّحَتْ). Ini adalah bacaan Ibnu ‘Amir, Abu Ja’far, dan Ya’qub. (Tafsir Al-Baghawi) Dan yang dimaksud terbuka di sini adalah dinding yang menghalangi keluarnya Ya`juj dan Ma`juj.

.

يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ

Jumhur ulama membacanya tanpa hamzah (يَاجُوجُ وَمَاجُوجُ), adapun qira`ah ‘Ashim dengan hamzah yang disukun. Terjadi perselisihan apakah kedua nama ini berasal dari bahasa Arab ataukah bukan. Yang berpendapat bahwa keduanya dari bahasa Arab, mereka mengatakan bahwa keduanya berasal dari kata ajja (أَجَّ), yang berarti berkobar. Atau dari kata ujaaj (أُجَاجٌ), yang berarti air yang sangat asin. Atau dari kata al-ajj (الْأَجُّ), yang berarti melangkah dengan cepat. Atau Ma`juj berasal dari kata maaja (مَاجَ) yang berarti goncang. Setiap dari akar kata ini memiliki kesesuaian dengan sifat kaum Ya`juj dan Ma`juj tersebut. ” (Asyrathus Sa’ah, Yusuf Al-Wabil hal. 365-366)

.

حَدَبٍ

Hadab adalah tempat yang tinggi, seperti gunung dan tempat-tempat yang tinggi lainnya. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan Mujahid rahimahullahu bahwa beliau membacanya dengan lafadz (جَدَثٍ), dengan huruf jim dan di akhirnya adalah tsa` yang berarti kuburan. (Tafsir Al-Alusi dan Al-Baghawi)

.

الْوَعْدُ الْحَقُّ

Janji yang benar.” Yang dimaksud dengan janji yang benar di sini adalah hari kiamat. Ini menunjukkan bahwa keluarnya Ya`juj dan Ma`juj merupakan penanda semakin dekatnya hari kiamat. Oleh karenanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keluarnya mereka dengan tanda-tanda hari kiamat besar lainnya.

Beliau bersabda:.

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَرَوْا عَشْرَ آيَاتٍ؛ طُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا، وَيَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ، وَالدَّابَّةَ، وَثَلاَثَةَ خُسُوفٍ: خَسْفٌ بِالْمَشْرِقِ وَخَسْفٌ بِالْمَغْرِبِ وَخَسْفٌ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ، وَنَارٌ تَخْرُجُ مِنْ قَعْرِ عَدَنَ تَسُوقُ النَّاسَ أَوْ تَحْشُرُ النَّاسَ فَتَبِيتُ مَعَهُمْ حَيْثُ بَاتُوا وَتَقِيلُ مَعَهُمْ حَيْثُ قَالُوا

Tidak akan tegak hari kiamat sampai kalian melihat sepuluh tanda: terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, Ya`juj dan Ma`juj, keluarnya binatang, tiga khusuf: di timur, di barat, dan di jazirah Arab, api yang keluar dari negeri Aden (kota di Yaman) yang menggiring manusia atau mengumpulkan manusia, di malam dan siang hari tetap bersama mereka di manapun mereka berada.” (HR. At-Tirmidzi no. 2183).

Penjelasan Ayat Al-Allamah Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “(Ayat) ini merupakan peringatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia ketika mereka masih tetap berada di atas kekufuran dan kemaksiatan, bahwa sesungguhnya telah dekat terbukanya dinding Ya`juj dan Ma`juj. Keduanya adalah kabilah yang besar dari keturunan Adam. Dzulqarnain telah menutup mereka dengan dinding ketika dikeluhkan kepadanya tentang perbuatan merusak mereka di muka bumi.

Pada akhir zaman nanti, dinding tersebut akan terbuka. Lalu mereka keluar menuju manusia dengan keadaan dan sifat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dari setiap tempat yang tinggi, yaitu al-hadab. Lantas bergerak dengan cepat. Maka ini menunjukkan jumlah mereka yang sangat banyak bersamaan dengan gerakan mereka yang cepat di muka bumi. Apakah tubuh-tubuh mereka yang bergerak cepat atau dengan sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan untuk mereka berupa sebab-sebab yang bisa ‘mendekatkan yang jauh dan memudahkan yang sulit’..

Mereka menguasai manusia dan mengalahkan mereka di dunia. Tidak seorang pun mampu memerangi mereka. “Dan semakin dekatlah janji yang benar” yaitu hari kiamat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala janjikan kedatangannya dan janji-Nya adalah benar dan pasti. Maka pada hari itu engkau melihat pandangan orang-orang kafir menjadi terbelalak disebabkan rasa takut dan ngeri yang meliputi mereka serta berbagai goncangan yang menakutkan, yang dahulu mereka tidak mengetahui akibat dari pelanggaran dan dosa mereka. Merekapun berseru dengan kebinasaan, kesengsaraan, serta penyesalan terhadap apa yang telah lewat.

Dan mereka mengatakan: ‘Sungguh kami telah lalai dari hari yang besar ini, kami masih terus tenggelam (dalam kelalaian), dan bersenang-senang dengan kelalaian dunia, sampai keyakinan (ajal) menjemput kami. Lalu kami mendatangi hari kiamat, yang kalau seseorang mati disebabkan karena menyesal tentu dia akan mati.’ “Bahkan kami dahulu termasuk orang-orang yang zhalim”, mereka pun telah mengakui perbuatan zhalim mereka dan keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap mereka. Di saat itulah mereka diperintahkan menuju neraka, bersama apa yang mereka sembah.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman).

Ayat ini menjelaskan tentang salah satu tanda kiamat besar yang akan terjadi di akhir zaman. Allah Subhanahu wa Ta’ala memperlihatkan sebuah kejadian besar yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Di antara kejadian besar tersebut adalah keluarnya dua bangsa yang memiliki banyak keturunan yang melakukan perbuatan-perbuatan yang belum pernah disaksikan oleh manusia sebelumnya. Mereka itulah yang disebut dengan bangsa Ya`juj dan Ma`juj. (Lihat Adhwa`ul Bayan, Asy-Syinqithi, 4/131)

.

Siapa dan Di Manakah Mereka?

Ada yang mengatakan bahwa mereka berasal dari keturunan Adam, bukan dari Hawa. Sebab tatkala Adam dalam keadaan junub, air maninya bercampur dengan tanah, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Ya`juj dan Ma`juj darinya. Namun pendapat ini tidak dibangun di atas hujjah yang shahih. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Kami tidak melihat pendapat ini dari seorang pun dari kalangan salaf, kecuali dari Ka’b Al-Ahbar. Dan hal ini terbantahkan dengan hadits yang marfu’ bahwa mereka berasal dari keturunan Nuh ‘alaihissalam. Dan telah dipastikan bahwa Nuh berasal dari keturunan Hawa.” (Fathul Bari, 13/107).

Ibnu Katsir rahimahullahu juga berkata: “Ini adalah pendapat yang sangat aneh terlebih tidak disertai dengan dalil. Baik secara ‘aqli (rasio) maupun naqli (riwayat). Dan apa-apa yang dinukilkan sebagian ahlul kitab tidak bisa dijadikan sandaran di sini, dimana diketahui bahwa mereka meriwayatkan hadits-hadits palsu.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/105)

Hal ini juga dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Wahai Adam.” Ia menjawab: “Aku penuhi panggilan-Mu dan kebaikan seluruhnya pada kedua tangan-Mu.” Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Keluarkanlah utusan penghuni neraka.” Adam bertanya: “Berapa banyak utusan (penghuni) neraka?” (Allah Subhanahu wa Ta’ala) berfirman: “Dari setiap seribu keluarkan 999 (dan satu ke dalam surga).” Maka di saat itu anak kecil beruban dan setiap wanita hamil akan mengeluarkan kandungannya, dan engkau melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal mereka tidak mabuk, akan tetapi adzab Allah yang demikian pedih. (para shahabat) bertanya: “Lalu bagaimana kami dari satu (yang selamat) tersebut?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bergembiralah, karena sesungguhnya satu orang dari kalian dan seribu orang dari Ya`juj dan Ma`juj.” (HR. Al-Bukhari no. 3170)

Adapun keberadaan mereka, telah disebutkan dalam ayat yang lain. Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan apa yang dilakukan Dzulqarnain terhadap mereka untuk menghalangi kejahatan yang mereka lakukan terhadap manusia. Firman-Nya:.

حَتَّى إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِنْ دُونِهِمَا قَوْمًا لاْ يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلاً. قَالُوا يَاذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي اْلأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَى أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا. قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا. آتُونِي زُبَرَ الْحَدِيدِ حَتَّى إِذَا سَاوَى بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انْفُخُوا حَتَّى إِذَا جَعَلَهُ نَارًا قَالَ آتُونِي أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا. فَمَا اسْطَاعُوا أَنْ يَظْهَرُوهُ وَمَا اسْتَطَاعُوا لَهُ نَقْبًا. قَالَ هَذَا رَحْمَةٌ مِنْ رَبِّي فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ رَبِّي جَعَلَهُ دَكَّاءَ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّي حَقًّا

Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan keduanya, suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan..

Mereka berkata: ‘Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya`juj dan Ma`juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?’

Dzulqarnain berkata: ‘Apa yang telah dikuasakan oleh Rabbku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kalian dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi..’.

Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain: ‘Tiuplah (api itu).’

Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: ‘Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu.’.

Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya. Dzulqarnain berkata: ‘Ini (dinding) adalah rahmat dari Rabbku, maka apabila sudah datang janji Rabbku Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Rabbku itu adalah benar’.” (Al-Kahfi: 93-98)

Dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ini, ada beberapa hal yang menjelaskan tentang keadaan mereka: - Mereka adalah bangsa yang melakukan kerusakan di muka bumi. Dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:.

إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مِنْ وَلَدِ آدَمَ وَلَوْ أُرْسِلُوا لَأَفْسَدُوا عَلَى النَّاسِ مَعَايِشَهُمْ وَلَنْ يَمُوتَ مِنْهُمْ رَجُلٌ إِلاَّ تَرَكَ مِنْ ذُرِّيَّتِهِ أَلْفًا فَصَاعِدً

Sesungguhnya Ya`juj dan Ma`juj dari keturunan Adam. Sekiranya mereka dilepas niscaya mereka akan merusak kehidupan manusia. Dan tidak mati salah seorang dari mereka melainkan ia meninggalkan dari keturunannya seribu atau lebih.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir dan Al-Ausath).

Al-Haitsami rahimahullahu menyatakan: “Para perawinya terpercaya.” (Majma’ Az-Zawa`id, 8/6) Al-Hafizh rahimahullahu berkata: “Diriwayatkan oleh ‘Abd bin Humaid dari hadits Abdullah bin Salam dengan sanad yang shahih.” (Fathul Bari, 13/106) Namun Ibnu Katsir rahimahullahu berkata setelah menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani rahimahullahu tersebut: “Ini adalah hadits gharib. Dan ada kemungkinan hadits ini dari perkataan Abdullah bin ‘Amr dari zamilatain (dua buah kitab yang beliau dapatkan pada perang Yarmuk yang di dalamnya berisi berita-berita Israiliyat).”

Juga diriwayatkan dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Akan terbuka (dinding) Ya`juj dan Ma`juj sehingga mereka keluar sebagaimana yang difirmankan Allah ‘dari setiap ketinggian mereka bergerak dengan cepat’. Lalu mereka menguasai bumi. Dan kaum muslimin menjauhi mereka sehingga tinggallah kaum muslimin di kampung dan benteng-benteng mereka, lalu mereka kumpulkan hewan-hewan ternak bersama mereka..

Sehingga tatkala mereka (Ya`juj dan Ma`juj) lewat di sebuah danau, mereka pun meminum (air) nya hingga tidak menyisakan sedikitpun. Maka orang yang terakhir dari mereka melewati bekasnya, lalu salah seorang dari mereka berkata: ‘Di tempat ini tadi ada air.’

Lalu merekapun mengalahkan penduduk bumi, lalu salah seorang dari mereka berkata: ‘Mereka ini penduduk bumi, kita telah selesai dari mereka. Maka kita akan mengalahkan penghuni langit.’ Sampai salah seorang dari mereka ada yang melemparkan tombaknya[1] ke langit lalu kembali dalam keadaan berlumuran darah, lalu mereka berkata: “Kami telah membunuh penghuni langit.”.

Di saat mereka dalam keadaan demikian, seketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengirim binatang-binatang seperti ulat, lalu menyerang leher (tengkuk) mereka. Mereka pun mati seperti matinya belalang, saling bertumpuk satu dengan yang lain. Sehingga kaum muslimin pun tidak mendengar lagi tentang perbuatan mereka.

Lalu mereka mengatakan: ‘Siapakah orang yang mau mengorbankan dirinya untuk melihat apa yang mereka lakukan?’.

Salah seorang dari mereka lalu keluar dengan siap merelakan dirinya untuk dibunuh oleh Ya`juj dan Ma`juj. Ternyata dia mendapati mereka (Ya`juj dan Ma`juj) sudah menjadi bangkai.

Diapun berseru: ‘Bergembiralah, telah binasa musuh kalian.’.

Manusia pun keluar lalu melepaskan hewan ternak mereka. Maka merekapun tidak mempunyai makanan kecuali daging-daging mereka (Ya`juj dan Ma`juj), sehingga menjadikan mereka gemuk seperti gemuk yang paling sempurna dari tumbuhan yang pernah ia makan.” (HR. Ibnu Majah no. 4079. Dishahihkan Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Ibnu Majah) –

Mereka terisolir di antara dua gunung, dan benteng yang mengisolir itu berasal dari besi yang bercampur dengan tembaga. Namun tidak diketahui secara persis di daerah mana keberadaan dinding tersebut. Ada beberapa riwayat yang menyebutkan tentang hal ini, namun riwayat tersebut terdapat kelemahan dalam sanadnya. Al-Hafizh rahimahullahu juga menyebutkan sebuah kisah tentang Khalifah Al-Watsiq yang mengirim sebagian utusannya untuk meneliti dinding tersebut, namun beliau menyebutkan riwayat ini tanpa sanad. Wallahu a’lam. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/105).

Al-Lajnah Ad-Da`imah (Komisi Tetap untuk Fatwa, Kerajaan Saudi Arabia) ditanya: “Siapakah Ya`juj dan Ma`juj? Dan di negeri manakah mereka? Apakah mereka ada di muka bumi?”

Al-Lajnah menjawab: “Ya`juj dan Ma`juj adalah keturunan Adam dari anak Yafits bin Nuh ‘alaihissalam. Mereka tinggal di benua Asia bagian utara Cina. Dan mereka ada di muka bumi seperti anak cucu Adam lainnya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuatan, merusak di muka bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menjelaskan sifat perjalanan Dzulqarnain menuju ujung timur dan apa yang beliau lakukan berupa perbaikan dalam perjalanan tersebut.” Lalu Al-Lajnah menyebut ayat 89-99 dari surat Al-Kahfi. (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 3/149-150).

Samahatus Syaikh Ibn Baz rahimahullahu juga ditanya tentang Ya`juj dan Ma`juj. Beliau menjawab: “Mereka berasal dari keturunan Adam, akan keluar pada akhir zaman. Mereka tinggal di arah timur. Bangsa At-Turk (Mongol) termasuk dari mereka, lalu mereka dibiarkan di luar dinding (benteng yang dibuat Dzulqarnain), dan tinggallah Ya`juj dan Ma`juj di balik dinding tersebut. Sedangkan bangsa Mongol di luar dinding. Ya`juj dan Ma`juj termasuk dari bangsa timur, ujung timur.

Dan mereka akan keluar pada akhir zaman dari Cina dan sekitarnya, setelah keluarnya Dajjal dan turunnya Isa bin Maryam ‘alaihissalam. Sebab, mereka dibiarkan tinggal di sana tatkala Dzulqarnain membangun benteng, sehingga mereka berada di baliknya, sedangkan bangsa Mongol dan Tartar di luar benteng. Dan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki keluarnya mereka kepada manusia, maka mereka keluar dari tempat mereka dan menyebar di muka bumi, lalu berbuat kerusakan..

Lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala kirimkan ulat-ulat kepada mereka di leher-leher mereka, sehingga merekapun mati seperti matinya satu jiwa seketika itu juga, sebagaimana yang telah shahih dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Isa bin Maryam ‘alaihissalam bersama kaum muslimin membentengi diri dari mereka, sebab mereka keluar pada zaman Isa ‘alaihissalam setelah keluarnya Dajjal.” (Fatawa Asy-Syaikh Ibn Baz, 5: As`ilah Mutafarriqah wa Ajwibatuha, pertanyaan ketiga)

.

Faedah

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu ditanya:

“Telah menyebar makalah dari Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu bahwa beliau berpendapat tentang telah munculnya Ya`juj dan Ma`juj dan bahwa mereka itu adalah penduduk Cina. Dan setelah merujuk ke tafsir beliau maka jelas bahwa Ya`juj dan Ma`juj akan keluar pada akhir zaman dan mereka melakukan perusakan di muka bumi, dan bahwa keluarnya mereka termasuk di antara tanda-tanda hari kiamat yang besar..

Apakah Asy-Syaikh telah rujuk dari pendapatnya yang pertama ataukah beliau memiliki dua pendapat? Dan Anda sendiri, apa yang Anda kuatkan dalam masalah ini? Jazakumullah khairan.

Beliau menjawab:

“Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu adalah syaikh kami. Dan apa yang dinisbahkan kepada beliau –bahwa Ya`juj dan Ma`juj adalah penduduk Cina dan yang berada di belakang pegunungan Qoqaz (Kaukasus[2])– telah membuat kisruh. Sebenarnya beliau rahimahullahu tidak mengucapkan sesuatu kecuali berdasarkan dalil yang dibangun di atas Al-Kitab dan As-Sunnah, serta mengikuti ucapan orang sebelumnya (salaf, red.). Namun para pengikut hawa nafsu mencari-cari alasan yang lemah seperti lemahnya sarang laba-laba untuk mengotori kehormatan orang yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala beri keutamaan. Sehingga mereka hasad dan dengki kepada beliau.

Syaikh kami tersebut rahimahullahu tidak pernah menyatakan bahwa Ya`juj dan Ma`juj yang keluar pada akhir zaman adalah yang telah muncul sekarang. Dan tidak mungkin hal itu diucapkan oleh seorang yang berakal, terlebih lagi seorang alim yang termasuk paling alim di zaman itu –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau..

Beliau hanya mengatakan bahwa Ya`juj dan Ma`juj itu ada. Dan Al-Qur`an menjelaskan hal tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Dzulqarnain (lalu beliau menyebut ayat-ayat dalam surat Al-Kahfi yang tersebut di atas, lalu berkata): “Jadi, mereka ada atau tidak ada? Tentu mereka ada, mereka merusak di muka bumi….” (dari kaset Silsilah Liqa` Babil Maftuh, kaset no. 60, sisi yang kedua)

Wallahu a’lam bish-shawab.

.

Catatan Kaki:

[1] Dalam riwayat lain, HR. Ibnu Majah no. 4080, dengan anak panah. (red).

[2] Memang ada yang berpendapat bahwa pegunungan inilah yang merupakan “benteng” dimaksud. Deretan pegunungan ini memanjang tanpa celah dari laut Hitam hingga laut Kaspia sepanjang lebih dari 1.200 km. Kecuali pada bagian kecil dan sempit yang disebut celah Darial (terletak di negara Georgia) sepanjang kurang lebih 100 meter. Pada bagian celah itulah diduga penghalang dari Ya`juj dan Ma`juj itu dibangun. Wallahu a’lam.

*****

Sumber:asy-syariah.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin