Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

27 Oktober 2008

FILE 84 : Mengkompromikan Dalil yang SEOLAH Bertentangan ??

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

.

Memahami Ayat yang Seolah Bertentangan

.

Syaikh Al-Albany ditanya:

Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 85 berfirman:”Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima.”

Sementara dalam surat Al-Maidah ayat 69 disebutkan:”Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi’in, dan orang-orang Nasrani apabila mereka beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal shalih, maka tidak ada ketakutan dan kesedihan yang akan menimpa mereka.”Bagaimana caranya kita memahami dua ayat yang seolah-olah bertentangan ini ?

Jawaban:

Tak ada pertentangan antara dua ayat tersebut. Ayat yang pertama (Ali Imran : 85) berlaku bagi kaum yang telah sampai dakwah Islam kepada mereka, sedangkan ayat yang kedua (Al-Maidah : 69) berlaku bagi kaum yang hidup pada zaman mereka masing-masing (dengan cara mengikuti syariat dari nabi/rasul mereka masing-masing sebelum datangnya dakwah Islam).

Adapun tentang kaum shabi’in (shabi’ah) yang dikenal selama ini sebagai penyembah bintang, sebetulnya mereka dulunya adalah orang-orang yang bertauhid, akan tetapi setelah lewat masa yang panjang, sedikit demi sedikit mereka terjatuh ke dalam kemusyrikan dan akhirnya mereka menyembah bintang. Hal ini sama saja dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang hari ini juga semuanya sudah terjatuh dalam kemusyrikan.

Nah… siapapun di antara mereka (shabi’ah, Yahudi, Nasrani) yang berpegang teguh dengan agamanya masing-masing dan mereka hidup sebelum datangnya Islam, maka mereka tidak akan ditimpa ketakutan dan kesedihan. Dan mereka adalah termasuk orang-orang yang beriman. Akan tetapi, setelah Allah mengutus Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan dakwah Islam telah sampai kepada mereka, maka Allah tidak akan menerima agama mereka sebelum mereka masuk Islam.

Adapun orang yang sama sekali belum pernah mendengar dakwah Islam, maka orang seperti ini tidak akan langsung divonis masuk neraka oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Orang yang meninggal dalam keadaan belum pernah mendengar dakwah Islam sama sekali, akan mendapat perlakuan khusus dari Allah di akhirat dengan mengutus seorang rasul kepada mereka, orang-orang ini akan diuji oleh Allah lewat rasul tersebut, seperti Allah telah menguji manusia di dunia. Apabila orang-orang tersebut menyambut seruan rasul dan mentaatinya maka dia akan dimasukkan ke surga. Jika tidak, maka dia akan masuk neraka.

Saat ini… ada satu masalah yang sangat besar yang menimpa sebagian kaum muslimin, yaitu orang-orang yang mengira bahwa mereka telah memeluk agama Islam dan telah menjalankan syariat Islam tetapi sebenarnya mereka telah keluar dari Islam dan telah jatuh dalam kekafiran karena aqidah dan keyakinan mereka telah sesat dan menyimpang, sehingga membatalkan ke-Islam-an mereka. Mereka itu adalah kelompok yang disebut “Ahmadiyah Qodiyan” yang berkeyakinan bahwa ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ini sudah tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 69 di atas, karena hujjah sudah tegak di hadapan mereka. Apabila mereka mengaku sebagi muslim, tentu mereka telah membaca (mendengar) dari Al-Qur’an dan hadits tentang bagaimana prinsip-prinsip aqidah Islam.

(Dikutip dari “Kaifa yajibu ‘alaina annufasirral qur’anil karim” edisi bahasa IndonesiaTanya Jawab dalam Memahami Isi Al-Qur’an)

Sumber : assunnahsurabaya.wordpress.com

.

.

****

.

Mengkompromikan Hadits yang Dianggap Kontradiksi

.

.

Imam asy Syathibi rahimahullah berkata :

Dalil dalil yang menjadi dasar syari’at tidak mungkin satu dengan yang lainnya saling kontradiktif/ bertentangan, maka siapapun yang meneliti kaidah hukum dengan seksama pasti tidak mendapati kesamaran sama sekali didalamnya, sebab tidak mungkin terjadi pertentangan antara ajaran agama, sehingga kita tidak menemukan adanya dua dalil yang disepakati umat islam saling bertentangan yang mewajibkan seorang tawaqquf (tidak bisa mengamalkan), namun karena seorang mujtahid tidak ma’shum boleh jadi yang terjadi pertentangan bukan dalam nash nya tetapi dalam pemahamannya” (Al Muwafaqaat 4/244)

Faktor yang menjadi sebab adanya anggapan kontradiksi antara nash yang satu dengan yang lainnya secara zhahir antara lain :

- Diantara beberapa nash yang ada terdapat unsur tarik menarik antara nash yang khusus dengan nash yang umum, antara nash yang mutlak dengan nash yang muqayyad, dan antara nash yang mengecualikan dengan nash yang dikecualikan sehingga sebagian orang menyangka adanya pertentangan antara kedua nash tersebut padahal sebenarnya tidak demikian.

- Kurang mengerti tentang luasnya cakupan sastra Arab, sementara Al Qur’an dan As Sunnah turun dengan bahasa Arab yang sangat fasih dan bersastra tinggi

- Hadits yang dibenturkan dengan hadits lain yang berstatus lemah atau palsu yang dibuat oleh kaum zindiq.

- Tidak mengerti tentang nash - nash yang naskh dan mansukh.

- Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menyampaikan suatu hadits, ada yang meriwayatkan secara lengkap, dan ada yang meriwayatkan secara ringkas karena suatu hal, bahkan ada pula yang meriwayatkan secara makna, kalau hal hal diatas telah diketahui dengan baik maka menjadi semaikin tidak benar bila ada anggapan kontradiksi antara nash nash tersebut.

Langkah dan sikap seorang muslim ketika mendapati nash nash yang dianggap kontradiksi :

- Mencari titik temu antara dua dalil yang diangap kontradiksi

- Mencari bukti - bukti naskh.

- Mentarjih salah satu dalil yang ada dan yang rajih diamalkan. Jika tidak mungkin ditarjih maka kedua dalil tersebut gugur dan mencari dalil lain

Pada dasarnya antara nash nash hadits yang shahih satu dengan yang lain tidak mungkin saling bertentangan, yang membuat seseorang tidak bisa mengambil kesimpulan dari makna hadits.

Allah subhana wa ta’ala berfirman :

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur`an ? Kalau kiranya Al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya (An Nisaa :82)

Suatu contoh beberapa hadits yang nampak secara dzahir bertentangan adalah, hadits yang melarang menghadap kiblat ketika buang air besar atau kecil, sementara hadits lain membolehkan buang hajat menghadap kiblat, tetapi setelah dicarikan titik temu maka tidak ada unsur kontradiksi sebagaimana para ulama telah berusaha menyatukan beberapa hadits yang tampak bertentangan tersebut , bahwa hadits yang melarang berlaku ketika buang hajat ditempat terbuka, sedangkan hadits yang membolehkan berlaku ketika buang hajat disuatu tempat yang tertutup seperti buang hajat di WC berdasarkan hadits Ibnu Umar (HR. Al Bukhari 148, Muslim 266)

Wallahu ‘alam

( disadur dari Ensiklopedi Penghujatan Terhadap Sunnah, Zaenal Abidin Syamsudin,Lc, Penerbit Pustaka Imam Abu Hanifah Jakarta hal 107-108 )

Sumber : adiabdullah.wordpress.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 83 : Beberapa Kesalahan Pemilu

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

.

Pilkada dalam Sorotan

.

Pilihlah si A dalam pilkada…! Bersama calon B kita bangun daerah kita….! Hanya calon C lah kita bisa berubah…! Itulah inti kampanye dari setiap kampanye pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di negeri ini.

Bagi calon yang memiliki sumber doku (baca: dana) yang besar tak segan untuk berkampanye lewat jalur media elektronik.

Sempat muncul pertanyaan dibenak ini, "Apa yang mereka inginkan dengan kampanye model itu? Apakah hanya kemenangan semata atokah yang lainnya?"

Begitulah, ciri yang melekat pada sistem demokrasi yakni adanya pemilu yang memilih pimpinan ato para wakil rakyat, secara otomatis hal ini akan memunculkan orang-orang yang mencalonkan dirinya, entah itu untuk mencapai jabatan presiden, anggota dewan, gubernur, bupati, ato pun sekadar RT.

Tentu saja, model pemilihan semacam ini jelas-jelas bertentangan dengan syariat. Kok bisa?

.

Diri Sok Suci

Orang-orang yang mencalonkan dirinya untuk dipilih sebagai pemimpin secara tak langsung berucap, "Aku adalah orang yang paling utama untuk kalian pilih." Ato, "Hanya calon B yang bisa membawa perubahan." dan sebagainya.

Tentunya bagi seorang yang mengincar kursi kepemimpinan akan berusaha melahirkan pengakuan yang baik-baik saja agar menang dalam pemilihan. Bukankah pengakuan model ini jelas-jelas bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

Janganlah kalian mengatakan diri kalian mengatakan diri kalian suci, Dia(Allah)lah yang paling mengetahui tentang orang-orang yang bertaqwa. (An Najm:32)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,

Jauhilah oleh kalian memuji secara berlebih, karena itu merupakan penyembelihan (kebinasaan). (Riwayat Al Baihaqi, Ahmad di shahihkan Albani dalam Ash Shahihah no.1196,1284)

.

Ketamakan yang Diperingatkan

Pencalonan diri sebagai pemimpin merupakan bentuk ketamakan dan haus kekuasaan. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari telah bersabda,

Sesungguhnya kalian akan tamak mendapatkan kepemimpinan, padahal akan menjadi penyesalan pada hari kiamat… (Riwayat Al Bukhari)

Memang benar, kepemimpinan dan kekuasaan merupakan perkara-perkara yang harus ada dan kehidupan Muslim tidak akan tegak kecuali dengannya. Darah, harta, dan kehormatan pun bisa terjaga dengan kepemimpinan tersebut.

Tapi dalam memilih pemimpin kudu meniti jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni tidak memberikan kepemimpinan kepada orang yang memintanya (mencalonkannya) dan tamak terhadap kekuasaan.

Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Wahai Abdurrahman! Janganlah kamu meminta jabatan pemimpin karena sesungguhnya jika kamu diberi jabatan tersebut karena meminta niscaya kamu akan diberi dan ditinggalkan, jika kamu diberi jabatan bukan karena meminta niscaya kamu akan ditolong mengatasinya. (Riwayat Al Bukhari)

.

Boros dan Israaf

Pemborosan dan israaf (kelewat batas) identik dengan model pemilihan ini. Atribut partai, foto calon pemimpin, umbul-umbul dan bendera, biaya rapat, konsumsi kampanye, dan pesta -pesta yang digelar untuk mensukseskan kemenangan tentu sangat mebutuhkan dana yang tidak sedikit.

Kalo mau berpikir, bukankah dana pesta dan konsumsi bisa mencukupi anak-anak terlantar dan mereka yang kelaparan? Bukankan kain-kain yang digunakan untuk promosi dan kampanye cukup untuk kain kafan ratusan kaum muslimin? Kalo begitu, bukankah harta dan materi yang mereka keluarkan hanya tabdzir dan israaf belaka?

Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman,

Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan harta secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan. (Al Isra: 26-27)

Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala juga mengatakan,

Sesungguhnya Dia (Allah) tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas. (Al An'am: 141)

Kata israf (berlebihan) sendiri yang tidak disukai Allah subhanahu wa ta’ala bersifat umum, mencakup infaq, sadaqah, makan minum, berpakaian dan lainnya. Kalo begitu, bukankah pemborosan dalam kampanye jelas salahnya?

.

Aklamasi dan Suara Terbanyak

Penyimpangan yang tak terelakkan dalam pemilihan pemimpin dalam sisten yang dikatakan demokrasi ini sangat jauh dan berkebalikan dengan jalan Islam sendiri.

Jelas sekali, karena kebenaran tidak dilihat dan dihitung dari banyaknya pendukung, tapi kebenaran dilihat dari dalil dan hujjah yang nyata.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orangdi muka bumi niscaya mereka menyesatkanmu dari jalan Allah. Al An'am:116)

Seorang murid Syaikh Albani, Syaikh 'Ali bin Hamd berkata,

Cara (mengambil keputusan dengan jumlah pendukung) secara pasti menyelisihi hal yang telah dijalani para sahabat Rasulullah. Kita tidak pernah mengetahui satu kejadian pun bahwa para sahabat tersebut menghitung orang-orang yang menyelisihi dan menyetujuinya …Maka ilmu itu tidak mengikuti mayoritas, tapi hanya mengikuti dalil…. (Ma'a Anaa 'Alaihi wa Ashaabiy, Ahmad salam hal 70-71).

Jelaslah, bahwa sistem pemilihan yang ada bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan bisa dibilang bentuk bid'ah dan tasyabuh(menyerupai) orang kafir. Padahal kita tahu bahwa bid'ah dan tasyabuh merupakan bentuk keharaman yang tak samar lagi. Terus…. apa lagi?

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjuki kita jalan yang lurus. Amiin. (ANay)

.

Sumber: majalah El-Fata edisi 06 tahun 08 Juni 2008

.

****

.

MAFSADAT PEMILU

[Editorial Majalah As-Sunnah Edisi 10/Th. III/1420-1999]

.

Demokrasi adalah produk manusia. Yang membuat kaidah-kaidah serta aturan-aturan main demokrasi adalah manusia. Sebagus apapun demokrasi, tak mungkin dapat mengatasi persoalan hidup manusia secara adil dan menyeluruh. Betapa tidak, demokrasi berpijak pada demokrasi rakyat, sedangkan mayoritas rakyat adalah orang-orang awam. Bagaimana mungkin kedaulatan yang berbasis pada pemikiran rakyat awam akan menghasilkan suatu kedaulatan yang menetramkan? Ketentraman yang ada hanyalah ketentraman semua penuh tipu daya. Yang ada hanyalah saling tindas. Yang paling demokratis adalah yang berkuasa.

Sementara itu pemilihan umum Kepala Negara atau kepala-kepala yang lain di dunia saat ini, pada umumnya merupakan karya demokrasi. Jika kemudian timbul money politic, pelacuran politik, kebrutalan, penipuan dan kebebasan berbicara tanpa adab, adalah dampak yang sangat wajar, betapapun orang berusaha melakukan kontrol.

Mestinya seorang demokrat sejati harus memaklumi, manakala lawan politiknya melakukan money politics atau yang sejenisnya. Sebab ia juga melakukan hal yang demikian secara sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung. Ketika langkah perbaikan umat (ishlah/reformasi) dilakukan melalui proses demokrasi yang tidak jarang menggunakan cara-cara pengerahan massa, termasuk di dalamnya pemilihan umum pemimpin bangsa, maka yang terjadi adalah timbulnya korban besar yang sia-sia. Jika terjadi pergantian kepemimpinan pun, belum tentu lebih baik dari pendahulunya, padahal banyak sisi yang harus menjadi korban. Karenanyalah Islam melarang adanya pengerahan massa ala demokrasi atau pemilihan umum ala demokrasi.

Jika orang mau mencermati, bagaimana Islam mengajarkan umat memilih pemimpinnya, maka di sana ada Ahlul halli wal ‘aqdi. Suatu lembaga perwakilan ummat yang salah satu tugasnya memilih pemimpin. Mereka terdiri atas para ulama, orang-orang shalih dan orang-orang yang mengerti kemaslahatan umat. Mereka tidak dipilih oleh rakyat awam, karena orang awam tidak mengerti mana yang ulama dan mana yang bukan, mana yang shalih dan mana yang bukan. Sebab orang-orang awam adalah awam, justru perlu mendapatkan bimbingan supaya menjadi baik. Kalau mereka dibiarkan memilih pemimpinnya sendiri, maka yang terjadi adalah hawa nafsu.

Hal lain yang perlu dicermati ialah bahwa dalam Islam tidak ada ketentuan pembatasan masa jabatan seorang Kepala Negara. Bahkan ada syari’at bahwa harus bersabar terhadap pemimpin yang zalim sekalipun. Ummat tidak boleh memberontak terhadap pemimpinnya, karena yang demikian itu adalah dosa besar dan hanya dilakukan ahlu bid’ah. Mereka justru harus diperangi.

Karenanya, mengapa orang Islam sibuk memikirkan pemilihan umum? Mengapa mereka tidak berfikir bahwa jangan-jangan mereka telah sengaja menjerumuskan diri ke dalam tahazzub (perpecahan kelompok) ? Pemilihan ala demokrasi itu juga amat potensial memicu kerusuhan dan kerusakan. Dalam kaidah dikatakan:

“Menolak mafsadah lebih didahulukan daripada meraih manfaat.”

Mestinya, ummat Islam mengerahkan segenap potensi yang ada untuk kemaslahatan agama, ummat dan Negara. Karena jika Negara sepi dari kerusuhan, umat pun akan tenteram, dan orang Islam pun akan lebih dapat berkonsentrasi untuk memikirkan kemajuan dakwah Islamiyah.

Sebagai contoh, jika terjadi korupsi, kerahkan potensi untuk mengatasi korupsi itu. Caranya bukan dengan menghasut lewat mimbar-mimbar bebas atau media-media massa. Tetapi dengan dakwah dan nasehat. Didiklah orang-orang agar faham terhadap Islam dengan baik, serta perbaikilah tauhidnya. Bila ia pejabat, carilah orang-orang yang bisa berkomunikasi dengannya untuk dakwah. Bila ia orang awam, kerahkan para da’i untuk memahamkan orang-orang awam.

Penuhilah masjid-masjid dengan pengajian-pengajian tentang agama, tentang tauhid, tentang wudhu, shalat, haid, nifas, dan lain-lain. Masjid bukan diramaikan dengan mengajarkan tentang politik atau dendam kepada jama’ah.

Ingatlah akan kaidah, bahwa keadaan yang buruk itu tidak akan dapat dan tidak mungkin diperbaiki dengan cara yang buruk atau salah.

Dan Allah juga tidak akan menghilangkan kehinaan itu, kecuali jika ummat kembali kepada agama yang haq.

.

Sumber : assunnahsurabaya.wordpress.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 82 : Riba, Jenis dan Bedanya

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

.

PERBEDAAN ANTARA RIBA FADHL DAN RIBA NASI’AH

Oleh:

Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta

.

Pertanyaan

Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Kami mohon penjelasan tentang riba fadhl dan riba nasi’ah, serta apakah perbedaan antara keduanya?

.

Jawaban

Riba nasi’ah berasal dari kata an-nasaa’u, yang berarti penangguhan. Ada dua macam riba nasi’ah.

[1]. Merubah hutang bagi orang yang dalam kesulitan,dan inilah riba Jahiliyyah, di mana seseorang memiliki uang pada orang lain untuk dibayarkan dengan jangka waktu. Jika sudah jatuh tempo, maka orang yang memberi pinjaman itu berkata kepadanya, “Kamu boleh melunasi (sekarang) atau menambahi (jika menunda)”. Jika dia melunasinya, maka selesai masalah dan jika tidak, maka peminjam harus menambah nilai pada jumlah pinjaman awal pada saat jatuh tempo. Penambahan tersebut dilakukan sebagai konsekuensi keterlambatan membayar. Sehingga dengan demikian, pinjaman itu akan berlipat-lipat jumlahnya pada peminjam.

[2]. Pada suatu jual beli dua jenis barang, yang keduanya mempunyai ‘illat terdapat riba fadhl sama, dengan penangguhan penerimaan keduanya atau penerimaan salah satu dari keduanya, misalnya jual beli emas dengan emas atau dengan perak, atau perak dengan emas dengan jangka waktu atau tanpa serah terima barang di tempat pelaksanaan akad.

Sedangkan riba fadhl berasal dari kata al-fadhl yang berarti tambahan pada salah satu dari kedua barang yang dipertukarkan. Dan nash-nash telah datang mengharamkannya pada enam hal, yaitu emas, perak, jelai, gandum, kurma dan garam.

Jika salah satu dari barang-barang di atas dijual dengan barang yang sejenis, maka diharamkan adanya tambahan (kelebihan) diantara keduanya. Dan diqiyaskan pada keenam hal di atas adalah barang-barang yang mempunyai kesamaan ‘illat dengannya. Maka, tidak diperbolehkan, misalnya, menjual satu kilo emas berkualitas buruk dengan setengah kilo emas berkualitas baik. Demikian halnya perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma dan garam dengan garam. Tidak diperbolehkan menjual sedikitpun dari barang-barang di atas dengan jenis yang sama kecuali dengan sama banyak, berkulitas sama, dan seketika penyerahannya.

Namun demikian, dibolehkan menjual satu kilo emas dengan dua kilo perak jika dilakukan dari tangan ke tangan (seketika), karena adanya perbedaan jenis. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Arinya : Emas dijual dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal dengan semisal, dalam jumlah yang sama dan tunai, tangan dengan tangan. Dan jika jenis-jenis ini berbeda, maka juallah sekehendak hati kalian, jika dilakukan serta diserahkan seketika” [Diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu ‘anhu]

Wabillaahit Taufiq.

Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

.

Pertanyaan

Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Saya pernah meminjam dari seseorang sebesar 4000 riyal tunai, dan dibuatkan tanda terima senilai 6000 riyal untuk diangsur bulanan, 500 riyal setiap bulan, apakah yang demikian itu boleh atau tidak?

.

Jawaban

Menjual dirham tunai dengan dirham yang lebih banyak dengan jangka waktu merupakan riba nasi’ah dan riba fadhl. Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menunjukkan pengharaman riba dengan kedua macam tersebut. Berdasarkan hal itu pula, maka tidak diperbolehkan penjualan 4000 riyal tunai dengan 6000 riyal dengan pembayaran berjangka, dan penjual tidak berhak kecuali uang pokoknya saja, yaitu 4000 riyal. Jika diantara keduanya terjadi perselisihan maka penyelesainnya di pengadilan. Dan hendaklah kalian berdua bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari dosa besar ini. Hal itu berdasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” [An-Nuur : 31]

Wabillaahit Taufiq.

Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

.

[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke 32 dari Fatwa Nomor 18612 dan Fatwa Nomor 1970, Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]

.

Sumber: almanhaj.or.id

.

Baca Juga:

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 81 : Beda Taqlid dengan Ittiba'

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

.

.

ANTARA TAQLID DAN ITTIBA'

.

Oleh:

Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah

.

Ittiba’ (mengikuti) kebenaran adalah kewajiban setiap manusia sebagaimana Alloh wajibkan setiap manusia agar selalu ittiba’ kepada wahyu yang diturunkan oleh Alloh kepada Rasul-Nya. Alloh jadikan wahyu tersebut sebagai petunjuk bagi manusia di dalam kehidupannya.

Tidak ada yang membangkang kepada perintah Alloh tersebut kecuali orang-orang yang taqlid kepada nenek moyangnya atau kebiasaan yang berlaku di sekelilingnya atau hawa nafsunya yang mengajak untuk membangkang dari perintah Alloh. Mereka tolak datangnya kebenaran karena taqlid.

Tidak ada satu pun kesesatan kecuali disebabkan taqlid kepada kebatilan yang diperindah oleh iblis sehingga tampak sebagai kebenaran. Inilah sebab kesesatan setiap kaum para rasul yang menolak dakwah para rasul. Inilah sebab kesesatan orang-orang Nashara yang taqlid kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka. Inilah sebab kesesatan setiap kelompok ahli bid’ah yang taqlid kepada pemikiran-pemikiran sesat dan gembong-gembong mereka.

Para pengikut kesesatan ini menggunakan segala cara untuk mempertahankan kesesatan mereka sekaligus mengajak orang-orang selain mereka kepada jalan mereka. Mereka sebarkan syubhat bahwa orang yang ittiba’ kepada manhaj para ulama adalah taqlid kepada ulama. Mereka campur adukkan antara taqlid dan ittiba’.

Jika mereka diseru untuk meninggalkan taqlid kepada pemikiran para pemimpin kesesatan mereka, mereka balik membantah, “Wahai para Salafiyyun kalian juga taqlid kepada para ulama kalian!”

Inilah jalan setiap pemilik kesesatan dari masa ke masa, mereka gabungkan antara kebatilan dengan kebenaran, mereka kaburkan garis pemisah antara keduanya.

Dengan memohon Taufiq dari Alloh pada pembahasan kali ini kami ketengahkan kepada pembaca beberapa perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ agar kita bisa memahaminya dengan benar, dan sekaligus -bi’idznillah-bisa menepis syubhat para pemilik kebatilan dalam masalah ini.

.

DEFINISI TAQLID

Taqlid secara bahasa adalah meletakkan “al-qiladatun” (kalung) ke leher. Dipakai juga dalam hal menyerahkan perkara kepada seseorang seakan-. akan perkara tersebut diletakkan di lehernya seperti kalung. [Lisanul Arab 3/367 dan Mudzakkirah Ushul Fiqh hal.3 14]

Adapun taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/993 dan l’lamul Muwaqqi’in 2/178]

Ada juga yang mengatakan bahwa taqlid adalah mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. [Mudzakkirah Ushul Fiqh hal. 314]

.

CELAAN TERHADAP TAQLID

Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mencela taqlid dalam Kitab-Nya, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah” [AtTaubah :31]

Ketika Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam membaca ayat Ini maka dia mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami dulu tidak menjadikan mereka sebagai rabb rabb.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, Bukankah jika mereka halalkan kepada kalian apa yang diharamkan atas kalian maka kalian juga menghalalkannya, dan jika mereka haramkan apa yang dihalalkan atas kalian maka kalian juga mengharamkannya?”

Adi Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ya.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ltulah peribadatan kepada mereka”

[Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Jami’ nya 3095 dan Baihaqi dalam Sunan Kubra 10/116 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Ghayatul Maram hal.20]

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya” [Az-Zukhruf : 23-24]

Al-Imam lbnu Abdil Barr rahimahullahu berkata, “Karena mereka taqlid kepada bapak-bapak mereka maka mereka tidak mau mengikuti petunjuk para Rasul” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/977]

Alloh menyifati orang-orang yang taqlid dengan firman-Nya.

“Artinya : Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-arang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun” [Al-Anfal : 22]

“Artinya : Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dan orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali” [Al-Baqarah : 166]

Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Para ulama berargumen dengan ayat-ayat mi untuk membatalkan taqlid” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/978]

.

WAJIBNYA ITTIBA’

Ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang (wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan. [I’Iamul Muwaqqi’in 2/171]

Seorang muslim wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di antaranya firman Alloh.

“Artinya : Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” [Ali lmran : 32]

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [Al-Hujurat : 1]

“Artinya : Hai orang-arang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepoda Allah (AlQur ‘an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [An-Nisa :59].

“Artinya : Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Alloh, ikutilah (ITTIBA’) aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. “Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Ali lmran :31]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya seandainya Musa hidup maka tidak boleh baginya kecuali mengikutiku” [Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq dalam Mushannafnya 6/Fl 3, lbnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya 9/47, Ahmad dalam Musnadnya 3/387, dan lbnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi 2/805, Syaikh Al-Albani berkata dalam Irwa’ 6/34, “Hasan”]

Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata, “Jika Musa Kalimullah tidak boleh ittiba’ kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana dengan yang lainnya? Hadits ini merupakan dalil yang qath‘i atas wajibnya mengesakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam hal ittiba’, dan ini merupakan konsekuensi syahadat ‘anna Muhammadan rasulullah”, karena itulah Alloh sebutkan dalam ayat di atas (Ali lmran : 31) bahwa ittiba’ kepada Rasulullah bukan kepada yang lainnya adalah dalil kecintaan Alloh kepadanya” [Muqaddimah Bidayatus Sul fi Tafdhili Rasul hal.5-6]

Demikian juga Alloh memerintahkan setiap muslim agar ittiba’ kepada sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah dan mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:

“Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. [An-Nisa’: 115]

Pengertian lain dari ittiba’ adalah jika engkau mengikuti suatu perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihannya sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/787.

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Aku tidak pernah mendebat seorang pun kecuali aku katakan: Ya Alloh jalankan kebenaran pada hati dan lisannya, jika kebenaran bersamaku maka dia ittiba’ kepadaku dan jika kebenaran bersamanya maka aku ittiba’ padanya” [Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam oleh Al-’Izz bin Abdis Salam 2/I 36]

.

TAQLID BUKANLAH ITTIBA’

Al-Imam lbnu Abdil Barr berkata, “Taqlid menurut para ulama bukan ittiba, karena ittiba’ adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihan perkataannya, dan taqlid adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu segi dan makna perkataannya” [Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/787]

Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad berkata, “Taqlid maknanya dalam syari‘at adalah merujuk kepada suatu perkataan yang tidak ada argumennya, ini adalah dilarang dalam syari’at, adapun ittiba maka adalah yang kokoh argumennya”.

Beliau juga berkata, “Setiap orang yang engkau ikuti perkataannya tanpa ada dalil yang mewajibkanmu untuk mengikutinya maka engkau telah taqlid kepadanya, dan taqlid dalam agama tidak shahih. Setiap orang yang dalil mewajibkanmu untuk mengikuti perkataannya maka engkau ittiba’ kepadanya. Ittiba’ dalam agama dibolehkan dan taqlid dilarang” [Dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/993]

.

PARA IMAM MELARANG TAQLID DAN MEWAJIBKAN ITTIBA’

Diantara hal lain yang menunjukkan perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ adalah larangan para imam kepada para pengikutnya dan taqlid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba’:

Al-Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Orang yang tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku” [Dinukil oleh Ibnu Abidin dalam Hasyiyahnya atas Bahru Raiq 6/293 dan Sya’ rany dalam Al-Mizan 1/55]

Al-Imam Malik berkata : “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’ 2/32]

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ 9/107 dengan sanad yang shahih]

Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadits shahih yang menyelisihinya, maka hadits Nabi , lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”. [Diriwayatkan olehAbu Hatim dalam Adab Syafi’i hal.93 dengan sanad yang shahih]

Al-Imam Ahmad berkata, “Janganlah.engkau taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah” Beliau juga berkata, “Ittiba’ adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya” [Masa’iI Al-Imam Ahmad oleh Abu Dawud hal.276- 277]

.

ITTIBA’ ADALAH JALAN AHLI SUNNAH DAN TAQLID ADALAH JALAN AHLI BID’AH

Al-Imam Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy berkata, “Umat ini telah sepakat bahwa tidak wajib taat kepada seorangpun dalam segala sesuatu kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam …makà barangsiapa yang ta’ashub (fanatik) kepada salah seorang imam dan mengesampingkan yang lainnya seperti orang yang ta’ashub kepada seorang sahabat dan mengesampingkan yang lainnya, seperti orang-orang Rafidhah yang ta’ashub kepada Ali dan mengesampingkan tiga khalifah yang lainnya. Ini jalannya ahlul ahwa’” [Al-Ittiba’ cet. kedua hal. 80]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa yang ta’ ashub kepada seseorang, dia kedudukannya seperti orang-orang Rafidhah yang ta’ashub kepada salah seorang sahabat, dan seperti orang-orang Khawarij. Ini adalah jalan ahli bid’ ah dan ahwa’ yang mereka keluar dan syari’at dengan kesepakatan umat dan menurut Kitab dan Sunnah ... yang wajib kepada semua makhluk adalah ittiba’ kepada seorang yang ma’shum (yaitu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam) yang tidak mengucap dan hawa nafsunya, yang dia ucapkan adalah wahyu yang diturunkan kepadanya” [Mukhtashar Fatawa Mishniyyah hal.46-47]

.

BANTAHAN PARA ULAMA KEPADA PEMBELA TAQLID

Al-Imam Al-Muzani berkata, “Dikatakan kepada orang yang berhukum dengan taqlid, Apakah kamu punya hujjah pada apa yang kamu hukumi?’

Jika dia mengatakan,‘Ya’, secara otomatis dia membatalkan taqlidnya, karena hujjah yang mewajibkan dia menghukumi itu bukan taqlidnya”.

Jika dia mengatakan, “Aku menghukumi tanpa memakai hujjah.”

Dikatakan kepadanya, “Kalau begitu mengapa engkau tumpahkan darah, engkau halalkan kemaluan, dan engkau musnahkan harta padahal Alloh mengharamkan semua itu kecuali dengan hujjah, Alloh berfirman:

“Artinya : Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini”. [Yunus : 68]

Kalau dia mengatakan, “Aku tahu kalau aku menepati kebenaran walaupun aku tidak mengetahui hujjah, karena aku telah taqlid kepada seorang ulama besar yang dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi dariku”

Dikatakan kepadanya, “Jika dibolehkan taqlid kepada gurumu karena dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi darimu, maka taqlid kepada guru dan gurumu lebih utama karena dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi dari gurumu sebagaimana gurumu tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi darimu.”

Kalau dia mengatakan, “Ya”, maka dia harus meninggalkan taqlid kepada guru dari gurunya dan yang di atasnya hingga berhenti kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kalau dia enggan melakukan itu berarti dia telah membatalkan ucapannya dan dikatakan kepadanya, “Bagaimana dibolehkan taqlid kepada orang yang lebih kecil dan lebih sedikit ilmunya dan tidak boleh taqlid kepada orang yang lebih besar dan lebih banyak ilmunya? ini jelas merupakan kontradiksi.”

Kalau dia mengatakan, “Karena guruku -meskipun dia lebih kecil- dia telah menggabungkan ilmu orang-orang yang di atasnya kepada ilmunya, karena itu dia lebih paham apa yang dia ambil dan lebih tahu apa yang dia tinggalkan

Dikatakan kepadanya, “Demikian juga orang yang belajar dari gurumu maka dia sungguh telah menggabungkan ilmu gurumu dan ilmu orang-orang yang di atasnya kepada ilmunya, maka engkau harus taqlid kepada orang ini dan meninggalkan taqlid kepada gurumu. Demikian juga engkau lebih berhak untuk taqlid kepada dirimu sendiri daripada taqlid kepada gurumu! Jika dia tetap pada perkataannya ini berarti dia menjadikan orang yang lebih kecil dan orang yang berbicara dari para ulama yunior lebih pantas ditaqlidi daripada para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Demikian juga menurut dia seorang sahabat harus taqlid kepada seorang tabi’in, dalam keadaan seorang tabi’ in di bawäh sahabat menurut analogi perkataannya, maka yang lebih tinggi selamanya lebih rendah, maka cukuplah ini merupakan kejelekan dan kerusakan” [Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdady dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 2/69-70 dan dinukil oleh lbnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/992-993]

Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Dikatakan kepada orang yang taqlid: Mengapa engkau taqlid dan menyelisihi salaf dalam masalah ini, karena salaf tidak melakukan taqlid?”

Kalau dia mengatakan, “Aku taqlid karena aku tidak paham tafsir Kitabullah dan aku belum menguasai hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sedangkan yang aku taqlidi telah mengetahui semuanya itu maka berarti aku taqlid kepada orang yang lebih berilmu daripadaku”

Dikatakan kepadanya, “Adapun para ulama, jika mereka sepakat pada sesuatu dan tafsir Kitabullah atau periwayatan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau sepakat pada sesuatu maka itu adalah al-haq yang tidak ada satu pun keraguan di dalamnya. Akan tetapi mereka telah berselisih dalam hal yang kamu taqlidi, lalu apa argumenmu di dalam taqlid kepada sebagian mereka tidak kepadã yang lainnya, padahal mereka semua berilmu. Bisa jadi orang yang tidak kamu pakai perkataannya lebih berilmu daripada orang yang engkau taqlidi?”

Jika dia mengatakan, “Aku taqlid kepadanya karena aku tahu dia di atas kebenaran.”

Dikatakan kepadanya, “Apakah kamu tahu hal itu dengan dalil dari Al-Kitab, Sunnah, dan ijma’?”

Jika dia mengatakan, “Ya”, maka dia telah membatalkan taqlidnya dan dituntut untuk mendatangkan dalil dan perkataannya” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/994]

.

HUKUM TAQLID

Taqlid terbagi menjadi tiga macam sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in 2/187:

(1) Taqlid yang diharamkan,

(2) Taqlid yang diwajibkan, dan

(3) Taqlid yang dibolehkan.

Macam yang pertama yaitu taqlid yang diharamkan terbagi menjadi tiga jenis:

[a]. Taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga berpaling dari apa yang diturunkan Alloh.

[b]. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.

[c]. Taqlid kepada perkataan seseorang setelah tegak argumen dan dalil yang menyelisihi perkataannya.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala‘telah mencela tiga macam taqlid ini di dalam ayat-ayat yang banyak sekali dalam Kitab-Nya sebagaimana telah kita sebutkan pada uraian di atas.

Macam yang kedua yaitu taqlid yang diwajibkan adalah yang dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim, “SesungguhnyaAlloh telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Alloh perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam finman-Nya :

“Artinya : Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Alloh dan hikmah (Sunnah Nabimu)”[Al-Ahzab:34]

lnilah Adz-Dzikr yang Alloh perintahkan agar kita selalu ittiba’ kepadanya, dan Alloh perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Alloh turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya” [l’lamul Muwaqqi’in 2/241]

Macam yang ketiga yaitu taqlid yang dibolehkan adalah yang dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim, “Adapun taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan Alloh. Hanya saja sebagian darinya tersembunyi bagi orang tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tercela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa....” [I’lamul Muwaqqi’ in 2/169]

Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad apakah dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil baginya” [Majmu’ Fatawa 20/203-204]

.

MENGIKUTI MANHAJ PARA ULAMA BUKAN BERARTI TAQLID KEPADA MEREKA

Al-Imam lbnul Qayyim berkata, “Jika ada yang mengatakan: Kalian semua mengakui bahwa para imam yang ditaqlidi dalam agama mereka berada di atas petunjuk, karena itu maka orang-orang yang taqlid kepada mereka pasti di atas petunjuk juga, karena mereka mengikuti langkah para imam tersebut.

Dikatakan kepadanya, “Mengikuti langkah para imam ini secara otomatis membatalkan sikap taqlid kepada mereka, karena jalan para imam ini adalah ittiba’ kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka sebagaimana akan kami sebutkan hal ini dan mereka lnsya Alloh. Maka barangsiapa yang meninggalkan hujjah dan melanggar larangan para imam ini (dan sikap taqlid) yang juga dilarang oleh Alloh dan Rasul-Nya, maka jelas orang ini tidak berada di atas jalan para imam ini, bahkan termasuk orang-orang yang menyelisihi mereka.

Yang menempuh jalan para imam ini adalah orang yang mengikuti hujjah, tunduk kepada dalil, dan tidak menjadikan seorang pun yang dijadikan perkataannya sebagal timbangan terhadap Kitab dan Sunnah kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari sini nampaklah kebatilan pemahaman orang yang menjadikan taqlid sebagai ittiba’, mengaburkannya dan mencampuradukkan antara keduanya, bahkan taqlid menyelisihi ittiba’. Alloh dan Rasul-Nya telah memilahkan antara keduanya demikian juga para ulama.

Karena sesungguhnya ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan”. [I’lamul Muwaqqi’in 2/170-171]

[Pembahasan ini banyak mengambil faedah dan risalah Syaikhuna Al-Fadhil Muhammad bin Hadi Al-Madkhaly yang berjudul Al Iqna’ bi Maja’a ‘an A’immati Da ‘wah minal Aqwal fil Ittiba’]

.

KESIMPULAN

Taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya atau mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya.

Taqlid terbagi menjadi tiga macam.

[1]. Taqlid yang diharamkan, yaitu taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga berpaling dan apa yang diturunkan oleh Alloh, taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya, dan taqlid kepada perkataan seseorang setelah tegak argumen dan dalil yang menyelisihi perkataannya. lnilah taqlid yang dicela Alloh dalam Kitab-Nya.

[2].Taqlid yang diwajibkan, yaitu orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya tentang Adz-Dzikr yaitu apa yang Alloh turunkan kepada Rasul-Nya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya.

[3].Taqlid yang dibolehkan, yaitu taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan oleh Alloh dalam suatu permasalahan. Hanya saja sebagian dari hujjahnya tersembunyi bagi orang tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya dalam permasalahan tersebut.

Ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang (wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan atau jika engkau mengikuti suatu perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihannya.

Taqlid bukanlah ittiba’, karena ittiba’ adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihan perkataannya, dan taqlid adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu segi dari makna perkataannya.

Para imam melarang para pengikutnya dan taqlid dan memerintahkan mereka agar selalu ittiba’.

Ittiba’ adalah jalan Ahlu Sunnah dan taqlid adalah jalan ahli bid’ah.

Mengikuti manhaj para ulama bukanlah taqlid kepada mereka, karena manhaj para ulama ini adalah ittiba’ kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka, maka orang yang menempuh manhaj mereka juga ittiba’ sebagaimana mereka.

.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 2 Tahun V/Ramadhan 1426, Oktober 2005. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim PO BOX 21 (61153]

.

Sumber : almanhaj.or.id

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin