Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

30 Maret 2008

FILE 41 : Masalah Khilafah

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

KHILAFAH DI BUMI

Oleh:

Syaikh Sa’ad Al-Hushain

.

.

Allah Ta’ala telah berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” [Al-Baqarah : 30]

(Khalifah disini), yaitu suatu kaum yang sebagian mereka akan menggantikan yang lain. [Lihat Ibnu Katsir]. Sebagaimana firman Allah Ta’ala : “ … dan Allah menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?” [An-Naml : 62] Firman-Nya : “..dan Rabbku akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain (dari) kamu” [Hud : 57] Firman Allah Ta’ala tentang suku ‘Aad : “ Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh” [Al-A’raf : 69] Firman Allah Ta’ala tentang suku Tsamud : “Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum 'Aad” [Al-A’raf : 74] Firman Allah Ta’ala kepada umat Muhammad : “Kemudian kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat” [Yunus : 14]

Yang dimaksud khalifah pada ayat pertama (Al-Baqarah : 30) bukanlah Nabi Adam, dengan (berdasarkan) dalil firman Allah Ta’ala. “(Para malaikat berkata : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang-orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?”) [Al-Baqarah :30], karena Nabi Adam disucikan dari hal-hal itu. [lihat Tafsir Al-Qurtubi]

Dan dijadikan khalifah (pengganti) dalam urusan memakmurkan bumi, harta, dan hukum (kekuasaan), merupakan ujian dari Allah bagi setiap orang yang dijadikan-Nya sebagai khalifah (pengganti) di antara hamba-hamba Allah, sebagaimana firman Allah Ta’ala. “Supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat” [Yunus : 14]

Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Dawud. “Hai Dawud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (pengganti) di muka bumi. Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” [Shad : 26] Allah Ta’ala berfirman memberitakan perkataan Nabi Sulaiman. “Ini termasuk kurnia Rabbku untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya)” [An-Naml : 40]

[1]. Kerancuan dalam memahami makna khilafah telah menghinggapi kaum muslimin di zaman ini. Mereka membatasi makna khilafah pada kekuasaan yang mencukup seluruh negeri-negeri kaum muslimin. Mereka menyangka, menurut syari’at hanya khilafah sebagai bentuk pemurnian dalam masalah kekuasaan. Sehingga menyebabkan sebagian para pemuda dari umat ini yang telah Allah berikan semangat, tetapi mereka tidak dianugerahi ilmu dan keteguhan -menolak bentuk-bentuk sistem kekuasaan selain khilafah. Di tengah pengamatan dan ketegersaaan mereka terhadap model pemerintahan teladan tersebut, mereka menggugurkan syarat rusyd (kelurusan) dan hidayah (petunjuk). Sehingga mereka memasukkan pemerintah Utmaniyah (di Turki, pent) –padahal pemerintahan itu tidak lurus dan tidak mendapatkan petunjuk- sebagai khilafah syar’iyah (yang sesuai dengan syari’at).

Sedangkan khilafah dan persatuan –seperti saling tolong menolong- terkadang terjadi di dalam melaksanakan kebajikan dan takwa, maupun dalam melakukan dosa dan permusuhan.

[2]. Nabi Muhammad –semoga Allah memberikan shalawat, salam, dan berkah-Nya kepada beliau, keluarganya, para sahabatnya, dan pengikutnya- telah menjelaskan bahwa. “Khilafah nubuwwah (rasyidah mahdiyyah) berlangsung tiga puluh tahun. Kemudian Allah akan memberikan kekuasaan kepada siapa yang Dia kehendaki” [HR Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Al-Hakim, dengan sanad yang shahih]

Dan khilafah rasyidah mahdiyah [1] itu, ialah kekuasaan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali –semoga Allah meridhai mereka dan menjadikan mereka ridha. Mereka adalah orang-orang yang disitimewakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau. “Hendaklah kamu berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang lurus dan mendapatkan petunjuk setelahku’ [HR Ahmad, Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi 2676, Ibnu Majah dan lainnya]

[3]. Namun begitu telah pasti di dalam dua kitab shahih (disebutkan), sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Setelahku akan ada dua belas khalifah dari suku Quraisy” Dan dalam suatu riwayat. “Agama ini akan tetap tegak selama ada dua belas khalifah, semuanya dari suku Quraisy” Mereka ini ialah empat khulafa’ur rasyidin dan delapan dari para penguasa Bani Umayyah. Dari delapan orang ini ada yang shalih, dan ada yang kurang dari itu –semoga Allah memaafkan kami dan mereka- dan mereka ini tidak seperti empat khulafa’ur rasyidin. Walaupun demikian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan mereka semua sebagai khalifah.

[4]. Berdasarkan ini, maka lafazh khalifah yang mutlak atau lainnya bukanlah bukti kebenaran atau kerusakan suatu pemerintahan. Bahkan Allah telah memilih Thalut sebagai raja yang berperang di jalan Allah, bukan untuk membela tanah atau identitas banga Arab, dan Allah menambahkan keluasan ilmu dan kekuatan badan pada Thalut. Di antara tentaranya ialah Dawud ‘Alaihissalam. Allah memberikan kepada Dawud kekuasaan dan hikmah, dan Dia mengajarkan kepada siapa yang Dia kehendaki.

Allah juga menyebutkan pemerintahan Nabi Sulaiman dengan kerajaan, karena beliau mewarisi dari bapaknya dalam hal ilmu, kekuasaan, dan kenabian. Dan Allah telah menyuruh Rasul-Nya (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) untuk memilih jadi raja dan rasul atau menjadi hamba dan rasul, lantas beliau memilih sifat ubudiyyah (penghambaan) dan kerasulan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan lainnya.

[5]. Imaamah (kepemimpinan), khilafah (kekuasaan yang menggantikan penguasa sebelumnya), atau mulk (kekuasaan kerajaan), dapat diraih dengan berdasarkan nash (keterangan dari agama) atau dengan isyarat kepada seseorang –seperti pada kekhalifahan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu –atau dengan istikhlaf (penunjukkan orang yang akan menggantikan) dari penguasa sebelumnya, seperti penunjukkan Abu Bakar kepada Umar Radhiyallahu ‘anhu . Atau urusan itu diserahkan kepada musyawarah di antara beberapa orang-orang shalih yang dipilih oleh khalifah sebelumnya, sebagaimana telah dilakukan oleh Umar Radhiyallahu ‘anhu. Atau dengan ijma ahlul-halil wal aqdi (tokoh-tokoh umat Islam, dari kalangan ulama dan lainnya, pent), -bukan ijma’nya orang-orang awam- untuk membaiatnya, atau bai’at salah seorang dari mereka untuknya, maka menurut jumhur bai’at ini wajib diikuti. Imam Al-Haramain menukilkan ijma’ tentang hal itu. Atau dengan kemenangan seseorang yang dipaksakan terhadap semua orang untuk mentaatinya, maka itu juga wajib diikuti –untuk menghindari perpecahan dan perselisihan-, hal itu telah dinyatakan oleh Imam Asy-Syafi’i [Lihat Ibnu Katsir].

Dan tidak ada di dalam kitab Allah, Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sunnah Khulafa ur-rasyidin, pemahaman imam-imam agama pada generasi-generasi yang utama (tiga generasi awal umat Islam, pent), bahkan tidak ada pada sepuluh generasi setelahnya, peraturan penetapan kekuasaan dengan suara-suara pemilih, apalagi lebih mengutamakan suara-suara pemilih. Hal itu hanyalah taqliid (mengikuti tanpa ilmu) terhadap undang-undang buatan manusia dan menjadikan pendapat mayoritas (suara terbanyak) sebagai pemutus hukum. Padahal Allah Ta’ala berfirman mengenai mayoritas manusia. Mereka tidak bersyukur. [Yunus : 60] Mereka tidak beriman. [Al-Baqarah : 100] Mereka tidak mengetahui. [Al-An’aam : 37] Mereka tidak memahami. [Al-A’raf : 179]

[6]. Kesalahan paling banyak yang tersebar dalam memahami khilafah, ialah mengikuti pendapat bahwa khilafah itu adalah khilafah dari Allah di muka bumi [2]. Maha Suci Allah dari kebutuhan menunjuk seseorang dari hamba-hamba-Nya sebagai khalifah (wakil)-Nya, karena Allah itu Maha mendengar lagi Maha melihat. Dia bersama seluruh makhluk-Nya dengan ilmu-Nya, hukum-Nya, dan penganut-Nya. Dia juga bersama hamba-hamba-Nya yang shalih dengan taufik-Nya dan pertolongan-Nya.

[7]. Berdasarkan keterangan yang telah disebutkan di atas, jelaslah kesalahan Sayyid Quthub –semoga Allah mema’afkan kita dan dia- yang diambil oleh mayoritas kaum muslimin pada hari ini, tentang persangkaannya bahwa pemilihan Mu’awiyah Radhiyalahu ‘anhu, kemudian anaknya (Yazid bin Mu’awiyah, pent) telah keluar dari kaidah dasar Islam dalam masalah kekuasaan : Yaitu pemilihan kaum muslimin secara mutlak! Sebagaimana dia telah salah dalam persangkaannya bahwa “seorang penguasa dalam agama Islam mengambil hukum dari satu sumber, yaitu kehendak rakyat!”.

Dia beranggapan bahwa metode yang benar dalam memilih pemimpin ialah : “Kita bermusyawarah dengan seluruh (rakyat) dengan metode yang menjamin bisa diterima semua orang!” Dan menurutnya, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berhak mengangkat seorangpun sebagai pemimpin tanpa musyawarah kaum mukminin’ [3]

Persangkaan di atas salah, karena (menurut Islam, pent) mewariskan kekuasaan itu boleh berdasarkan nash ayat. “Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud” [An-Naml ; 16] Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menunjuk pemimpin sebagai pengganti beliau setelah beliau (tidak dengan musyawarah dan tidak dengan lainnya) dengan nash yang jelas, tetapi penujukkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu untuk mengimami shalat kaum muslimin saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, merupakan isyarat yang jelas terhadap kelayakan Abu Bakar dan keutamaannya dalam mengatur kekuasaan setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dan berdasarkan Sunnah ini, Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu mewasiatkan kepemimpinan setelah dirinya kepada Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu. Allah Ta’ala memang telah mensyari’atkan musyawarah di antara kaum muslimin, namun hasil musyawarah tidaklah wajib diikuti oleh penguasa. Buktinya Abu Bakar menyelisihi mayoritas sahabat –atau semua sahabat- dalam memerangi orang-orang yang tidak mau berzakat. Bahkan beliau menyelisihi sebagian sahabat yang tidak setuju penunjukkan Umar sebagai penggantinya. Semoga Allah memberikan shalawat, salam, dan berkah, kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya, sampai hari pembalasan.

[Diterjemahkan oleh Abu Ismail Muslim Al-Atsari dari makalah berjudul “Al-Khilafah Fil Ardhi”, dalam Majalah Al-Ashalah, Tahun VI, no. 36, Syawal 1422H, halaman 60-63]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]

__________

Foot Note

[1]. Yang lurus dan mendapatkan petunjuk

[2]. Yaitu anggapan bahwa seorang pemimpin atau manusia itu merupakan khalifah (pengganti) Allah di muka bumi. Padahal Allah Maha mengetahui, Maha mendengar, Maha melihat, dan sifat-sifat kesempurnaan lainnya, sehingga di tidak membutuhkan khalifah (pengganti atau wakil), pent.

[3]. Dari buku Sayyid Quthub yang berjudul Ma’rakatul Islam wa Ra’sumaliyah (Pergulatan Islam dengan Kapitalisme), Penerbit Darusy Syuruq, Tahun 1414H, halaman 72-73

.

Sumber: almanhaj.or.id

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

19 Maret 2008

FILE 40 : Seputar Maulid Nabi

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

BID’AHKAH PERINGATAN MAULID NABI??

Oleh :

Usamah bin Abdillah ath-Thiiby al-Filisthini

. .

Termasuk perkara yang tidak diragukan lagi adalah, bahwa sekarang ini kita berada dalam kehidupan yang penuh dengan slogan yang gencar, mengarah kepada penghulu keturunan nabi Adam, baginya sholawat yang paling utama dari salam yang paling sempurna. Slogan-slogan tersebut menyakiti sang penebar rahmat dan petunjuk Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. dikarenakan sekarang kita dekat dengan waktu peringatan Maulid Nabi (!!). Maka saya ingin menjelaskan kepada kaum mislimin bentuk penganiayaan kepada Rasulullah, bahkan model-modelnya amat banyak sekali.

Kebanyakan para pecinta beliau lupa akan hal ini, sehingga kecintaan tersebut menyeret mereka untuk berlaku ghuluw (berlebih-lebihan), yang dengan itu justru mereka menyelisihi perintah dan bimbingan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Diantara bentuk penganiayaan terhadap Rasulullah adalah membuat ajaran baru didalam agama dan tuntunan beliau yang sempurna, karena telah disempurnakan Allah :

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”(Qs. Al-Maidah : 3)

Mengada-adakan ajaran yang baru merupakan perkara berbahaya yang telah diperingatkan Rasulullah di berbagai hadits beliau, diantaranya :

.

إِيَّاكُمْ وَ مُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ : فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ : وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ .

.

Hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya, semua perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”.(HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Tidak diragukan sedikitpun, bahwa mengada-adakan ajaran baru didalam Islam, merupakan bentuk perlawanan terhadap bagian syahadatain yang kedua “Saya bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah.”, sebagaimana syirik merupakan penentangan terhadap bagian syahadatain yang pertama “Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah”. Dua hal ini, yaitu syirik dan bid’ah merupakan dua jebakan setan yang senantiasa diarahkan kepada hamba-hamba Allah.

Al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah berkata :

Sesungguhnya setan ingin sukses atas seorang hamba ketika melemparkan sebuah jebakan dari tujuh jebakan yang dimiliki, yang satu lebih sulit daripada yang lain, dia tidak akan turun pada tingkatan yang lebih ringan, kecuali telah gagal pada jebakan yang lebih berat.

Jebakan pertama adalah mengingkari Allah, agama, pertemuan dengan-Nya, sifat-sifat-Nya yang sempurna, serta berita-berita para Rasul-Nya. Jika setan sukses disini, maka api permusuhannya menjadi dingin dan dia beristirahat. Jika gagal, dan sang hamba selamat dari jebakan itu karena ilmu dan petunjuk Allah, serta selamat juga cahaya imannya, maka setan akan beralih kepada jebakan kedua.

Jebakan bid’ah, baik bentuknya berupa keyakinan yang menyelisihi kebenaran yang karenanya Allah mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya, maupun berupa ibadah yang tidak pernah diperintahkan Allah, semisal berbagai model dan simbol bid’ah dalam agama yang sama sekali Allah tidak menerimanya.

Kedua bid’ah ini, kebanyakan saling terkait, dan jarang sekali berdiri sendiri-sendiri, sebagaimana diistilahkan ”Pernikahan antara bid’ah perkataan dengan bid’ah perbuatan, maka keduanya sibuk di malam pertama, maka tiba-tiba hiduplah anak-anak hasil zina di berbagai negeri Islam, sehingga para hamba dan berbagai negeri mengeluhkannya kepada Allah”.

Guru kami (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) berkata :”Hakekat kufur menikahi bid’ah, sehingga lahirlah kerugian dunia dan akhirat”.

Jika seorang hamba lulus melewati jebakan ini, dan terbebas darinya karena cahaya sunnah dan keteguhannya berpegang pada ajaran Rasulullah serta atsar para salaf dari kalangan sahabat dan pengikut mereka yang baik, yang dewasa ini amat sulit kita jumpai seseorang yang sebanding dengan mereka, kalaupun ada, pasti dia akan merintangi ahlul bid’ah, dan ahlul bid’ah akan berusaha mencelakakannya dengan seribu macam cara, bahkan pembela sunnah dijuluki sebagai ahli bid’ah dan pembuat ajaran baru.

Jika Allah memberikan kepadanya taufiq sehingga dia lulus dengan baik dari jebakan ini, maka setan akan menggunakan jebakan yang ketiga : Dosa-dosa besar …” (Madarijus Salikin (I/175))

Setelah uraian panjang nan kuat tadi, sebenarnya kita hanya tinggal mengatakan, bahwa orang-orang yang mengadakan perayaan maulid Nabi, telah terjerumus kedalam jebakan setan yang kedua, yaitu : bid’ah. Tidak diragukan lagi, bahwa perayaan maulid ini merupakan bid’ah yang diada-adakan nan jelek – bukan bid’ah hasanah (baik) sebagaimana kata sebagian orang – dan tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, para sahabat, tabi’in dan tiga generasi terbaik dan paling utama.

Perkara ini disepakati oleh penolak dan pendukung perayaan maulid. Syaikh Dhohiruddin Ja’far at-Tizmanty (wafat pada tahun 628 H) menjelaskan hukum perayaan maulid, seraya mengatakan :

Kegiatan ini belum pernah ada pada masa generasi pertama Salafush sholeh, padahal mereka sangat mengagungkan dan menyintai Nabi, pengagungan dan rasa cinta kita semua tidak akan bisa menyamai pengagungan dan rasa cinta salah seorang diantara mereka”. (Dinukil dari “Al-Hukmul Haq fil Ihtifaal bi Maulid Sayyidil Kholq” oleh guru kami Ali Hasan al-Halaby, halaman : 27)

Sebenarnya, sejarah adalah saksi yang paling kuat akan kebid’ahan perayaan maulid Nabi. Bid’ah ini muncul pada akhir abad ke-4 (!!). Setelah berdirinya Negara al-Ubaidiyyah al-Fathimiyyah al-Bathiniyyah yang menisbatkan diri mereka dengan penuh kebohongan kepada Fathimah Radhiyallahu ‘anha.

Taqiyyuddin al-Maqrizy berkata :

”Para kholifah daulah Fathimiyyah memiliki banyak hari raya dan musim perayaan sepanjang tahun, antara lain : musim perayaan pokok tahun, awal tahun, hari ‘Asyura’, dan maulid Nabi….” (“Al-Mawa’idh wal I’tibar bi dzikril Khuthoth wal Atsar”(I/490).)

Mufti Mesir terdahulu, syaikh al-‘Allamah Muhammad Bakhit al-Muthi’i berkata :

”Perkara yang diada-adakan dan banyak pertanyaan tantangnya (al-Maulid), maka kita katakan : ”Sesungguhnya, yang pertama kali mengadakannya di Kairo adalah para kholifah daulah Fathimiyyah, dan yang paling awal diantara mereka adalah al-Mu’izz Lidillah…”. (“Ahsanul Kalam fiima Yata’allaq Bissunnah wal bid’ah minal Ahkam”, halaman : 44)

Syaikh Ali Mahfudz berkata :

”Diceritakan, bahwa pertama kali yang mengadakan perayaan-perayaan ini di Mesir adalah, para kholifah daulah Fathimiyyah pada abad ke-4 H. Mereka membuat enam perayaan kelahiran : Maulid Nabi, Maulid al-Imam Ali, Maulid Sayyidah Fathimah az-Zahro’, Maulid al-Hasan dan al-Husain, dan Maulid al-Kholifah al-Hadhir. Maulid-maulid ini tetap pada bentuknya sampai dihapus oleh al-Afdhol Ibnu Amir al-Juyusy. Kemudian dibangkitkan lagi oleh pemerintahan al-Amir bi Ahkamillah di tahun 524 H, setelah hampir dilupakan manusia.

Orang pertama yang mengadakan perayaan maulid Nabi di kota Irbil adalah raja al-Mudhaffar Abu Said, pada abad ke-7 H (!!). perayaan ini terus berlangsung sampai masa kita sekarang ini, dengan berbagai pengembangan dan inovasi baru, sesuai dengan hawa nafsu mereka dan wahyu dari setan kalangan jin dan manusia.” (“Al-Ibda’ fi Madhoor al-Ibtidaa”, halaman : 231)

Saya (penulis) mengingatkan, diantara istilah-istilah syi’ah berbahaya yang menyusup kedalam barisan kita, ahlussunnah, adalah pengkhususan kholifah Ali bin Abi Tholib saja dengan gelar “al-Imam”, tanpa memberikan gelar tersebut kepada khulafaur Rasyidin yang lain, dan kita yakin bahwa mereka (Abu Bakar, Umar, dan Utman) lebih berhak. Demikian juga gelar az-Zahro’ untuk Fathimah sama sekali tidak berdasar, baik substansi maupun maknanya ….Allahul Musta’an.

Diantara kekeliruan yang fatal dalam hal ini adalah, bahwa pengobar perayaan mengingat maulid Nabi, sangat berlebih-lebihan dalam menganiaya saudara-saudara mereka yang mengingkari perayaan seperti ini, mereka melemparkan tuduhan bahwa orang-orang yang kontra perayaan maulid Nabi, membenci Nabi dan tidak menyintainya.

Sebenarnya, standar untuk mengetahui siapa yang menyintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bukanlah perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , dan yang semisalnya. Bahkan yang menjadi standar adalah, rasa cinta kepada Rasulullah yang terwujud dalam sikap membenarkan beritanya, mentaati perintahnya, berhenti dari larangan beliau, dan tidak beribadah kepada Allah, kecuali dengan syari’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Inilah inti cinta dan pengagungan terhadap Rasulullah, yang dengannya seorang hamba akan memperoleh cinta Allah subhnahu wa ta’ala :

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang..(QS. Ali-Imron : 31)

.

تَعْصِى اْلإِلَهَ وَأَنْتَ تَزْعُمُ حُبَّهُ

هَذَا لَعَمْرِيْ فِي الْقِيَاسِ بَدِيْعُ

لَوْكَانَ حُبُّكَ صَادِقًا َلأَطَعْتَه

ُ إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحَبُّ مُطِيْعُ

.

Anda memaksiati Allah, dan anda menyangka sedang menyintainya.

Sungguh, inilah qiyas yang indah.

Jika cintamu benar, niscaya kau akan mentaati-Nya.

Sesungguhnya penyinta akan mentaati kekasihnya..

Termasuk kesalahan mereka yang fatal adalah, perayaan tersebut diadakan pada 12 Robi’ul Awwal dengan suatu keyakinan, bahwa pada hari itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dilahirkan. Padahal hakekat yang harus senantiasa didengungkan dan ditebarkan adalah, bahwa para ulama memiliki perbedaan pendapat yang tajam dalam penetapan tanggal kelahiran Nabi, meskipun mereka sepakat bahwa beliau lahir pada hari senin.

Pendapat para ulama tersebut, antara lain :

a. 2 Robi’ul Awwal. Disebutkan Ibnu Abdil Baar didalam “al-Istii’aab

b. 8 Robi’ul Awwal. Diceritakan al-Humaidy dari Ibnu Hazm.

c. 10 Robi’ul Awwal. Dinukilkan Dihyah didalam bukunya “at-Tanwir fi Maulidil Basyir an-Nadziir”.

d. 12 Robi’ul Awwal. Disebutkan Ibnu Ishaq, dan inilah yang terkenal sebagai pendapat mayoritas ulama.

e. Bulan Ramadhan, tanggalnya pun diperselisihkan .

Silahkan anda cermati pendapat-pendapat ini didalam “al-Bidayah wan Nihayah”(2/265) karya Ibnu Katsir, juga “al-Mi’yar al-Mu’rib”(7/100) karya al-Wansyriisi.

Al-Imam al-‘Allamah al-Albani berkata :

Tentang hari kelahiran Nabi disebutkan oleh Ibnu Katsir perbedaan pendapat mengenai hari dan bulannya, semua tanpa sanad, sehingga tidak bisa diteliti dan dinilai dengan penilaian ilmu mustholah hadits. Kecuali satu pendapat yang menyatakan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lahir pada 8 Robi’ul Awwal, karena diriwayatkan oleh Malik dengan sanad yang shohih dari Muhammad bin Jubair, dia adalah seorang tabi’i yang mulia. Mungkin karena itulah banyak ahli sejarah yang membenarkan dan bersandar pada pendapat ini, hal ini juga merupakan ketetapan al-Hafidz al-Kabiir Muhammad bin Musa al-Khowarizmi, kemudian dirojihkan oleh Abul Khoththob bin Dihyah, sedangkan jumhur ulama berpendapat kelahiran beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada 12 Robi’ul Awwal. Wallahu A’lam” (“Shohihus Siroh an-Nabawiyyah” pada foot note halaman : 13).

Al-Imam al-‘Allamah Ibnu Utsaimin berkata :

Wahai kaum muslimin, sesungguhnya bid’ah perayaan maulid Nabi yang diadakan pada bulan Robi’ul Awwal, sebagian mengatakan 8, yang lain mengatakan 9, ada juga yang bependapat 10, 12, 17, 22 Robi’ul Awwal. Inilah tujuh pendapat ahli sejarah, satu dengan yang lainnya sama-sama tidak memiliki dalil yang kuat untuk mengalahkan yang lain, sehingga penentuan kalahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari bulan Robi’ul Awwal masih belum diketahui, akan tetapi sebagian ahli sejarah di zaman kita menetapkan tanggal 9, setelah dilakukan penelitian” (“Majmu’ Fatawa wa Rosail”(6/200).).

Shofiyur Rahman al-Mubarokfuri berkata :

Penghulu para Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dilahirkan di wilayah Bani Hasyim di Mekkah pada hari senin, 9 Robi’ul Awwal, tahun pertama dari tragedi tentara gajah, 40 tahun dari berkuasanya Raja Kisro Anusyarwan, bertepatan dengan 20 atau 21 April 571 M, sebagaimana hasil penelitian ulama besar Muhammad Sulaiman al-Manshurfuri.” (“Ar-Rohiqul Makhtum”. Halaman : 71)

Mungkin karena perbedaan penentuan tanggal kelahiran beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam inilah yang menjadikan raja al-Mudhaffar Abu Sa’id Kukburi, penguasa Irbil, mengadakan perayaan maulid Nabi pada tanggal 8 Robi’ul Awwal, kemudian pada tahun yang lain diadakan pada 12 Robi’ul Awwal, sebagaimana penjelasan banyak ahli sejarah Islam. (“Wafayaatul A’yaan”(2/292).)

Saudaraku pembaca yang budiman, sesungguhnya kesalahan-kesalahan orang yang merayakan maulid Nabi amatlah banyak, tak terbatas dan terhitung, seandainya kita sebutkan semua, niscaya akan sangat panjang. Maka dari itu, saya akhiri pembahasan ini dengan hiasan fatwa para ulama terkemuka :

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.”(QS. Qoof : 37).

Fatwa-fatwa tersebut antara lain :

1. Al-‘Allamah Abu Hafs Tajuddin al-Fakihany (wafat tahun 743 H) didalam bukunya “al-Maurid fii ‘Amalil Maulid”, termasuk didalam”Rosail fii Hukmil Ihtifal bil Maulid an-Nabawi”, beliau mengatakan :

”Berulang-ulang pertanyaan dari beberapa orang, tentang perkumpulan yang diadakan pada bulan Robi’ul Awwal, yang disebut perayaan maulid Nabi, apakah ada dasarnya didalam syari’at ? ataukah termasuk bid’ah dan perkara yang diadakan dalam agama ? Dengan taufiq Allah, saya akan menjawab :”Saya tidak mengetahui dasar perayaan maulid ini dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, dan belum pernah diberitakan bahwa hal ini dilakukan oleh salah seorang ulama umat, mereka adalah teladan dalam urusan agama dan berpegang teguh dengan atsar ulama terdahulu. Bahkan ini merupakan bid’ah yang dibuat-buat oleh para pengangguran, dan dorongan jiwa tukang makan yang rakus sangat mendambakannya”. (“Al-Maulid fi ‘Amalil Maulid” dalam “Rosail fil Hukmil bil Maulid an-Nabawi”)

2. Al-‘Allamah Ibnul Hajj (wafat tahun 737 H) berkata :

”Hal ini adalah tambahan dalam urusan agama, bukan amalannya para salaf terdahulu. Meneladani salaf lebih utama (lebih wajib) daripada berniat menambah ajaran mereka. Karena kaum salaf adalah kaum yang paling kuat mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, juga paling hebat pengagungannya terhadap sunnah, seraya berlomba-lomba mengamalkannya. Dan tidak pernah dinukilkan kepada kita, bahwa salah seorang diantara mereka melakukan perayaan maulid. Kita mengikuti mereka, apa yang mereka lakukan, kita juga melakukannya. Dan telah diketahui, bahwa kewajiban mengikuti mereka adalah dalam perkara yang pokok beserta cabang-cabangnya.” (Al-Madkhol”(2/11-12))

3. Al-Imam asy-Syatibi (wafat tahun 790 H) mengatakan :

”Telah jelas, bahwa menghidupkan perayaan maulid sebagaimana yang dilakukan manusia sekarang ini, adalah bid’ah yang dibuat-buat. Dan setiap bid’ah adalah kesesatan. Maka menginfakkan harta untuk kepentingan perayaan tersebut tidak boleh, jika infak tersebut adalah wasiat dari orang yang meninggal, maka tidak boleh dilaksanakan. Bahkan wajib bagi Hakim untuk membatalkan wasiat tersebut, dan sepertiga harta sang mayyit dikembalikan kepada ahli warisnya untuk dibagi-bagi diantara mereka. Semoga Allah menjauhkan orang-orang fakir yang meminta pelaksanaan seperti ini.” (Fatawa asy-Syathibi” halaman : 203 – 204)

4. Al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahim (wafat tahun 1389 H) berkata :

”Tidak diragukan lagi, bahwa perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam termasauk bid’ah yang diada-adakan dalam agama, setelah tersebarnya kebodohan di dunia Islam, sehingga penyesatan dan persangkaan menjadi suatu bidang yang mata tidak mampu membedakannya. Kuatlah didalamnya kekuasaan taklid buta. Jadilah mayoritas manusia tidak kembali merujuk dalil dalam syari’at Islam. Akan tetapi mereka merujuk kepada pendapat si A dan keridhoan si B. Bid’ah yang mungkar ini, sama sekali tidak ada dalilnya dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga dari Tabi’in dan para pengikut mereka …..” (Fatawa wa Rosail asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim”(3/54)).

Syaikh Muhammad bin Ibrahim mempunyai pembahasan-pembahasan yang mantap dalam bidang ini, silahkan dirujuk di “Majmu’ fatawa wa Rosail” jilid ke-3.

5. Al-‘Allamah al-Imam Abdul Aziz bin Baaz (wafat tahun 1420 H) mengatakan :

”Kaum muslimin tidak boleh mengadakan perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada malam 12 Robi’ul Awwal dan juga pada waktu yang lain, sebagaimana mereka juga tidak boleh merayakan hari kelahiran selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, karena perayaan hari-hari kelahiran termasuk bid’ah yang diada-adakan dalam agama, lebih dari itu, Rasulullah sendiri tidak pernah merayakan hari kelahirannya semasa hidup beliau, beliau adalah penebar agama Islam dan pembuat syari’at mewakili Robb-Nya, itupun beliau tidak memerintahkan untuk melakukan perayaan tersebut, demikian pula para kholifah dan sahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan para pengikut beliau yang baik di masa generasi yang utama, sehingga jelaslah, bahwa hal ini adalah bid’ah…” (Majmu’ fatawa wa Maqolaat al-Mutanawwi’ah”(4/289).).

Demikianlah beberapa fatwa ulama dalam pembahasan ini, bak setetes air dari air bah dan sebutir air dari lautan yang luas. Apabila anda ingin mendalaminya, silahkan menelaah buku-buku berikut ini : hal 8

  • Al-Maurid fi ‘Amalil maulid, tulisan dari syaikh al-‘Allamah al-Fakihany.
  • Ar-Raddu al-Qowiyyu alar Rifa’iy wal Majhul wa Ibni Alawi wa Bayanu Akhtha’ihim fil Maulidin Nabiy, tulisan dari al-‘Allamah Hamud at-Tuwaijiriy.
  • Al-Qaulul Fashlu fi Hukmil Ihtifal bi maulidi Khoirir Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tulisan al-‘Allamah Ismail al-Anshariy.
  • Al-Hukmul Haqqu fil Ihtifal bi maulid Sayyidil Khalqi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tulisan dari syaikh kami Ali bin Hasan al-Halabi – hafidhahullah -

Sebagai penutup pembahasan ini, maka kita katakan, bahwa bulan kelahiran Nabi adalah Robi’ul Awwal, bulan ini juga bulan wafatnya beliau, sehingga tidak patut kita mendahulukan perasaan gembira dari pada perasaan sedih karena wafatnya beliau. Kemudian, hari kelahiran beliau adalah hari senin, pada hari itu juga beliau diangkat menjadi Rasul dan ini merupakan anugerah Allah terbesar yang tiada bandingannya.

Allah ta’ala berfirman :

Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.(QS. Ali Imron : 164)

Seandainya dikatakan, bahwa perayaan diutusnya Rasulullah lebih utama untuk diperhatikan oleh orang-orang yang sholeh, maka hal itu lebih dekat kepada kebenaran. Akan tetapi, itupun tidak dilakukan oleh mereka, kenapa ? apa standar mereka, sesuatu yang diamalkan atau ditinggalkan !? kenapa mereka mengingkari perbutan orang lain ?!

.

Dialihbahasakan oleh Imam Wahyudi Lc.

Dari majalah ad-Dakwah as-Salafiyah, Palestina, edisi ke-2 halaman : 17 – 22.

Dari Majalah adz-Dzakhirah al-Islamiyah

.

Sumber: abusalma.wordpress.com

.

.

Pertanyaan

.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin : Apa hukum perayaan hari kelahiran Nabi Shlallhu’alaihi wa sallam ?

.

Jawaban

Pertama: Malam kelahiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, tapi sebagian ulama kontemporer memastikan bahwa itu pada malam kesembilan Rabi’ul Awal, bukan malam kedua belasnya. Kalau demikian, perayaan pada malam kedua belas tidak benar menurut sejarah.

Kedua: Dipandang dari segi syari’at, perayaan itu tidak ada asalnya. Seandainya itu termasuk syari’at Allah, tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya dan telah menyampaikan kepada umatnya, dan seandainya beliau melakukannya dan menyampaikannya, tentulah syari’at ini akan terpelihara, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

“Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” [Al-Hijr : 9].

Karena tidak demikian, maka diketahui bahwa perayaan itu bukan dari agama Allah, dan jika bukan dari agama Allah, maka tidak boleh kita beribadah dengannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendekatkan diri kepadaNya dengan itu. Untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, Allah telah menetapkan cara tertentu untuk mencapainya, yaitu yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana mungkin kita, sebagai hamba biasa, mesti membuat cara sendiri yang berasal dari diri kita untuk mengantarkan kita mencapainya? Sungguh perbuatan ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah Subhanahu wa Ta’ala karena kita melaksanakan sesuatu dalam agamaNya yang tidak berasal dariNya, lain dari itu, perbuatan ini berarti mendustakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu” [Al-Ma’idah : 3]

Kami katakan: Perayaan ini, jika memang termasuk kesempurnaan agama, mestinya telah ada semenjak sebelum wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jika tidak termasuk kesempurnaan agama, maka tidak mungkin termasuk agama, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,.

“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” [Al-Ma’idah :3]

Orang yang mengklaim bahwa ini termasuk kesempurnaan agama dan diadakan setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ucapannya mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia tadi. Tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang menyelenggarakan perayaan hari kelahiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah hendak mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menunjukkan kecintaan terhadap beliau serta membangkitkan semangat yang ada pada mereka. Semua ini termasuk ibadah, mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga merupakan ibadah, bahkan tidak sempurna keimanan seseorang sehingga menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dicintai daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan manusia lainnya.

Mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk ibadah. Demikian juga kecenderungan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk bagian dari agama karena mengandung kecenderungan terhadap syari’atnya. Jadi, perayaan hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan RasulNya merupakan ibadah. Karena ini merupakan ibadah, sementara ibadah itu sama sekali tidak boleh dilakukan sesuatu yang baru dalam agama Allah yang tidak berasal darinya, maka perayaan hari kelahiran ini bid’ah dan haram.

Kemudian dari itu, kami juga mendengar, bahwa dalam perayaan ini terdapat kemungkaran-kemungkaran besar yang tidak diakui syari’at, naluri dan akal, di mana para pelakunya mendendangkan qasidah-qasidah yang mengandung ghuluw (berlebih-lebihan) dalam mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai-sampai memposisikan beliau lebih utama daripada Allah. Na’udzu billah. Di antaranya pula, kami mendengar dari kebodohan para pelakunya, ketika dibacakan kisah kelahiran beliau, lalu bacaannya itu sampai pada kalimat ‘wulida al-musthafa, mereka semuanya berdiri dengan satu kaki, mereka berujar bahwa ruh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir di situ maka kami berdiri untuk memuliakannya. Sungguh ini suatu kebodohan.

Kemudian dari itu, berdirinya mereka itu tidak termasuk adab, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak menyukai orang berdiri untuknya. Para sahabat beliau merupakan orang-orang yang paling mencintai dan memuliakan beliau, tidak pernah berdiri untuk beliau, karena mereka tahu bahwa beliau tidak menyukainya, padahal saat itu beliau masih hidup. Bagaimana bisa kini khayalan-khalayan mereka seperti itu?

[Majalah Al-Mujahid, edisi 22, Syaikh Ibnu Utsaimin]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masaail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]

Sumber : almanhaj.or.id

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

08 Maret 2008

FILE 39 : Di Manakah Alloh ?

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

.................

Bagi antum yang belum tahu Robb-nya ada di mana, ana sarankan untuk membaca artikel ini. Semoga Alloh Subhanahu Wa Ta'ala memberikan taufiq kepada antum.

..........

DI MANA ALLAH..?

Oleh:

Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani

.

.

Suatu ketika syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullah pernah bertemu dengan salah seorang pemimpin partai Islam (dari Aljazair), Ali bin Hajj. Syaikh mengetahui sangat detail tentang kejadian yang terjadi pada mereka, dan telah sampai berita kepada beliau bahwa partai mereka mendapat dukungan jutaan pendukung. Diantara pertanyaan yang dilontarkan syaikh kepadanya yaitu yang saya nukil secara ringkas di sini :

Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullah bertanya : "Apakah setiap orang yang bersamamu (yang mendukung partaimu) mengetahui bahwa Allah bersemayam di atas Arsy?

Setelah terjadi dialog, dimana Ali bin Hajj berupaya untuk lari dari pertanyaan syaikh Al-Albani, dan syaikh-pun berupaya untuk menutup jalan keluar dari pertanyaan diatas, dia menjawab pertanyaan beliau dengan mengatakan : "Kami berharap demikian."

Syaikh berkata kepadanya : "Tinggalkan jawabanmu yang bersifat politis ini!"

Lalu, diapun menjawab dengan tegas bahwasanya mereka tidak mengetahui hal itu. Maka, syaikh berkata : "Cukuplah bagiku jawabanmu ini!"

Prinsip Tasfiyyah (pemurnian) dan Tarbiyyah (mendidik) mengharuskan pertanyaan diatas yang merupakan barometer yang paling tepat. Dengannya akan diketahui hakekat berbagai dakwah/jama'ah-jama'ah pada zaman ini yang menyerukan jihad. Sebab, orang yang tidak mampu memurnikan akidah para pendukung dan pecintanya, tentu ketidak mampuannya akan lebih nampak pada pemurnian (buah dari aqidah tersebut), baik dalam akhlak, perilaku maupun dalam berbagai amal perbuatan mereka. Padahal diantara mereka (pendukungnya) ada orang yang membenci dan memeranginya, maka bagaimana mungkin ia dapat membina mereka sesudah itu? Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." [Ar-Ra'd : 11]

Selanjutnya, jihad itu sendiri tidak akan terwujud kecuali dengan sebuah umat yang hati mereka bersatu. Karena bersatunya hati akan sangat menunjang bagi perolehan kemenangan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

"Artinya : Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan orang-orang mu'min, dan yang mempersatukan hati mereka." [Al-Anfaal : 62-63]

Sedangkah hati-hati itu, jika tidak disatukan diatas aqidah salafus shalih, niscaya mereka akan selalu berada dalam perselisihan yang tidak akan mungkin dapat disatukan dengan persatuan mereka melalui kotak-kotak pemilihan umum.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dengan mengarahkan firman-Nya kepada para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semoga ridha Allah atas mereka.

"Artinya : Maka jika mereka beriman kepada apa yang telah kamu beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk ; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan denganmu." [Al-Baqarah : 137]

Bagaimanapun yang telah diupayakan oleh para "Buih politik" itu, berupa pengumpulan (masa pendukung), namun sesungguhnya permulaan aqidah mereka mengarah kepada suatu sikap "Tamyi" (sikap menerima siapa saja yang mendukung mereka tanpa memperhatikan aqidah yang dianutnya) dan akan berakhir dengan perpecahan dan saling membid'ahkan.

Hal itu disebabkan karena pertemuan/persatuan yang bersifat jasmani tidak akan terwujud, kecuali hanya bersifat sementara bilamana ikatan hati bercerai-berai. Dan saya tidak menjumpai suatu sifat (gambaran) yang lebih tepat dan benar untuk menggambarkan kondisi mereka, daripada apa yang telah difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala perihal orang-orang Yahudi :

"Artinya : Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat. Kamu mengira mereka itu bersatu, padahal hati-hati mereka terpecah-belah." [Al-Hasyr : 14]

Intinya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kekuasan yang baik bagi hamba-Nya yang beribadah kepada-Nya saja. Tanpa menyekutukan-Nya, Allah berfirman:

"Artinya : Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku” [An-Nur : 55]

Bagian terdepan ayat ini tidak boleh ditolak dengan memberikan perumpamaan-perumpamaan sejarah untuk membatalkannya, karena seorang muslim adalah orang yang senantiasa berhenti pada nash (ayat al-Qur'an dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), lagi pula Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

"Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." [An-Nahl : 74]

Adapun pembatasan syaikh Al-Albani rahimahullah akan pertanyaannya pada masalah istiwa (bersemayamnya Allah Subhanahu wa Ta’ala diatas singgasana-Nya) disebabkan karena masalah istiwa merupakan persimpangan jalan yang memisahkan antara ahlussunnah dan para pengikut hawa nafsu. Lagi pula ia merupakan masalah aqidah yang mudah lagi gampang diketahui oleh masyarakat yang hidup bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana mereka telah menaklukkan dunia ini dan memimpin umat-umat yang beraneka ragam. (Aqidah ini telah diketahui oleh mereka). Bahkan oleh seorang wanita penggembala kambing sekalipun.

Ujian itu dilakukan oleh syaikh Al-Albani dengan menanyakan masalah ini kepada pemimpin partai politik tersebut, yang beranggapan bahwa partainya telah sempurna agamanya dan berada di atas garis kejahilan (orang-orang yang hidup) di zamannya. Ujian ini merupakan jalan atau cara yang ditempuh oleh para salafus shalih, meskipun dibenci oleh setiap khalaf (orang yang datang sesudah mereka) yang tidak menempuh jalan dan cara mereka.

Imam Muslim dan lainnya telah meriwayatkan dari Muawiyyah bin al-Hakam as-Sulami Radhiyallahu ‘anhu ia berkata.

"Artinya : Aku memiliki sekawanan kambing yang berada diantara gunung Uhud dan Jawwaniyah, disana ada seorang budak wanita. Suatu hari aku memeriksa kambing-kambing itu, tiba-tiba aku dapati bahwa seekor serigala telah membawa (memangsa) salah satu diantara kambing-kambing itu, sementara aku seorang manusia biasa, aku menyesalinya, lalu aku menampar wanita itu.

Kemudian kudatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan kejadian tersebut kepadanya, karena peristiwa itu terasa besar bagiku, maka kukatakan (kepada Rasulullah) : 'Wahai Rasulullah, tidakkah (lebih baik) aku memerdekakannya?'

Beliau berkata : 'Panggillah ia!'

Lalu aku memanggilnya, maka beliau berkata kepadanya : 'Di mana Allah?' Wanita itu menjawab : 'Di atas langit'. Beliau bertanya lagi : 'Siapakah aku?' Ia menjawab : 'Engkau adalah utusan Allah!' Beliau berkata : 'Bebaskanlah (merdekakanlah dia)! karena sesungguhnya dia adalah seorang wanita yang beriman'." [Ahmad V/447, Muslim No. 537]

Maka, perhatikanlah dengan seksama masyarakat tersebut (semoga Allah merahmati anda), yang mana Rasulullah berjihad bersama mereka, aqidah mereka sempurna (merata) hingga pada para penggembala kambing, yang mana perjumpaan (pergaulan) mereka dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya sedikit, seperti wanita penggembala kambing ini. Dan cobalah anda perhatikan dengan seksama realita masyarkat Islam di zaman ini memanjat kursi-kursi kekuasaan, -jika anda memperhatikan dengan seksama- pasti akan anda dapatkan perbedaan yang sangat jauh antara jihad (perjuangan) mereka dengan perjuangan masyarakat muslimin yang pertama.

Maka, mampukah kelompok-kelompok jihad itu menyatukan para pengikut (mereka) di atas aqidah “ainallah” (di mana Allah) ?

Ataukah pertanyaan ini sudah menjadi sesuatu yang ditertawakan dan jarang dipertanyakan oleh kelompok-kelompok itu di zaman yang telah dipengaruhi kemajuan ini? Ataukah pertanyaan ini telah menjadi sesuatu yang diperolok-olokan oleh para pengasuh jama'ah-jama'ah itu? Ataukah mereka telah memahami pentingnya berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah Azza wa Jalla, meskipun mereka menyia-nyiakan Allah Azza wa Jalla ?

Maka, kapankah Allah Azza wa Jalla akan mengizinkan untuk melepaskan, membebaskan dan memerdekakan mereka dari orang-orang yang menghinakan mereka sebagaimana telah dibebaskannya budak wanita itu setelah ia mengenal Allah ?

"Artinya : Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya." [Yusuf : 21]

Hakikat pertanyaan ini (dimana Allah) adalah upaya untuk menampakkan hakikat/jati diri dakwah-dakwah itu serta memperjelas, sejauh mana keikhlasan niat-niat (mereka). Sebab, dalam perhatian yang dicurahkan pada permasalahan hukum mengandung perhatian terhadap syariat dan dalam perhatian yang dicurahkan kepada masalah istiwa' (bersemayamnya Allah Azza wa Jalla diatas 'Arsy/singgasana-Nya), mengandung perhatian terhadap hak Allah. Namun, diantara kedua perhatian diatas terdapat perbedaan, yaitu bahwasannya pada perhatian yang pertama (terhadap hukum) seorang hamba memperoleh bagian untuk dirinya berupa apa yang sering diucapkan diatas lisan, seperti pengembalian segala sesuatu yang diambil secara zhalim (kepada pemiliknya), pemenuhan segala hak-hak (bagi mereka yang berhak menerimanya) dan kehidupan yang senantiasa tercukupi yang benar-benar telah dijanjikan Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya :

"Artinya : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi" [Al-A'raaf : 96]

Artinya, bagian (hak) seorang hamba bercampur (berhubungan erat) dengan hak Allah. Adapun perhatian terhadap "Sifat istiwa' Allah Azza wa Jalla diatas singgasana-Nya" merupakan perhatian yang murni terhadap hak Allah Azza wa Jalla semata. Seorang yang mengajak menusia kepada penetapan dan iman kepada sifat ini tidak mendapat bagian untuk kepentingan pribadinya sendiri sedikitpun.

Maka, perhatikanlah secara seksama perbedaan ini, pasti anda akan mengetahui kemuliaan sebuah keikhlasan. Sebab, dengungan seputar permasalahan "Hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla " yang disertai dengan sikap menganggap enteng terhadap permasalahan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla yang murni atau mengakhirkannya atau menjadikannya sebagai suatu masalah yang berada pada urutan terakhir, semua itu merupakan bukti terbesar yang menunjukkan bahwa pada urutan tersebut terdapat suatu cacat. Padahal sifat-sifat Allah Azza wa Jalla adalah sesuatu yang paling mulia yang diturunkan-Nya, karena kemuliaan suatu ilmu tergantung pada kemuliaan yang dipelajari dalam ilmu tersebut. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Semua ini semakin memberi penekanan yang kuat kepada kita akan pentingnya merujuk (kembali) kepada dakwah / ajakan para Nabi alaihimussalam yang telah menyatakan kepada umat-umat mereka :

"Artinya : Beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tak ada ilah (yang sebenarnya) bagimu selain Dia." [Al-A'raaf : 59]

Maka, dahulukanlah perhatian terhadap kesyirikan yang terjadi di kuburan-kuburan atas kesyirikan yang terjadi di istana-istana, jika ungkapan ini pantas untuk diucapkan, oleh sebab itulah, maka masalah imamah (kekhalifahan/ kepemimpinan) bukan merupakan bagian dari rukun-rukun iman.

Renungkanlah !!!

[Diterjemahkan dari kitab Sittu Durror karya Syaikh Abdul Malik Al-Jazairi, oleh Abu Abdillah]

[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 11 th. II Sya’ban 1425H/Oktober 2004M. Diterbitkan Ma’had Ali-AlIrsyad Surabaya, Alamat Perpustakaan Bahasa Arab Ma’had Ali Al-Irsyad Jl. Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]

Sumber: almanhaj.or.id

.

Tambahan faedah:

Sifat bahwa Alloh Subhanahu wa Ta'ala bersemayam di atas 'Arsy-nya di atas langit, juga didukung oleh sifat fithroh yang Alloh karuniakan kepada makhluq-Nya.

Bila antum masih memerlukan bukti, cobalah tanya adik atau saudara antum yang masih kecil/balita dan belum terkontaminasi oleh ajaran masyarakat pada umumnya," Di Manakah Alloh ?" Dan coba antum perhatikan jawabannya. Bahkan, sifat fithroh ini terkadang masih terdapat pada orang dewasa. Ana sendiri pernah menyaksikan bukti atas hal ini secara langsung. Yakni pada hari Ahad (9 Maret 2008), ketika ana sedang ngobrol bersama saudara jauh ana yang sedang silaturrahmi ke tempat tinggal ana. Ketika itu saudara ana tersebut sedang menceritakan pengalaman hidupnya yang kuliah sambil bekerja. Dia mengatakan;"Yang penting tetap berusaha dan jangan lupa dengan-YANG DI SANA- itu lho! (SAMBIL TANGANNYA MENUNJUK KE LANGIT "DENGAN MANTAP")".

Antum juga bisa melihat contoh artikel berita yang mendukung pernyataan saya di atas di sini

Inilah bukti FITHROH tersebut. Oleh karena itu, bila antum masih merasa ragu dengan hal ini (YANG MANA MERUPAKAN FITHROH SEMUA MAKHLUQ - BAHWASANYA ALLOH ADA DI ATAS LANGIT), maka ke-fithroh-an antum patut dipertanyakan.

****

.

Sifat Istiwa’ Allah di Atas ‘Arsy

Artikel ini adalah merupakan penjelasan terhadap pertanyaan saudara Maharinjaya yang menanyakan perihal “Allah bersemayam di atas ‘Arsy”. Berikut ini adalah pertanyaan saudara Maharinjaya tersebut,

Assalamu’alaikum Kepada Administrator yth, ana tertarik dengan dialog semacam ini. Sebagai mualaf ana terus mencari karena ana ingin menemukan sesuatu, seperti disabdakan Isa As dalam Markus: “Bagi siapa saja yang mencari niscaya ia akan menemukan…”

Mohon jawaban selekasnya baik melalui laman siteweb ini maupun melalui email ana iaitu mengenai ayat yang menyebutkan bahwa “…Allah bersemayam di Arsy…”, apakah maksud dari ayat ini karena ana jua berkehendak dapatlah kiranya menjawab soal dari ana punya sahabat yang masih belum berislam. Terimakasih.

Alhamdulillah pertanyaan tersebut telah dijawab oleh ustadz Anas Burhanuddin (dan sekaligus ada tambahan dari Al-Akh Abu Mushlih pada bagian akhir artikel ini). Mudah-mudahan penjelasan yang ringkas ini dapat memberi manfaat yang besar, khususnya kepada saudara Maharinjaya dengan semakin mempekokoh keislaman beliau di atas islam, sehingga merasa cukup dengan semua yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan tidak butuh kepada yang selain itu.

***

Penulis:

Ustadz Abu Bakr Anas Burhanuddin

A. Dalil Sifat Istiwa’

Sifat istiwa’ adalah salah satu sifat Allah yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk diriNya dalam tujuh ayat Al-Quran, yaitu Surat Al-A’raf: 54, Yunus: 3, Ar-Ra’d: 2, Al-Furqan: 59, As-Sajdah: 4 dan Al-Hadid: 4, semuanya dengan lafazh:

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

Artinya:

“KemudianDia berada di atas ‘Arsy (singgasana).”

Dan dalam Surat Thaha 5 dengan lafazh:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Artinya:

“Yang Maha Penyayang di atas ‘Arsy (singgasana) berada.”

Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam juga telah menetapkan sifat ini untuk Allah dalam beberapa hadits, diantaranya:

1. Hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:

لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ -فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ- إِنَّ رَحْمَتِي غَلَبَتْ غَضَبِي

“Ketika Allah menciptakan makhluk (maksudnya menciptakan jenis makhluk), Dia menuliskan di kitab-Nya (Al-Lauh Al-Mahfuzh) - dan kitab itu bersama-Nya di atas ‘Arsy (singgasana) - : “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam memegang tangannya (Abu Hurairah) dan berkata:

يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، إِنَّ اللهَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرَضِيْنَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ، ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, dishahihkan Al-Albani dalam Mukhtasharul ‘Uluw)

3. Hadits Qatadah bin An-Nu’man rodiallahu’anhu bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda:

لَمَّا فَرَغَ اللهُ مِنْ خَلْقِهِ اسْتَوَى عَلَى عَرْشِهِ.

“Ketika Allah selesai mencipta, Dia berada di atas ‘Arsy singgasana-Nya.” (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam As-Sunnah, dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dan Adz-Dzahabi berkata: Para perawinya tsiqah)

B. Arti Istiwa’

Lafazh istawa ‘ala (اِسْتَوَى عَلَى) dalam bahasa Arab - yang dengannya Allah menurunkan wahyu - berarti (عَلاَ وَارْتَفَعَ), yaitu berada di atas (tinggi/di ketinggian). Hal ini adalah kesepakatan salaf dan ahli bahasa. Tidak ada yang memahaminya dengan arti lain di kalangan salaf dan ahli bahasa.

Adapun ‘Arsy, secara bahasa artinya Singgasana kekuasaan. ‘Arsy adalah makhluk tertinggi. Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda:

فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ

“Maka jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Al-Firdaus, karena sungguh ia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi. Di atasnya singgasana Sang Maha Pengasih, dan darinya sungai-sungai surga mengalir.” (HR. Al-Bukhari)

‘Arsy juga termasuk makhluk paling besar. Allah menyifatinya dengan ‘adhim (besar) dalam Surat An-Nahl: 26. Ibnu Abbas rodiallahu’anhu berkata:

الْكُرْسِيُّ مَوْضِعُ الْقَدَمَيْنِ ، وَالْعَرْشُ لاَ يَقْدِرُ قَدْرَهُ إِلاَّ اللهُ تعالى.

“Kursi adalah tempat kedua kaki (Allah), dan ‘Arsy (singgasana) tidak ada yang mengetahui ukurannya selain Allah Ta’ala.” (Hadits mauquf riwayat Al-Hakim dan dishahihkan Adz-Dzahabi dan Al-Albani)

Allah juga menyifatinya dengan Karim (mulia) dalam Surat Al-Mukminun: 116 dan Majid (agung) dalam Surat Al-Buruj: 15.

Dalam suatu hadits shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim dijelaskan bahwa ‘Arsy memiliki kaki, dan dalam surat Ghafir: 7 dan Al-Haaqqah: 17 disebutkan bahwa ‘Arsy dibawa oleh malaikat-malaikat Allah.

Ayat dan hadits yang menjelaskan tentang istiwa’ di atas ‘Arsy menunjukkan hal-hal berikut:

  1. Penetapan sifat istiwa di atas ‘Arsy bagi Allah, sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya.
  2. Bahwa Dzat Allah berada di atas.

C. Beberapa Peringatan Penting

Pertama:

Istiwa’ adalah hakikat dan bukan majas. Kita bisa memahaminya dengan bahasa Arab yang dengannya wahyu diturunkan. Yang tidak kita ketahui adalah kaifiyyah (cara/bentuk) istiwa’ Allah, karena Dia tidak menjelaskannya. Ketika ditanya tentang ayat 5 Surat Thaha (الرحمن على العرش استوى), Rabi’ah bin Abdurrahman dan Malik bin Anas mengatakan:

الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ، وَاْلكَيْفُ مَجْهُوْلٌ، وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ.

“Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad, Al-Ghazali)

Kedua:

Wajib mengimani dan menetapkan sifat istiwa’ tanpa merubah (ta’wil/tahrif) pengertiannya, juga tanpa menyerupakan (tasybih/tamtsil) sifat ini dengan sifat istiwa’ makhluk.

Ketiga:

Menafsirkan istawa (اِسْتَوَى) dengan istawla (اِسْتَوْلَى) yang artinya menguasai adalah salah satu bentuk ta’wil yang bathil. Penafsiran ini tidak dikenal di kalangan generasi awal umat Islam, tidak juga di kalangan ahli bahasa Arab. Abul Hasan Al-Asy’ari menyebutkan bahwa penafsiran ini pertama kali dimunculkan oleh orang-orang Jahmiyyah dan Mu’tazilah. Mereka ingin menafikan sifat keberadaan Allah di atas langit dengan penafsiran ini. Kita tidak menafikan sifat kekuasaan bagi Allah, tapi bukan itu arti istiwa’.

Keempat:

Penerjemahan kata istawa (اِسْتَوَى) dengan “bersemayam” perlu di tinjau ulang, karena dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa bersemayam berarti duduk, tinggal, berkediaman. Padahal arti istawa bukanlah ini, sebagaimana telah dijelaskan.

Kelima:

Istiwa’ Allah di atas ‘Arsy tidak berarti bahwa Allah membutuhkannya, tapi justru ‘arsy yang membutuhkan Allah seperti makhluk-makhluk yang lain. Dengan hikmah-Nya Allah menciptakan ‘Arsy untuk istiwa’ diatasnya, dan Allah Maha Kaya dan tidak membutuhkan apapun.

Wallahu a’lam.

D. Faedah Mempelajari Asma' dan Sifat Allah

Semoga Allah merahmati Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi yang berkata: “……Ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama) adalah ilmu paling mulia, karena kemulian suatu ilmu tergantung pada apa yang dipelajarinya. Ia adalah Fiqih Akbar dibandingkan dengan Ilmu Fiqih furu’ (cabang-cabang agama). Karenanya Imam Abu Hanifah menamakan apa yang telah beliau ucapkan dan beliau kumpulkan dalam lembaran-lembaran berisi pokok-pokok agama sebagai “Al-Fiqhul Akbar“. Kebutuhan para hamba kepadanya melebihi semua kebutuhan, dan keterdesakan mereka kepadanya di atas semua keterdesakan, karena tiada kehidupan untuk hati, juga tidak ada kesenangan dan ketenangan, kecuali dengan mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, dengan Asma’, Sifat dan Af’al (perbuatan)-Nya, dan seiring dengan itu mencintaiNya lebih dari yang lain, dan berusaha mendekatkan diri kepadaNya tanpa yang lain……”

***

Referensi:

  1. Al-Mausu’ah Asy-Syamilah, dikeluarkan oleh Divisi Rekaman Masjid Nabawi.
  2. Syarah ‘Aqidah Thahawiyyah, Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi.
  3. Mudzakkirah Tauhid, Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.

Tambahan dari Al-Akh Abu Mushlih:

Allah Ta’ala bersemayam di atas Arsy. Di dalam ayat disebutkan Ar-Rahmaanu ‘alal ‘arsyistawaa. Secara bahasa istiwa’ itu memiliki empat makna yaitu:

  1. ‘ala (tinggi)
  2. Irtafa’a (terangkat)
  3. Sho’uda (naik)
  4. Istaqarra (menetap)

Sehingga makna Allah istiwa’ di atas ‘Arsy ialah menetap tinggi di atas ‘Arsy.

Sedangkan makna ‘Arsy secara bahasa ialah: Singgasana Raja. Adapun ‘Arsy yang dimaksud oleh ayat ialah sebuah singgasana khusus milik Allah yang memiliki pilar-pilar yang dipikul oleh para malaikat. Sebagaimana disebutkan di dalam ayat yang artinya, “Dan pada hari itu delapan malaikat memikul arsy.” Dan Allah sama sekali tidak membutuhkan ‘Arsy, tidak sebagaimana halnya seorang raja yang membutuhkan singgasananya sebagai tempat duduk.

Demikianlah yang diterangkan oleh para ulama. Satu hal yang perlu diingat pula bahwa bersemayamnya Allah tidak sama dengan bersemayamnya makhluk. Sebab Allah berfirman yang artinya, “Tidak ada sesuatupun yang serupa persis dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11). Oleh sebab itu, tidak sama bersemayamnya seorang raja di atas singgasananya dengan bersemayamnya Allah di atas arsy-Nya. Inilah keyakinan yang senantiasa dipegang oleh para ulama terdahulu yang shalih serta para pengikut mereka yang setia hingga hari kiamat. Wallahu a’lam bish showaab (silakan baca kitab-kitab Syarah Aqidah Wasithiyah dan kitab-kitab aqidah lainnya).

***

Sumber:http://muslim.or.id

Link Terkait:

. .

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin